23/09/16

Devotional Culture.

Devotional Culture.

Pluralism The fact that (try to ..) be banned
Romo Ro Wi Ma.

One of the realities of the postmodern era is a reality on the recognition of pluralism or diversity. It has been suggested naively that it is the recognition of pluralism in one God with different religion, I just want to ask those who interpret it as such. Because the interpretation and understanding as it precisely: narrows, narrowing and silting meaning of what it Pluralism.
Pluralism Is not that the reception on diversity in the broadest sense. Namely the recognition of the presence of: Ethnicity, other Faith (their religion and beliefs), Language, Options for Politics, Gender, and various other aspects of life, both social as well as within the framework of the state and nation.
In social studies, anthropology and multicultural, diversity is a condition or situation or factors that lead to progress in many countries.
Countries that accept pluralism as a social foundation society is far more advanced than in the countries covered in diversity, and community or residents can enjoy the well-being of much higher or much more prosperous.
By contrast, countries that community or its inhabitants and covered reign on diversity or pluralism, inclined at Quo statusf labels even 'poor'. Energy and attention in countries that reject pluralism or diversity is often depleted in the desire to maintain or hang on uniformity. And their presence is not forbid, a party, in religion, tribe, the same language, compatriot, different skin color, and so on. The point is not the same then become enemies.
Whereas Since the early universe was created to accommodate diversity, cultivate and develop this diversity might even Earth is not the only planet in the habitable living beings given that our sun is not the only star clusters in the Universe this. There are clusters of the Milky Way (Ing. Milky Way; Ex. Via Lactea, Yun. Galaxias), Star Cluster Open (Open Cluster), Ball star cluster. (Globular clusters), and so on.
Indonesia is the world's largest archipelago accompanied by diversity of ethnicity, language, belief and religion, language, traditions, arts, and so on. To deny this, it means the denial of the Act of 1945, Proclamation and Pancasila.
In the text and context of Indonesia, the real recognition of diversity or pluralism is not something new or strange. The fact the relics in the form of building ornaments and inscriptions showing the situation. Prambanan temple in Klaten, for example, is a blend of Bhuda and Hindu architecture, as well as the Borobudur Temple in Magelang, that some parts of the Hindu sitektur relief characterize his era. Whether, Prambanan and Borobudur then adheres to the presence of the God they worship? Apparently not, blend sitektur it, want to express respect for the presence of other religions.
In today's modern houses of Christian worship and Islam is often a blend of European sitektur with background sitektur Christianity and the Middle East with Islamic cultural background. Or the Great Mosque Istiqlal is the dome-like church Blendoeg Semarang and Jakarta Immanuel Church in Gambir. Or Mesdjid Court in Holy relics Walisanga, where sitektur building adopts three cultures, Islamic, Hindu and Javanese. What I am trying to put forward as examples of buildings above, is a show about the acceptance of their presence are different.
Viewing social thinkers such as Amartya Sen, gave instructions that the history of nations in the world, suggesting that the Pluralism (acceptance of diversity is NOT recognition in one God) is the requirement to give birth to the welfare of society.
Presumably, the awareness to recognize and accept pluralism as a cue for the common welfare, need campaigned, conveyed, in the voice, in preaching, anywhere. Yes in Primary education (elementary, middle, high school / vocational school) up to college, so in the church, so in the mosque, so in pure or temples, yes pagoda, in the club - sporting club, in the theater, so in seminary and the School of Theology, in Pesantren yes, yes in the parliament, yes in the bureaucracy, principally in unmute where and anywhere.
In the text and context of this, the stakeholders of Public Welfare (government) and those who need welfare (People) need to change the paradigm and continuously echoes Pluralism as joint cultural education teaching.

Romo Ma Ro Wl
The priest Culture and Protestant observers.
Stay in Samarinda.

Indonesian Verzion
Renungan Kebudayaan.

Pluralisme Kenyataan yang (coba untuk..) di ingkari
Romo Ro Wl Ma.

Salah satu realitas era pascamodernisme adalah kenyataan pada Pluralisme atau pengakuan pada Keberagaman. Ada yang menafsirkan secara naif bahwa Pluralisme itu adalah Pengakuan pada satu Tuhan dengan berbagai Agama, saya justru ingin bertanya pada mereka yang menafsirkannya seperti itu. Karena penafsiran dan pengertian seperti itu justru : mempersempit, mengecilkan dan pendangkalan makna apa itu Pluralisme.
Bukankah Pluralisme itu penerimaan pada Keberagaman dalam arti seluas-luasnya. Yaitu pengakuan pada kehadiran : Etnisitas, Iman lain (adanya agama dan kepercayaan), Bahasa, Pilihan Politik, Gender, serta berbagai aspek hidup lainnya, baik secara sosial kemasyarakatan maupun dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Dalam kajian sosial, antropologi dan multikultural, keberagaman merupakan keadaan atau situasi atau faktor yang memicu kemajuan di berbagai negara. 
Negara-negara yang menerima Pluralisme sebagai pondasi sosial masyarakatnya ternyata jauh lebih maju dari pada negara-negara yang tertutup pada keberagaman, dan masyarakat atau penduduknya dapat menikmati kesejahteraan jauh lebih tinggi atau jauh lebih sejahtera.
Sebaliknya, negara-negara yang masyarakat atau penduduknya dan Pemerintahannya tertutup pada keberagaman atau pluralisme, cenderung pada lebel statusf Quo bahkan 'miskin'. Energi dan perhatian di negara-negara yang menolak Pluralisme atau keberagaman seringkali terkuras pada keinginan menjaga atau bertahan pada penyeragaman. Dan mengharamkan kehadiran mereka yang tidak, segolongan, seagama, sesuku, bahasa yang sama, sekampung, warna kulit yang berbeda, dst. Intinya tidak sama maka menjadi musuh. 
Padahal Sejak awal alam raya diciptakan untuk menampung keberagaman, menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman bahkan mungkin Bumi ini bukan satu-satunya planet yang di huni mahkluk hidup mengingat bahwa Matahari kita bukan satu-satunya gugus bintang di Alam Raya ini. Ada gugus Bima Sakti (Ing. Milky Way; Lat. Via Lactea, Yun. Galaxias), Gugus Bintang Terbuka (Open Cluster), gugus Bintang Bola. (Globuler Cluster), dst. 
Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia di sertai keanekaan Etnisitas, bahasa, Kepercayaan dan Agama, Bahasa, tradisi, kesenian, dst. Mengingkari hal ini, berarti pengingkaran pada Undang-Undang Dasar 1945, Proklamasi dan Pancasila.
Dalam teks dan konteks Indonesia, sesungguhnya pengakuan terhadap Keberagaman atau Pluralisme bukan sesuatu yang baru, atau asing. Kenyataan pada peninggalan-peninggalan berupa ornamen bangunan dan prasasti mempertontonkan keadaan itu. Candi Prambanan di Klaten misalnya, merupakan perpaduan arsitektur Bhuda dan Hindu, demikian juga Candi Borobudur di Magelang, yang beberapa bagian dari relief mencirikan sitektur Hindu di jamannya. Apakah, Candi Prambanan dan Candi Borobudur kemudian menganut pada adanya satu Tuhan yang mereka sembah? Ternyata tidak, perpaduan sitektur itu, mau menyatakan penghormatan pada kehadiran agama lain. 
Di jaman modern ini Rumah-rumah ibadah Kristiani dan Islam pun sering merupakan perpaduan sitektur eropa dengan latar belakang kekristenan dan sitektur Timur Tengah dengan latar belakang budaya islam. Atau mesjid Agung Istiqlal Jakarta yang dengan kubah yang mirip Gereja Blendoeg Semarang dan Gereja Immanuel di Gambir Jakarta. Atau Mesdjid Agung di Kudus sebagai peninggalan Walisanga, di mana sitektur gedung mengadopsi tiga kebudayaan, Islam, Hindu dan Jawa. Apa yang saya coba kemukakan sebagai contoh bangunan diatas, adalah pertunjukan tentang penerimaan atas kehadiran mereka yang berbeda. 
Mengamati pemikir sosial seperti Amartya Sen, memberi petunjuk bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia, mengisyaratkan bahwa Pluralisme (penerimaan pada keragaman BUKAN pengakuan pada satu Tuhan) adalah persyaratan untuk melahirkan kesejahteraan masyarakat.
Agaknya, kesadaran untuk mengakui dan menerima Pluralisme sebagai isyarat untuk kesejahteraan bersama, butuh di kampanyekan, di sampaikan, di suarakan, di khotbahkan, di mana saja. Ya di Pendidikan dasar (SD, SMP, SMU/SMK) sampai ke perguruan tinggi, ya di gereja, ya di mesjid, ya di pure atau kuil , ya di klenteng, di klub - klub olah raga, di panggung teater, ya di seminari dan Sekolah Tinggi Theologi, ya di Pesantren, ya di ruang perlemen, ya di ruang birokrasi, pokoknya di suarakan di mana  dan kemana saja.
Dalam teks dan konteks inilah, para pemangku kepentingan Kesejahteraan Masyarakat (Pemerintah) dan mereka yang butuh kesejahteraan (Rakyat) perlu mengubah paradigma dan terus menerus mengumandangkan Pluralisme sebagai pengajaran pendidikan kebudayaan bersama.

Romo Ro Wl Ma
Pemerhati Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
Tinggal di Samarinda.

Rob Colection

RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: