15/02/22

Kudus versus Profan

Yang Kudus versus Yang Profan, Taman Ismail Marzuki masa kini - Renungan kebudayaan.
Dalam pengertian lebih luas, yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan dan atau pencemaran. Yaitu, sesuatu yang dihormati, dimuliakan, tidak dapat dinodai. Dalam konteks ini, pengertian 'yang kudus' tidak hanya terbatas pada agama. Maka banyak objek, baik sifat keagamaan pun bukan, berupa tindakan, tempat atau areal, kebiasaan atau tradisi bahkan gagasan-gagasan dapat dianggap sebagai kudus. Dalam pengertian sempit, yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat.
Sementara , yang profan adalah sesuatu yang biasa, umum, awam, tidak dikuduskan, bersifat sementara, tindakan-tindakan yang secara radikal mengubah bahkan meniadakan yang kudus.
Taman Ismail Marzuki (TIM) adalah areal atau tempat Kudus Kaum Budayawan dan Pegiat/praktisi Seni yang sudah berdiri dan mendapat pengakuan sahih khalayak Seniman - Budayawan juga dari kaum awam (Masyarakat penikmat dan Birokrat). Wibawa dan Marwah Taman Ismail Marzuki, tidak datang begitu saja atau diturunkan dari langit. Ia (Wibawa/Marwah) itu, butuh puluhan tahun dan ribuah bahkan jutaan Kaum Budayawan dan Pekerja Seni meneteskan keringat, melahirkan ide-ide/gagasan, menuangkan kreatifitas dalam ragam bentuk (audio visual - Filem, Lukisan, Tarian, Drama, Teater, Musik, Kesusastraan) hingga terbentuk seperti sekarang ini.
Dari sejak semula, Ketika Gubernur Ali Sadikin, Sang Legenda Jakarta itu, mewakafkan, menyerahkan areal yang dikenal sebagai Taman Ismail Marzuki ini, tahu bahwa Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya, butuh tempat, wadah, bagi kaum penjaga Bangsa yang kritis dan kreatif memelihara moral, nilai-nilai, norma-norma dan estetika sebagai Bangsa Indonesia (bukan negara).
Dari kandungan Taman Ismail Marzuki lahir Kaum Budayawan yang mumpuni, kaum seniman yang Handal dan tersohor keseluruh pelosok dunia.
Taman Ismail Marzuki / TIM merupakan Pertapaan para Beghawan Kebudayaan, tempat meditasi Empu-empu seni, Kawah candradimuka calon-calon Resi Budayawan dan Seniman.
Tempat untuk melahirkan gagasan/ide-ide kudus, pemikiran kudus, karya-karya kudus para budayawan dan seniman.
Taman Ismail Marzuki merupakan panggung ritual nan religius para Beghawan, para Empu, para Resi dari seluruh pelosok Negeri ini bahkan dari luar Negeri.
Tapi......para Danyang, para Sengkuni, para Durno/Druno, kaum pecinta dunia Profan, tak gembira, tak suka kekudusan itu.
Maka diutuslah DASAMUKA/Raksasa bermuka sepuluh (10) mengobrak - abrik Taman Ismail Marzuki dengan 'MANTRA MAHA SAKTI, REVITALISASI TIM'.
Pohon-pohon tumbang, akarnya tercerabut, bilik-bilik pertapaan rata tanah, pondok-pondok meditasi roboh berkalang debu, pondasi - pondasi perenungan musnah tergilas Gadah Dasamuka, lorong-lorong, rerumputan, bebatuan jadi abu sang angkara murka.
Meradang...yah meradang para Beghawan, marah kawanan Empu, murka kaum Resi. Semua, mendongak dan melawan dalam kekudusan.
Menyelamatkan, mempertahankan, Yang kudus versus yang profan.
Melawan kaum Durno/Druno, melawan kawanan Danyang, melawan Sengkuni yang di pimpin Dasamuka.
Romo Ro Wi Ma.
Pegiat Budaya dan Rohaniawan Protestan.
Tinggal di Jakarta.





RWM.BOONG BETHONY

KOMPAS 12 February 2016

Renungan tentang Kebudayaan.
by, romo Ro Wl Ma.
Dari koran kompas di halaman pertama, jumaat tgl 12 february 2016, Kompas menurunkan artikel 'Kapasitas, Jangan Rente'. Secara singkat Kompas menggambarkan bahwa BPK (Badan Pemeriksa Keungan) masih di sibukan di wilayah pertanggungjawaban keuangan program-program (tata kelola keuangan) di Negara tercinta ini. Masih menurut kompas, mustinya BPK tidak lagi sibuk di wilayah tata kelola, tetapi pada level tepat anggaran atau kwalitas penggunaan dan hasil anggaran itu. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelola anggaran belum mengerti atau paham bagaimana anggaran dapat di pergunakan (di belanjakan) sesuai tujuan anggaran itu. Ini persoalan besar yang mempertontonkan 'kepicikan' para birokrat penguasa pengguna anggaran. Di sisi lain Pemerintah, di samping pengakuan dan pembelaan, mengatakan bahwa kapasitas birokrasi menjadi penyebab utama, sehingga BPK pada 'baru' pada tahapan wilayah itu, mustinya, masih kata Kompas, BPK sudah berada pada wilayah pemeriksaan tepat guna dan hasil dari pengelolaan Anggaran yang ada.
Membaca artikel Kompas Jumaat kemaren, tersirat di benak saya, wajar jika Pembangunan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia mengalami keterlambatan di banding negara-negara Asean lainnya. Lhaa, bagaimana mampu bersaing jika para pengelola dalam hal ini Birokrat mengalami kebingungan atau tidak paham mempergunakan dan mengelola anggaran yang ada! Dengan kata lain, birokrat kita Bermasaalah! Penyakitnya ada di situ! Jadi pantas, jika kemudian persoalan keuangan 99 % di dominasi oleh Birokrat. Bukan karena anggaran yang tidak ada atau karena negara ini miskin.
Dengan kekayaan dan anggaran yang luar biasa itu, mustinya negara ini sejak 40 tahun lalu mensejajarkan diri dengan negara-negara di Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan, Singapure, dst.
Dengan situasi seperti itu, jangan berharap bahwa Negara ini sungguh akan mengalami kemajuan di bidang Ekonomi. Bagaimana mungkin anda sanggup berdiri tegak jika pencernaan anda sedang terganggu? Demikian saya mengibaratkan keadaan Negeri ini. Para pengelola Anggaran (birokarsi) seumpama pencernaan dalam tubuh kita. Sesuatu yang kita makan dan minum, akan di cerna lalu kemudian di distribusi sesuai kebutuhan tubuh dan sisanya/ampas yang tak bermanfaat itu di dibuang keluar. Dapat dibayangkan bagaimana derita seseorang yang pencernaannya tidak berfungsi dengan benar. Negara dengan 240-an juta jiwa ini, sudah terlalu lama mengalami persoalan ini, karena Birokrat yang tak berfungsi laiknya pencernaan anda itu.
Seperti Kompas tulis dalam artikel itu, Bahwa pengelolah (birokrat) anggaran 'bingung' untuk membelanjakan Anggaran yang ada, sebagai akibat dari kebingungan itu, maka lahirlah instanisasi program yang sesungguhnya tidak berdampak kuat terhadap pembangunan Ekonomi Negara. Anda masih ingat dengan program bedah rumah itu bukan? Apa 'impact' dari program itu? bukankah penghuninya masih tetap sama miskinnya? Apakah ada kenaikan kesejahteraan pada mereka yang menerima program itu? Program instan lainnya, bantuan tunai langsung (BTL) bentuk nominal kepada mereka yang katanya 'miskin', adakah dokumen akademis yang menelitinya? Misalnya, apa dampak ekonomi jangka panjang bagi penerima program BTL tersebut.
Buat saya, program instanisasi seperti dua contoh diatas, tidak kreatif apa lagi mau di sebut Cerdas. Ini justru mempertontonkan kebingungan itu.
Anehnya, saat ini banyak daerah mengalami minus untuk program-program pembangunannya. Saya yakin, daerah (propinsi, Kabupaten dan kota) yang minus anggaran itu, akan menyibukan BPK dan kelak KPK pada wilayah pengelolaan bukan pada zona hasil pengeloaan anggarannya.
Belajar pada negara tetangga Singapure.
Singapure negara yang hampir sama luasnya dengan DKI itu, tidak memiliki sumber daya Alam. Tetapi Singapure untuk saat ini, memgang peranan penting dalam system ekonomu dunia. Mengapa Singapure mencapai level sedemikian?
Saya membaca Laporan di Jurnal Ekonomi Asia yang berbahasa Ingris itu, mengatakan bahwa Birokrat dan birokrasi Singapure adalah pengguna anggaran negara yang cerdas dan berdampak luas pada pembangunan ekonomi Singapure (rakyat) bahkan pada negara tetangganya. Bandingkan dengan 'style' penggunaan/belanja Anggaran oleh Birokrat kita, yang sering kali hanya berdampak peningkatan ekonomi keluarga dan kroni-kroninya. Di Singapure jika ada birokrat yang penggunaan anggaran tidak tepat guna, maka ia akan mundur dari jabatan itu untuk menjalani proses-proses hukum. Di Indonesia, jika seorang birokrat kedapatan (ketahuan) berlaku seperti itu, ia akan berusaha menutupi dan mencari alasan serta berusaha menghindar dari proses-proses hukum. Sangat jelas perbandingan itu bukan?
Apa yang salah? Menurut saya ada pada Faktor Sumber Daya Insani (SDI) yang selama ini hanya terfokus dan berorientasi pada Pembangunan Insan yang berilmu dan penguasaan tehnologi belaka, kita abai pada Spiritual kemanusian (kebudayaan dan keadaban). Sekolah-sekolah Dasar hingga ke perguruan tinggi melulu berfikir soal Ilmu dan Tehnologi (belakangan Perguruan Tinggi Keagamaan cawe-cawe nyemplung kesana) dan mengenyampingkan Kebudayaan (seni, agama, etika, spiritual kebangsaan). Mentri pendidikan dan Kebudayaan bisa belajar dari Persoalan para Birokrat ini, bukankah semua birokrat yang ada itu hasil dari system pendidikan nasional?
Adakah yang salah dari Kebudayaan kita?
Dian Kencana, Heru S Sudjarwo dan 45 lainnya
27 Komentar
2 Kali dibagikan
Bagikan

27 Komentar

  • Endang Kasupardi
    Ada. Orang yang paham ilmu budaya hanya berteori dan hanya senang bicara tentang kebudayaan.
    2
  • Romo
    Kang Endang Kasupardi...itu salah satu penyakit kita di Indonesia sobat. Paham kebudayaan kita hanya teoritis. Bukan tataran praksis..seperti Kang Endang yang cinta luar biasa pada jengki qkqkqkqkqkqkkqkq kaboorrrrrrrrrrr achhh
    2
  • Saut Poltak Tambunan
    Tata kelola keuangan sering kali disentuh dengan kepentingan politik. Perubahan iklim dan arah politik mengubah/menciptakan aturan baru, dan untuk itu perlu sosialisasi, internalisasi, monitoring evaluasi, pengawasan dan entah apalagi.
    1
  • Romo
    Sobatku Saut Poltak Tambunan...tahapan yang sesungguhnya justru menghambat...bukan karena sitem monitoring tetapi semata karena para eksikutor anggaran tak paham bagaimana mengelolah....belum lagi sudah ada pengawasan tapi tetap saja eksikutornya jadi eksikotor...
    1
    • Saut Poltak Tambunan
      Banyak yg menolak jadi pengelola anggaran.
      1
    • Romo
      Sobatku Saut Poltak Tambunan...itu karena ketidak pahaman atas tujuan anggaran itu...kompas menyitir hal yang sama. Bahwa, birokrat kita mengalami kebingungan di satu sisi dan pada sisi lainnya justru menghamburkan anggaran itu tanpa ada evaluasi atas penggunaannya...
      1
  • Mryana Veta
    Kesalahan utama Romo, ketika instansi diminta untuk menyampaikan kebutuhan belanja operasionalnya, Pemerintah pusat melalui DIPA. ( Daftar Isian Proyek Anggaran) yang dihitungnya bukan detail kebutuhan belanja, melainkan berdasakan Alokasi Anggaran. Alokasi Anggaran itu dalam bentuk realisasinya sejumlah dana yang disediakan untuk peruntukkan yang sama sekali tak jelas.
    Contoh kecil ; Dalam DIPA dianggarkan beli meja tulis ukuran 1/2 biro. Kualitas meja itu apa dari jati, mahoni, triplek, semuanya tak jelas rinciannya. Belum pembelian inventarisasi barang yang besar.
    Inilah salah satu sumber kebocoran. Belum kongkalingkong dengan toko penjual.
    Itu yang saya lihat Romo.
    1
  • Romo
    Kangmas Mryana Veta...ya itu salah satu dari ribuan persoalan tehnis atas belanja anggaran.
    Yang ingin saya lihat percakapkan adalah, bahwa ada sesuatu yang menjadi penghambat atas lahu pembangunan ekonomi Indonesia yang menurut Kompas pada jumaat kemaren yaitu Daya Birokrat yang sangat minim untuk pengelolaan itu. Malah di gambarkan bingung menyikapinya...
    Dan tersirat, kompas mau bilang..sesungguhnya moralitas birokrat jadi penghambat laju itu...
    • Mryana Veta
      Pikiran dan kritik Kompas memang sangat serius. Terutama bagi pengelolaan administrasi negara. Tema yang Romo ajukan sangat relevan banget.
  • Romo
    Kangmas Mryana Veta...dalam beberapa buku yang saya baca mengenai teory kenegaraan dan pemerintahan, Hambatan-hambatan kemajuan sebuah negara boleh saya simpulkan atas beberapa hal di bawah ini :
    Yang pertama, karena sumber daya alam negara itu minim.
    Ke-dua, karena negara tersebut sedang kacau, akibat pemberontakan perang saudara dst,
    Ke-tiga pemerintahan yang korup.
    Menilik dari simpulan di atas, Negara kita bukan ketiga-tiganya lho. Memang Korupsi di Indonesia marak tetapi belum bisa kita sebut sebagai Pemerintahan yang korup. Menurut Kompas ada pada 'Level tengah' hambatan itu. Seperti yang coba saya urai dalam artikel kecil yang saya tulis serambi ngupi di warung kecil pinggiran jalan.
    Jika hambatan itu ada para Birokratnya...maka ini persoalan sumber daya manusianya. Jika itu soal SDI, maka ini juga soal Sistem pendidikan kita. Ada sesuatu dari sistem itu yang musti kita telisik. Atau bagaimana pendapat mas Mryana Veta?
    1
    • Mryana Veta
      Memang sangat kompleks Romo, Negara yang seharusnya lebih kaya Singapora atau Brunei, malah jadi miskin hampir setingkat Piliphina. Faktor perusak negara yang utama adalah Pegawai Negeri, Romo. Saya sebagai PNS terkucilkan bertahun-tahun. Bayangkan Romo, 47 tahun mengabdi pada negara dengan golongan IV c. hanya punya pensiun. 3.900.00/ bulan hanya karena jadi pembangkang atasan.
      Mereka yang pandai jilat, satu tahun masa kerja punya rumah dan mobil baru Romo. Ini cuma contoh.
    • Romo
      Saya bangga, menaruh hormat padamu kangmas Mryana Veta....tidak banyak birokrat yang berani bernurani laiknya kangmas. Dan ini realitas kekinian kita.
      Jadi jika kompas berani menurunkan tulisan demikian, itu karena tak terbantahkan...doa rahayu untuk kangmas beserta keluarga.
    • Mryana Veta
      Soal pendidikan, memang anak2 kita dididik menghapal dengan reward raport bagus. Pada orang yang paling bertanggungjawab dalam soal pendidikan bukan hanya orang tua, tapi juga Guru. Ada komunitas gank Ujian Nasional. Ada komunitas guru2 privats. Adan komunitas katrol angka. Wah kita brigidik Romo. Maaf, kalah saya percaya pada Ivan Illich ; Sekolah memang proyek pembodohan masal.
    • Romo
      Makanya pada akhir artikel saya bertanya bahwa ada sesuatu dalam sistem kebudayaan kita.
      Saua juga membaca karya Ivan Illich itu...mustinya buku itu merupakan salah satu buku utama pendidikan keguruan di indonesia.
      1
  • Bunga Beryl
    kembali lagi masalah moralitas yang masih harus di garis bawahi..Hm..semoga hal ini juga dipandang penting oleh para pendidik dan orang tua , seperti kita, sehingga generasi platinum ini memiliki perbedaan moralitas...
    1
  • Budiyono Jayus Alipawiro
    Dpikir posing ga dipikir ketok moto trs pie jal
    1
  • Romo
    Sobat Bunga Beryl...bermula dari sana sobat. Pada bilik-bilik pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara berpesan pada bangsa dan negara ini, Bahwa Pengajaran itu adalah Pendidikan Kebudayaan Masyarakat. Sepakat para pendidik musti memperhatikan itu... salam dan doa rahayu.
    1
  • Romo
    Ki Lurah Bidiyono Budiyono Jayus Alipawiro....ora mbok pikir kiii. Seng penting Petani Indonesia isok sejahtera..wehhh ngajari ki lurah ki...kaboorrr ach tinimbang di sambit nganggo werengggg qkqkqkqk
  • Kudawaningpati IX
    ... (ikutan nimbrung mikir, Romo) barangkali, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada ilmu dan penguasaan teknologi - selain mempertegas adanya 'ruang kosong' di sisi lain tadi - justru melahirkan 'virus baru' yang bermutasi ke dalam cara berfikir masyarakat ... (semacam cara berfikir 'mesin' begitu) ...,Romo.
    2
  • Romo
    Sobatku Kudawaningpati IX....dalam sebuah pidatonya Ki Hajar Dewantara bertutur begini dihadapan pemuda/i di Yogyakarta : Bahwa Pendidikan itu merupakan pengajaran kebudayaan pada masyarakat...Orientasi yang dimaksud oleh bapak pendidikan nasional itu ialah : Pendidikan ialah membudayakan masyarakat. Jika filosofi ini hanya tersimpan di perpustakaan sekolah-sekolah, maka ruang kosong seperti yang sobat ungkap dalam komentar diatas terlihat dari hasil pendidikan itu.
    2
  • Faruk Tripoli
    birokrat itu penguasa. penguasa itu cita-cita semua orang indonesia, termasuk guru, dosen, tentara, tukang parkir, kyai, pastur, dsb. kuwasa, kuwasa...
  • Faruk Tripoli
    bahkan pedagang...
  • Romo
    Selamat malam kangmas Faruk Tripoli....iming-iming kekuasaan memang dahsyat ya prof....
  • Mryana Veta
    Soalnya politik anggaran kita diukur dari ketepatan
    menghabiskan anggaran tepat waktu. Tidak sama sekali berpikir dibelikan apa, apa urgensinya barang itu dan bagaimana kualitasnya.
    BPK, BPKP maupun Inspketorat selalu akan bertanya, berapa sisa anggaran yang belum terserap ? Tak terpikir awalnya, barang2 dengan kualitas bagaimana yang sudah dibeli. Apa urgensinya barang itu bagi operasional kantor, dlsb.
    Absurdnya, para Kepala Dinas, Bupati, Walikota, mungkin juga para terlihat gregogi di akhir bila banyak pos2 yang tak terserap. Maka ramai2lah mereka belomba saling menghabiskan anggaran.
    Ukuran keberhasilan sebuah lemba diuukur sejauhmana ia bisa menghabiskan anggaran tepat waktu. Tak peduli apa barang yg dibeli sesuai kebutuhan.
    Itulah wajah sebenarnya dari politik anggaran kita, Romo.




RWM.BOONG BETHONY