Tampilkan postingan dengan label Globalisasi.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Globalisasi.. Tampilkan semua postingan

01/11/11


PLURALIS VERSUS PLURALISME
Suatu refleksi praksis, by. RW. Maarthin.

PENDAHULUAN.

            Diantara issue yang mendapat perhatian cukup besar paskah Reformasi 97/98 adalah issue keberagaman atau pluralitas agama. Issue itu, merupakan fenomena yang cukup menguras perhatian, pemikiran masyarakat Indonesia, khususnya para agamawan (Rohaniawan dan teolog/cendikiawan) sampai pada awal abad ke-21. Fenomena itu hadir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran absolute (absolute truth-claims) antara agama yang saling berseberangan. Kita tahu bahwa setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan yang biasa di sebut “doctrine of salvation” – doktrin keselamatan – bahwa keselamatan atau pencerahan (enlightenment) atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja dan pemeluk agama lain akan celaka dan masuk neraka. Sejatinya keyakinan semacam itu, juga berlaku pada penganut agama antar sekte atau aliran dalam sebuah agama yang sama; seperti yang terjadi antara Roma Katholik dan Katholik Protestan atau Katholik Protestan dengan semua aliran-aliran yang ada di dalamnya.
            Secara umum Issue Pluralisme lahir oleh karena pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan antara klaim kebenaran agama satu dan yang lain melawan pemikiran bahwa agama boleh berbeda tapi tujuan sama, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Realitas pemikiran seperti ini telah mengantar Pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek sekaligus memberi ruang ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, intolerans bahkan sampai pada perbersihan ras (ethnic cleanning atau genocide). Pada ruang lain, pengakuan bahwa semua agama itu sama tujuannya, semakin mengemuka.

PLURALIS DAN PLURALISME
Bunyi Pluralis dan Pluralisme, berasal dari kosa Plural. Sebuah istilah yang di adopsi dari bahasa Ingris, lalu menjadi salah satu suku kata bahasa Indonesia.  Yang artinya, berupa-rupa, beraneka ragam, bermacam-macam atau terdiri dari berbagai (benda-indentitas-tradisi, dst). Bunyi Pluralis dalam pengertian bahasa Indonesia merupakan kata sifat. Yang menunjuk pada suatu keadaan atau suasana keanekaragaman. Sebaliknya, Pluralisme (maaf penjelasan istilah ini dalam bahasa Indonesia, belum baku) merujuk pada arti pengakuan terhadap ‘pandangan bahwa Agama itu sama tujuannya, dan pandangan bahwa agama itu sama hanya cara dan sebutannya yang berbeda’. Dari Premis ini kita dapat mengerti makna-makna istilah-istilah tersebut diatas. Jadi topic bahasan bisa kita lanjutkan.
            Bangsa Indonesia mempunyai satu istilah yang hampir sama pengertian dan maknanya dengan Pluralis, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Perbedaanya hanya terletak pada pemakain kedua istilah itu. Pluralis dipakai untuk menggambar suasana yang umum dan bisa dimana saja, sedang Bhineka Tunggal Ika adalah istilah ke Negaraan Indonesia. Dalam Sejarah Gereja istilah Pluralis dan Bhineka Tunggal Ika di kenal dengan sebutan OIKUMENE. Yang awal mulanya merupakan  istilah untuk menggambarkan wilayah kekuasaan imperium/Kekaisaran Romawi yang meliputi banyak Negeri, Suku Bangsa dan luas daerah jajahan/kekuasaan. Ada satu istilah lagi yang akhir-akhir ini sering diucapkan, Yaitu Multikultural (multiculture), artinya juga nyaris sama dengan Pluralis, Bhineka Tunggal Ika dan Oikumene. Hanya istilah Multikultural di pakai untuk menggambar keanekaragaman manusia.
            Lalu bagaimana dengan Pluralisme? Untuk menjelaskan persoalan ini, kita perlu menengok kebelakang sejenak untuk mengerti dan menggali dari beberapa sudut pandang :

Yang pertama RURALIZATION GOES TO GLOBALIZATION:
            Issue Pluralisme lahir pada pertengahan abad 20, ketika Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi mengalami revolusi luarbiasa dengan penemuan-penemuan yang mencengangkan, seperti tehnologi komunikasi yang menjadikan jagad ini seperti Global Village. Akibat dari itu,  semua belahan dunia menjadi amat terbuka dan tidak ada satu daerah dunia ini yang tersembunyi. Era tehnologi komunikasi ini, berdampak pada cara pandang yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru tentang batas-batas wilayah, Agama dll. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama yang melahirkan ketegangan-ketegangan antar wilayah, ditambah dengan fenomena meningkatnya gelombang dan arus migrasi pemeluk-pemeluk agama ‘timur’ khusus kaum muslimin, kenegara-negara barat. Hal ini menimbulkan kekuatiran terhadap kenyamanan dan keamanan Barat, yang memang belum siap dan terbiasa hidup berkoeksistensi damai dengan dunia Islam.
            Terlepas dari semua itu, hal yang luarbiasa adalah, untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu Negara, satu wilayah, satu kota, satu atap bahkan makan bersama. Situasi ini merupakan hal baru bagi masyarakat dunia, dan belum punya pengalaman dalam berkoeksistensi damai dalam masyarakat pluralis. Akibatnya timbul, problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon situasi yang baru ini.
            Dari sinilah kemudian timbul sejumlah teori Pluralisme agama. (Dalam pemikiran ini, muncul klasifikasi Pluralisme agama, seperti Humanis sekuler, teologi global, sinkritisme, filsafat humanis dst.) Yaitu suatu pemikiran yang memberi legitimasi yang setara kepada semua agama yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Setidaknya, nilai-nilai yang ingin di wujudkan oleh tren pemikiran seperti itu adalah yang kita kenal dengan istilah PLURALISME AGAMA.

Yang Ke-dua, PROBLEM TEOLOGIA.
            Gagasan Pluralisme Agama, yaitu kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusia yang luhur dan mulia. Namun Kajian yang mendalam, objektif kritis (etis tologis) terhadap gagasan tersebut, justru memperlihatkan hal-hal yang sebaliknya bertentangan dengan Iman penganut agama-agama yang ada. Konsep itu, mengingkari transcendent dan hal-hal yang immanent terhadap ajaran agama yang ada, sebab melahirkan sikap-sikap intolerans, bengis dan tidak ramah, dan kontradiksi dalam arti etimologis pengertian agama. Yaitu problem epistemologis dan problem teologis. Belum lagi masaalah metodologis yang jika di implementasikan dalam tatanan praksis apa adanya, justru sangat diametral dengan tujuan-tujuan agama yang ingin dicapai. Oleh karena itu, gagasan Pluralisme Agama tak lebih dari suatu problematika itu sendiri dari pada suatu solusi, dalam Global Village.

Yang ke-Tiga, APA PANDANGAN ALKITAB?
            Ketika Abraham, di panggil meninggalkan Kampung halaman (Ur Kasdim) menuju Negeri yang nanti dalam perjalanan ‘baru Tuhan akan beri tahu’, Allah mengatakan bahwa Abraham akan menjadi berkat bagi Bangsa-bangsa lain (kel.12). Panggilan itu, menyatakan bahwa Allah akan memperkenalakan (mengajarkan) suatu Agama baru yang harus di Imani oleh Katurunan Abraham, sebab keturunan Abraham (bangsa Israel) akan menjadi berkat bangi bangsa dan sungku bangsa disekitar Israel.
            Ketika Musa di panggil untuk menyelamatkan Bangsa Israel yang berada di Mesir, Musa di perintah Allah  memperkenalkan diri sebagai utusan dari “AKU ADALAH AKU…Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakob” Kel. 3 : 13 – 14. Penegasan Tuhan terhadap Musa itu, untuk menyatakan bahwa Agama yang dianut oleh Nenek moyang Bangsa Israel, haruslah tetap menjadi Agama Bangsa Israel, sebab Agama itu berbeda dengan Agama lain (agama orang mesir misalnya.) Demikian juga ketika, Yosua menerima estafet kepemimpinan, Musa berpesan supaya semua ilah-ilah orang kanaan di musnahkan dan bangsa Israel dilarang kawin-mawin dengan orang Kanani yang menyembah ilah-ilah baal. Pada masa Hakim-hakim, Tiap kali bangsa Israel tidak taat terhadap Ajaran Allah (Kitab Taurat) maka bangsa Israel di hukum Allah.
            Demikian pula dalam kisah-kisah Perjanjian Baru. Yang paling mencolok ialah Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius  28 : 16 – 20 yang memerintahkan kepada murid-murid untuk memberitakan INJIL ke pelosok Dunia. Amanat Tuhan Yesus itu, sekaligus merupakan penolakan terhadap pemikiran-pemikiran Pluralisme Agama. Dari penjelasan singkat ini, dapat kita pahami bahwa, Iman Kristen menolak pemikiran Pluralisme Agama. Bahwa Bagi Iman Kristen hanya ada satu Iman, yaitu percaya kepada Yesus Kristus, yang adalah Allah itu sendiri. – TUHAN MEMBERKATI -

Kertas kerja bahan diskusi, P.A.K PERKANTAS JATENG 2010

RWM.BOONG BETHONY

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BESAR  atau PEMIKIR-PEMIKIR BESAR?
(suatu Refleksi isu-isu global dan tantangan abad 21)
Oleh : R.W. Maarthin.

PENDAHULUAN.

            “Panta Rei Uden Menei” atau Segala sesuatu mengalir, tidak ada yang tinggal diam. Demikian dictum kenamaan Filsuf Heraklitus di kota Efesus, Asia Kecil (540 – 480). Laksana air sungai selalu mengalir dan bergerak, maka segala sesuatu takluk pada perubahan. Ini berarti hakikat dan penampilan berubah. Lain lagi pendapat Parmenides(514 – 449 sM) Seorang filsuf dari wilayah Elea, Italia bagian selatan. I a justru berargumentasi bahwa hakikat tidak berubah, yang berubah adalah yang tampak dalam kenyataan.
Proses perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya waktu pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, menampilkan kemajuan pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Apabila dalam abad ke-18 Revolusi Industri dan pengaruh besarnya terlihat dalam abad-abad berikutnya demikian pula halnya dengan perkembangan pesat IPTEK itu, maka terjadilah berbagai perubahan besar dan kecil. Hal ini tampak dimana-mana. Dan perubahan tersebut menyangkut keadaan fisik dan mental manusia.
Demikian pula terjadi perubahan besar pemikiran-pemikiran dan teory-teory yang terus menerus mewarnai pergerakan dan perubahan dari abad-abad yang lalu. Teory-teory yang dianggap mapan pada abad-abad lalu, seperti Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme mulai tertinggal dan berangsur-angsur dilupakan pada Era modern ini.
 Panitia Latihan Kepemimpinan Kader (LKK) PEMKRI Cab. Padang memberi judul bahasan dalam percakapan ini, yaitu Pemikiran-pemikiran Besar di Dunia., tetapi saya kemudian mengubah thema itu menjadi “Pemikiran-pemikiran Besar atau Pemikir-pemikir Besar?”

ABAD KE-21 DAN ISU-ISU GLOBAL.
Berbagai antisipasi dan perkiraan telah di buat oleh para ahli dan pengamat mengenai abad ke-21. John Naisbitt banyak menulis tentang kecenderungan-kecenderungan masa depan. Dalam bukunya “Megatrends 2000 antara lain disebutkan, Globalisasi ekonomi, berkembangnya pasar bebas, era biologi, bangkitnya agama-agama dan kebebasan individu.
Penulis lain seperti Tappscot menulis tentang digital economy, melihat transformasi ekonomi oleh karena revolusi digital di bidang teknologi komunikasi dan transformasi. Atau Bill Gates, Presiden Microsoft dan orang terkaya di dunia mengatakan, era baru adalah era internet; semua akan berada di internet. Demikan juga Alvin Toffler dengan “The Third Wave” yang menggambarkan perubahan abad ke abad  melalui Revolusi Agraris, Revolusi Industri dan Revolusi informasi yang menghadirkan Globalisasi. Orang-orang ini hadir melalui pemikiran-pemikiran yang luar biasa. 
            Kalau kita renungkan pandangan para pengamat dunia, kita akan melihat bahwa sedang terjadi transformasi era baru, abad ke-21.Transformasi ini pada dasarnya dimotori oleh perkembangan yang amat pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan  produk-produk baru yang serba digital, biological dan material.
            Era baru ini diwarnai oleh perubahan akseleratif  bergejolak, baik disektor ekonomi, social budaya maupun politik. Era baru akan menuntut dinamika manusia, perubahan gaya hidup, pola kerja, pola komunikasi, yang pada prinsipnya adalah juga dinamika budaya.
Para pengamat mulai mendeteksi budaya global (global culture) dalam gaya hidup, makan, bekerja, interaksi dan komunikasi. Kini kita menyaksikan program televise global, membaca majalah-majalah global, dibanjiri dan menikmati  produk-produk global serta dipengaruhi gaya hidup global. Pada waktu yang bersamaan kita dapat mengakses informasi dari mana saja di dunia ini. Dengan internet, broadband, telpon/celluler, computer pribadi, kita dapat berhubungan dengan computer lain dimana saja dan dapat mengambil – memberi informasi – membeli dan menjual informasi. Era dimana sudut pandang dan kemampuan  manusia semakin tidak terbatas baik dalam tatanan berfikir pun dalam tatanan praksis. Termasuk didalamnya, mempengaruhi cara kerja, cara belanja, hiburan dan cara belajar bahkan juga cara ber-Iman.

ARAH DISKUSI.
 Dalam Diksusi ini, saya lebih tertarik mempercakapkan “Bagaimana Kesiapan Kita Sebagai Generasi Muda Gereja Yang Juga Merupakan Generasi Penerus Bangsa dan NKRI” dari pada, berdiskusi tentang teory-teory dan serapan-serapan para pemikir abad lampau yang dengan sendirinya menjadi runtuh dalam Era Globalisasi.
Sebagai contoh misalnya, Liberalisme dan Kapitalisme yang mulai terasa kuno dalam pengembangan teory-teory Pemerintahan/kekuasaan, ekonomi/pasar dan modal serta kemasyarakatn,  para pemikir Era Globalisasi, meskipun filosofis dari pemikiran-pemikiran tersebut masih terasa dalam pengembangan Ekonomi dan pasar Dunia. Demikian juga dalam teory-teory Sosialisme yang mulai runtuh pada kahir abad ke-20, kecuali sosialisme yang saat ini di bertahan di RRC dan KORUT.
            Deskripsi ini, adalah ilustrasi penampilan kehidupan gaya baru – gaya modern. Tetapi patut kita bertanya : “Adakah kecenderungan-kecenderungan spiritualitas?”. Naisbitt memang mengamati dan memperkirakan bangkitnya agama-agama. Apakah betul demikian? Apakah Abad ke-21 akan diwarnai oleh kehidupan agamawi yang meningkat? Saya ragu bahwa itu sedang terjadi.
            Memang betul, ada perhatian yang meningkat pada agama-agama dan kehidupan spiritual di Timur. Namun tak ada yang menonjol, kecuali surutnya Komunisme mungkin memberi peluang baru bagi agama, tapi masih meluasnya kemiskinan dan penderitaan di dunia ketiga, menandakan rasionalitas dan iptek belum mampu menyeleseikan masalah manusia. Di pihak lain, kemajuan iptek, kemajuan ekonomi, telah menjadi penyebab  mundurnya dan lunturnya kehidupan beragama di dunia modern.
            Dari sekilas gambaran diatas dapat dilihat bahwa abad ke-21, era globalisasi,  tidak hanya membawa harapan-harapan baru, melainkan juga membawa masalah-masalah baru bagi kehidupan spiritual dan oleh karenanya menjadi tantangan tersendiri bagi umat beragama (baca Kristen : Umat Katholik dan Protestan); untuk mencari solusi yang dapat membantu manusia menghadapi terpaan gelombang revolusi iptek dan informasi. Selain mempersoalkan kesiapan kita untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ditimbulkan oleh era informasi dan globalisasi, patut pula kita waspadai pemikiran yang sepertinya terlalu mengagungkan era ini, seolah-olah informasi dan globalisasi adalah segala-galanya.
  
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sebagai Negara yang sedang membangun, masih sangat mengandalkan pertanian dan industri dalam pembangunan ekonominya. Pemikiran Toffler tentang revolusi pertanian, revolusi industri dan revolusi informasi hadir bersamaan dan dikembangkan secara seimbang untuk keberhasilan pembangunan nasional bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Semantara itu di pihak lain, kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang sedang terjadi hingga dapat memanfaatkan peluang-peluang yang timbul dan berkembang.
            Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah hasil sistematisasi pengamatan dan penelitian manusia tentang apa saja yang terjadi di sekitar alam ini. Sedangkan teknologi pada umumnya adalah aplikasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk menyeleseikan berbagai persoalan dan tantangan yang dialami dan dilihat oleh manusia serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan hidup manusia.
            Ilmu pengetahuan secara sederhana berusaha untuk memahami “apa yang terjadi” melalui hipotesa, pengamatan dan pembuktian, sehingga secara sistematis dan universal dapat diterima dan diberlakukan oleh siapa saja dan dimana saja dalam kondisi dan keadaan yang sama. Sedangkan teknologi, adalah hasil penerapan ilmu pengetahuan yang diciptakan untuk kepentingan kesejateraan manusia.
Yang ingin saya garis bawahi disini adalah bahwa Ilmu Pengetahuan adalah memahami dan merumuskan apa yang tejadi? dan bukan mengapa terjadi?. Kalau ada yang memulai bertanya mengapa – why? Maka dapat saja ia keluar dari arena ilmu pengetahuan ke arena pemikiran, falsafah dan pandangan-pandangan yang berdimensi lain. Sementara itu, berbagai ilmu yang dikembangkan seperti ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan ilmu fisika, memungkinkan manusia mengembangkan teknologi pesawat terbang, tehnologi digital dan telah menjadi pendorong Globalisasi.
Karena itu harus disadari bahwa perkembangan informasi, robotisasi/otomatisasi  pabrik-pabrik, komputerisasi data, modernisasi sarana dan prasarana pertanian/perkebunan, adalah bagian dari perkembangan dan kesinambungan pembangunan Indonesia sebagai upaya pembaruan.
Dalam revolusi informasi inilah Indonesia hadir sebagai salah satu anggota Big Family in ther world – anggota keluaraga dunia. Dimana sebagian pemikiran dan tindakan kita berjejak pada Era Globalisasi dan sebagian lagi menjejak pada realitas kekinian bangsa dan Negara kita. Saya senang menyebut kondisi itu GLOBALIZATION VERSUS RURALIZATION. PMKRI berada di sana. Sebagai Perhimpunan Mahasiswa Katholik memahami realitas itu, amat penting, karena itu sekaligus merupakan suatu persoalan besar bagi bangsa dan Negara.

TANTANGAN IMAN?
Dalam Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katholik Indonesia 2005, dengan thema Bangkit dan Bergeraklah lebih banyak menyoroti dan membahas Komunitas Basis dan Kaum Muda. Artinya, Gereja Katholik Indonesia memberi pemahaman baru strategi menggereja yang bertumbuh pada komunitas basis. Yaitu, perluasan hidup menggereja dan bukanlah  entitas yang statis dan pasif. Sebaliknya menjadi komunitas basis yang proaktif dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, menjadi gerakan yang berorientasi kedepan untuk mengembangkan kehidupan berbangsa yang semakin beradab. Atau dengan kata lain bahwa Kaum Muda Katholik  sebagai Komunitas Basis didorong untuk terlibat langsung dalam penguasaan dan pembelajaran terus menerus terhadap seluruh perkembangan yang saat ini menjadi bagian masyarakat Dunia.
Diatas telah diuraikan bahwa IPTEK dapat menjawab pertanyaan Apa yang terjadi? Dan mungkin sampai bagaimana itu terjadi? Namun belum tentu mampu menjawab Mengapa terjadi? Oleh karena itu IPTEK, harus dilihat dalam kerangka Ciptaan Allah. Iptek berusaha memahami lebih dalam dan lebih sempurna tentang ciptaan Tuhan. Salah satu asas fundamental dari Iptek adalah keteraturan. Contoh, kalau seseorang memasak air di Afrika dan mendidih pada suhu 100 derajat C, maka hal yang sama juga berlaku di Sekretariat Panitia LKK PMKRI Cab. Padang, termasuk misalnya kalau di Bulan sudah bisa memasak air.
Dalam suasana perkembangan IPTEK yang melahirkan Globalisasi, pergumulan-pergumulan apakah yang sedang marak diantara umat Kristen? Salah satu yang paling menarik adalah Apakah IPTEK mendekatkan manusia pada Tuhan atau sebaliknya?

Catatan Akhir :
  1. Tulisan singkat ini, hanya sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi yang berlangsung.
  2. Sebagai suatu kerangka berfikir, tulisan pendek ini adalah wahana untuk membuka pemikiran kritis terhadap situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan orang-orang beriman.
 Disampaikan pada LKK PMKRI SUMATRA BARAT 11 Mei 2009.

RWM.BOONG BETHONY