Sajak-sajak menjelang Paskah.
Sajak Pentahir
Reranting kamboja yang lama kerontang hijau berkembang, putih, kuning dan merah muda, di areal lima hektar itu banyak yang di tanam tapi tak pernah bertumbuh terlebih berbunga, mekar ngembang.
Bergantian yang menanam disitu, tak henti tak bosan, bahkan ketika tak berhasil, tak berbuah dan tak pernah dituai.
Begitulah suratan insan dalam bab buku-buku suci.
Tak berubah hingga tak ada lagi yang menanam, yang ditanam.
Kemaren, tak ada nyanyi, tak ada doa, tak ada siapa ketika areal sekitar kamboja menerima tanaman baru, hanya rinai tipis dan kebisuan si penggali kubur. Padahal tanaman itu si penyembuh, si pentahir, si penjamah. Ia layu oleh mereka yang disembuhkan, kuyu sebab yang ditahirkan, lunglai karena yang dijamah. Sejak itu, tak pernah jumpa kerabat bahkan ketika kemaren itu, ia pergi sendiri.
Air mata mengering, meratap dan lara. Menatap dari jauh dalam kotak kecil, tak ada sentuhan tak ada pesan, sesal dan duka tak kentara.
Hari ini, bunga kamboja luruh, mengering diatas seonggok tanah basah, nisan beton abu-abu tanpa ukiran menancap kokoh, entah siapa yang menanam, ditanam.
Simpang siur cerita tentang itu, di katakan dia orang jakarta, disebut pula ia orang depok, orang bekasi, orang tngerang katanya. Tak jelas dari mana.
Yang pasti, tanaman itu adalah penyembuh, pentahir, penjamah.
Dari gereja tua, aku berdoa untuk dokter dan perawat, mereka memberi hidup agar orang lain memiliki hidup.
(Pasar Minggu, medio April 2020)
Kebangkitan
Ketika sajak-sajak menjelma jadi sel-sel kehidupan, energi memuisi menebar kasih tiada akhir.
Dan hidup itu kau terima.
Tak ada sajak memuisi seperti itu.
Saat 'lockdown' itu terbuka, sajak mati memuisi gembira
Dan pintu terbuka abadi
Kuburan kosong tetap melompong
Kembang pun dupa serupa penjor, cinta rewarna
Tiada lagi sajak sesajak ini
Waktu bukan soal hanya kasih hanya cinta bukankah itu hidup?
Tak ada puisi seindah hidup
Tiada sajak selain hidup
(Pasar Minggu, Paskah'20)
Babad
Jalanan lengang lorong sepi gang sunyi, rumah-rumah tertutup rapat, hati tercekat. Kota yang biasa rame tiba-tiba mati, tak bergerak, hanya mematung, terdiam. Tinggal prajurit yang hilir mudik, meronda, menjaga, sambil membawa pentung entah untuk apa di kota sesunyi ini.
Tapi di ujung kampung Barabas sedang asyik menikmati domba panggang dan sebotol anggur merah. Ia tak perlu takut dalam situasi seperti ini, semua sudah tersedia. Api unggun, daging panggang, roti kering dan beberapa botol anggur.
"Mari bergembira kawan-kawan, toh aku pulih. Isolasi itu tak pernah mengubah diriku. Aku tetap Barabas yang tidak takut apapun"
Di istana, raja dan punggawa asyik berpesta, tari perut, tetabuhan, aneka hidangan. Tak perduli, mereka yang mendekam dirumah sambil menahan lapar dan takut.
"Wabah untuk rakyat, bukan untuk penghuni istana" teriak Herodes, wajah merah anggur sarat di ruang.
"Bukankah pembawa virus sudah di isolasi? Ia tidak akan menularkan lagi, ayo rayakan, pestakan, cherss" sambung herodes.
Malam tak pernah berubah, hanya waktu diam-diam bergulir, insan menggelisahi, kecemasan
Tapi virus bukan orang, ia selalu ada dalam pesta, hadir pada sunyi, menjalar sepi, mengisi kosong dan menembus kebisuan waktu. Persis kecemasan imam-imam di baitullah, lupa berdoa, ingkar keimaman, menyangkal panggilan dan hanya tahu melaknat, menghakimi, mengklaim pemilik surga.
Tiada sunyi absolut
Tiada sepi sesungguh
Jika TUHAN tidak bertahta dalam hati, dalam batin, dalam jiwa.
Malam itu dari ruang sunyi isolasi covid 19.
IA berdoa untuk Barabas, Herodes dan insan gelisah.
(awal April'20)
perjamuan
Daging bakar domba muda yang gurih dan kenyal terhidang di meja bundar, lidah-lidah api dari perapian menyebar warna merah saga berpadu rona anggur di wajah.
Ini jamuan cinta, jangan bersedih
Ini hidangan malam gurih dan lezat, jangan pilu
Bergembiralah
Mari bersenang-senang
Tuang anggurmu, kunyah daging domba bakar ini
Sebab esok bukan hari ini, biarlah cerita untuk itu berkisah lain
Tapi disini, dalam ruang ini, dalam hati, puaskan
Tak perlu sesal jangan gusar
Senangkan hati senyampang ada waktu
Bersuka rialah mumpung berkesempatan
Bergembiralah selagi malam
Karena tiba saat berdoa waktu hilang dan malam memendek, sesal pun tak berarti, gegabah selalu di belakang
Api masih menyala ketika anggur membakar hati, menghanguskan pikiran dan memperabukan jiwa.
"Ini daging domba paling empuk !" teriakmu nyalang berdiri menghunus pendang pendek.
"Jangankan ingkar, pedang ini menggoroku, aku rela" kau gebrak meja matamu nyalang. Marah mendengar ada yang yang ingkar, ada penyangkal.
Daging bakar domba muda, gurih dan empuk mulai menipis di meja bundar, redup perapian menyebar bayangan, menghitam di kadera tua, gelas anggur kosong melompong tak jelas mana rupa mana wajah.
Jangan henti bergembira
Tak perlu bersedih
Tiap hidup ada kisahnya
Ceritanya beda
Mengapa menyesal, mengapa kecewa
Tuang anggur dan nikmati domba ini, sebab esok tak tentu, tak pasti.
Tapi disini, dalam ruang ini pada hati ini, dalam jiwa ini api masih menyala bukan?
Jangan biarkan padam meski dalam gemuruh topan walau malam gulita tanpa ujung.
Ini bukan akhir cerita lantaran esok tak tentu
Berdoalah meski malam pendek sebab kau butuh itu
"Bukan ini jamuan cinta, bukan jamuan kasih" teriakmu sambil memeluk jubah putih bernoda anggur dan berlari menuju bukit, dimana penyamun menanti dengan ciuman mesra.
(Awal April'20)
Fragmen di sudut kota.
"Kamu siapa?" Lelaki setengah baya berpakaian mewah itu bertanya pada anak muda yang duduk diseberang meja kerjanya.
"Saya murid orang Nazareth yang bapak ingin tangkap itu"
"Apa maumu anak muda?"
"Saya ingin menawarkan jasa!"
"Maksudmu?"
"Selama ini bapak ragu menangkapnya karena selalu berada ditengah kerumunan orang banyak bukan?" Pemuda itu meraih cangkir anggur dari meja dan meneguk sebagian isinya. "bapak kawatir orang-orang banyak itu marah bukan?" Kalimatnya menggantung.
"Ya..kemudian apa yang kau tawarkan pada kami?" Potong seorang lelaki setengah baya yang duduk disamping lelaki pertama tadi.
Pemuda berpaling "begini bapak. Beberapa hari lagi guru dan kami murid-muridnya kan melakukan retreat di tempat sepi tak jauh dari kota ini.." lagi pemuda itu menggantung kalimatnya.
"To the point saja anak muda, apa maumu!" Lelaki baya pertama menyambar tak sabaran.
"Begini..." Pemuda itu menuangkan isi teko kedalam cangkirnya. "Jika bapak-bapak dapat menangkapnya, berapa harga jasa saya?" Tantang anak muda itu sambil menikmati anggur merah dari cangkir.
Kedua lelaki baya saling menatap lalu berbisik-bisik.
"Jika kau bersedia menunjukkan tempat itu dan kami dapat menangkapnya, jasamu kami hargai 30 keping perak!" Lelaki baya kedua menyahuti dengan tegas.
"Baiklah.. beberapa hari lagi saya akan temui bapak-bapak di cafe ini" lelaki muda itu berdiri dan menyalami dua lelaki baya berpakaian mewah yang acuh tak acuh mengulurkan tangan untuk mendapat ciuman pemuda itu.
"Sebaiknya kau pesan anggur lagi Zefanya!" Perintah lelaki baya pertama sambil mengeluarkan pundi. "Ini beaya untuk penangkap pemuda Nazareth itu. Kalau kurang nanti aku tambah" ia lemparkan pundi keatas meja.
"Baiklah bapak ketua"
Sementara itu, kota tua yang juga mendapat julukan kota raja itu mulai diselimuti halimun tipis yang turun dari bukit-bukit disekitar.
Di lorong kecil diantara gedung-gedung persegi itu sepi.
Daun palem melambai-lambai.
(Kisah baru dimulai)
Sajak tentang kekasih I.
Di ujung senja, kau tanya. Apa mengerti perkataanya?
Aku mengangguk lalu memetik sehelai daun merobek, hingga tinggal kerangka.
Tapi kau, raih ranting lebat maka rontok dedaun, lalu kau katakan, mengapa tak dengar?
Aku terkejut, teringat pertama kali menanam bibit pohon ini dan meraksasa berapa tahun setelahnya.
Bukan daun, teriakmu. Dan berlalu begitu saja.
Dari ujung taman, sayup suara menusuk gendang telinga. Jika ingin mendengar, diamlah kekasih.
Ku panjat pohon terus ke ujung dahan, menyibak rimbun daun, memandang ke segala arah. Liar. Seliar Hanoman mencari-cari Shinta di taman Argasoka.
Kau, hilang.
Tak usah mencari, sia-sia, bisikmu dari seluruh penjuru.
Angin bertiup, mendorong, pohon bergoyang, berliuk-liuk.
Pucuk erat kupeluk.
Persis, seorang anak kecil memeluk mainan.
Oh tak ingin kulepas.
Pelahan aku turun dan lompat dari dahan terakhir.
Daun berserakan, memerah, menutup hijau rumput, seperti warna darah bayi - bayi Betlehem sembelihan Herodes.
Terasa sejuk telapak mengayun langkah demi langkah.
Oh tak ingin terlepas.
Maka tembok-tembok tinggi, kokoh kubangun, kubuat, paku dan beling siap merajam siapa coba.
Aku disini kekasih!
Gemuruh suara, meniup, daun melayang, merah, hijau, jadi jelaga, langit gelap.
Ruang ruang perlemen menghambur, anyir, busuk merasuk kemana-mana, pada siapa dan apa.
Oh tak ingin melepas.
Sore di taman, Rahwana merayu Shinta.
Dianggapnya titisan Dewi Sri.
Perempuan penakluk lelaki perkasa sepertinya.
Hanuman meniup seruling, mengayun - ayun rindu Rama. Dalang mengusir Kumbakarna, memanggang Hanuman, Argasoka, Alengka, jadi debu.
Oh semua lepas.
Tak ada yang abadi, bisikmu.
Siuman dan membuka jendela, memandang pesta kumbang dan kupu-kupu, menghisap madu.
Raih bahagia.
Mereka tak pernah menanam bunga bukan? Tandasmu, mengejutkan.
Angin mengelus kepala, membelai wajah, dan menanggalkan pakaian.
Saat itu, aku malu. Malu pada tanah, rumput, pohon, kupu-kupu, kumbang, dan aku.
Nach, dengar!. Jika tak diam tak ada yang kau mengerti.
Biar pikiran, hati, jiwa.
Mendengar.
Dimana engkau kekasih?
Di sini, dalam nadimu.
(awal April)
Sunyi di lorong
Ketika jalan lengang
Ketika angkasa sunyi
Ketika pertokoan dan warung senyap
Waktu pun henti
Saat rumah ibadah kosong
Saat stasiun dan terminal hampa
Saat bangku pendidikan melompong
Waktu melambat
Kota-kota hilang di telan sepi
Rumah-rumah dikulum sunyi, dan
Waktu berlalu
Ketika sepi jadi duka
Ketika sunyi berubah tangis
Ketika senyap menjelma airmata
Waktu bersedih
Saat doa menyakitkan
Saat keriuhan derita
Saat pengajaran keprihatinan
Waktu membisu
Kota duka melalar
Rumah sedih tak henti, dan
waktu - waktu nestapa
Ketika dunia lengang dan sepi
Ketika kota dan rumah sunyi dan hampa, lalu
Saat ibadah khusuk mendalam pikiran kosong melompong
Saat duka dan nestapa TUHAN terlalu dekat.
Sunyi di lorong I.
Ketika pintu, jendela, tertutup
Halaman sunyi
Saat pagar terkunci rapat
Celoteh membisu
Sunyi waktu diam-diam bergulir
Waktu bisu pelahan beringsut
Keteduhan hanya Dia
Bersandar padaNYA
Ketika gerak dan energi henti
Roda dan mesin tak berharga
Saat pikiran dan olah tubuh mematung
Hidup kaku
Cerita mati
Ketika hati melompong
Sunyi pikiran
Saat jiwa meratap
Kalbu tersayat
Kemana meminta pertolongan
Pada siapa pengharapan
Oh Allah
Oh Tuhan
Lorong kami sunyi dan sepi
(Akhir maret'20)
Sunyi di lorong III
Sungguh kenyataan ini.
Lorong itu makin sunyi.
Jalan-jalan sepi
Kota, desa, kampung dan dusun membisu
Dan tanah pekuburan terdiam senyap
Tanpa doa, tanpa air mata
Adakah pedih seperih ini
Gemuruh di hati menggetar tak pasti
Pada siapa meminta pertolongan?
Sewaktu sunyi
Berwaktu sepi
Perwaktuan menyunyi
Waktu membisu
Kemana memohon bantuan
Dalam sunyi
(Awal April'20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar