Renungan Kebudayaan.
Pluralisme Kenyataan yang (coba untuk..) di ingkari
Romo Ro Wl Ma.
Romo Ro Wl Ma.
Salah satu realitas era pascamodernisme adalah kenyataan pada Pluralisme atau pengakuan pada Keberagaman. Ada yang menafsirkan secara naif bahwa Pluralisme itu adalah Pengakuan pada satu Tuhan dengan berbagai Agama, saya justru ingin bertanya pada mereka yang menafsirkannya demikian.Karena penafsiran dan pengertian seperti itu justru : mempersempit, mengecilkan dan mendangkalkan makna apa itu Pluralisme.
Bukankah Pluralisme itu penerimaan pada Keberagaman dalam arti seluas-luasnya. Yaitu pengakuan pada kehadiran : Etnisitas, Keberimanan (adanya agama dan kepercayaan), Bahasa, Pilihan Politik, Gender, serta berbagai aspek hidup lainnya, baik secara sosial kemasyarakatan maupun dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Dalam kajian sosial, antropologi dan multikultural, keberagaman merupakan keadaan atau kondisi atau faktor yang memicu kemajuan di berbagai negara.
Negara-negara yang menerima Pluralisme sebagai pondasi sosial masyarakatnya ternyata jauh lebih maju dari pada negara-negara yang tertutup pada keberagaman, dan masyarakat atau penduduknya dapat menikmati kesejahteraan jauh lebih tinggi atau jauh lebih sejahtera.
Sebaliknya, negara-negara yang masyarakat atau penduduknya dan Pemerintahannya tertutup pada keberagaman atau pluralisme, cenderung pada lebel statusf Quo bahkan 'miskin'. Energi dan pehatian di negara-negara yang menolak Pluralisme atau keberagaman sering kali terkuras pada keinginan menjaga atau mempertahankan Penyeragaman. Dan mengharamkan kehadiran mereka yang tidak, segolongan, seagama, sesuku, sebahasa, sekampung, warna kulit yang berbeda, dst. Intinya tidak sama maka menjadi musuh.
Padahal Sejak awal alam raya diciptakan untuk menampung keberagaman, menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman bahkan mungkin Bumi ini bukan satu-satunya planet yang di huni mahkluk hidup mengingat bahwa Matahari kita bukan satu-satunya gugus bintang di Alam Raya ini. Ada gugus Bima Sakti (Ing. Milky Way; Lat. Via Lactea, Yun. Galaxias), Gugus Bintang Terbuka (Open Cluster), gugus Bintang Bola. (Globuler Cluster), dst.
Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia di sertai keanekaan Etnisitas, bahasa, Kepercayaan dan Agama, Bahasa, tradisi, kesenian, dst. Mengingkari hal ini, berarti pengingkaran pada Undang-Undang Dasar 1945, Proklamasi dan Pancasila.
Dalam teks dan konteks Indonesia, sesungguhnya pengakuan terhadap Keberagaman atau Pluralisme bukan sesuatu yang baru, atau asing. Kenyataan pada peninggalan-peninggalan berupa ornamen bangunan dan prasasti mempertontonkan keadaan itu. Candi Prambanan di Klaten misalnya, merupakan perpaduan arsitektur Bhuda dan Hindu, demikian juga Candi Borobudur di Magelang, yang beberapa bagian dari undukan mencirikan sitektur Hindu di jamannya. Apakah, Candi Prambanan dan Candi Borobudur kemudian menganut pada adanya satu Tuhan yang mereka sembah? Ternyata tidak, perpaduan sitektur itu, mau menyatakan penghormatan pada kehadiran agama lain.
Di jaman modern ini Rumah-rumah ibadah Kristiani dan Islam pun sering merupakan perpaduan sitektur eropa dengan latar belakang kekristenan dan sitektur Timur Tengah dengan latar belakang budaya islam. Atau mesjid Agung Istiqlal Jakarta yang dengan kuba - kuba yang mirip Gereja Blendoeg Semarang dan Gereja Immanuel di Gambir Jakarta. Atau Mesdjid Agung di Kudus sebagai peninggalan Walisanga, di mana sitektur bangunaan mengadopsi tiga kebudayaan, Islam, Hindu dan Jawa. Apa yang saya coba kemukakan sebagai contoh bangunan diatas, adalah pertunjukan tentang penerimaan atas kehadiran mereka yang berbeda.
Mengamati pemikir sosial seperti Amartya Sen, memberi petunjuk bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia, mengisyaratkan bahwa Pluralisme (penerimaan pada keragaman BUKAN pengakuan pada satu Tuhan) adalah prasyarat untuk melahirkan kesejahteraan masyarakat.
Agaknya, kesadaran untuk mengakui dan menerima Pluralisme sebagai prasyarakat untuk kesejahteraan bersama, butuh di kampanyekan, di gaungkan, di surakan, di khotbahkan, di mana saja. Ya di Pendidikan dasar (SD, SMP, SMU/SMK) sampai ke perguruan tinggi, ya di gereja - gereja, ya di mesdjid - mesdjid, ya di pure - pure , ya di klenteng - klenteng, di klub - klub olah raga, di panggung - panggung teater, ya di seminari dan Sekolah Tinggi Theologi, ya di Pesantren - pesantren, ya di ruang - ruang perlemen, ya di ruang - ruang birokrasi, pokoknya di gaungkan di mana saja.
Dalam teks dan konteks inilah, para pemangku kepentingan Kesejahteraan Masyarakat (Pemerintah) dan mereka yang butuh kesejahteraan (Rakyat) perlu mengubah paradigma dan terus menerus mengumandangkan Pluralisme sebagai pengajaran pendidikan kebudayaan bersama.
Bukankah Pluralisme itu penerimaan pada Keberagaman dalam arti seluas-luasnya. Yaitu pengakuan pada kehadiran : Etnisitas, Keberimanan (adanya agama dan kepercayaan), Bahasa, Pilihan Politik, Gender, serta berbagai aspek hidup lainnya, baik secara sosial kemasyarakatan maupun dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Dalam kajian sosial, antropologi dan multikultural, keberagaman merupakan keadaan atau kondisi atau faktor yang memicu kemajuan di berbagai negara.
Negara-negara yang menerima Pluralisme sebagai pondasi sosial masyarakatnya ternyata jauh lebih maju dari pada negara-negara yang tertutup pada keberagaman, dan masyarakat atau penduduknya dapat menikmati kesejahteraan jauh lebih tinggi atau jauh lebih sejahtera.
Sebaliknya, negara-negara yang masyarakat atau penduduknya dan Pemerintahannya tertutup pada keberagaman atau pluralisme, cenderung pada lebel statusf Quo bahkan 'miskin'. Energi dan pehatian di negara-negara yang menolak Pluralisme atau keberagaman sering kali terkuras pada keinginan menjaga atau mempertahankan Penyeragaman. Dan mengharamkan kehadiran mereka yang tidak, segolongan, seagama, sesuku, sebahasa, sekampung, warna kulit yang berbeda, dst. Intinya tidak sama maka menjadi musuh.
Padahal Sejak awal alam raya diciptakan untuk menampung keberagaman, menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman bahkan mungkin Bumi ini bukan satu-satunya planet yang di huni mahkluk hidup mengingat bahwa Matahari kita bukan satu-satunya gugus bintang di Alam Raya ini. Ada gugus Bima Sakti (Ing. Milky Way; Lat. Via Lactea, Yun. Galaxias), Gugus Bintang Terbuka (Open Cluster), gugus Bintang Bola. (Globuler Cluster), dst.
Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia di sertai keanekaan Etnisitas, bahasa, Kepercayaan dan Agama, Bahasa, tradisi, kesenian, dst. Mengingkari hal ini, berarti pengingkaran pada Undang-Undang Dasar 1945, Proklamasi dan Pancasila.
Dalam teks dan konteks Indonesia, sesungguhnya pengakuan terhadap Keberagaman atau Pluralisme bukan sesuatu yang baru, atau asing. Kenyataan pada peninggalan-peninggalan berupa ornamen bangunan dan prasasti mempertontonkan keadaan itu. Candi Prambanan di Klaten misalnya, merupakan perpaduan arsitektur Bhuda dan Hindu, demikian juga Candi Borobudur di Magelang, yang beberapa bagian dari undukan mencirikan sitektur Hindu di jamannya. Apakah, Candi Prambanan dan Candi Borobudur kemudian menganut pada adanya satu Tuhan yang mereka sembah? Ternyata tidak, perpaduan sitektur itu, mau menyatakan penghormatan pada kehadiran agama lain.
Di jaman modern ini Rumah-rumah ibadah Kristiani dan Islam pun sering merupakan perpaduan sitektur eropa dengan latar belakang kekristenan dan sitektur Timur Tengah dengan latar belakang budaya islam. Atau mesjid Agung Istiqlal Jakarta yang dengan kuba - kuba yang mirip Gereja Blendoeg Semarang dan Gereja Immanuel di Gambir Jakarta. Atau Mesdjid Agung di Kudus sebagai peninggalan Walisanga, di mana sitektur bangunaan mengadopsi tiga kebudayaan, Islam, Hindu dan Jawa. Apa yang saya coba kemukakan sebagai contoh bangunan diatas, adalah pertunjukan tentang penerimaan atas kehadiran mereka yang berbeda.
Mengamati pemikir sosial seperti Amartya Sen, memberi petunjuk bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia, mengisyaratkan bahwa Pluralisme (penerimaan pada keragaman BUKAN pengakuan pada satu Tuhan) adalah prasyarat untuk melahirkan kesejahteraan masyarakat.
Agaknya, kesadaran untuk mengakui dan menerima Pluralisme sebagai prasyarakat untuk kesejahteraan bersama, butuh di kampanyekan, di gaungkan, di surakan, di khotbahkan, di mana saja. Ya di Pendidikan dasar (SD, SMP, SMU/SMK) sampai ke perguruan tinggi, ya di gereja - gereja, ya di mesdjid - mesdjid, ya di pure - pure , ya di klenteng - klenteng, di klub - klub olah raga, di panggung - panggung teater, ya di seminari dan Sekolah Tinggi Theologi, ya di Pesantren - pesantren, ya di ruang - ruang perlemen, ya di ruang - ruang birokrasi, pokoknya di gaungkan di mana saja.
Dalam teks dan konteks inilah, para pemangku kepentingan Kesejahteraan Masyarakat (Pemerintah) dan mereka yang butuh kesejahteraan (Rakyat) perlu mengubah paradigma dan terus menerus mengumandangkan Pluralisme sebagai pengajaran pendidikan kebudayaan bersama.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar