Kisah akhir pekan.
Surya menusuk nusuk di rerumputan petas tertimpa reranting yang subur menggeletak menggelepar. Seperti hangat tunggku menghias meja lapang menyatu umbi umbian, keras di garis kering sesawah. Tiada apa tiada gerak, hanya bayu bersenandung haus.
Danau, sungai, mata air tingal bebatuan, seperti tikungan tajam di pelipis pipi anak anak tirus dan cekungan pipi tetua renta. Waktu pun berhenti, hanya petaka tergantung dimana mana. Pada segala pokok, pada semua mahkluk tanpa tanding, bulu pun rontok.
Sayup mengalun seruling menyayat jiwa iringi gendhing cucur bawuk keranda menari nari hidup kembali baru. Bak bebiji masuki alam baqa lalu bangkit beri bulir dan panen bebuah, kesegaran hanya mimpi ini kali.
Tuhan tunggangi bayu hinggap di pepucuk rumah lantaran tak ada lagi pepohon terlebih dedaun hanya bayangan perih, luka, duka di jam kematian.
Bintang gemintang setia menatap dalam sembab, timur, barat, selatan dan utara masih sama. Tak beringsut, bepergian, pun bergeser. Kesetiaan adalah cinta, ialah asmara. Seperti keteguhan Tuhan mencintaimu.
Jangan cari salah apalagi lapor sampai kesurga, semua ada di sini. Di rumah kita. Bukan disana atau disitu tapi disini, di rumah kita. Rumah semua mahkluk, bukan hanya rumahmu.
Tuhan melompat lompat hindari bara, bara di hatimu.
(Selamat berakhir pekan sobat dan handaitaulan.
Jangan lupa pake masker)
Sajak-sajak hutan.
Aku menggerutu gerah diantara rerindang luruh
pada pokok-pokok perkasa
seperti kenangan yang ditulis penyair
mengenai hutan
mungkin 40 tahun mendatang
sajak hutan
hanya kata
(menggali mata air dari air mata dan air keringat)
Foto : Rob Colection'17