22/02/23

PARANOIA

MAHKLUK PARANOIA

I.
Disrupsi Taman Ismail Marzuki ialah ide Revitalisasi Kaum PARANOIA.
Ia mengerahkan mesin-mesin penggilas zaman
Ia mengebiri kreator
Ia memusnahkan embrio
Ia panggil kurcaci-kurcaci negeri Nirsejarah dan mengutus Pesohor-pesohor disorientasi dan nalar cupet.
Di benak mereka hanya keuntungan tak peduli apa dan siapa
Di matanya, tari perut dan goyang pinggul silih ganti
Ini mau kami kau bisa apa? Teriak mahkluk-mahkluk Paranoia dari singgasana rampasan
Ini sejarah kami! Kisah kami! Cerita kami! Kau bisa apa? Lantang mahkluk-mahkluk kurcaci berorasi diselengi kilatan lampu.
Untukmu, telinga kami budeg.
Padamu, kami buta
Kalian hanya parasit, beban negara! Hardik si perampok tahta
Kami mau itu mau ini, hak kami, milik kami, punya kami!
Aku ciptakan sejarah, aku menulis kisah, aku pelaku sejarah catat itu! Seru si pongah cupet sambil menunjuk-nunjuk.
Berteriaklah!
Beorasilah!
Buatlah panggung-panggung di trotoar, di pinggir jalan, aku butuh hiburan. Ejek si Paranoia.
Menangislah bahkan mengaduh hingga kelangit, tantangnya sekali lagi.
Tak ada urusan denganmu.
II.
Maka trotoar jadi panggung dan angin membawa kisah kemana saja. Tak ada yang sembunyi dari angin, nafas busukmu pun akan diceritakan.
Rumah tetaplah rumah dengan fungsi rumah. Ketika fungsi itu diubah maka penghuni berontak, meradang, tak peduli kau budeg atau buta.
Mana mungkin rumah jadi hotel?
Tak ada manager rumah terlebih general manager!
Rumah tak butuh itu, paham kau!?
Sudah budeg, buta, parno pula pikiran kau!
Dasar oportunis.
---------------------------------------

Negeri di mana aku lahir, besar dan kelak akan mati.

Beberapa hari lalu saya singgah makan di sebuah Restoran dekat Pasar Baru Jakarta Pusat.
Sebelum makan saya berdoa terlebih dahulu. Selesai berdoa, beberapa orang di meja sebelah kemudian berbisik-bisik agak gaduh sambil beberapa diantaranya melirik saya.
Karena sedikit mengganggu pendengaran, saya lalu menengok kemeja itu sambil mengangguk.
Bisikan pelan, tapi berulang-ulang dan jelas terdengar ditelingaku.
Kafir...kafir!
Aku hanya tersenyum, lalu melanjutkan makan.
Tak lama kemudian orang-orang disebelah (di meja itu), keluar restoran sambil melingkari meja disebelah lagi. Agaknya mereka tidak mau lewat pas disamping atau belakang atau juga pas depan saya.
Saya hanya diam dan menikmati makan siang itu dengan lahap, sambil melirik kepergian mereka.
Agak aneh bahwa ada orang yang bersikap seperti itu di tempat umum bahkan tak segan-segan mengeluarkan suatu pernyataan yang jelas-jelas menghina, meskipun hanya berbisik tetapi dengan sengaja diperdengarkan.
Aneh bahwa seolah-olah orang lain tidak memiliki agama, tidak beriman pada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa orang yang tidak seagama dengan mereka sama sekali tak memiliki harga.
Sungguh aneh.
Bukankah dalam pengertian yang berbeda ini juga termasuk dalam 'Menistakan' kepercayaan atau agama orang lain?'
Bukankah ini juga penghinaan terhadap kehidupan orang lain yang sesungguhnya sesama manusia?
Ach...negeriku akhir-akhir ini mengalami banyak perubahan.
Semoga tidak ada lagi yang mengalami perlakuan yang sama seperti saya alami beberapa hari lalu di restoran itu.
Hanya merasa aneh saja.
Jakarta, 20 February 2017.
----------------------------------------------

Sajak tentang Senjakala budaya

Gerah lihatmu bak gerai pajang engkau ini toples toples berhias merah jingga tak serupamu 3 windu lalu.
Manjamu jamu jamur serengai seperti kulum hakim waktu waktu hakim tak ada bening bola mata apalagi benaning di cahya.
Gelakmu geletarmu geloramu galaumu ialah sejarah yang harus di mengerti dan jadi ujian soal soal tak soal apa hasilnya.
Cantikmu tirusmu wangimu tungaumu adalah berbab bab kisah kasih anak negeri antara abangan dan santri, priyayi dan kawula persis ode abunawas atau si robinhood
Lara berjumpa jumpa, sakit bertemu temu, perih bersua sua dalam gending patalon iring punakawan memeluk merah putih.
Dan koor serentak riuh anak perdikan di mall mall tanpa makna tanpa kosa kata jadi bahan tertawaan, hareee geneeee.....
Menjadi tak seperti sebelumnya teriak senjakala budaya
Dan budayawan pun mati di antara lumbung lumbung tradisi persegi, seolah bulat atau lonjong menjadi garis haram.
Alkisah dialog raja Thamus dan dewa Theuth yang tak pernah usai karena perubahan adalah penemuan terbesar manusia. Tak penting dari mana asalnya.
(aku sedang mabuk ketika menulismu, seperti reranting kerontang merindu gelagak pohon-pohon induk atau bebusuk daun berdaki daki. Lalu kau panggil si penyapu debu terbangkan debu)
Geletar menyatu ion-ion alkohol saat sel-sel bergelora di banjiri anggur hitam. matamu menyalak bibirmu nyalang tak pasti mana mulut, mana mata dan mana dubur.
(dan ketika aku sadar dari mabukku, makna kosa kata mengubah hidupku)
Samarinda, 22 February 2016, selamat menikmati Lontong Cap Gomek.
-------------------------------------------

AKU, KAU

Gerah lihatmu itu.
Bak gerai pajang
Pedih dapatmu ini
Toples siapa
Temumu tak serupa 3 windu lalu.
Manjamu jamur
Tawamu serengai
Beningmu kelam
Gelakmu geletar
Geloramu galau
Cantikmu tirus
Wangimu tungau
Lara jumpaku
Meski gitu
Jalan dua
Tutup lemahku
Hapus dahagaku
Bangkit lakiku
Singkir busukku
Sua ini
Buatmu
Buatku
Manusia.
Mana
Siapa
Saja
(RWM, bangka - belitung, 18 februar'014)
--------------------------------------------
Ket.Gam : FSP #SaveTIM - Jakarta 2019





RWM.BOONG BETHONY