17/02/23

Malam-malam Sunyi

Malam-malam sunyi.

Lampu lampu kehilangan cahaya meski menyala
Jalan, selasar, panggung, sepi.
Tak ada suara tawa, tiada perbantahan mutual, bahkan coretan perupa menghilang hanya sesekali terdengar puisi mengalun terbawa angin
Rumah yang dulu riuh, rame dan kreatif jadi kubur, hanya puing-puing tinggal bata-bata berserakan
Gelas, piring, garpu dan sendok tak lagi beradu, gerobak - gerobak beraroma sate, nasi goreng, cilok dan gorengan mengungsi entah kemana.
Duh kekasih, malang nian engkau
Bercumbu mesin penggilas sejarah pemamah narasi - narasi pengulum naratif panggung
Aduh sungguh buruk perjalananmu kekasih gagah tegak tak nampak kecantikan luntur terburai hanyut terbawa arus revitalisasi
teringat Umar Kayam ketika menulis Kunang-kunang di Manhattan tapi engkau lebih sunyi dari itu, bukan sunyi di keramaian tapi engkau sunyi itu.
Dan sesunyi itu berarti mati
Aku tak mau mengirim krans kembang terlebih keranda sebab berarti aku pun mati
Mau aku menumpuk bata-bata berserakan dan menyusun puing yang terserak lalu sekali lagi meminta agar mesin-mesin penggilas zaman itu meruntuhkan tumpukan dan susunan tersisa
Agar semua tahu, sunyi adalah kehidupan
Di sini engkau kekasih di hati, di otak, di kaki, di tangan. Di situ Taman kami ada selamanya.
(TIM February 2020)
------------------------------
Sahabat ialah sajak 1 (satu)

Rinrin Candraresmi....dimana engkau?
Menari?
Membaca puisi?
Ach bukan salah satunya, karena engkau keduanya.
Maka berhamburan puisi dari lentik jemarimu
Dan terbawa angin hingga pucuk-pucuk dedaunan
Sebab itu, semua jadi sajak di tanganmu, di pikirmu, di gerakmu.
Panggung-panggung adalah rumahmu.

(Rin, kalau kamu baca sajak ini, kirimlah sekeranjang Jengki dari bandung)  
                    Foto : Aku dan Rinrin, Agustus 2016





RWM.BOONG BETHONY