Renungan Kebudayaan tentang PUROHITA.
(sebuah catatan refleksi untuk Kaum Rohaniawan)
Purohita adalah bahasa Sansekerta yang berarti para penghuni Puro atau penguni Pura atau penghuni Rumah Ibadah atau penghuni Tempat Ibadah. Dalam bahasa Indonesia modern, dikenal sebagai Para Rohaniawan.
Purohita terdiri dari dua (2) suku kata, yaitu : Puro dan Hita.
Puro berarti Tempat Ibadah. Sementara Hita, artinya orang-orang yang mengkhususkan dirinya memasuki dunia spiritual.
Secara sosial dalam sejarah kuno dan perkembangan ketatabahasaan Indonesia, bunyi Purohita tergeser oleh istilah yang di bawah oleh para misionaris agama-agama yang datang belakangan ke Indonesia.
Maka istilah Puro - hita kemudian dilupakan dan menjelma sesuai sebutan untuk rumah ibadah agama-agama yang datang belakangan. Seperti, mesdjid dan Langgar untuk Islam, Gereja dan Kapel untuk Kristen (protestan dan Roma Katholik), Pure untuk Hindu, Klenteng Budha, dst.
Demikian juga untuk orang-orang yang mengkususkan dirinya mengambil jalan Spiritual, menyesuaikan terhadap agama-agama terkemudian itu. Misalnya, Kiyai, Ustads, Pendeta, Pastor, pedande, Bhiku, dst.
Tapi, saya tidak akan membahas istilah-istilah itu, sebab apapun istilahnya, semua memiliki benang merah yang sama. Yaitu, mereka yang memilih jalan spiritual kehidupannya.
Dalam sejarah kuno kerajaan-kerajaan di Indonesia, terutama di Pulau jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali sampai Nusantenggara Barat, bahasa sansekerta adalah medium komunikasi dalam keseharian masyarakat di jaman itu. Ada banyak bukti real tentang itu, terutama prasasti-prasasti dan juga tulisan dalam bentuk relief di berbagai candi yang terbentang dari Lombok sampai Melayu kuno di Sumatra. Mengenai hal ini, kita tinggalkan dulu, menginat bahwa para arkeolog dan Antopolog, masih sering bertikai soal kesahihan tentang medium bahasa ini. jadi, lupakan dulu ya.
Lalu apa maksud renungan kebudayaan ini saya tulis?
Saya hanya ingin, mengajak sahabat dan kerabat untuk melihat, memahami, mengetahui bahkan, jika memungkinkan menghayati Karifan Masa Lalu Nusantara, khusus tentang PUROHITA.
Seperti yang saya jelaskan diatas, Bahwa Purohita adalah istilah untuk menyebutkan orang-orang yang memilih jalan hidup dan memasuki lorong spiritual lalu tinggal di rumah-rumah ibadah, rumah sederhana dan hidup sederhana.
Kaum Purohita ini, dalam konteks dan Narasi sejarah kuno Nusantara sampai kehadiran VOC dan kaum penjajah lainnya, amat penting, bukan saja untuk kaum birokrat di jaman itu (baca : Raja-raja dan hulubalang) tetapi juga untuk masyarakat umumnya. Kaum Purohita, merupakan Penjaga Moral kehidupan, Sumber kebaikan dan Hikmat untuk semua orang. Mereka (Purohita itu) adalah pencetus dan pengajar moral - etis untuk kehidupan banyak orang. Hidupnya merupakan teladan dan patut menjadi contoh masyarakat. Bahkan tak segan-segan menegur, mengingatkan, kaum birokrat jika menempuh jalan melenceng, menyalahgunakan jabatan dan wewenang, melanggar berbagai bentuk aturan, tak bermoral, dst. Kaum Purohita, akan melakukan teguran, peringatan dengan welas asih, kesabaran dan tanpa pamrih. Bukan hanya menyampaikan teguran dan peringatan, kehidupan mereka pun menjadi sumber teladan. Karena mereka tak tergiur harta, jabatan, dan menjalani kehidupan sederhana (baca : Ugahari).
Kearifan Nusantara masa lampau ini, tak disukai oleh banyak kaum Purohita modern. Dianggap kuno dan kampungan. Itulah sebabnya, Kaum Purohita di masa sekarang, hidup bermewah-mewah, tinggal dirumah yang megah dalam bentuk foya-foya bergelimang dari segala sisi.
Jika di masa lalu Nusantara, Kaum Purohita, sanggup menjadi teladan dan sumber inspirasi dan mengaspirasi kehidupan di jamannya, bagaimana Purohita modern?
Bila Purohita masa lalau Nusantara, tak tergiur apalagi terbius harta benda dan jabatan, bagaimana Purohita sekarang?
Kalau Kaum Purohita masa lampau Nusantara, sanggup menjaga moral - Etis kehidupan bersama, bagaimana Kaum Purohita sekarang ini?
Kaum Purohita Nusantara kuno, memilih hidup spiritual dan mempersembahkan hidupnya untuk jalan itu, bagaimana Kaum Purohita Nusantara modern?
Kaum Purohita masa lalu Nusantara, mengorbankan (baca: membunuh) ego demi kemuliaan orang lain, untuk pencerahan kehidupan orang lain, dimasa sekarang sepertinya persembahan hidup seperti itu, hilang dari penampakan kaum Purohita.
Dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Nasional, baru-baru ini, saya terkaget-kaget, mendapati seorang Purohita yang datang mengendarai sebuah mobil mewah dengan penampilan seperti artis.
Waktu sesi diskusi, Purohita ini, meledak-ledak dan begitu arogan ketika ada peserta yang membantah pendapatnya tentang Indonesia sebagai Negara Plural dalam Naungan Pancasila. Lebih aneh lagi, ketika teabreak, ia mendamprat orang tersebut yang saya tahu, seiman dengan Purohita itu.
Saya lalu berfikir, apakah jalan spiritual yang dipilih itu, bukan sebuah panggilan bathin, panggilan jiwa, panggilan Tuhan untuknya?
Terlebih melihat begitu banyak Kaum Purohita, turun kejalan, berteriak nyalang, bertutur mengingkari dirinya sendiri. Menuding dan mengklaem kebenaran hanya milik mereka.
Ah..agaknya nilai-nilai agama yang indah dan sarat kedamaian itu bukan lagi mata hati, terlebih mata jiwa untuk sebuah perjalanan spiritual. Tak lagi jadi ukuran untuk tujuan pengelanaan Iman.
Oh..rupanya pelangi hidup kaum Purohita tak lagi memberi keindahan di mata masyarakat.
Salam dan doa rahayu
Pemerhati kebudayaan, tinggal di jakarta.
Romo Ro Wi Ma
Romo Ro Wi Ma
RWM.BOONG BETHONY