30/04/15

Antara Nihilisme dan Radikalisme

Esei Kecil Tentang Agama dan Iman.
By RWM.



Antara NIHILISME dan RADIKALISME? Mana lebih baik? Keduanya (Nihilisme dan Radikalisme) bukan pilihan.
Sikap orang beragama kerap dipecundangi oleh kedua isme-isme diatas! NIHILISME adalah sikap beragama yang menganggap Agama orang lain tidak penting atau tidak ada Agama lain selain Agamaku. Termasuk didalamnya pandangan bahwa Kebenaran hanya menjadi milik Agamanya saja.
Perilaku, mereka yang terjebak dalam paham ini (NIHILISME) Membuahkan sikap FANATISME RELIGIUS ATAU FUNDAMENTALISME AGAMA. Di Masa sekarang ini, ditengah kehidupan Berbangsa dan Bernegara atau lebih luas dari itu, dalam kehidupan "Berbumi dan Berdunia", pengaanut paham Nihilisme menyebar kemana saja bahkan tinggal bersama siapa saja ; baik dikantor, dikampus, kampung ditengah kehidupan bersama, berkeriapan di Mal-mal dan pusat perbelanjaan sampai dikantong-kantong pemerintahan. Intinya, selalu ada dimana-mana. Karena mereka juga berhak hidup seperti orang lain. Hanya saja, perlikau mereka sering kali mengejutkan orang banyak, meledakkan apa saja, membubarkan harmonisasi, menghacurkan cinta - kasih, membuyarkan bahagia banyak orang, bahkan membunuhi siapa saja yang tidak sepaham dengannya. 
Padahal, Agama harus melindungi nyawa dan kehidupan manusia.
Padahal, Misi Agama menjaga nyawa dan membentengi hidup siapa saja.

Lalu bagaimana paham RADIKALISME AGAMA? Setali, tiga uang. Alias sama saja dalam bentuk perilakunya. Radikalisme, lahir dari pemahaman bahwa AGAMA PERLU DIPERJUANGKAN DAN DIBELA! Paham RADIKALISME AGAMA, muncul dari rahim mereka yang menafsir ayat-ayat Suci kitab Suci 'HANYA' mencomot sepenggal-penggal tanpa melihat Tujuan Agung Keseluruhan Isi Kitab Suci itu. Penganut Paham ini, gemar mengumbar Nama TUHAN YANG MAHA AGUNG demi tujuannya. Bahkan tak segan melibas siapa saja, menumbuk yang menghalangi, menghamtam yang tak sepaham, menghajar yang tak sealiran dengannya. Mereka tinggal dimana saja, dipasar-pasar, pusat keramian, dihunian mana saja, bahkan diantara kita. Mereka pandai bergaul, pintar mengajar, sopan, beretiket bahkan sering kali mengecoh dengan tampilan bak Juru Selamat. 
Tapi kerap mempertontonkan keahlian membumihanguskan bangunan dimana banyak orang menikmati hidup. Memamerkan skill membunuhi anak-anak hingga yang tua renta. Meluluh lantakkan monumen hidup Manusia bahkan Kemanusian itu sendiri. Setelah itu, mereka berteriak inilah kebenaran. Inilah, kehendak TUHAN Yang Agung itu. Siapa berani? Ini kehendak TUHAN! Lantang bermandi darah.
Padahal, Manusia adalah sesamanya. Manusia, dimana Roh TUHAN merupakan geliat hidupnya. TUHAN yang meniupkan ROHNYA kepada siapa saja, termasuk dia dan manusia lainnya. 
Padahal, membunuh seorang manusia, berarti membunuh kemanusiaan. Dan itu berarti membunuh TUHAN yang cinta kehidupan!

NIHILISME DAN RADIKALISME AGAMA, MENUSUK JANTUNG TUHAN YANG DISEMBAHNYA.
Tepian Mahakam, 27 April 2015.

RWM.BOONG BETHONY

22/04/15

Puisi Selamatkan Bumi.



Bumi adalah Ibu, Tuhanku

By. RW Maarthin,
Rob Colection
Pemandanga di Bunga-bunga.


disebut bunda, selalu memberi
disapa pertiwi, hanya mengasih

tak pernah yang menanam bunda
tak ada yang menabur pertiwi
hanya petik
cuma panen

tapi tahukah kau
bunda bukan hanya milik kau
pertiwi tidak saja milik kau
ia juga
milik anakmu
punya cucumu

jangan rampok harta mereka
jangan curi haknya
sebab semua rindu bunda
segala kangen pertiwi

tak genap kah kopyor air susunya kau hisap
tiada cukup tubuh eloknya kau cumbu
tengok bunda merana
lihat pertiwi menangis
airmatanya membusa-busa
keringatnya berbias-bias

tak mengerti kah kau
tak paham kah kau
saat bunda marah
ketika pertiwi murka
ada Dia dibalik semua itu.
Hanya memberi, lain tak.
(selamat hari Bumi dan SELAMATKAN BUMI KITA!!)
Google Colection

RWM.BOONG BETHONY

21/04/15

Esei Pendek

Esei Jejak Kartini, Budaya Bangsa.

oleh : RW Maarthin.



'Hayo Bangun papi, antar Abang. Mau merayakan Ibu kita Kartini di Sekolah' sambil menggoyang tubuhku yang pagi ini agak berat bangun. Sambil menguap aku turun dari tempat tidur dan melirik si Abang sambil tersenyum.
'Abang sudah mandi?' tanyaku pendek berlalu ke Kamar mandi. Diluar rumah, gemericik dedaunan tertimpa titik-titik air yang mengguyur kota tepian Mahakam. Pantas, si Abang butuh diantar.
'Sudah. Tinggal sarapan. cepetan ya pi, nanti terlambat' ingat anak ke-duaku.
'Baik, sana sarapan dulu' sahutku sambil menutup pintu kamar mandi.
Yah, pagi ini hampir semua Sekolah-sekolah Dasar/SD negeri pun swasta di Kota Tepian Mahakam menanggalkan Seragam keseharian menjadi busana multietnik. Teringat,masa-masa Sekolah di Surabaya dulu. Peringatan Hari KARTINI selalu jadi multi even disekolah-sekolah mulai dari SD, SMP, SMA/SMK. Sepanjang hari itu, tidak ada pelajaran, hanya KARTINIA-an (istilah kami disurabaya). Selain Karnaval busana etnik dan busana lainnya ( berpakaian ala jendral, kiyai, pendeta, pedande, pahlawan nasional, dst) ada juga lomba baca Puisi, busana Kartini, Folksongs, puncaknya pada malam kesenian sekaligus pemberian hadiah bagi pemenang KATINI-an. Moment seperti itu, baik siswa pun guru bergembira dalam kebanggaan KARTINI-an. Tapi itu dulu di Surabaya sekitar 30-an tahun lalu. Akhir-akhir ini, peringatan KARTINI-an, mulai menghilang dari Sekolah-sekolah lanjutan, bahkan seperti hari-hari biasa saja. Saya tak mengerti mengapa seperti itu. Padahal, menurut pengalamanku, KARTINI-an, adalah salah satu moment untuk mengingatkan para peserta didik dan pendidik, betapa indahnya Multi Etnik dalam sebuah ikatan emosi saat-saat seperti itu. Tapi jangankan KARTINI-an, lha Peringatan 17-an Agustus atau 17-an sering juga disebut Agustusan, sebagai Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia, terasa sepi meski ada beberapa kegiatan 'hanya' dibeberapa daerah juga. Sekolah-sekolah sampai Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintahan dan swasta, kampung-kampung sampai ke kota Ultrametropolitan pun semakin sunyi dari Peringatan-peringatan Hari Besar Kenegaraan, paling banter Upacara. Bandingkan dengan perayaan hari-hari besar Partai Politik yang riuh rendah dalam Perayaannya! Teringat dikampung saya di Sawunggaling Surabaya beberapa puluh tahun lalu, KARTINI-an dan Agustusan menjadi salah satu hari Perayaan yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Karena peringatan ke-2(dua) hari kebangsaan itu, pasti akan melibatkan seluruh penghuni kampung. Ada lomba busana mulai dari anak-anak sampai pada ibu-ibu. Yang lelaki, biasanya akan tampil dengan pakaian Pahlawan atau yang paling memikat adalah tampilnya bapak-bapak dalam busana perempuan. Aneka lomba akan menyatukan seluruh penghuni kampung, tanpa pandang bulu dari suku apa dan agama apa. Semua menyatu, semua memberi support, semua berpartisipasi baik dalam bentuk sumbangan acara puncak pun keterlibatan langsung. Pokoknya ini hari punya kita sekampung, sekota, sekabupaten, sepropinsi dan senegara. 
Yang menang dalam lomba-lomba di hari kebangsaan itu bergembira, yang kalah bergembira, semua bergembira karena itu dalam bentuk Bakti kepada Bangsa dan Negara, ungkapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memberi KARTINI dan KEMERDEKAAN untuk Warganya. Apakah, dizaman sekarang ini masih ada ikatan emosi seperti itu?
'Papi, Abang sudah selesei sarapan' teriak anakku dari balik pintu.
'Iya nak, Papi berpakaian dulu ya' sahutku pendek.
Sambil memarkir si putih, aku perhatikan teman-teman sekolah si Abang mulai berdatangan, ada seorang jendral, seorang anak berbusana Jendral besar Soedirman, ada Dewi Sartika, jendral Polisi, Dokter, Penerbang, Petani, Nelayan, Perempuan Papua, Cuk Nya Dien, Perempuan Minang, Sakera, Kiyai, Pastor, Perempuan dan Lelaki Daya' dan Naruto (wah..hihihihi). Guru-guru Perempuan pun tak mau ketinggalan dengan berbusana KARTINI. Pemandangan manakjubkan pagi ini. Sama seperti rasa takjubku, ketika berkunjung ke Belanda kekota Amsterdam, di wilayah Zuidoost - Bijlmer, aku dapati Jln. Raden Ajeng Kartini yang ditulis lengkap (bandingkan nama jln yang sama di kota anda hanya tertulis RA. Kartini), demikian juga di kota kecil VENLO bagian selatan Belanda ada tertulis R.A. Kartinistraat dalam bentuk huruf 'O' di kawasan Hagerhof. Saya tidak tahu, mengapa di Negeri Belanda itu ada jln yang diberi nama Raden Ajeng KARTINI, saya tidak berani mereka atau menduga-duga. Yang jelas dengan memakai nama Raden Ajeng KARTINI tanda Pengakuan terhadap Perjuanag KARTINI Putri Jawa Kelahiran Jepara, 21 April 1879. 
Bagaimana kekinian kita? Disini? Akhirnya saya berfikir bahwa, ketika Bangsa dan Rakyat Negeri ini, tidak lagi menghargai para pahlawan-pahlawannya, maka ketika itu pula simpul-simpul Multietnik, Multireligius, Multibahasa, Multitradisi, Multikuliner, terbuka lebar menjadi ikatan primordial, kedaerahan, individualis yang kemudian melahirkan pengakuan pada ketiadaan lainnya, selain kami. 
TAHUKAH ANDA BAHWA PERAYAAN KARTINIAN DAN AGUSTUSAN, MERUPAKAN BUDAYA BANGSA MEREKATKAN PARA PENGHUNINYA?
Selamat KARTINA-AN.

(Tepian Mahakam, 21 April 2015, pkl.08.45 Waktu Limau)




RWM.BOONG BETHONY

17/04/15

Renungan Paskah.
By. RW. Maarthin.
Rob Colection
My Colection


"Romo! Apa arti 'Ya, Dengan Segenap hatiku!?'" tanya seorang anak muda peserta katekisasi ketika malam retreat seminggu menjelang mereka disidi.
Mendapati pertanyaan itu, sejenak saya tercenung! Sudah lama kalimat itu (Ya, Dengan segenap hatiku) tidak pernah saya ucapkan selain mendengar dari warga jemaat yang Nikah, Baptis anak atau mereka yang mengaku sidi dewasa. 
Terakhir, ketika saya ditahbiskan jadi Pelayan Firman dan Sakramen beberapa puluh tahun lalu, kalimat itu saya ucapkan dengan segenap hati di tambah keyakinan untuk melakukan Katakan 'Ya jika itu benar dan tidak salah jika itu salah!
"Romo, wadoh kok Romo melamun?" tanya pemuda itu lagi.
"Ohh...maaf!" sambarku tersadar dari lamunan. Pikiraanku melayang jauh kebelakang. 
Ketika 'eforia' mencitakan jadi pendeta membeludak membuih memenuhi angan, harapan dan citaku untuk melayani Tuhan. 
Lalu persembahkan diri untuk pelayanan itu disertai janji melayani 'Segenap Hati'. Kemudian semua berkelindan dalam cita-cita pelayanan sebagai hamba. Semua waktu untuk pelayanan, jiwa raga hanya untuk itu. Idealisme yang sepertinya takkan pudar dalam diri seorang hamba. 
Seiring waktu, 'kelindan idealisme' mulai pudar. Bukan lagi 'ya dengan segenap hati' atau 'ya jika itu benar, tidak jika itu salah' dari seorang berhati hamba. 
"Romo! apa artinya?" sambung pemuda itu lagi. Buyar lamunanku.
"Hmmm....begini..artinya kita menyatakan sungguh jadi pengikut Yesus dan memberi diri melakukan apa yang diperintahNya" jawabku singkat sambil meredam gejolak imanku yang ikut bertanya dalam diriku.
"Maksudnya Romo?" desak pemuda itu lagi. 
Aku menatapnya sambil menyelami pertanyaannya lewat raut mukanya. Ia serius untuk itu. 
Padahal aku menjawab seadanya tadi. Jawabanku rasional saja, bukan lahir dari mata imanku yang mulai menggugat lewat pertanyaan anak ini.
"Ya, jika kita mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, maka kita berusaha untuk menjadi pengikut yang tulus"
"Tulus Romo?"
"Ya Tulus! Tulus dalam segala hal. Maksudnya, lakukan saja apa yang di katakan Yesus tanpa tendensi! Bukan rasional apalagi 'like and dislike'. Jadi pengikut Yesus tanpa syarat" Ucapku sedikit panjang. 
Sementara itu, penjelasanku pada anak muda itu pada saat yang bersamaan terus-menerus menggugat pelayananku selama ini.
Apakah aku seorang hamba seperti itu? Tulus melayani? Tanpa tendensi? Nirlaba? Tidak terkooptasi 'like and dislike'?.
Oh..Nuraniku jauh lebih jujur! Dari pada sekedar bunyi yang selalu keluar dari bibir hitamku.
Teringat beberapa tahun lalu, disuatu Jemaat yang pernah aku layani. Seorang pegawai menyelewengkan keuangan, lalu karena arogansi 'lebel kependetaanku' seolah jadi jubah 'kemahasucianku'. Aku pecat karyawan itu tanpa bertanya 'mengapa dan untuk apa' uang yang dia pake itu? 
Teringat pula, seorang kawan sekerja di jemaat lain yang karena melalaikan tugas beberapa bulan, tanpa percakapan aku hentikan dia, juga tanpa ampun. Tanpa kompromi! Seolah tiada lagi pengampunan baginya. Apakah itu kejujuran? Atau ketulusan? Oh...aku tergugat oleh nuraniku sendiri!
"Jadi musti tulus dalam segala hal ya Romo?" 
"Iya nanda. Belajarlah untuk itu dan mintalah Roh Kudus menuntunmu"
"terimakasih Romo" sahutnya sambil mencium punggung telapak tanganku. Ia pun berlalu. 
sedangkan aku belum juga selesei dengan gemuruh dalam hatiku.
Gemuruh yang mulai menggugat capaian pelayananku selama ini. Gemuruh yang memaksaku mengaku bahwa aku bukan hamba yang setia. 
Gemuruh yang menggugat perilaku pilih pilih pergaulan terhadap sesama pendeta.
Gemuruh yang menohok kesombonganku lebih dari yang lain.
Gemuruh mempertanyakan sikapku ketika sesamaku diberlakukan tidak adil.
Gemuruh yang menusuk-nusuk jiwaku karena tidak berani berkata Ya Jika itu benar dan tidak jika salah
Gemuruh pengaakuan bahwa aku ternyata rapuh dalam balutan jubah Putih yang Agung itu.
Gemuruh yang dengan lantang berteriak 'engkau ternyata hamba dunia ini!' 
Achhh, aku butuh pembaruan pengakuan sekaligus pemulihan.
Agar kembali menjadi seorang Hamba yang berhati Hamba Tuhan.

(Tepian Mahakam, 12 April 2015)
Rob Colection
My Colection


RWM.BOONG BETHONY

09/04/15

Christmas day

ALLAH yang  menderita ditengah pesta natal umatNYA

REALITAS SEKARANG.
Rob Colection
Rob Colection

Perayaan Natal adalah ritual kekristenan yang heboh dan juga paling boros. Hal itu terlihat dari riuhnya perayaan natal dimana-mana. Saya tidak tahu apakah ada survei khusus untuk : berapa beaya dan berapa kali perayaan itu dilakukan sepanjang bulan desember sampai januari : oleh gereja (baca: jemaat-jemaat)  oleh persekutuan-persekutuan, atas nama ketegorial , gender atau juga atas nama asalmuasal (suku -  daerah),  maupun oleh latar belakang pekerjaan sampai pada yang sekedar pamer symbol-symbol /tanda-tanda sedang natal . Jika ada, kita pasti terkejut mendapati hasilnya. Paling tidak survei itu bisa dilakukan di GKJ atau GKI.
Perayaan natal, banyak juga menyebut “pesta natal”,  moment yang selalu ditunggu tiap orang kristen. Baik untuk kebaktian menyambut natal (24 Desember) pun kebaktian natal tgl. 25 Desember dan tentu saja Perayaan Natal. Untuk moment yang satu ini tidak cukup hanya berupa kebaktian menyambut dan kebaktian natal. Sebagian bahkan merasa aneh, kurang afdol, tidak lengkap, jika tidak ada perayaan atau pesta natal. Aneh! Tapi itu yang ada di  benak tiap orang kristen. Jangan tanya jika gedung gereja, rumah, atau gedung  lembaga-lembaga kristiani selalu dihias semeriah mungkin. Tiap keluarga, disamping menghias rumah, juga menghidangkan aneka kue, minuman dan perment termasuk juga (mungkin) angpao/amplop untuk tamu-amu yang berkunjung. Pokoknya, Natal harus meriah! Meriah indentik dengan perayaan kalau tidak ya pesta.  Jadi tidak heran,  jika Natal saat ini menjadi acara perayaan atau pesta!

REALITAS SEPUTAR KELAHIRAN YESUS.
Padahal, menilik dan menelusuri kisah-kisah dalam Kitab suci (ALKITAB) cerita kelahiran Yesus,  justru memedihkan, menyedihkan, pilu dan jauh dari kesan keriuhan. Atau mungkin karena malam menjelang Yesus lahir para malaekat bernyanyi-nyanyi riang dan para gembala menyambut sukacita berita kelahiran itu; juga para majusi yang tanpa lelah dan tanpa takut bahaya menempuh perjalanan jauh untuk menyambut kelahiran Yesus.
Jika ditelisik lebih dalam :
- Nyanyian para malaekat pun bukan sesuatu perayaan apalagi pesta.
  Mereka bernyanyi riang memuliakan Allah yang turun ke Bumi.
- Para gembala gembira menyambut beritanya dan sertamerta mencari 
  dimana IA dilahirkan.
- Para malaekat bernyanyi riang gembira dalam pujian, kelompok 
  Gembala menyambut dan mencari Sang Bayi Yesus.
- Dan ketika menemukan, Gembala-gembala domba itu sujud dan 
  memberi persembahan sebagai tanda ungkapan syukur.
- Sama seperti orang-orang majus dari Timur; mencari, menemukan, 
  menyembah dan bersyukur sambil memberi persembahan.
Coba perhatikan aktifitas ketiga kelompok itu.

Malaekat bernyanyi gembira menyambut dan juga mengabarkan berita gembira pada seluruh mahkluk dan alam raya.
Para gembala bersukacita menyambut berita itu, lalu mencari, menemukan, menyembah dan bersyukur.
Demikian juga sikap orang-orang Majusi. Mencari, menemukan, menyembah dan bersyukur.
Mungkin aktivitas ketiga kelompok itu dianggap sebagai suatu perayaan atau pesta, sehingga menyambut Natal, dianggap sebagai kegiatan perayaan dan pesta. Apakah salah? Tentu tidak, karena setiap orang berhak melakukannya, apalagi jika perayaan itu dilaksanakan dengan embel-embel  membantu Panti A atau Panti B, bisa juga untuk anak-anak yatim piatu, anak jalanan atau bantuan untuk gereja a di dusun terpencil, dst. Tergantung bagaimana kepanitiaan itu berkreasi dan menterjemahkan Thema yang biasanyas udah ditetapkan jauh-jauh hari bahkan jauh-jauh bulan.
Penghayatan terhadap “mengingat rayakan kelahiran Yesus” beberapa dekade kebelakang banyak mengalami perubahan (kemajuan?) Yaitu dari Gedung Gereja ke Luar gedung, dari Ibadah natal ke Perayaan natal. Dari sukacita natal menjadi  pesta natal. Di awal bulan desember hiasan natal berupa asesoris, lampu-lampu hias dan pohon natal mulai dipasang. Lagu-lagu dan kidung natal juga mulai terdengar dimana-mana. Iklan-iklan dari TV, Radio, Internet dan buletin bahkan majalah, koran harian dan mingguan ikut meramaikan suasana itu. Promosi perayaan natal dengan pengkhotbah a atau pembicara c diselenggarakan di Hotel U atau Restoran B bahkan stadion-stadion juga dipakai untuk acara natalan. Makin seru bukan? 
Lalu bagaimana seharusnya menyambut Kehadiran Tuhan di Tengah kehidupan bersama?

Telaah Bacaan Firman.
Kita perhatikan bahan bacaan Minggu ini : Dari Yesaya 63 : 7 – 9. Penulis Yesaya dengan tegas dan lugas mengungkapkan Pujian atas segala perbuatan Allah terhadap umatnya yang penuh kasih.
Menurut penulis Yesaya, Segala perbuatan Allah itu yang patut disebut-sebut. Disebut dalam bentuk seperti apa? Dalam konteks Kitab Yesaya adalah Penyembahan dan dan Pujian. Penyembahan atau bersembah hanya kepada Allah! Mengapa hanya kepada Allah? Yesaya menjawab “karena semua yang dilakukan Allah dalah untuk kebaikan manusia, bahwa Allah dengan serius menyatakan bahwa Umata Israel (baca Umata Allah) adalah UmatNya. MilikNya! Kepunyaan Allah! Bahkan Allah bertindak langsung, bertemu langsung! Ada bersama dengan manusia. Hadir ditengah Manusia. Dan secara ‘Humanis’ digambarkan pula oleh Yesaya bahwa Allah Mengangkat dan Menggendong Umatnya” Yesaya 63 : 7 – 9.
Bukankah penggambaran Yesaya itu luar biasa? Tentu Yesaya menggambarkan tindakan Allah seperti itu karena Yesaya mengalami langsung bagaimana Allah siang-malam, tiap waktu ditopang oleh kekuatan yang Dahsyat itu. Karena itu Yesaya berkata : “Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan Kasih Setia TUHAN......dan sesuai dengan kasih setiaNya yang besar” (Yesaya 63 : 10). Bagi Yesaya menyebut perbuatan Allah adalah persembahan, puja dan puji untuk Allah! Sesuai dengan kasih setia Allah yang besar. Jadi tidak dibuat-buat atau dikarang-karang pujian itu! Perhatikan kata Sesuai. Yesaya mengulang bunyi itu tiga(3) kali. Sesuai berarti : Seperti, Sama persis! Jadi tidak dibuat-buat atau dikarang-karang! Mari Puji Allah sesuai perbuatan Kasih SayangNYA yang besar!
Demikian pula dari Mazmur 148. Senada dengan kesaksian penulis Mazmur yang mengajak seluruh alam raya untuk memuji Allah. Penulis Mazmur bahkan sangat ‘EKSTRIM’ dalam ajakannya. Pemazmur bukan hanya mengajak manusia, tetapi malaekat pun diajak untuk memuji Allah! Tapi itu belum cukup bagi pemazmur, ia bahkan mengajak Matahari, bulan, bintang-bintang dan seluruh ‘tatasurya’ dan segala isinya (Mazmur 148 : 1-5). Jika saya terjemahkan dalam bahasa kita zaman sekarang ini, ayat 6 – 14 kira-kira bunyinya seperti ini : “Pujilah Tuhan! Hai segala mahkluk yang keliatan atau yang tidak nampak! Hai mahkluk Raksasa atau yang sekecil kuman/bakteri/virus! Pujilah Tuhan. Hai seluruh unsur cair, padat dan gas!”. Mengapa Pemazmur begitu yakin terhadap ajakannya yang universal itu? Karena bagi Pemazmur semua itu dibuat, diciptakan, dikreasi oleh satu tangan. Yaitu TUHAN. Semua yang ada di dunia bahkan meliputi seluruh Tatasurya dikreasi oleh satu (1) kekuatan dahsyat, yaitu TUHAN (ayat 5-6).
Dari Ibarani 2 : 10 – 18, kita diperhadapkan pada suatu pengakuan iman penulis Ibrani tentang : Allah yang menjadi sama dengan manusia untuk kemuliaan manusia.
Penulis Ibrani ‘mengingatkan’ Kristen/umat mula-mula dizaman itu bahwa ALLAH atau TUHAN sudah berada ditengah manusia dan selalu bersama dengan manusia menjadi saudara bagi manusia. Pada zaman penulis Ibrani Kekristenan/umat mula-mula ‘baru’ belajar bagaimana Beriman dan bagaimana memuji ALLAH atau TUHAN (bandingkan dengan umat kristiani sekarang). Bagi penulis Ibrani, Tuhan tidak pernah kemana meskipun ada dimana-mana. Artinya IA berada dalam segala lapisan masyarakat. Ia tidak bisa dibatasi oleh kuasa apapun karena itu IA rela menderita untuk masuk dalam seluruh lapisan kehidupan manusia. Itulah gambaran kasih yang tiada tara. Kasih yang oleh Yesaya digambarkan bahwa IA sendiri yang mendatangi umatNYA!
Tetapi dalam Injil Matius 2 : 13 – 23 Allah yang di puja-puji oleh Yesaya dan Pemazmur, dan yang diakui oleh Penulis Ibrani IA menjadi sama dengan manusia, ternyata menempuh jalan Penderiaan untuk menyatatakan KasihNya Pada Manusia. Nah ALLAH atau TUHAN seperti digambarkan oleh Yesaya dan Pemazmur itulah yang disaksikan oleh penulis Injil Matius. ALLAH atau TUHAN yang Dahsyat. ALLAH atau TUHAN Pencipta seperti dinyatakan oleh pemazmur diatas (Maz. 48 : 5-6) itulah yang disaksikan sebagai ‘manusia biasa yang terus menerus mengungsi karena kelahiran dan pertumbuhanNya selalu mendapat ancaman manusia lain” Matius 2 : 13 – 23. Allah yang menjadi sama dengan manusia, yang digambarkan oleh Yesaya 63 : 9a : Bukan seorang duta atau utusan, melainkan IA sendirilah yang menyelamatkan mereka”.
Tapi kehadiranNya tidak disambut! Bahkan dianggap lawan yang berbahaya, sebab itu IA harus di bunuh (Matius 2 : 13 dan 16). Bagaimana ALLAH atau TUHAN yang luar biasa kekuasaanNYA itu harus menjadi seorang pengungsi dan menjalani masa kanak-kanak yang tidak normal? Mengapa semua itu harus dijalani?
Yesaya dan Mazmur dalam bacaan kita diatas, menggambarkan bahwa semua itu harus ditempuh oleh ALLAH atau TUHAN hanya karena satu alasan. Yaitu, KASIH. Demikian juga Penulis Ibrani memberi alasan yang sama. 
Bahwa kasih itu adalah pengorban, maka belajarlah dari cara ALLAH atau TUHAN yang mengorbankan seluruh apa yang dimilikiNYA, termasuk Kekuasaan, Kemuliaan dan HakekatNya sebagai ALLAH atau TUHAN untuk hadir ditengah manusia.
Pertanyaan besar bagi kita di zaman sekarang ini adalah : BAGAIMANA MEMUJI ALLAH atau TUHAN DALAM CARA YANG BENAR, YANG BERKENAN KEPADA ALLAH?
Seperti dalam awal renungan ini, sudah saatnya kita kembali :
1.   Apakah perayaan Natal yang selama ini kita lakukan sungguh-sungguh memuji ALLAH atau TUHAN seperti yang diserukan oleh Yesaya dan Pemazmur?
2.   Apakah hidup kita sehari-hari sungguh-sungguh merupakan pujian kepada ALLAH atau TUHAN, seperti yang digambarkan oleh Pemazmur?
3.   Apakah kita merasa bahwa ALLAH atau TUHAN selalu bersama dengan kita sehari-hari?
Hidup ini sesungguhnya adalah pujian dan syukur kita kepada ALLAH atau TUHAN karena KASIH SETIANYA YANG BESAR.

SELAMAT MENYONGSONG TAHUN BARU 2014, SELAMAT MEMUJI TUHAN. (RWM)
Rob Colection
Rob Colection


RWM.BOONG BETHONY

Gereja Yang berdialog

GEREJA YANG BERDIALOG atau DIALOG GEREJA?
Sebuah Refleksi.

Kita tahu pengertian Gereja. Yang pertama adalah orangnya (tiap umat kristen) dan yang ke-2 adalah Gedung(atau Lembaga). Gereja dalam tulisan ini ialah orang atau tiap individu  Kristiani. Dan pengertian berdialog atau Dialog ialah : 2 orang atau lebih, bercakap-cakap atau sedang berbicara membahas sesuatu. Jadi Dialog itu terjadi karena 2 orang atau lebih sedang berbicara. Tujuan penulisan sederhana ini ialah mencoba meneropong ‘Bagaimana Gereja yang berdialog”. Berdialog dengan siapa? Mengapa musti ada Dialog? Lalu kemana arah dan muara Dialog itu?
Gereja  atau umat Kristiani lahir kedunia ini oleh satu tokoh kontroversi. Namanya Yesus Kristus. Dia adalah penjelmaan Allah Sang Pencipta Alam Raya ini. Tokoh ini menjadi kontroversial karena pengajaran dan tindakan yang menjungkirbalik (baca : memutarbalik) tradisi beragama dan beriman orang-orang zaman itu (abad Pertama Masehi) bahkan sampai saat tulisan ini saya ketik, masih juga kontroversial, bukan hanya dikalangan Gerejawi (baca=lembaga Kekristenan) atau Umat Kristiani tapi juga diluar Gereja. Hidupnya relatif singkat hanya 33 tahun tapi cara kematian yang ditempuh,  diluarnalar atau tidak masuk akal atau lebih tepatnya Kontroversi.  Dalam situasi itu (kontroversial) Gereja mulai belajar hidup dan berjumpa dengan yang lain. Suku yang beda, bahasa tidak sama, budaya dan tradisi asing bahkan bersentuhan dengan agama lain.
Sepanjang hidupnya, terutama 3 tahun menjelang kematianNya, Yesus banyak berdialog atau bercakap-cakap pada tiap orang yang ditemui. Dialog yang disertai praktek dalam berbagai aktifitas memberi. Dalam perjumpaan itu, Yesus tidak bertanya : darimana? Siapa kamu? Terlebih, agama apa?  Yang diperbuat berdialog dan berkarya. Bercakap-cakap. Berbicara. Mendengar dan bertindak. Topik favorit yang selalu di dipercakapkan Yesus ialah : Pengampunan karena Kasih Allah yang menyelamatkan. Yaitu, Kasih Allah pada Dunia dan segala isinya. Kasih yang tanpa batas, tak dapat diukur, melebihi hitungan zaman. Kasih yang datang dari Sorga. Itulah tujuan utama kahadiranNya dalam Dunia. Inti dari penderitaan kematiaan diatas kayu salib. Kasih yang diwariskan. Diwariskan? Ya diwariskan pada tiap umat Kristiani. Menjadi Hak saya dan anda tak perduli dari Denominasi atau Gereja manapun. Sepanjang dia Mengaku Yesus Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat, dia mendapat Hak itu. Persoalannya ialah, apakah tiap umat kristen menyadari, mengerti, Hak itu? Apakah ‘warisan’ itu mengaktual dalam hidupnya? Menjadikan Hak itu sebagai budaya dan peradapan pribadi juga komunitas?
Kasih adalah dasar ruang dan gerak umat Kristiani sepanjang zaman. Mustinya itu titik.
Tapi sejarah banyak bertutur kegagalan umat Kristiani membangun dan menjadikan kasih sebagai budayanya. Sejarah bahkan menoreh luka dan borok dalam tubuh kita. Luka dan borok yang terus bernanah, dalam hidup banyak Umat Kristen. Harapan saya semoga tidak bertumbuh jadi  kangker. Kangker adalah penyakit yang saat ini belum ditemukan bagaimana cara pengobatannya. Anda bisa bayangkan, jika luka dan borok-borok sejarah umat kristiani itu terus berkembang dalam tubuh ini bagaimana akan teratasi?
Pertaanyaan besar adalah : Bagaimana Menyembuhkan Luka dan Borok itu?

Pertama : Sejarah adalah masa lampau.
Disadari bahwa sampai sekarang tiap-tiap Denominasi ‘masih’ menyimpan dendam sejarah. Cenderung memburuk-burukan, saling curiga satu dengan yang lain sampai pada  ‘klaim keselamatan yang amat eksklusif-inklusif’! Inilah penampakan kehadiran gereja ditengah dunia ini.
Dalam penampakan warna seperti itu, bagaimana Gereja mampu menunjukan Kasih Allah pada dunia?
Sejarah yang mustinya jadi refleksi Kasih terhadap budaya dan peradapan gereja, terabaikan! Mengapa “refleksi Kasih?” Ya, karena hanya kasih yang memberi kekuatan untuk mengampuni. Bukankah Pengampunan selalu memberi hidup yang baru? Memberi kekuatan baru? Memerdekan sekaligus membebaskan dari semua rasa malu hari kemaren? Mensejajar sesama manusia (baca Umat) tanpa     ada sekat-sekat?
Anehnya Gereja sering melupakan itu dan lebih riuh ber-‘refleksi’ lewat akal dan pemikiran-pemikiran manusiawi.
Padahal, pemikiran-pemikiran dan hasil-hasilnya bertujuan untuk memperkaya dan memperkuat Gereja dalam pengaktualan warisan Yesus Kristus padanya. Saya tidak mengerti, mengapa  sejarah terus menerus jadi ‘Kambing Hitam’ untuk menghindari penyembuhan Luka dan borok atas dendam sejarah itu? Lihat dan amati dengan seksama, betapa lembaga-lembaga gerejawi tidak berani jujur untuk mengakui kelemahan masa lalu. Sekaligus berani tulus mengakui “bahwa engkau dan aku adalah satu”. Satu Keselamatan! Satu Tubuh! Satu Iman! Yaitu, YESUS KRISTUS dalam Tri Tunggal.
Padahal,  pengalaman masa lalu memberi pengajaran untuk tidak melakukan kesalahan yang sama atau setidak-tidaknya memperbaiki apa yang keliru. Atau mencari jalan keluar untuk sesuatu yang masih ‘gelap’ yang belum tercerahkan atau yang masih samar-samar.
Padahal,  catatan sejarah menjadi rujukan untuk memasuki hari esok atas pengalaman  lampau. Bukankah Kita belajar Kasih dari sejarah masa-masa itu? Baik dari catatan penulis-penulis Alkitab dan jurnal-jurnal teolog serta bapa-bapa Gereja?
Apakah situasi seperti itu akan terus mewarnai perjalanan gereja kedepan? Dalam pengharapan Terhadap Kuasa TUHAN YESUS KRISTUS hentikan sampai disini dan kita bersama memasuki dunia baru.

Ke-dua : Belajar mengakui dan menerima tradisi masing-masing denominasi.
Dialog dilakukan untuk dapat mengerti dan memberi pemahaman pada orang lain. Kelemahan Gereja selama ini ada disitu. Kita kurang intens berdialog bahkan ada yang menghindari proses-proses itu. Saya tidak tahu penyebabnya.
Padahal, dialog penting. Penting untuk saling memahami. Bagaimana mengetahui dan mengerti yang lain jika menutup diri? Bagaimana tahu  jika tidak belajar? Bagaimana akan dikenal bila tidak membiarkan diri dikenal? Bagaimana menghargai tradisi liturgi yang lain jika sudah beranggapan tradisinya yang benar? Bukankah tradisi Liturgi masing-masing adalah wahana pembangun iman yang tiap kali ada konvesi Gereja selalu berubah dan ada pembaharuan? Karena Liturgi adalah tradisi, maka sesungguhnya dia bisa berubah tiap saat. Karena itu mustinya Liturgi atau tradisi masing-masing bukan menjadi penghalang untuk terus menerus melakukan dialog interdenominasi gereja.
Padahal, dialog dapat dilakukan dalam berbagai kreasi-kreasi. Saling berkunjung. Ibadah Oikumene dengan liturgi khusus yang dibuat bersama. Doa bersama, belajar isi alkitab bersama, pentas musik gerejawi baik Vokal Group dan Paduan Suara sampai pada dialog karya untuk sesama manusia. Termasuk berbagai kreasi-kreasi lain, sesuai usia umat dan pendidikannya.
Lalu dari mana memulai dialog? Mulailah dari Para Imam. Yaitu Pastor, Bruther, Suster, Pendeta, evanjelis, para Majelis gereja sebagai pemimpin dan pembimbing umat. Dialog dimulai dari mereka, Ibarat kembang tanaman. Ketika ia mulai kuncup dan berbunga, maka seluruh tumbuhan kembang itu menjadi indah. Jika para imam memperlihatkan ekspresi-ekspresi dialog kepada umatnya maka umat pun akan ikut dari belakang. Karena itu memberi contoh, sebagai teladan jauh lebih utama, dari pada teori-teori dialogis yang selama ini diseminarkan atau dicetak dalam buku-buku tebal. Termasuk melalui khotbah mingguan para Imam yang sering menyerukan bagaimana Kasih Allah terhadap sesama, berkumandang dari gedung-gedung gereja termasuk yang disiarkan media massa Elektonik sampai internet. Kenyataannya, sering kali para tokoh-tokoh gereja yang notabene para imam, enggan melakukan hal itu, meski tak dipungkiri ada gejala cukup positif mengarah kesana.
Nach, Gereja dengan berbagai denominasi itu, sesungguhnya adalah satu. Ketika Tuhan Yesus Berdoa di Taman Getsemani sesuai kesaksian Injil Yohanes 17, doaNya bukan hanya untuk murid-murid. Tapi kepada semua orang percaya karena pemberitaan para murid itu. Siapa ‘semua orang percaya itu’? Tentu saja semua Gereja sepanjang zaman, sampai penggenapan kedatangan Yesus Kristus ke-dua kalinya. Inilah yang selalu musti di perjuangkan, yang harus di upayakan dalam dialog interdenominasi. Bahwa engkau dan aku adalah satu. Yaitu, Tubuh Yesus Kristus.

Pertanyaan berikut adalah, bagaimana Gereja berdialog dengan sesama? Dalam awal tulisan ini saya singgung bahwa sejak Gereja lahir kedunia ini, sudah berhadapan dan berjumpa dengan berbagai-bagai manusia dan beragam budaya. Gereja hidup dalam konteks keragaman, hidup ditengah multikultural, ditengah multireligius. Bagaimana dialog gereja pada kondisi seperti itu? Apa yang musti dilakukan? Dan bagaimana gereja tetap hidup berdampingan dengan dengan yang lain?
Kesadaran gereja terhadap Hak Waris(yaitu :kasih) amat penting. Kasih inilah yang membedakan gereja dengan yang lain. Sebagaimana pengorbanan Allah dengan mengutus Anak Tunggalnya (Yohanes 3 : 16) sampai pada pengorbananNya diatas salib. Maka ciri utama Kasih, adalah berkorban. Berkorban? Ya, Gereja musti berani berkorban untuk memulai dialog dengan yang lain. Gereja tidak boleh pasif tetapi aktif! Bukankah Kasih itu aktif? Bagaimana Gereja ada di Dunia ini jika Allah tidak aktif dan progresif? Terutama pekerjaanNya melalui Roh Kudus. Dari kota kecil Betlehem, menuju Yerusalem, kemudian Efesus, Korintus, Filipi, lalu masuk kota Roma dan menyebar keseluruh polosok dunia, dimana ada Manusia, disana gereja pun ada. Bukankah itu karena Allah yang aktif bahkan progresif dalam kasihNYa? Bagaimana konteks kita di Indonesia? Kita tahu, dari sejak dulu kala Indonesia dikenal sebagai Bangsa yang Religius, Ramah tamah, Gotong Royong dengan Budaya dan tradisi yang adiluhung dengan kekayaan alam yang menggiurkan banyak bangsa-bangsa lain sehingga datang menduduki Indonesia. Tapi akhir-akhir ini, memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Kerusuhan antar kelompok marak dimana-mana. Demonstrasi yang mustinya jadi sarana demokrasi berubah anarkies. Masyarakat desa yang seharusnya memperlihatkan keluguan dan kesederhanaan justru menampakan kekerasan antar desa. Belum lagi tawuran antar pelajar, antar mahasiswa yang diperparah oleh miskinnya mental spiritual tokoh-tokoh publik baik oleh pejabat pemerintahan, Artis sampai tokoh agama. Bagaimana Gereja hidup dengan sitiuasi seperti ini?
Menjelang Yesus Kristus pulang ke Surga, Ia mengingatkan para murid untuk terus menerus menebar, menyebar dan menyemai kasih tiap waktu. Dimana, kemana, kapan saja Kasih musti di dialogkan kepada siapa saja. Segala mahkluk! Manusia dan lingkungan.
Persoalan bagi gereja ialah, siapkah untuk itu? Sebenarnya menyatakan Kasih pada dunia, tidak sulit, juga tidak menyusahkan. Kasih hanya butuh pengorbanan untuk melakukan kehendak Tuhan Yesus dengan tulus. Romo Fransiscus Asisi katakan dalam puisi yang ditulisnya beberapa abad lalu seperti ini : Dimana ada pertikaian, kesana aku bawa kasih. Dimana ada kebohongan, kesana aku bawa ketulusan. Kasih seperti ini yang memberi kekuatan dan spirit luar biasa bagi Mother Teresia untuk mencintai kaum papa dan miskin di Calcuta India sepanjang hidupnya. Kasih yang sama juga jadi pendorong Romo Mangun Wijaya, mencintai masyarakat kali Code  sampai akhir hayat. Indonesia butuh kasih seperti ini dari tiap kristiani. Bisa dibayangkan jika seluruh kristiani di Indonesia yang diperkirakan berjumlah 60-an juta itu menjadikan kasih sebagai budaya hidupnya sehari-hari. Indonesia akan mengalami perubahan luar biasa dalam hubungan antar sesama dan antar umat beragama. Tapi, sekali lagi Kasih itu berkorban. Berkorban untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berkorban untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Berkorban untuk menjadi jujur ditengah ketidak jujuran. Berkorban untuk menolong mereka yang papa. Berkorban untuk hidup sederhana ditengah kemiskinan. Berkorban mengampuni sepahit apapun persoalan yang kita alamai.

Mungkin Gereja musti berdialog disana. Dialog dalam pengorbanan untuk kebaikan dan kehidupan orang lain. Seperti Yesus Kristus, berkorban untuk kehidupan anda dan saya.
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi inspirasi untuk terus menerus berdialog dalam kasih.
Jogjakarta, 31 Januari 2013
.



RWM.BOONG BETHONY

Sajak Lelaki dari Nasareth.


Sajak lelaki nasaret
by : RW Maarthin.
Lelaki itu bicara lemah lembut dia bilang
Bebaskan aku dari perayaanmu, karena itu untukmu
Jauhkan aku dari pesta-pestamu karena itu bukan aku
Pestaku bukan kegembiraan
Perayaanku bukan pesta
Lelaki itu bertutur dengan hati, dia katakan
Jangan kurung aku dibalik tebal dan jeruji gerejamu
Tanggalkan pintu dan jendela persegi itu
Sebab aku bukan bangunanmu 
Karena jendela dan pintu itu bukan duniaku
Lelaki itu berucap dengan rasa, dia bertanya
Mengapa tak kau biarkan aku mencinta seperti cintaku
Kenapa kau atur aku mainanmu yang sekata-kata
Karena cintaku abadi
Sebab kataku adalah alam ini
Lelaki itu akhirnya berbisik, dia bilang
siapa tak berdosa dia yang berhak menghukum 
siapa tak bersalah dia jadi hakim
Lelaki itu terbata-bata bilang
Oh lebih banyak kambing dari pada domba.
(tepian mahakam, akhir maret 2015)


Sajak ke-2 Lelaki Nasareth
by : RWM.

Kau puja aku untuk puas dahagamu
Kau puji aku untuk namamu
Tak puas
Rotiku kau santap loba
Anggurku kau reguk habis
dan
Kau pasung
seperti kambing, domba, lembu sebelihan
lalu kau burai diatas batu sesembah
pada altar pendupaan
bernyanyi riang menari berjoget nikmati diri

Kau pujaku diawan-awan dilangit-langit
Kau pujiku pelangi jingga
tiada lega
tubuhku kau rajah rajam
hatiku kau iris sembilau-bilau
dan
kau ikat
kau pasak
lalu terkekeh memburai-burai
berbuku-buku kau tulis
merias tubuhku
seolah-olah itu doamu

Tapi kau tukar 
dan malam jelaga pilihanmu
dimana penyamun berpesta nikmati domba guling muda berhias sebotol anggur merah.
(tepian mahakam, awal april 2015)



Sajak keluh lelaki dari Nasareth diujung pesta paskah
By. RWM

Lelah menanyamu, mengapa!
lalu kau senyum serambi elus kepalaku
sia-sia bertanya hanya cari kepuasan, bisikmu
tanya dirimu, sambungnya lagi.
lihat disana yang berjalan itu
yang terkapar menahan lapar
yang lalai 
yang sarat benci
yang lelah, capek dan galau
yang malang
yang sial
yang terbuang
yang tersingkir
yang hancur hati
yang sendirian, kesepian
seperti aku sendirian disini.
melihat pesta-pestamu
mendapati perayaan-perayaanmu
menemukan kegembiraanmu
yang tak sanggup aku hadiri
bukan benci atau tak suka
tapi karena tak paham untuk siapa
dan mengapa

lelah menanyamu, mengapa.
akhirnya dalam diam ku dapat jawabMu.

(tepian mahakam awal april 2015)


Sembah.

Sebab namamu kudus
kudus.
maka bernyanyilah aku
Kudus, kudus
Tuhan.



RWM.BOONG BETHONY

GALAU Antara SBY dan JOKOWI

Bunyi "galau" akhir-akhir ini menjadi kata dalam bahasa Indonesia yang amat populer dan paling sering diucapkan. Menjadi akrab ditelinga siapa saja dan tentu saja 'jadi' familiar dimulut siapapun. Hampir tiap menit kiota mendengar bunyi itu diucapkan; baik secara langsung maupun dalam bentuk tulisan-tulisan via Media masa dan Media elektronik.
Pertanyaanya ialah apa makna bunyi 'galau'? Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan : gamang; bimbang; tak pasti; dalam pertimbangan-sedang menimbang-nimbang. Tapi sering kali bunyi 'galau' diucapkan dalam konteks 'gaul' masa kini yang jauh dari makna atau pengertian bunyi 'galau' itu sendiri.
sebagai contoh :
Kalimat berikut : Presiden SBY sedang Galau. Bunyi 'galau' dalam kalimat itu, dimaknai bahwa Presiden SBY sedang dalam masaalah.

Pada masa pemerintahan Pra JOKOWI, SBY kerap mencuatkan Galaunya dengan Curhat ke Banyak orang alias curhat secara terbuka kepada Masyarakat. Bagaimana cara JOKOWI mengatasi Galaunya?
Secara budaya Baik SBY dan JOKOWI dilatar belakangi oleh JAWA. Dalam konteks itu, ke-duanya pasti memendam berbagai Galau yang mereka rasakan. Tetapi mengapa SBY lebih terbuka mengatasi Galaunya? banyak yang bilang karena SBY termasuk tipe Jawa yang "cengeng" dalam arti Positif. Sementara JOKOWI termasuk tipe Jawa 'Mendem Jero' meskipun sering kali Galaunya mencuat kepermukaan dalam bentuk Lontaran-lontaran yang konon katanya demi kepentingan rakyat....tapo okeylah...kita tunggu dulu bagaimana kelanjutan cerita ini.


RWM.BOONG BETHONY
Ach..energi itu akan berputar-putar lagi.
(catatan pinggir tenatng BOLA dan PILPRES)

2 bulan lalu, energi rakyat Indonesia liar berputar-putar seperti angin puyuh terhisap oleh gaung Pemilihan legislatif yang marak dengan Amplop itu. Terhisap oleh Amplop-amplop liar yang melayang kemana saja arahnya, hinggap pada mereka yang terkurung oleh kisaran 30.000 rupiah hingga 100.000 rupiah. Murah meriah tanpa pertimbangan akal sehat apalagi oleh nurani terlebih spiritdemokrasi. Beberapa pekan sesudah itu, energi-energi liar itu mengerucut pada 2 kubu calon presiden dan wakil presiden. Persoalan masih sama, meskipun penampakannya berbeda. Yaitu sama-sama menggugat spiritdemokrasi dan menelanjanginya bulat-bulat sampai nadir. Kali ini bukan permainan amplop vulgar, terang benderang (yang disatu pihak oleh bawaslu tak dipungkiri tapi sulit terbukti dengan alasan tak ada yang mau jadi saksi dan pada pihak lain gelembung suara dimana-mana terjadi. Sejauh ini hanya ada sanksi adiministratif versus kesalahan adiministratif penyelenggaraan Pemilu kemudian masuk dalam kotak lebel pelanggaran ringan? Benarkah seperti itu?). Energi itu liar tuding menuding masing-masing kubu capres-cawapres. Mengemuka keburukan, borok dan lara masing-masing. Saling lempar, saling teriak siapa lebih buruk dan lebih baik. Rakyat tersapu kesitu, bergulingan, berputar, saling menindih, menyikut bahkan merayu-rayu. meminta-minta, adu pekik, semoga kelak tidak jotos-jotosan. Menurut kabar angin yang entah diletupkan oleh siapa, bisa saja kentut seseorang, karena kabar itu mustinya baik. Lha namanya kabar, kan selalu baik. Tapi ini kabar busuk dan berbau. Amplop-amplop liar itu beterbangan dalam jumlah milyard dari kantong kubu yang ada. Kepada siapa saja yang mendekat apalagi membawa gerembolannya. Semua energi terhisap kesana pada kubu-kubu itu. Energi yang mustinya baik dan positif untuk demoraktisasi rakyat indonesia, pembelajaran bagi umat, pembudayaan untuk msyarakat, peradapan bagi bangsa; terlihat serupa teaterikal temporal, bagai pertunjukan ketoprak, serupa karnaval tahunan, tampak sebagai tawuran antar pelajar, tanggung dan akil balik.
Tapi Energi, semua kesitu. Berputar-putar disitu, seperti mati hidup disitu. Merapat, berbaris, mengibarkan panji-panji, mengelabui dan menelikung siapa saja, tak jelas siapa Baghawan dan siapa garong. Siapa guru siapa murid. Siapa Resi siapa rampok. Siapa pujangga siapa pedagang.
Tak jelas, mana pasar mana kampung, mana kantor mana terminal, mana rumah ibadah mana penggadaian.
Tak beda, laki perempuan, anak orang tua, pemangku rakyat, budayawan asongan, baik bobrok, jelaga mutiara. Jadi satu, berpelukan, bergandengan, berlarian,berebut dan berhantam.
Entah bilamana Energi itu henti lalu hinggap disawah-sawah, diladang, dikebun, dipantai, dipabrik, dikantor, disekolah, dikampus, dirumah, dijalanan.
Dan kini, Energi itu terpesona oleh Pementasan akbar di Brasilia. Saya berharap Energi itu berkumpul kesana, agar tak ada lagi energi liar, negatif mengelilingi kubu capres dan cawapres.

Semoga.
(RWM - Jatimulyo Kricak, Yogyakarta, 14 Juni 2014)


RWM.BOONG BETHONY