07/09/22

Sajak T I D U R

Tidur.


Tidurlah kekasih.
Tidurlah dalam dekapan malam
Saat seperti itulah engkau menjadi bayi.
Pasrah pada degup jantung dan denyut nadi.
Itulah Tuhan.
Yang selalu menjaga degup jantungmu dalam asmara membaraNYA.
Tak perna lalai mengiring denyut nadimu karena cintaNYA.
Tidurlah.
Tidurlah kekasih.
Biarkan malam mendekapmu.
Sebab Tuhan membuat malam sebagai neraca waktumu
Tidurlah.
Tidur.
Romo Ro Wl Ma










PUISI CINTA

Bulan penuh di teras ketika hening jadi bening, Wajah bulatmu semburat di dedauan, menggemerisik bisik masuki jiwa lena
Jauh disana, entah, asmara membara di bilik dian seperti kisi lelampu warna warni mengutak atik rasa menyatu dalam tetes keringat. Seperti Pontius Pilatus basahi diri sambil bertanya, siapa apa Tuan. Dari mana kemana Tuan. Bathin bathil tak paham dimana kemana arah.
Candra purna di halaman saat bening jadi hening, rupa ovalmu terpancar luruh daun menggerayang rayang khayal rasuki rona hati
Berlangkah langkah, mungkin, cinta menyala perih di ruang lentera redup bri halusinasi antara surgawi neraka, nafas terengah mengetuk ketuk dada. Bagai dada ranum pencintaMu turun naik bermain main sahih tentang hakiki hakikat. Jiwa berjiwa tak tahu apa siapa mengapa kemana.
Dan bulan membias perih jatuh di halaman belakang, muka pucat pasi memeras raga menghentak hentak hari kemaren tegar tegur gagah perkasa bak Ken Arok merasa titisan dan Ia tersungguk sungguk sungkur pagi berkokok. Bulan berair dalam jam duka sesal, dahan patah meringkuk tanpa nyawa.
Lalu candra mencandai jaman, ode, epik, legenda, roman, novel, cerpen ialah puisi.
Ialah Tuhan.

Pelacur tua dan Cinta.


Mengisi hari lelaki, hari perempuan menapak tiap masa slalu menenteng rona magi memesona siapa apa. Melacuri waktu kekawin ketika patalon terayun dan gendhing suwak pancer, manunggal yang Illahi dalam rasa, bathin, jiwa, tidak di pikir.
Saat itulah kitab-kitab hanya kata. Siapa apa teologi, mana mengapa hermenetik homeletik hanya kata tanpa dialeg lebih idialeg, dialog hambar, hanya panggung jejar rahwana wajah Tuhan tak pernah teraba, ngono yo ngono nanging ojo ngono.
Dan hitam putih jadi panduan panggung dalam pertunjukan seolah tiada rona lain. Hei teolog pesanlah eksotismu bak tontonan sunggingan metematis, hanya hitungan.
Plung, ku cumbu, ku pagut, ku cium, dengus nafas gerayang menggerayang tanpa sisa, senyum pelukan malam serengai, sumeh pelukan siang menyelam ke kedalaman di balik bayang. Yah.. hanya bayang katamu, kemudian kau teriak hitam atau putih.
Riwayat ialah kata, tak lebih tak kurang mungkin terjebak wewayanganing ngaurip, pipih bukan distilisasi melainkan kebebasan bukan penghakiman. Laiknya perempuan hina dina mati terseret seret kekaum. Ahaa...dia mati menemui hidup, bukan jejar melainkan perupa menyatu wajah. Persis lelaki memborok sekujur tubuh, tapi bukan jiwa. Hanya pikir.
Mari berpesta, tuanglah anggur merahtua peninggalan leluhur jangan pikir terlebih masuki bathin, ruh dan jiwa. Bukankah wahyu milik kita?
Sementara itu bordir-bordir tua serupa bordiran kebaya pengantin menjubahi pejinah bersenandung gita bhakti, bertarian, berlompat lompat, berjingkrak jingkrak rupa dan wajah terpenggal penggal. Puzzel dimana kemana.
Mendesah desah asmaraMU.
Aku tak paham lagi warna lain, bisikMu
DesahMu.
AsmaraMu.

Harmoni


Jangan apa selain diri, ini malam penghabisan serumu serambi kejar gagak mengejar iring koar koor saat pucuk ubun ubun melompat lompat hinggapi siapa apa di pagi berembun. Dan ketika gelegar geger serupa dahak krakatao melalar maliuk liuk mewarna diri itulah bahak bahak Tuhan yang menari tari hakekat hakiki.
Tak juga paham.
Sesungguh alpa bukan.
Gendhing gendhing suwek bukan seruling mengalir alir merogoh sukma durga cerita kita.
Jejar Wajah wajah bukan kayon hanya bayang membayang wayang
Menurutmu aku siapa kekasih
jawabku, Air, udara, angin dan api.
Disini, dimana nafas menderu bergurau menulis kamus, membuat rerambu rambu serupa iklan tentang surga persis rasa manis pahit di lidah tak kecap rasa lain. Tak berwarna kacamata kuda.
Lalu tepat di kira pukul dua kali.
Gelap
Gulita
Merobek jiwa hamburan hamburkan mewarna mewarni rerasa rasi. Tak juga tangkap pertanda itu.
Hal bawa diri, jiwa, bathin, roh, bukan memikir pikir terhitung hitung lebih terlebih tersuci suci.
Bukan
Bukan kekasih.
Hanya diri.
Diri berdaki daki.
Hanya jiwa
Jiwa berjumawa
Hanya batin
Batin bathil
Hanya roh
Roh perongrong.
Selain itu tak
Tak itu selain
Itu selain tak
Selain tak itu
Di sini disitu, titik kau ada.
Tuhanmu
Bukan hitam putih, pahit manis tapi warna warni aneka rasa.
Menurutmu Aku siapa?
--------------------------------------

Kisah bawah matahari


Mari cumbui hari hari tanpa sisa bisikmu ketika bayu biarkan terik mengaduk aduk rupa sesawah leladang pepohon bebungaan luruh demi satu telanjang bulat tak malu. Saat itu, seekor domba panggang muda terguling diperapian diserambi rumah tua. Tuang anggur merah teriakmu lantang gembira di iringi kami puji dengan riang pentatotnis diatonis tak jelas mungkin juga selendro do mi sol do gong bergetar. Bumi bergolak dalam jiwa jagad gede cilik mainkan gendhing cucuk bawuk sampai suwuk pancer. Jejer berseberangan sempurna hitam putih, padahal hidup bukan itu. Tak ada kalah apalagi menang melainkan sentripetal, berlapis lapis hidup dalam sangkan paraning dumadi. Bukan kemarau, bukan penghujan tapi tetapi.
Tapak tapak lelah jejak rupa bumi, menderap derap kuyuh luka di barisan jiwa bila kan sembuh?
Hening dalam gelegar bayu meniup siang jadi malam saat irisan daging panggang domba muda harum mengelegak tertelan tenggorokan, gagap gempita sorak sorai tangis ratap geretak gigi Oh bapa, kepadamu ku berserah. Darah mewarnai angin, kematian merasuk sukma, terengah engah terbuih buih seperti butir butir ludah pembicara mimbar klaim mengklain penjaga kayangan pemilik nirwana. Lupa bahwa penjaga bukan pemilik lalai kemudian ubah jadi tukang pukul pukul persis anjing anjing geladag pemburu tikus tikus kolong harap seonggok daging. Ketika itulah domba panggang muda tercabik cabik terburai burai jemari jemari menggerayang apa saja kemana saja dimana saja siapa apa.
Siang dan malam tak pernah berebut terlebih minta kehormatan. Langit malam langit siang adalah langit bukan langit langitmu. Karena langit langitmu busuk dan anyir, seperti nyinyir bau anyir darah segar domba muda sembelihan terpanggang di panggung istana istana doa symbol imanmu itu. Dan lebah lebah bersenandung, suara suara tak jelas menerobos jendela rapat tertutup memagar merasa jijik pada sekitar.
Padahal perselingkuhan menyodok nyodok langit, pelacuran menutupi bumi masih juga jejer hitam putih jadi senjata pamungkas untuk kreatifitas untuk kembang kembang puja puji.
Penjor hanya satu teriakmu tak paham penjor berwarna warni sebab itu Tuhan suka.
Ya, semua.
Semua, ya.
---------------------------------------------

Pikiran dan Batin. (sebuah renungan)


Berbahagia mereka yang dapat melihat dengan hati atau batin, sebab ia jadi bijak. Tetapi mereka yang melihat dengan pikiran selalu mengukur untung rugi.
Hati atau batin selalu menerima Tuhan dalam keagungan, sebaliknya Pikiran menerima Tuhan sebatas kebutuhan.
Hati atau batin adalah tahta Tuhan, sebaliknya pikiran berusaha merebut tahta itu.
Berhikmat orang yang menangkap ajaran Tuhan dengan hati atau batin, sebaliknya fasik mengandalkan ajaran Tuhan hanya dengan pikiran. Sebab Hati atau batin berlaku jujur setiap waktu, sebaliknya pikiran berhitung atas segala sesuatu.
Hati atau batin adalah mahkota hidup sebaliknya pikiran membuangnya.
Bijak, orang melihat Tuhan dari hati atau batin karena ia melihat ke- Mahakuasaan yang tak terhingga, sebaliknya musrik orang yang melihat Tuhan dengan pikiran karena hanya mengerti soal hukuman dan pahala.
Bahasa hati atau batin selalu membahagiakan sesama mahkluk, sebaliknya bahasa pikiran merampas kebahagian itu. Kata hati atau batin selalu menerima siapa apa, sebaliknya pikiran membuatnya barang dagangan.
Hati atau batin tiada membedakan sesama manusia, sebaliknya pikiran membangun tembok penyekat. Sebab hati atau batin tahu, semua manusia adalah debuh dan Ruh Tuhan tapi pikiran mengingkari itu.
Hati dan batin mengakui bahwa Tuhan mengasihi semua manusia, tetapi pikiran menghancurkannya. Sebab hati atau batin tak pernah mengukur siapa apa manusia selain sesama ciptaan, tetapi pikiran mengukurnya salah benar.
Hati dan batin tahu bahwa hidup manusia berwarna warni tetapi pikiran membuatnya hanya hitam putih. Sebab hati atau batin mengerti Tuhan mencintai warna warni tapi pikiran meleburkannya dalam kotak hitam dan putih.
Hati atau batin mengaku hanya ada kita tetapi pikiran membuat kami dan engkau. Sebab hati atau batin mengakui Tuhan tak pernah membedakan tetapi pikiran mencerai beraikan.

---------------------------------

Gendhing suwuk pancer


Aku menunggu Guntur dan kilat mengurai burai awan mendung.
Kurindu kilatan api, udara dan gemuruh kereta kuda membuyarkan gumpalan gumbalan di langit.
Lalu kan ku mainkan tubuhku di basah tanah sambil menari ciumi aroma bunda pertiwi pada butiran bening.
Awan masih strato
Mendung tetap menggantung
Angin panasi jiwa
Rinai ialah nyanyian surga musim kemarau
Rintik ialah kidung pemujaan di masa kering
Selalu puitik pada luruh dedaun dan pokok mengering
Aku menantikan gelegar dari langit membuyarkan awan strato
Kunantikan percikan larva membakar tiap partikel kelam selimut abu abu langit
Jatulah.
Jadilah titik titik.
Hentikanlah kisah kerontang.
Entah kuncup entah kembang entah mekar
Hujan ialah kidung nirwana di musim kering
Dendang kekawin air dan buana
Seperti kekawin asmaraNYA yang melahirkan segala apa
Romo
--------------------------------------------

Pada Malam.

Malam.
Mari bicara empat mata.
Aku mau belajar tentang keadilan.
Selalu saja kau butakan warna, bentuk dan wajah.
Bagimu semua sama.
Presiden, Mentri, Gubernur, Kiyai, Ustads, Pendeta, Pastor, Pelacur, koruptor, pencopet, pencuri, perampok.
Tak beda.
Malam, mari bertutur tentang sikap.
Sikapmu.
Tak perduli siapa.
Bagimu sama.
Jangan bicara soal siang
Yang gemar membangun kisi-kisi, bilik - bilik, mengkotak-kotak, berupa-rupa, berwajah-wajah, berwarna-warni dan berupa - rupa
Malam, ayo kisahkan tentang dirimu
Apapun tentang kau.
Keadilanmu.
Sama, sebentuk, serupa, sebangun, tadak ada apa-apa.
Hanya gelap.
Gelap yang mengubah semua menjadi sama.
Apakah lantaran itu
Maka semua musti meraba dan di raba
Manusia peraba
Manusia di raba
Apakah karena itu
Manusia gemar meraba Tuhan?
Dan menolak di raba Tuhan?
Apakah sebab itu
Manusia masih meraba Tuhan?
(serombongan kunang-kunang datang berbisik dan mengatakan, Jangan tanya soal malam dan lihatlah cahaya kecilku. Tuhan menempelkan Sinar wajahNYA dan aku membawanya kemana aku terbang tiap malam. Rombongan itu pun pergi menembus gelap. Saat itulah tampak bentuk dedaun meski samar. Tapi aku tahu itu daun)
(September' 16)

Cerita hari ini tentang pedagang.


Pagi ini kudapati engkau diujung taman, setelah semalam kucari diseluruh ruang jiwaku. Engkau tak pernah permisi ketika datang pun pergi tahu tahu kau sodor beberapa notes kecil penuh.
Bacalah! Pintamu beberapa waktu lalu.
Sejak itu aku tenggelam telusuri tarian tinta dalam notes notes itu. Entah berapa purnama kulewati membacanya. Dan Semalam, saat aku terjaga ingin menanyaimu, mengapa semua goresan notes itu hanya berisi jelaga hidupku? Aku mulai gelisah dan mencarimu diseluruh ruang yang ada, tiap lorong yang mengikat diri, sel sel, titik titik, semua kumasuki hanya ingin jawabmu.
Tapi engkau tak ada disana.
Mataku hanya tertuju di pintu tertutup itu. Gelisah seluruh eksistensiku, Jiwaku, pikiran bahkan iman kuyu. Lalu tertidur bukan sebab kantuk tapi tak mengerti lagi musti bagaimana.
Dan pagi ini, engkau bertengger di ranting kering ujung taman sambil bersiul mencandai dedaun luruh dalam bayang serpihan surya.
Puluhan purnama kumencarimu sobat, sapaku gembira.
Engkau tersenyum dan melompat turun mendekapku. Mengapa mencariku? Tanyamu serambi melepas dekapan mengajak duduk bawah pokok kerontang meranggas.
Aku ikut dan duduk disamping.
Aku tak pernah kemana. Jawabnya sambil menepuk di pundak. Ketika kau gelisah mencariku aku ikut bersamamu bahkan saat kau tertidur pun aku ada disisimu. Tatapnya bening. Aku juga lelah, makanya pagi ini aku masuki taman ini menghirup udara segar.
Bagaimana engkau membiarkan aku gelisah sedemikian rupa? Bahkan pintu yang biasa kulalui tertutup rapat. Tegasku membalas bening tatapnya.
Hahahahahahaha......tawanya berderai.
Sobat! Sobatku...pintu itu tak pernah tertutup, tapi jiwamu. Tak sadarkah ada ribuan pintu lainnya yang bisa kau lalui. Apa yang kau inginkan?
Kutatap lekat lekat kudapat anggukannya.
Ada apa sobat?
Notes itu itu! Mengapa hanya catatan jelaga?
Hahahahahaha....itu karena kau tidak pernah membiarkan batinmu, jiwamu, nuranimu berbicara. Kau hanya mendengar pikiran-pikiranmu. Kau hanya berfikir soal untung rugi, soal mendapat, soal dirimu.
Maksudnya? potongku cepat.
Pernahkah kau dengar bisikan jiwamu, Nuranimu, hatimu? Bukankah semua ada dalam dirimu, ada padamu? Semua! Kebaikan, keindahan, kedamaian, kegembiraan, keriangan, kebahagian, lukisan-lukisan aneka warna ada padamu.
Tapi hanya jelaga? Bukankah selama ini hal-hal baik kuperbuat juga? Ini tidak adil! protesku.
Sobat, keadilan itu bukan soal hitung-hitungan, apalagi tentang hitam putih. Tapi soal kebenaran. Dan kebenaran itu ada dalam dirimu, bahkan dalam setiap insan yang pernah ada. Jadi bukan jumlah.
Maksudnya? Tanyaku lagi.
Jika keadilan itu hanya bicara soal jumlah, hitung-hitungan maka dengan pasti tak ada satupun keadilan dalam dunia ini. Kau mengerti? nach soal jelaga dalam notes yang kuberikan itu. Itu bukan tulisanku. tegasnya.
Lho?
Ya! Bukan aku yang menulis! Tapi kau!
Mengapa hanya jelaga? kejarku.
Karena yang kau maksud perbuatan baikmu selama ini adalah jualanmu! Harga dirimu! Kau menjual kebaikan pada semua orang. Padahal, kebaikan bukan barang dagang, apalagi sebagai pameran. Bila yang benar, yang baik kau perbuat untuk keuntunganmu, maka kau seorang pedagang!
Jadi?
Yahhhh...itu yang selama ini kau lakukan....Nach ijinkan aku nikmati serpihan surya yang terserak merabuk buana. Selesai berkata begitu, dia pejamkan mata dan berbaring disamping. Larik mentari persis menimpa wajahnya. Berkilau-kilau membuat mataku tak sanggup menangkap kilauan itu.
Sambil membuka tumpukan notes itu, aku mulai melihat siapa aku sesungguhnya. Nyata bagiku, seorang lelaki pedagang kebaikan dan menukar kebenaran untuk keuntungan.
Taman nurani, 10 Oktober 2015
Samarinda - Kaltim.
------------------------------------------

Pengamen.


Terkadang aku mengamen.
Meminta diberi hikmat
Untuk menyanyikan kidung kidung pujian
Membaca syair syair cinta
Mendendangkan dendang syahwat
Terkadang aku jadi pengamen
Memohon keping keping bijak
Untuk melantunkan nyanyian puja
Menyairkan nyanyian asmara
Berseloka tentang dahaga erotis
Terkadang aku jadi siapa apa
Untuk menemui dirimu yang selalu tersembunyi di bilik bilik jiwa
Seolah engkau tiada perduli.
Menuduhmu lamban ketika aku butuh
Menghakimimu saat aku terpuruk
Pun
Persalahkan dirimu ketika aku celaka
Terkadang aku harus menyelam
Menelusuri dedaun dan pokok pokok agar bertemu dirimu yang tak pernah kemana selain di batin
Menyangka engkau hindari saat aku butuh
Mempersalahkanmu atas semua kejadian
Seolah engkau sumber petaka
Padahal
Aku sumber.
Terkadang aku melupakanmu hanya demi inginku.


Foto : Rob Colection'2022

RWM.BOONG BETHONY