Renungan Budaya tentang Dialektika.
DIALEGTIKA.
Romo Ro Wl Ma.
Romo Ro Wl Ma.
Seorang Lelaki muda, datang ke pondokan dengan wajah kusut. Ia bertanya begini :
Romo, bagaimana menghadapi hidup supaya menyenangkan?
Sejenak aku berfikir lalu menatap wajah kusutnya. Menyidik lewat pancaran bening tatapnya.
Hidup yang menyenangkan? Hm..mungkin ini pertanyaan itu sendiri! Tandasku.
Sementara hidup adalah sisi lain dari pertanyaan itu. Sambungku.
Maksud Romo? Potongnya cepat.
Nahhh..kau sudah menemukan apa yang kau cari! Sambarku tak mau kalah.
Wahhh...sesingkat itu Romo?
Yaaaa. Skarang pulanglah, lanjutkan hidupmu.
lelaki muda itu, meninggalkan pondokanku.
Langkahnya ringan.
Romo, bagaimana menghadapi hidup supaya menyenangkan?
Sejenak aku berfikir lalu menatap wajah kusutnya. Menyidik lewat pancaran bening tatapnya.
Hidup yang menyenangkan? Hm..mungkin ini pertanyaan itu sendiri! Tandasku.
Sementara hidup adalah sisi lain dari pertanyaan itu. Sambungku.
Maksud Romo? Potongnya cepat.
Nahhh..kau sudah menemukan apa yang kau cari! Sambarku tak mau kalah.
Wahhh...sesingkat itu Romo?
Yaaaa. Skarang pulanglah, lanjutkan hidupmu.
lelaki muda itu, meninggalkan pondokanku.
Langkahnya ringan.
Jatimulyo - Yogyakarta, awal oktober 2012
Puisi yang saya tulus beberapa tahun lalu ini, hendak menggambarkan betapa banyak orang menderita, tidak bahagia, menjalani hidupnya. Padahal, hidup ini menyenangkan ,bahkan teramat menggembirakan dan membahagiakan.
Pertanyaan anak muda dalam Puisi diatas, mewakili jutaan bahkan milyaran orang yang bingung menjalani hidup ini. Bukan karena ia tidak tahu tentang kehidupannya, tetapi karena hidup ini menghadapi kenyataan waktu yang penuh ranjau, yang jika salah menapak, keliru menginjak, akan membuat hidup seseorang menderita.
Kehidupan atau hidup manusia memang menghadapi jebakan - jebakan baik dalam bentuk area abu - abu, nilai - nilai dan ukuran - ukuran material, kalkulasi - kalkulasi lahirian. Yang kerap kali memenjarakan manusia, membuih manusia, dan ketika masuk kesana, teramat sulit untuk keluar.
Agaknya, anak muda diatas dan juga banyak manusia di dunia ini, terkurung disana.
Jika hidup ini hanya melihat dari sisi lahiriah, dari sisi pikiran, dari sisi material belaka, maka itu menjebak diri sendiri. Menjebak dalam nilai - nilai lahiriah yang memiliki batas senang dan bosan, sebuah ukuran meterial belaka. Yaitu, nilai dan ukuran secara matematis, secara pikiran belaka.
Padahal, yang matematis, yang lahiriah, yang pikiran, yang material, tidak ada yang abadi, tidak kekal. Jika terkurung di sana, di penjarakan disitu, maka tak ada lagi kesempatan untuk pemenuhan pada kebutuhan nilai dan ukuran Rohaniah, nilai dan ukuran batiniah, nilai dan ukuran jiwa. Kebutuhan pada relasi kosmis, kebutuhan pada hal - hal yang Immanen dan juga transenden; yang tak bisa di ukur dan di nilai oleh material, oleh lahiriah, oleh kalkulasi matematis, kecuali oleh batin, oleh jiwa oleh kehidupan rohani.
Anehnya, banyak Manusia terjebak disana, kecebur pada sisi pandang material, kecemplung dalam sisi pandang lahiriah.
Yaitu, pada sisi ukuran atau nilai material belaka, nilai lahiriah belaka.
Jika hidup ini hanya di lihat dari sisi pandang seperti itu, jangan heran jika perjalanan kehidupan tidak selalu menyenangkan bahkan cenderung merasa menderita.
Kehidupan seperti itu diselimuti oleh rasa : kekurangan, miskin, iri dan cemburu. Waktunya habis dan sia-sia hanya untuk menjawab pada pemenuhan perasaan - perasaan seperti itu.
Padahal hidup ini bukan hanya soal miskin atau kaya, bukan soal iri atau cemburu, bukan soal materi atau uang, bukan soal lahiriah belaka. Jika hanya soal itu, wajar jika anak muda dalam puisi di atas menderita, tidak bahagia, waktunya habis hanya untuk hal - hal material belaka, untuk hal - hal lahiriah belaka, untuk hitung - hitungan harga diri belaka, untuk kalkulasi - kalkulasi untung rugi belaka.
Hidup seperti itu, tidak pernah merasa betapa menyenangkan dan membahagiakan kehidupan yang dianugerahkan TUHAN YANG MAHA ESA ini.
Oh manusia, berilah makan sekenyang-kenyangnya pada Batinmu, pada jiwamu, pada Rohaniahmu, sebab disana kebahagian dan hidup yang menyenangkan.
Pertanyaan anak muda dalam Puisi diatas, mewakili jutaan bahkan milyaran orang yang bingung menjalani hidup ini. Bukan karena ia tidak tahu tentang kehidupannya, tetapi karena hidup ini menghadapi kenyataan waktu yang penuh ranjau, yang jika salah menapak, keliru menginjak, akan membuat hidup seseorang menderita.
Kehidupan atau hidup manusia memang menghadapi jebakan - jebakan baik dalam bentuk area abu - abu, nilai - nilai dan ukuran - ukuran material, kalkulasi - kalkulasi lahirian. Yang kerap kali memenjarakan manusia, membuih manusia, dan ketika masuk kesana, teramat sulit untuk keluar.
Agaknya, anak muda diatas dan juga banyak manusia di dunia ini, terkurung disana.
Jika hidup ini hanya melihat dari sisi lahiriah, dari sisi pikiran, dari sisi material belaka, maka itu menjebak diri sendiri. Menjebak dalam nilai - nilai lahiriah yang memiliki batas senang dan bosan, sebuah ukuran meterial belaka. Yaitu, nilai dan ukuran secara matematis, secara pikiran belaka.
Padahal, yang matematis, yang lahiriah, yang pikiran, yang material, tidak ada yang abadi, tidak kekal. Jika terkurung di sana, di penjarakan disitu, maka tak ada lagi kesempatan untuk pemenuhan pada kebutuhan nilai dan ukuran Rohaniah, nilai dan ukuran batiniah, nilai dan ukuran jiwa. Kebutuhan pada relasi kosmis, kebutuhan pada hal - hal yang Immanen dan juga transenden; yang tak bisa di ukur dan di nilai oleh material, oleh lahiriah, oleh kalkulasi matematis, kecuali oleh batin, oleh jiwa oleh kehidupan rohani.
Anehnya, banyak Manusia terjebak disana, kecebur pada sisi pandang material, kecemplung dalam sisi pandang lahiriah.
Yaitu, pada sisi ukuran atau nilai material belaka, nilai lahiriah belaka.
Jika hidup ini hanya di lihat dari sisi pandang seperti itu, jangan heran jika perjalanan kehidupan tidak selalu menyenangkan bahkan cenderung merasa menderita.
Kehidupan seperti itu diselimuti oleh rasa : kekurangan, miskin, iri dan cemburu. Waktunya habis dan sia-sia hanya untuk menjawab pada pemenuhan perasaan - perasaan seperti itu.
Padahal hidup ini bukan hanya soal miskin atau kaya, bukan soal iri atau cemburu, bukan soal materi atau uang, bukan soal lahiriah belaka. Jika hanya soal itu, wajar jika anak muda dalam puisi di atas menderita, tidak bahagia, waktunya habis hanya untuk hal - hal material belaka, untuk hal - hal lahiriah belaka, untuk hitung - hitungan harga diri belaka, untuk kalkulasi - kalkulasi untung rugi belaka.
Hidup seperti itu, tidak pernah merasa betapa menyenangkan dan membahagiakan kehidupan yang dianugerahkan TUHAN YANG MAHA ESA ini.
Oh manusia, berilah makan sekenyang-kenyangnya pada Batinmu, pada jiwamu, pada Rohaniahmu, sebab disana kebahagian dan hidup yang menyenangkan.
Salam dan doa Rahayu.
Pemerhati kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
Pemerhati kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar