05/09/22

Kisah-kisah September.

Cerpen dan sajak September.

Kisah September.

Ini September keenam ya, bisikmu ditengah hiruk pikuk penumpang di terminal 1B Soetta.
Aku hanya mengangguk.
Abang ingat enam tahun lalu di Majene?
Aku mengangguk lagi.
Waktu Abang menjenguk kesana, hujan deras ya. Abang basah kuyup juga ransel yang berisi baju cadangannya.
Ingat bang?
Tentu Abang ingat, apalagi seharian Abang harus mengurung diri di kamar hotel gara-gara semua baju basah. Untung ada sarung yang kau pinjamkan. Eh, sarung itu masih aku simpan lhoo.
Yang bener bang! Sahutnya cepat sambil menatap ke arahku.
Iya, ada di rumah. Itu kan milikmu, jadi kusimpan baik-baik. Jawabku sambil memperhatikan monitor TV didepan kami. Kemudian aku menatapnya.
Perempuan yang memanggilku Abang ini hanya menunduk tak berani membalas tatapanku.
Maafkan aku bang. Bisiknya pelan seolah pada diri sendiri.
Ku perhatikan banyak perubahan dari dirinya, jauh melebihi perempuan sederhana yang dulu aku kenal dan mengisi hidupku.
Maafkan aku ya bang! Tak sabar menunggu kepastian darimu dulu.
Tiga September aku mencari tahu keberadaan Abang dan menunggu kedatangan abang. Ketika itu aku berfikir bahwa Abang pasti akan datang seperti kenekatanmu mengendarai motor dari Makassar ke Majene menerobos deras hujan. Tapi September keempat, aku akhirnya menyerah dalam penantian lalu menerima lelaki yang kini jadi suamiku.
Maafkan aku ya bang.

Rumah mungil.

Di rumah mungil
Kursi dan sofa menunggu lama
Sejak dengus nafas dan canda menutup jendela
Jendela dimana pandangan tertuju
lorong setapak diantara rerimbunan bambu
Kesana engkau pergi
Membawa sebungkus baju pengantin membiarkan pintu terbuka dan kursi berdebu diantara sofa berhias renda ungu
Sebongkah hati kau taruh di meja. Aku akan ambil suatu waktu nanti, bisikmu.
Dalam temaram cahya Dian menguning menari nari membuat semua melalar menghitam di lantai.
Juga bayanganmu
Renda ungu tua yang kau Sampir di sofa tak jelas warnanya
Aku akan selalu kangen bisikmu diambang pintu
Setelah itu kau susuri lorong rerimbunan
Dan tak menoleh lagi
Di rumah mungil
Kursi dan sofa menanti canda tawa
Jendela dan pintu terbuka lebar menunggu ketukan
Yang ada hanya larik mentari menerobos atau sinar rembulan melintas, hanya sejenak
Setelah itu harapan saja
Teringat saat kau minta.
Buatlah rumah mungil bang.
Rumah dimana gaun pengantin dan peraduan tak pernah sunyi
Kan ku hias seribu canda dan bunga mewarna. Bangunlah bang, bujukmu.
Dan rumah mungil itu tak pernah rame seperti inginmu
Bangunlah taman kecil dimana bunga seribu melati dan rose akan tumbuh di hati, bisikmu ketika itu.
Tapi hanya Putri malu yang setia menusuk dan menggores taman itu.
Kau tak pernah melihat
Rumah mungil dimana kursi dan sofa menanti canda selalu memandang lorong rerimbunan bambu perih sendiri
Disana penantian duduk memoles perih
Buatlah kolam kecil bang, pintamu.
Tiap senja memandang ikan berenang, kau disamping di kursi bambu, bujukmu lagi saat itu
Akan kulepas bunga teratai merah jambu pasti menyenangkan bang.
Dan kolam tak pernah jadi hanya air mata sesekali menetes disitu

Awal September 2017.

Sajak tentang rumah

Di rumah mungil
Pintu terbuka lebar
Tunggu ketukan
Seperti rembulan diam bercahaya
Peraduan sunyi tempat mengadu sepi
Wajah membayang hias pucuk bambu di samping rumah
Diam-diam daunnya jatuh
Melayang seperti hari berlalu
Tanpa cerita tanpa kisah
Oh rumah mungil
Di mana pintu lebar terbuka
Kemana ketukan tertuju
Ini bukan kisah kita, sahutmu kemaren sore
Tapi juga tidak berakhir disini, sambungmu lagi.
Duduk lelaki baya di kursi lapuk
Terpesona sinar Wulan
Mata bulat di langit
Mengapa membisu? Sapa Wulan
Rindu nun jauh ke pucuk Cemara! Jawab lelaki baya
Tapi, mengapa dibiarkan melayang kesana? Tanya Wulan berbisik.
Gapai, raihlah! Lemah Wulan berucap.
Di rumah mungil
Pintu lebar terbuka
Menanti ketukan
Diluar, bulan redup kebarat
Hari malam akan lalu! Keluh lelaki baya sambil membuka jendela dan menatap ujung lorong.
Tapi lorong itu sepi
Bahkan bayangan Cemara dan bambu pun hilang
Lelaki baya menutup jendela menggulung peraduan
Tempat mengadu yang sepi
Yang sunyi
Seperti hatinya.
Di rumah mungil
Pintu terbuka lebar
Tunggu ketukan
Sinar rembulan syahdu
Peraduan sunyi diam
Ketika Kokok ayam menguak takdir pagi
Rumah mungil dan lelaki baya
Tersapu angin
Menjadi Bayu
Terbang kemana saja
Mencari cinta yang tak pernah mengetuk pintu
Mengejar Wulan diantara pucuk Cemara dan bambu
Sementara itu diujung lorong
Wulan tertatih mencari rumah mungil
Rumah yang dirindukan
Borok nanah hias sekujur tubuh dalam kesunyian panjang
Mana pintu kan ku ketuk? Keluh wulan
Yang tertinggal hanya pokok Cemara kering dan rerimbunan bambu kerontang.
Sesal pun tak berarti
Hanya duka
Duka sesal
Di rumah mungil
Pintu terbuka lebar
Tunggu ketukan
Sepi
Sesal
Duka.
___________

Kata di dialog


Seorang teman bertanya : Romo, bagaimana perasaanya ketika menguburkan orang seperti yang selama ini Romo lakukan?
Saya jawab : Persis seperti menyambut kelahiran bayi-bayi.
Maksud Romo?
Persoalan bukan pada kematian dan kelahiran tapi pada kehidupan itu. Setiap orang lahir dan pasti mati. Tapi tidak semuanya dapat mengartikan hidupnya. Maksud Romo, ada tujuan seseorang lahir dan tujuan itu akan diperolehnya saat mati. Kesana, ketujuan itu ia mati.
Saya paham maksud Romo!
Lalu sahabat saya ini, memeluk erat.
Kami berdoa bersama. Dia sholat duhur di depanku dan aku berdoa di kursi tempat kami membagi rasa.
Itulah tujuan hidup dan kesana tujuan mati.

Angin September

Lembut kau datang, mengusap wajah membelai kepala dan;
Harapan membumbung tinggi
Melayang menembus awan putih
Saat bahagia merasuk
Sel-sel membelah berlipat ganda
Kaki berjingkrak-jingkrak
Kala jemari lentik menari
Wajah riang
Lalu ;
Kau pergi tak kembali.
-----------------------------

Hujan September

Bersimbah air mata kau ketuk pintu dedaun mengangguk-angguk tertimpa titik air, basah gemetar
Tapi baik air mata pun air hujan tak mau mengerti
Jika September selalu ceria
Dan ;
Kembang aneka warna menghias onggokan di tanah sunyi
Kau pergi tak pulang
----------------------------

Cerita September

Tak sama tiap orang
Berbeda kisah
(Awal September 2020)

26 tahun lalu..

Merapi jadi kawan
Rinjani jadi sahabat
Semeru selalu kurindukan
Kerinci gadis cantik di Kayu Aro
Dan
Engkau Raung nona gemulai penunggu Banyuwangi...
Dulu...kalian adalah sahabat tiap liburan
Aku nikmati dingin tubuhmu...
Sekarang aku hanya mendengar cerita kalian.
Hanya cerita.

Sajak Seorang Copet

Woiiii, teriakku
Copet! Copet!
woiii....teriakmu
woiiii teriak mereka
Hajarrrrr teriak semua orang
ambil bensin
bakar!!....koor bersamaan
Aku berlalu tak berdaya halau kerumunan
Mereka bukan lagi manusia
Sebab yang ditampar, ditendang, di injak, diludahi
Di bakar adalah manusia.
Harusnya aku tak teriak.
Meski dompetku ditangannya
Mustinya tak mengejarnya,
Isi dompet Rp.150.000 dan beberapa surat yang bisa segera diurus kembali.
Oh rimba jalanan
Oh manusia
Oh
sesal pun
tak
tak berarti sesal
Untuk mereka
kepuasan
kebanggaan
Ya Allah
Allahku
hari ini
ku beli nyawa
seharga 150.000 rupiah.
hanya dengan teriakku
Copet!
(RWM, awal September'15 di disudut kota Semarang)
RWM.BOONG BETHONY