Sajak tentang Makassar.
Di ujung yang dapat di lihat
Kesana daeng dan Karaeng menyatu di warung-warung Coto, nikmat dalam keringat
Sara'bak hangat mengalir di sungai cere'kang seiring alunan pemusik jalanan
Kaki
lima, menawar pisang epek, es pisang hijau, nyuknyang dan sanggara' di garis Losari
Sengkang maki'
Mai maki'
Jappa-jappa maki..
Oh rinni maki
Di ujung yang dapat di pandang, disitu Makassar
Kota tua dimana orang-orang berebut asa bukan hanya dari Malino, Toraja, Soppeng, Bone, Palopa, juga dari Palu, Manado, Ambon dan bau-bau
Makassar kampung to Mangkassara' tak pernah sepi sejak jaman VOC dan entak kapan kan henti.
Tangan dan lengan bahkan kaki tak henti bergerak, memoles, menempa, mengolah, memikul, bercanda di bandar Makassar
Di ujung yang dapat di pandang, di sana Makassar berdiri tegak memghadap samudra
Hotel, penginapan dan wisma tak sepi sepanjang waktu
Bus-bus dari Pare-pare, Mamuju, Sengkang, Enrekang, Masamba, Rantepao, Malili, Tanah Toraja dan Mangkutana berlomba menerobos malam berpadu pete'-pete'
Di ujung yang dapat di pandang, di sana bandar besar, bersandar melepas sauh kapal-kapan besi dan perahu Pinisi mengiris lautan menyebrang samudra bertukar budaya antar bandar dunia.
Kami orang-orang Bugis, kami orang-orang Makassar, ombak dan samudra adalah tempat kami bermain.
Di Makassar, songkolo' sarapan yang nikmat.
(Makassar, Medio September'18)
Balada Majene.
Membayangkan pantai berpasir hitam di tepian Majene, teringat jejak kakimu terhapus riak ombak dan tawa renyahmu terbawa angin.
Aku rindu, aku kangen
Ikan
tengiri segar, sekantong cumi-cumi kau suruh aku membeli saat perahu kecil mencium bibir pantai mengusir lelah ombak semalam
Girang engkau menggoreng, meracik bumbu, mengepul nasi, aroma sedap mengguncang perut duduk berhadapan denganmu
Masih kau ingat kekasih?
Sore ketiga, saat hujan turun, secangkir kopi toraja hangat, sepiring ubi rebus kau taruh, sehelai sarung bugis berwarna-warna kau lilit di batang leher. Kau berbisik "Syal abang tertinggal dimana?"
Teringat dan rinduku disana.
Hari minggu november tahun itu, ajak aku melihat kampung-kampung di kaki bukit, terjal, kering dan hanya pokok-pokok bambu sepanjang setapak, pengusir terik, runduk, reyot seperti rumah-rumah di kaki bukit itu.
Majene duhai Majene, apa kabarmu sarrebattang?
Membayang sungai-sungai kering diantara bebukit berhimpitan itu, tersadar betapa orang-orang Majene perkasa, sabar, tak mengeluh. Merawat hidup, merawat bukit, merawat sungai, meruwat keluarga.
Adakah epos
hebat
ini dibenakmu duhai kekasih?
Membayangkan tepian Majene berpasir halus, lenggok tubuh berselendang biru, berayun-ayun, melambai-lambai, memanggil bertarian diantara alun ombak, riak putih berbuih.
Perahu cadik pergi dan kembali diantara yang tak pulang.
Bukan. Bukan petaka, tapi pengabdian.
Kelak, anak cucu bercerita, mereka anak-anak laut, orang Majene.
Orang-orang perkasa, sabar, tak mengeluh. Merawat hidup, merawat bukit, merawat sungai, meruwat keluarga.
Membayangkan semua itu, surat merah muda, ribuan kata mesra, ratusan amplop berprangko, tinggal cerita.
Maafkan aku bang! Pintamu.
Lupakan rindumu
Bunuh kangenmu
Sebab, kami orang-orang Majene, akan selalu meruwat keluarga.
(Majene Medio november 1992)
Foto : Suara.com
RWM.BOONG BETHONY