Renungan pendek : Latah.
Indonesia itu serba multi. Mulai dari warna kulit penduduknya sampai pada keanehan masyarakatnya.
Teringat saat Stunami memporak poranda Aceh, disusul beberapa gempa dahsyat yang merobohkan rumah dan fasiltas umum di berbagai daerah.
Ketika itu hampir semua orang, kalangan tani dan nelayan, pedagang dan pembeli, birokrat dan rakyat jelata, para pakar dan awam, rohaniawan dan umat, tiba-tiba jadi ahli stunami, jadi pakar gempa. Yang lebih parah ialah, penyataan-penyataan kaum ahli agama dari mimbar dan podium-podium yang merasa lebih tahu dari pakar stunami dan gempa yang bertahun-tahun menuntut ilmu sampai keluar negeri. Belum lagi pengutipan ayat-ayat suci untuk meyakinkan umat bahwa kaum agamawan itu lebih tahu, lebih paham, lebih mengerti dan lebih ahli dari pakar yang bergelar profesor pun.
Sekarang, saat virus corona (Covid 19) merebak dan menjalar keseantaro negeri seberang dan masuk Indonesia, yang paling banyak komentarnya, paling seru analisanya bahkan memberi solusi penangkal menghadapi Covid 19 itu adalah mereka yang kita sebut sebagai rohaniawan, agamawan. Jumlah kaum yang tiba-tiba pakar ini, tiba-tiba ahli ini, tak terbilang. Mereka ada dimana-mana, di kampung, desa, kota bahkan megapolitan Jakarta pun disesaki olah kaum tiba-tiba pakar ini, tiba-tiba ahli ini.
Pendapat mereka, opininya, tersuar dari berbagai mimbar, podium bahkan muncul di layar - layar Televisi.
Suaranya, teriakannya, dengungannya mengalahkan kaum pakar, kaum ahli, yang sungguh pakar dan benar ahli.
Akibatnya, terjadi kebingungan, chaos pikir, dan heboh di tengah kalayak.
Agaknya, Indonesia bukan hanya multi etnis, tradisi, bahasa dan agama, tetapi juga multi pendapat pada cara mengobati, menangkal virus Copid 19 akibat kehadiran kaum latah ini.
Berharap anda semua tidak latah mengikuti pendapat, opini kaum latah yang tiba-tiba jadi pakar apa saja, tiba-tiba jadi ahli apa saja.
Salam dan doa Rahayu.
Romo RoWiMa - Pemerhati kebudayaan dan praktisi.
Dialog pagi.
"Mo, Romo.." seorang ibu memanggil saya dari samping disela-sela diskusi reproduksi dan kesehatan.
"ya bu?"
"Romo kan rajin baca buku. Tahu soal implan kan?"
"tahu dikit" jawabku, heran atas pertanyaannya. Belum pernah ada umat atau kawan-kawanku yang bertanya begitu.
"Apa pendapat Romo soal implan?"
"Maksud ibu?"
"Banyak teman arisan masang implan di bagian tertentu tubuh mereka Mo"
"Oh ya? trus.."
"Aku tanya pendapat Romo" tandasnya sambil menatap.
"Hm..gimana ya bu..banyak orang melakukan operasi plastik dan pasang implan pasti punya tujuan bukan?"
"Iya Mo. Teman-teman aku itu, beralasan supaya terlihat seksi dan modis"
"Yah jaman sekarang penampilan luar lagi trendi ya bu. Kalau boleh tahu, bagian tubuh mana saja yang dioperasi teman-teman ibu?"
"Ealahh...Romo malah nanya kek gitu" Ibu ini tersenyum simpul membalas tatapanku.
"Ada di bokong, dada, dan sekitar wajah Romo"
"Wouw...menarik tuhh"
"Iya Mo hihihihi. Jadi apa pendapat Romo?"
"Itu hak setiap orang ya bu. Dan nggak ada larangan untuk itu. Pasang Implan atau operasi plastik hal yang biasa di masa modern ini. Komentar saya tentang operasi plastik dan pemasangan implan ialah Dingin dan kaku"
"Maksud Romo?" cecar si ibu mrnatap tajam kearahku.
"Yaa ibu pikir saja...bokong jadi semok tapi dingin, buah dada jadi besar tapi dingin, wajah mulus dan cantik juga dingin dan kaku...karena darah yang hangat tidak bisa mengalir kesana bukan?"
"Iya sih"
"Nach, mengapa ibu bertanya tentang ini?"
"Anu mooo...." tapi ibu ini tak melanjutkan kalimatnya karena seseorang datang menghampiri dan menyodorkan absensi acara seminar itu dan tiba giliranku untuk bicara sebagai narasumber.
"Mooo kita sambung kapan-kapan ya.."
Aku hanya mengangguk sambil berjalan ke podium.
Selamat pagi sobat-sobat semua.
Salam dan doa Rahayu.
Siapakah yang paling rugi saat seseorang berbohong?
Sudah pasti diri sendiri dan berbahaya pada orang lain.
Sayang bahwa kebohongan, dusta, sering dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya jadi contoh.
Dipanggung teater aktor/artis memerankan orang lain, setidak-tidaknya meniru orang lain atau tokoh dalam naskah melalui arahan sutradara. Itu panggung sandiwara!
Tetapi sungguh berbahaya orang yang memerankan kebohongan dalam dunia nyata. Sebab disamping merugikan diri sendiri, ia membahayakan banyak orang termasuk mengancam keberlangsungan harmoni alam dan manusia.
Anda tidak percaya?
Silahkan teliti, simak, kasus-kasus Korupsi, penyelewengan jabatan, penyalah gunaan wewenang, pembelokan status sebagai figur publik, manipulasi data, menyampaikan kabar dan pemutar balikan fakta, menutupi yang benar, dst.
Hiksss.
Surga dan Neraka? Apa itu!
Surga atau neraka, tak penting selagi aku hidup
Hidupku di sini, di bumi, di dunia
Selagi hidup tak mau surga atau neraka merebutnya terlebih hidup demi surga apa lagi demi neraka
Aku, kau dan bumi ialah kehidupan
Hutan, rawa, lembah, sungai, gunung, desa dan kota ialah realitas.
Tapi surga?
Neraka?
Nanti saat mati.
Siapa mau menukar hidup dengan surga, tak ada. Apalagi neraka.
Sekalipun seorang kiyai, ustad, pendeta atau pastor.
Hidup adalah cinta
Hidup ialah kasih
Dan cinta kasih ada pada hidup
Siapa mencinta surga, silahkan duluan kesana.
Aku di sini saja nikmati hidup
Menikmati cinta
Merasakan kasih
Apa lagi neraka
Jika kelak aku mati, tak peduli apa itu surga apa itu neraka, yang utama saat ini adalah membagi hidup, membagi bahagia, membagi kegembiraan, mencintai, mengasihi
Siapa tak mau hidup, pergi kesurga atau pilih neraka.
Yang asyik saat ini, adalah bicara kehidupan, mempercakap cinta menajamkan kasih
Mengubah benci jadi cinta
Merubah dendam jadi kasih
Jangan dengar petuah tentang surga atau neraka, sebab si petuah tak pernah kesana
Usah peduli petutur surga atau neraka, karena ia tak mengerti apa surga dan apa neraka
Bukankah surga itu cinta kasih?
Bukankah neraka itu kebencian?
Ayo bercakap soal cinta, tentang kasih
itu penting dari sekedar bertengkar tentang surga dan neraka.
Siapa mengasihi sesama mencipta surga
Siapa menyayang sesama menghadirkan surga
Siapa mencinta sesama membawa surga
Tapi neraka adalah adu domba, benci, dengki dan dendam.
Ia merusak surga.
(Jakarta, akhir February 2020)
------------------------------------------
Sajaka Malam-malam sunyi.
Lampu lampu kehilangan cahaya meski menyala
Jalan, selasar, panggung, sepi.
Tak ada suara tawa, tiada perbantahan mutual, bahkan coretan perupa menghilang hanya sesekali terdengar puisi mengalun terbawa angin
Rumah yang dulu riuh, rame dan kreatif jadi kubur, hanya puing-puing tinggal bata-bata berserakan
Gelas, piring, garpu dan sendok tak lagi beradu, gerobak - gerobak beraroma sate, nasi goreng, cilok dan gorengan mengungsi entah kemana.
Duh kekasih, malang nian engkau
Bercumbu mesin penggilas sejarah pemamah narasi - narasi pengulum naratif panggung
Aduh sungguh buruk perjalananmu kekasih gagah tegak tak nampak kecantikan luntur terburai hanyut terbawa arus revitalisasi
teringat Umar Kayam ketika menulis Kunang-kunang di Manhattan tapi engkau lebih sunyi dari itu, bukan sunyi di keramaian tapi engkau sunyi itu.
Dan sesunyi itu berarti mati
Aku tak mau mengirim krans kembang terlebih keranda sebab berarti aku pun mati
Mau aku menumpuk bata-bata berserakan dan menyusun puing yang terserak lalu sekali lagi meminta agar mesin-mesin penggilas zaman itu meruntuhkan tumpukan dan susunan tersisa
Agar semua tahu, sunyi adalah kehidupan
Di sini engkau kekasih di hati, di otak, di kaki, di tangan. Di situ Taman kami ada selamanya.
(TIM, Medio February 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar