Nurani.
Ach..nurani selalu bicara gamblang. Seperti pagi menjelang tengah hari ini. Nasi goreng kegemaranku mengepul menyebar aroma sedap. Pada sesaat itu, nurani berbisik lembut nyaris tak terdengar.
Romo, sedap nian sepiring nasi goreng itu!
Tak kah engkau ingat anakmu Romo? Dia brangkat sekolah bermodal enersi segelas teh saja?
Tak kah kau ingat Romo? Si Bontotmu yang hanya memamah nasi putih dan sepiring goreng mie?
Bukankah itu cukup untuk sipelajar? Toh kantongnya tersisip sepuluhribuan? Sahutku.
Tak cukup! Tandas nurani tegas.
Aku diam tunggu bisik nurani yang selalu lembut.
Romo tidak memeluknya saat pamit sekolah. Hanya tanganmu tersodor.
Aku tercenung mendengar bisik nurani.
Mustinya Romo peluk mesra dia. Karena itu enersi murni! Bukan nasi bukan lauk apalagi lembaran uangmu.
Aku terpana. Bisikan itu amat menohokku.
Bontotmu saat bangun juga terbiar lalu dihadapanmu. Kau perintah dia langsung mandi. Tak kaiu bagi enersi murni padanya. Tegur nurani.
Achh nasi gorengku jadi dingin, gumanku sesaat.
Segera kuhampiri kasir dan secepat mungkin menuju rumah menemui bontotku.
Rasanya sudah bertahun aku tak memeluknya. Tak sabar meneti usai jam sekolah pelajarku dan memeluknya depan gerbang sekolah.
Nur, nurani makasih. Bisikku lembut.
Nurani mengelus seluruh tubuh bahkan jiwaku.
Tepian Mahakam, medio january 2015.
--------------------------------------------
PARODI
oleh Roberth William Maarthin
Podium sederhana di tengah lapangan bola desa kami, pagi itu riuh rendah sorak sorai seisi kampung. Kampanye para kandidat kepala desa menyedot perhatian seisi penghuni kampung, mulai dari nenek, kakek, bapak, ibu dan anak-anak. Bahkan ternak-ternak terlihat menyelinap diantara kerumunan itu. Utusan dari kampung-kampung sebelah juga hadir ingin menyaksikan para kandidat berpidato sambil berharap kampung tetangga mereka ini dapat memilih seorang kepada desa yang sanggup meredam kekacauan yang membuat mereka selama ini tak nyaman bertetangga.
Saudara-saudara sekampung dan setanah kampung! Teriak kandidat yang sangat pavorit diantara pemilih dan yang selama ini selalu unggul dari kandidat lain dalam survei yang di lakukan oleh beberapa lembaga swadaya desa.
Mari kita bangun kampung ini dengan kekuatan sendiri! Teriaknya lantang dari podium.
Berdiri di atas kaki sendiri dan bekerja dengan tangan sendiri!.
Kita tunjukkan pada kampung lain bahwa kita lebih kuat dari mereka! Kita lebih hebat dari mereka! Kita lebih unggul dari mereka!
Hidup sengkuni! Hidup sengkuni!!!! teriak orang-orang di depannya.
Kita tunjukan kepada dunia saudara-saudara, bahwa penduduk kampung ini adalah orang-orang yang pandai! Pintar! Cerdas!
Saya berjanji akan membangun sekolah-sekolah unggulan. Melebihi keunggulan para koruptor. Melebihi kecerdasan para penipu! Melebihi kepintaran para pendusta.
Kita buat sungai-sungai kering jadi hijau royo-royo. Kita ciptakan bukit-bukit gundul jadi taman surgawi penuh keteduhan.
Hidup sengkuniiiiiiiiiiiii!!! Hidup sengkuniiiiiiiiiiii.....sambut banyak orang sambil mengajungkan jempol!
Saya tidak mau lagi, ada anak-anak mati kelaparan di jalan-jalan atau kaum tani yang bersawah diatas sawahnya yang bukan miliknya lagi. Semua petani harus turun kesawah.
Pabrik-pabrik pupuk harus menjual pupuk langsung pada para petani.
Para peternak musti punya lahan-lahan untuk pakan hijau-hijauan. Mereka akan saya jaga! Saya lindungi! karena itu pilih saya untuk jadi kepala desa di kampung ini.
Hidup sengkuni!!!! Hidup sengkuni!!! Teriak massa sambil beringsut mendekati podium merapatkan barisan. Pengawal-pengawal kandidat tak mau ketinggalan, menghalau massa yang mulai histeris!
Hidup sengkuni!!!! Hidup sengkuniiiii!!!!
Tenang saudara-saudara! Dengarkan dulu pidato saya. Sengkuni merogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa gepok uang lalu dibagi-bagikan di tengah masa.
Saya orang kaya raya saudara-saudara! Saya tidak mungkin korupsi, saya tidak mungkin jadi maling. Harta saya tidak akan habis selama 20 turunan. Karena itu pilih saya! Saya akan pecat dan penjarakan aparat desa yang korupsi, aparat sewenang-wenang! Saya adili mereka tanpa ampun!
Pilih sengkuni!!! Pilih sengkuni! Tidak usah pemilihan, kita pilih setujui sengkuni jadi kepala desa hari ini juga! Teriak seseorang dari kerumunan.
Setujuuuuuuuuuuuuuu....sengkuni kepala desa kita yang baru! teriak masa histeris.
Bopong dia keliling desa, teriak seseorang lagi!
Setujuuuuuuu....masa berebutan ingin membopong sengkuni di pundaknya. Semua mau, semua ingin menanam jasa.
Berebut, saling merampas, saling menyikut, mendorong. sebagian memegang kaki, lengan, baju, celana.
Tolong-tolong teriak sengkuni melolong.
Suaranya tenggelam keriuhan histeria penduduk desa.
Angkat! Tarik! Horeeeeeeeeeeee...hidup sengkuniiii!!!!
Tolong...tolong...sengkuni tenggelam dalam lautan histeria, tanpa sisa.
Sementara itu, utusan desa-desa tetangga satu demi satu beringsut pergi. Mereka ingin cepat tiba di desa masing-masing dan segera membangun tembok-tembok perbatasan.
Raja Maling memenangkan pemilihan kepala desa! Yang tersisa hanya potongan-potongan tubuh Sengkuni.
Catatan Kecil menyongsong 2014...
(Taman Srigunting, Medio oktober 2012 - Semarang)
-------------------------