5 tahun lalu...
Perempuan perkasa yang berbetis indah dan perkasa itu pergi.
Ketika aku rindu padanya, aku cukup melihat semua adek-adekku.
Seyummu, raut wajahmu, rupamu ada pada mereka.
Maka kasihku tercurah pada mereka.
Begitu aku mengasihimu bunda.
Mengenangmu adalah kegembiraan duhai bunda perempuan perkasa
Mengingat-ingat seluruh cintamu pada kami adalah kebanggaan tak akan usai duhai bunda perempuan perkasa dari kaki gunung kambuna.
sajak untuk Bunda I
Makasar, kisah bunda yang tak pernah usai, cerita masa kecil, sungai, dangau, pematang, merah buah kopi dan ladang diujung desa, tersenyum engkau menutur.
Di Makassar, wajah manismu tak hilang diantara rintih menahan rasa sesaat bening bola mata meninggi dan tubuhmu tergoncang hebat, hempasan penghabisan
kutatap raut manis, guratan dan garis lekuk kaku menandai perjalananmu, hidupmu, perjuanganmu.
Kini, kukenang engkau dalam secupled puisi, seperti puisi yang dulu kau ajar, yang dulu kau tanam dalam hati.
Kau tempa, kau bentuk, kau pilin, kau cinta, kau sayang, kau jaga, dan kau tahu saatnya melepasku meski bertaruh hidup sebab kau seorang petarung tak kenal takut
Di sini, di sudut jakarta, puisi adalah doa untukmu.
(medio desember 2018)
Sajak untuk Bunda II
Engkau pergi
Tapi tak pernah kemana
Engkau di hati, di mata, di langkah kami bahkan dalam pikiran kami.
Puisi ini aku tulis juga karena engkau
Duhai kekasih
Kekasihku
Engkau pergi
Tapi tak pernah kemana
Sebab Engkau adalah aku
Dan Engkau pergi kedalam aku
Dari cintaku, dari kasihku
Padamu aku belajar mencinta
Darimu aku menyimak kasih
Ketika, Engkau menutup mata dan menghembus nafas penghabisan
Senyummu ada di senyumku
Nafasmu dalam nafasku
Tak ada lain, hanya engkau
Bunda kekasih
Bunda cinta, cintaku
Dan cintamu itu kekasih
Melalar entah bila kan henti
Berlipat - lipat, berganda - ganda
Engkau, aku dan anak-anak anakmu
dan cucu anakmu
Ach kekasih
Oh kekasih
Engkau pergi tapi tak pernah kemana.
Kau ada disini, dalam aku.
(mengenang, kekasih dan cintaku, Bunda)
Bunda III
Engkaulah Yang tersalib merenggang nyawa
Melahirkanku
Engkaulah Tuhanku.
Bidadari berselendang bianglala.
Selamat Jalan Bunda.
Cerita pendek Ibu.
Suatu sore, di Yogyakarta, aku lupa persisnya hari apa, tapi aku ingat bulan itu, November 2012.
Ibu tiba-tiba muncul di pintu pagar, sambil menenteng beberapa bungkus kopi tumbuk yang dibawanya langsung dari kampung kami pedalaman Sulsel.
Ibu memeluk sambil mengusap-usap kepalaku dan berbisik "Ibu rindu dan bahagia menjumpaimu disini"
Aku hanya memeluknya erat. 10 tahun, tak pernah kulakukan pelukan dan menerima pelukan seperti itu.
"Terimakasih, bunda sudah datang"
"Bunda merindukanmu nak, makanya jauh-jauh bunda kemari"
"Trimakasih bunda"
Aku cium kening beliau, pipi kira dan kanan, lalu kembali memeluknya. Lebih erat dari yang pertama.
Tapi itu kejadian 6 tahun lalu.
Tiga tahun sesudah itu, bunda pulang ke negeri baka.
Cintanya, kasih sayangnya, hatinya, jiwanya bahkan tubuhnya, ada dalam diriku dan adek-adekku.
Engkau nyanyian abadi
Ibu, kalau aku menulis puisi, engkaulah itu
Perempuan cantik, gemulai dan pintar membesarkan anak
Engkau cerdas bermain waktu bahkan ketika kau tak lagi berdua menghadapi bengal dan rajukan anakmu
Hangat tubuhmu mengusir malam panjang ketika tangislapar dan haus mengusik lelapmu, bangun tersenyum, kau beri jiwamu, kau taruh cintamu disini dalam hidupku
Tak ada hidup indah selain kehidupanmu ibu
Ibu, kalau aku bernyanyi, engkau kidung merdu
Perempuan elok, jelita dan tangguh membimbing anak-anak
Pandai menyimpan marah, seperti sejuk air terjun tercurah ke lembah, menghidupi, menyuburkan sekalipun engkau seorang diri
Pesona senyummu meleburkan pemberontakan dan khianat meski hatimu luluh lantak, kau beri rasa, kau letakkan cintamu di sini dalam hatiku
Tak ada kisah sehebat ceritamu
Ibu, kalau aku menulis cerpen, engkau cerpen itu
Perempuan rupawan, lincah dan perkasa melindungi anak-anak
Engkau sabar dan sanggup hadapi semua yang menantang hidupmu, bahkan di saat kau butuh bantuan, berdiri di depan melindungi anak-anakmu meski borok, luka nanah merajam tubuh, sayangmu lebih besar dari itu.
Tak ada epos, seagung dirimu
Ibu, engkaulah itu
Tuhanku.
RWM.BOONG BETHONY