Persembahan.
Kegembiraan serupa ini pada masa-masa itu hanya terjadi dua (2) kali setahun, yaitu pada Hari KARTINI dan Tujuh belasan Agustus (17 Agustus).
Pada masa kini, kegembiraan seperti itu, sudah jarang terjadi! Bahkan nyaris hilang! Peringatan Hari Kartini juga Hari Kemerdekaan, sepertinya biasa-biasa saja. Sekolah-sekolah, kampung-kampung juga kantor-kantor pemerintah pun swasta. Tanpa geliat, tanpa spirit untuk kedua hari istimewa ini!
Mungkin karena dianggap pemborosan, baik waktu terlebih uang!
Padahal kalau mau jujur, kedua hari besar kenegaraan ini, adalah moment-moment bersama yang sanggup menghilangkan sekat-sekat, gap, diantara anak bangsa! Dalam Suatu lomba berbusana Nasional ala KARTINI disekolah saya ketika di SMA dulu, seorang putri penjual es gerobak yang mangkal di depan sekolah kami jl. Barwijaya Surabya. Menjadi Pemenang karena keluwesan yang alami dan kecantikan natural miliknya. Dalam Festival baca Puisi se-SMA Surabya, Pemenangnya adalah seorang teman saya beragama Budha! Dalam Festival folksong, memperingati tuju belasan, kami membentuk Group folksong mewakili SMA kami. Dalam Group ini, kami dilatih oleh seorang Pelatif beragama HINDU dan anggota folksong terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Ternyata kami juara satu. demikian pula ketika lomba-lomba yang biasanya dilaksanakan di kampung-kampung, semua bergembira, terlebih yang keluar sebagai juara! Tanpa sekat, tanpa gap, tanpa melihat latar belakang agama, ekonomi, juga strata sosial. Pejabat, Tukang Becak, penjual keliling, Loper Koran, seniman, Dokter, Guru, Dosen, Pendeta, Ustads, Dai, Bhiksu, semua turun bergembira, semua ikut menyemangati siapapun yang turun kegelanggang! Sungguh indah!
Tapi, apakah sekarang ini masih bisa terjadi seperti itu? Masih sanggupkah kita hidup berbangsa dan bernegara, hidup berdampingan, bertetangga, merasa senasib sepenanggungan, bergotong royong bersama, minum teh atau kopi bersama sambil menikmati kacang goreng atau sepiring pisang rebus? Atau kita butuh, hari KARTINI dan HARI KEMERDEKAAN yang baru? Agar kita bisa memperingatinya bersama-sama lagi?
Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya yang orang belanda itu, KARTINI, bercerita tentang kaum wanita indonesia yang selalu merasa rendah diri akibat budaya dan tradisi yang membungkus dan membesarkan mereka!
KARTINI, rindu bahwa KAUM PEREMPUAN Indonesia, sanggup berdiri dalam Budaya dan Tradisi itu untuk mampu seperti kaum PEREMPUAN lain di negara-negara maju...KARTINI tidak pernah ingin menghilangkan BUDAYA dan TRADISI Perempuan Indonesia yang memang memiliki cirikhas dan karekteristik Indonesia! Bahwa Perempuan Indonesia, memang tetap hidup dalam bungkus budaya dan tradisi itu, tetapi elegan, cerdik dan pintar. Bahwa kesadaran pada pemahaman ini harus tetap menjadi milik kaum Perempuan Indonesia. Yang jadi persoalan kemudian, bahwa apa yang terjadi pada Kaum Perempuan Indonesia sekarang ini melebihi dari apa yang pernah di cita-citakan oleh IBUKU KARTINI!
Kita Bergembira, Kita Bangga, kita berbahagia bahwa kaum Perempuan Indonesia dalam kepandaian dan kepintaran juga keahlian dan sikap Profesionalitas(nya) sudah sejajar dengan Kaum Lelaki, bahkan melebihi dari itu! Yang jadi persoalan kemudian adalah budaya KELUARGA, BUDAYA FAMILITAS, dianggap kuno, tradisional, udik. Oleh (Maaf) Kaum Perempuan Indonesia Modern skarang ini. Keluarga dan kekeluargaan dalam arti, Perempuan (IBU) sebagai Moralitas inti yang meramu keindahan, keelokan, sumber dan cermin budi pekerti keluarga mulai retas dan hilang. Menguap sejalan EMANSIPASI NEGATIF KAUM PEREMPUAN INDONESIA.
Sebagai seorang Lelaki yang mendukung dan mendorong Perjuangan IBUKU KARTINI, Saya merasa kawatir, takut sekaligus ngeri membayangkan bahwa, kelak kemudian hari Keluarga dan Kekeluargaan Masyarakat Indonesia, kehilangan budi pekerti, mencari-cari etis moral familitas keluarga indonesia! Yang dulu terkenal ramah, santun dan terikat oleh kasih seorang Perempuan yang menjadi IBU RUMAH TANGGA.
Mungkin..ya mungkin ini salah satu PEMICU, lahirnya moral sekat-sekat, Gap dan terpencilnya seorang tetangga dengan tetangga yang lain! Yang mungkin membuat kekeluargaan indonesia terpecah belah! Sebab IBU KANDUNG tak lagi mampu memberi asuhan, mencurahkan asih, menumpah sayang, terlebih menyejukkan dalam asap dapur yang sedap!
Beberapa Tahun lalu, saya dan suami berkunjung ke Tenggarong, Kutai Kertanagara. Saat itu, suami sedang meneliti Kehidupan Perekonomian Transmigrasi di Kalimantan Timur. Di sebuah desa yang disebut MALUHU, tidak jauh dari Kota Tenggarong ( hanya 2 - 3 km ). Suami menemukan satu keluarga Korban Ilegal Loging. Keluarga SUGIYO. Tahun 1995, SUGIYO mengadu nasib ke MELAK di Hulu Mahakam. Ia diterima sebagai pekerja pengupas kulit kayu gelondongan di perusahaan (katanya HPH berijin). Setahun bekerja di Perusahaan ini, Kehidupan ekonomi Keluarga SUGIYO cukup meningkat. Ia bisa membelikan sebuah Motor untuk anak pertamanya yang sekolah di sebuah SMU di Tenggarong. Rumah Kayu yang bertahun-tahun mengukir kisah kehidupan keluarganya pun menjadi semi permanen. Tahun kedua(akhir 1996), SUGIYO mengalami kecelakaan kerja! Sebuah DUMTRUCK melindas kedua kakinya sebatas Paha dan kedua lengan menjadi permanen lumpuh. Puji Syukur, bahwa SUGIYO masih bernyawa. Pihak Perusahaan, hanya mengeluarkan cost perawatan selama di Rumah Sakit Samarinda. Setelah dianggap sembuh, SUGIYO diantar pulang kerumah dengan pesangon sebesar RP.400.000. Semenjak itu, SUPINAH istrinya mengambil alih tanggung-jawab sebagai kepala Kaluarga untuk menghidupi 4 orang anak dan suami yang lumpuh.
Yang ingin saya sampaikan di forum ini, adalah kegigihan SUPINAH menghidupi keluarga. Sehari-hari ia berjualan di Pasar. Berangkat dari Maluhu kepasar Tenggarong, tiap subuh pkl.04.30 dan kembali kerumah antara pkl.09.00 - 10.00. Tahukah anda? Sebelum berangkat ke Pasar Tenggarong, ia terlebih dahulu harus mempersiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suami. Sesudah itu, SUPINAH harus memandikan suami. Ia juga (maaf) "mencebok"/menyuci pantat suami. Membajui Suami.
SUPINAH masih memiliki sebuah sepeda kayuh tua. Inilah sarana transportasi yang selalu menemainya tiap kali berjualan ke Pasar. Anak yang pertama skarang Mengajar di Sebuah SMA Negeri MELAK Kutai BARAT. Yang kedua kuliah di Samarinda. Yang ketiga, SMU kelas 2. Dan yang terakhir, masih dalam kandungannya ketika suaminya terkena musibah, duduk di SMP Kelas 1.
Dari akhir tahun 1996 sampai tulisan ini saya posting (April 2008) SUPINAH sungguh perkasa! Ia berhasil menghidupi keluarga. Ia sukses menjadi seorang kepala keluarga. Ia Master mendidik anak-anaknya. Juga seorang Perempuan Setia yang penuh pengabdian pada suami dengan Cinta yang tak ternilai harganya. Sungguh, SUPINAH bukan saja seorang Ibu Rumah Tangga. Tapi seorang Pahlawan bagi Negeri ini! Dengan kesederhanaan yang dimilikinya, ia korbankan hidup untuk orang-orang yang dicintainya. Ia tak perduli lagi meski hidupnya direnggut oleh keluarga. Ia tak pernah bertanya, mengapa nasibnya seperti itu! Yang SUPINAH tahu, Ia memiliki suami yang kalau tidak kecelakaan pasti akan berkorban untuknya dan anak-anak. SUPINAH berfikir sederhana, bahwa Tanggung-jawab berkeluarga, bukan hanya ,milik para suami tapi juga para istri.
Untuk semua USER yang berkunjung ke Blog ini, terutama Kaumku "PEREMPUAN".
Keperkasaan Perempuan terletak pada Cinta.
Cinta membuat kita Perempuan hidup.
Cinta menjadikan kita Perempuan Setia
Cinta membuat kita Perempuan Pengabdi
Cinta membuat kita Perempuan Pekerja
Cinta membuat kita Perempuan Hak.
Cinta Membuat kita Perempuan KARTINI.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar