Renungan Kebudayaan
Tentang Fasik.
Romo Ro Wl Ma.
Romo Ro Wl Ma.
Fasik menurut kamus besar bahasa Indonesia di devinisikan sebagai berikut : Tidak peduli perintah TUHAN, atau buruk kelakuan, jahat dan berdosa besar; orang yang percaya kepada Allah SWT tetapi tidak mengamalkan Perintah-NYA atau melakukan perbuatan dosa.
Dari devinisi tersebut di atas, maka dengan sederhana dapat kita pahami bahwa orang beragama; Kristen (Protestan - Katholik), Islam, Hinda, Budha, Kong Hu Chu, jika tidak melakukan atau meng-amalkan Perintah Tuhan yang di percayainya, di masukkan sebagai golongan orang FASIK.
Yaitu, orang - orang yang memeluk dan meyakini agamanya, tetapi tidak menjalankan atau meng-amalkan ajaran agama yang di peluknya atau yang diyakininya dalam kehidupan sehari - hari.
Memeluk atau meyakini Agama dan pengajarannya, tetapi tidak mengamalkan, di sebut sebagai orang Fasik.
Yaitu, orang - orang yang memeluk dan meyakini agamanya, tetapi tidak menjalankan atau meng-amalkan ajaran agama yang di peluknya atau yang diyakininya dalam kehidupan sehari - hari.
Memeluk atau meyakini Agama dan pengajarannya, tetapi tidak mengamalkan, di sebut sebagai orang Fasik.
Tujuan Agama di turunkan atau di Wahyukan adalah untuk di amalkan, bukan untuk dihafal, apa lagi jika hanya di perdebatkan belaka , di banding-bandingkan saja. Atau dengan kata lain, Bahwa Agama (apapun agama itu) adalah untuk di amalkan, di praktekkan, di berlakukan dalam kehidupan sehari - hari. Bukankah Agama di turunkan atau di wahyukan adalah untuk kebaikan?
Jadi bagaimana bisa merasakan kebaikan jika ajaran kebaikan itu tidak di amalkan, tidak di berlakukan? Tidak di praktekkan? Jadi kalau mau kebaikan, amalkan, praktekkan ajaran agamamu. Demikian kata seorang Rumi Jalaluddin, penyair Timur Tengah dari beberapa abad lalu.
Senada dengan itu seorang Kahlil Gibran, bertutur bahwa TUHAN ada dalam setiap nafas manusia, Apapun agamanya bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun.
Jadi bagaimana bisa merasakan kebaikan jika ajaran kebaikan itu tidak di amalkan, tidak di berlakukan? Tidak di praktekkan? Jadi kalau mau kebaikan, amalkan, praktekkan ajaran agamamu. Demikian kata seorang Rumi Jalaluddin, penyair Timur Tengah dari beberapa abad lalu.
Senada dengan itu seorang Kahlil Gibran, bertutur bahwa TUHAN ada dalam setiap nafas manusia, Apapun agamanya bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun.
Mungkin Rumi Jalaluddin dan Kahlil Gibran, melihat bahwa dalam perjalanan sejarah Agama-agama di dunia, para penganut, para pemeluk atau orang - orang yang mengimani agamanya, sering kali menampakkan hal yang sebaliknya. Yaitu, pertikaian, persaingan, bahkan mengadu - adu Tuhan yang mereka sembah dalam berbagai cara.
Pertanyaan besarnya adalah : Mengapa terjadi demikian? Mengapa Umat beragama jika berhadap - hadapan dengan umat beragama lainnya, tiba - tiba berubah sikap? Bahkan memandang umat beragama lainnya, sebagai musuh?
Mungkin ada yang salah dari cara kita memahami atau mengerti dan mengamalkan ajaran agama masing - masing ya? Mungkin saja.
Bukankah Agama di wahyukan adalah untuk kebaikan manusia?Untuk kesejahteraan hidup manusia? Sebab tujuan mulia itu, maka seharusnya mata Iman seorang penganut Agama adalah percaya pada ajaran Agama itu dan wajib melaksanakan serta mengamalkan. Dan mengamalkan ajaran agama itu ya di dunia ini, dalam kehidupan sehari - hari. Hidup bersama dengan orang - orang yang tidak seiman, tidak sesuku, tidak sebahasa, mungkin juga tidak sebangsa, tidak sewarna kulit, dst. Bukankah begitu?
Pertanyaan besarnya adalah : Mengapa terjadi demikian? Mengapa Umat beragama jika berhadap - hadapan dengan umat beragama lainnya, tiba - tiba berubah sikap? Bahkan memandang umat beragama lainnya, sebagai musuh?
Mungkin ada yang salah dari cara kita memahami atau mengerti dan mengamalkan ajaran agama masing - masing ya? Mungkin saja.
Bukankah Agama di wahyukan adalah untuk kebaikan manusia?Untuk kesejahteraan hidup manusia? Sebab tujuan mulia itu, maka seharusnya mata Iman seorang penganut Agama adalah percaya pada ajaran Agama itu dan wajib melaksanakan serta mengamalkan. Dan mengamalkan ajaran agama itu ya di dunia ini, dalam kehidupan sehari - hari. Hidup bersama dengan orang - orang yang tidak seiman, tidak sesuku, tidak sebahasa, mungkin juga tidak sebangsa, tidak sewarna kulit, dst. Bukankah begitu?
Tetapi sering kali para penyembah atau penganut masing-masing Agama merasa lebih pandai dari Tuhan yang di sembah atau Tuhan yang di percayai. Bahkan kerap terlihat dan mempertontonkan bahwa kepandaian manusia seolah-olah membuat Tuhan tak berdaya, tak berkuasa lagi atas hidup orang yang mempercayai-NYA. Jadi jangan heran bila, dimana - mana Tuhan tak lagi menjadi acuan atau rujukan, dalam memperlakukan kehidupan, dan juga kepada sesama manusia. Kitab - kitab Suci masing - masing Agama sering kali di abai dan bukan lagi sebagai Code Of Condact para penganutnya.
Dan disisi lain, lahirlah para penafsir masing-masing Agama (teolog dan cerdicendikiawan agama atau para Rohaniawan) yang kerap menafsirkan ajaran masing-masing agama sesuai keinginan sendiri tanpa ada kesepakatan - kesepakatan bersama atau pertemuan - pertemuan Para Ahli Agama masing - masing. Tanpa konvesi para teolog, tentang tafsir - tafsir tertentu dari isi kitab suci masing - masing agama. Dan terjadilah apa yang disebut sebagai nabi - nabi palsu oleh tiap - tiap agama, sebab menafsir ajaran agamanya, sesuai paham pribadi dan bukan atas paham dan kesepakatan teologis para ahli-ahli agama. Dari nabi palsu di ikuti pastor palsu, pendeta palsu, kiyai palsu, ustad palsu dan palsu - palsu lainnya. Belum lagi bahwa para penafsir - penafsir itu menyelewengkan atau membelokkan Firman atau Wahyu demi keuntungan Penguasa, Segelintir orang, atau demi keuntungan Golongan atau Kaum tertentu, sehingga orang-orang di luar di anggap sebagai lawan.
Padahal, saya yakin, Haqhul yakin, setiap agama menuntut umatnya untuk meng-amalkan ajaran - ajaran itu. Sama seperti keyakinan saya, bahwa tiap agama-agama menerima wahyu untuk mencintai kehidupan, mencintai sesama manusia.
Bukankah meng-Amalkan ajaran agama berarti mencintai sesama manusia seperti mencintai Tuhan?
Dan disisi lain, lahirlah para penafsir masing-masing Agama (teolog dan cerdicendikiawan agama atau para Rohaniawan) yang kerap menafsirkan ajaran masing-masing agama sesuai keinginan sendiri tanpa ada kesepakatan - kesepakatan bersama atau pertemuan - pertemuan Para Ahli Agama masing - masing. Tanpa konvesi para teolog, tentang tafsir - tafsir tertentu dari isi kitab suci masing - masing agama. Dan terjadilah apa yang disebut sebagai nabi - nabi palsu oleh tiap - tiap agama, sebab menafsir ajaran agamanya, sesuai paham pribadi dan bukan atas paham dan kesepakatan teologis para ahli-ahli agama. Dari nabi palsu di ikuti pastor palsu, pendeta palsu, kiyai palsu, ustad palsu dan palsu - palsu lainnya. Belum lagi bahwa para penafsir - penafsir itu menyelewengkan atau membelokkan Firman atau Wahyu demi keuntungan Penguasa, Segelintir orang, atau demi keuntungan Golongan atau Kaum tertentu, sehingga orang-orang di luar di anggap sebagai lawan.
Padahal, saya yakin, Haqhul yakin, setiap agama menuntut umatnya untuk meng-amalkan ajaran - ajaran itu. Sama seperti keyakinan saya, bahwa tiap agama-agama menerima wahyu untuk mencintai kehidupan, mencintai sesama manusia.
Bukankah meng-Amalkan ajaran agama berarti mencintai sesama manusia seperti mencintai Tuhan?
Jadi siapapun anda, apa pun agama anda, jika tidak mengamalkan ajaran agama yang anda yakini, yang anda percayai, yang anda aminkan, maka anda termasuk golongan orang Fasik.
Salam dan doa rahayu.
Romo Ro Wl Ma.
Romo Ro Wl Ma.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar