Kita kenal istilah, Budi bahasa yang memiliki arti Verba : Perkataan (tuturan) dan Laku (perbuatan). Dalam perkembangan Budaya Indonesia Budi Bahasa memiliki arti yang luhur (mulia) dan tinggi (sebagai idiom dan pengajaran) mempertontonkan perilaku masyarakat Nusanatara.
Dalam teks dan konteks budaya, maka Budi Bahasa sebagai idiom merupakan keadaan (sebagai spiritualitas ke-bahasa-an dan ke-perilaku-an) yang patut jadi teladan, di contoh,
layak menjadi panutan, dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam teks dan konteks Pengajaran/pendidikan, maka Budi Bahasa adalah etiket, ke-sopan-santun-an, sebagai pengajaran dan pendidikan kebudayaan.
Dalam diskursus dua teks dan konteks diatas, maka Budi bahasa merupakan norma atau nilai atau ke-adab-an dan ke-adat-an atau moralitas primer ke-Indonesian relasi manusia dan manusia dalam strata sosial. Baik di relasi ke-iman-an (sebagai pengajaran agama), relasi kekerabatan, relasi priyayi kawula, relasi guru murid, dst.
Pertanyaan kekinian, masihkah Budi Bahasa memiliki arti seperti penjelasan sederhana diatas?
Simaklah, Budi Bahasa anggota DPR RI, Mentri-mentri, Anggota POLRI/TNI, Para Rohaniawan, Dosen-dosen dan guru-guru, Birokrat, Seniman (sebagai budayawan).
Apakah butuh reapresiasi pada pemaknaan Budi Bahasa sebagai Idiom, dan atau gambaran Budaya kita?
Dibawah adalah diskusi tentang topik di atas :
Yusup OebletTidak boleh lelah ..catatan penting yg Romo hadirkan ini terasa betul
Yusup OebletUntuk menjadi koreksi pada masing masing nurani kita ..
Barth Padatu"Budi" senantiasa merupakan ekspresi bahasa. Tapi berbahasa tidak senantiasa "membudi"
Heru Slamet SuhartoDlm kultur Jawa dulu ada 'unen2' AJINING DHIRI ,ANA KEDALING LATHI . yg secara bebas dpt diartikan kurang lebih : harga diri seseorang terlihat dlm tutur katanya.
Mryana VetaBahasa menunjukan bangsa. Budi bahasa seseorang menunjukan watak seseorang. Kalau seseorang anggota DPR, maka untuk mengukur kualitas manusianya, lihat saja budi bahasa. Atau. tutur kata hakekatnya refleksi kepribadian seseorang. Yang ditulis Romo ini …
Lihat Selengkapnya
Embie C NoerSetidaknya kita punya ukuran ideal ttg perilaku. Soal realitas yg begini dan beginu, begitulah. Harapan. Semoga kita tetap optimis. Karena optimis juga perilaku yg baik.
Faruk Tripoliharus dicoba cari dulu sebab kepudarannya, mas. misalnya, ekonomisasi hubungan sosial, hubungan antara manusia dengan sesamanya dan bahkan dengan benda-benda sekitarnya. budi bahasa mulai dilanggar ketika pemimpin sudah menempatkan diri sama rata
dengan orang biasa. dan yang meratakan itu duit. itu satu kemungkinan. dan untuk melawan itu tidak cukup hanya menggalakkan pengajaran budi bahasa..
RomoSobat
Barth Padatu....tentu lain dulu lain sekarang bro. Budi Bahasa seabgai Idiom bermasyarakat seperti yang saya urai sederhana di atas, sesungguhnya merupakan gambaran bahwa mustinya Bahasa itu juga merupakan budi, bukan sekedar ekspresi bunyi.
RomoKangmas
Mryana Veta...betul sekali itu kangmas. Prihatin saja bahwa ternyata Budi bahasa sekarang ini tidak relevan lagi. Banyak yang berbahasa surga tetapi perilakunya (maaf) cebong. Makasih sudah mampir.
RomoMas
Embie C Noer...hahahahaha....sepertinya ungkapan mas itu keprihatinan yang mendalam atas realitas.
Embie C NoerDan kalau dapat, jadi ajakan untuk bangkit dari dalamnya secara bersama-sama
RomoMas Prof
Faruk Tripoli...saya teringat postingan kangmas beberapa waktu lalu, tentang Priyayi dan kawula dalam relasi-relasi sosial. Mungkinkah, itu salah satu penyebab disamping kemungkinan lain seperti mas tulis di atas. Ataukah, karena priyayi
(rohaniawan, Birokrat) di satu sisi sudah ikutan gaya hidup masyarakat awam (kawula, dengan sistem-sistem kawula, seperti bergaul, berbahasa, dst)?
Faruk Tripoliketika seorang dalang atau seniman raisin-isin ngomongke duwit apa payu, saat itulah, mas, budi bahasa berakhir
RomoSaya hanya mengutip degup jantungku mas prof.....Dekkkkkkk......teringat para rohaniawan (Ustad dan Pendeta) suka pasang tarif untuk sebuah renungan atau khutbah pada umat yang butuh...dan sekali lagi dekkkkk Kangmas
Faruk Tripoli.
RomoMembaca tulisan ini saya terkenang seorang sahabat, kawan, guruku tetapi juga muridku....
Poltak SitumorangRomo Ro WI Ma,
Banyak anak bangsa dari kecil sudah mulai diajari bahasa asing, sementara bahasa ibunya di nomor duakeun. Hasilnya, bahasa ibunya yang agung itu terlupakan dan hanya menggunakan bahasa asing yang diagungkan itu. Tidak ada tata krama
berbahasa sesuai dengan posisinya.
Sementara si budi lebih suka melakukan studi banding ke negara antah berantah, sehingga "budi pekerti" itu semakin sirna.
Jadi teringat pepatah dari daerah tempatku dilahirkan :
"Pantun Hangoluan, Tois hamagoan" (Kesantunan adalah kehidupan, sikap meremehkan sumber bencana.)
Rahayu....Rahayu...Rahayu...!
RomoBenar apa yang oppung bilang itu...sikap sederhana amat penting dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara...semua sama, semua punya hak...
Foto : Aku, Bandung 2018