04/07/11

Aku, istriku dan Dusun kami.


“GLOBALIZATION VERSUS RURALIZATION”

Berada ditengah Masyarakat desa, sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang tak pernah terbayang sebelumnya. Dunia yang baru. Baru sebab memporakporandakan-menjungkirbalik prinsip-prinsip hidup, pandangan-pandangan yang selama ini aku anggap mapan. Pandangan dan prinsip yang selalu kujadikan “way of Life” tiap kali melakukan aktifitas sehari-hari, baik ketika masih sendiri pun sesudah berumah tangga. Dari dunia yang serba Rumit, dunia yang butuh pemikiran-pemikiran, dari dunia yang instan dan dunia yang serba “ekonomis” disertai pola Konsumerisme kedalam dunia sederhana. Dunia yang polos, tulus, iklas dan keramah tamahan yang murni.
Ya, Murni! Dunia tanpa kepura-puraan, tanpa topeng. Dunia yang “telanjang” dalam segala hal. Tanpa intrik, cemburu, dan mengalir begitu saja! Dunia dimana “waktu” datang dan pergi tanpa beban! Dunia yang Sangat Merdeka!
Tiga minggu lalu, beberapa ibu mengajak ke perkebunan kopi milik PKK. Kebun ini hanya berjarak 4 km dari Desa Eno. Desa yang menjadi “Home Best” beraktifitas tiga bulan belakangan ini.
Ibu-ibu itu datang pagi pkl.06.00. dengan pakain “kerja ala mereka” (Sarung dililit dipinggang, kaki telanjang, parang diselempang, keranjang gendong di bahu, topi anyaman alang-alang bertengger di atas kepala masing-masing).
“Hari ini kita panen buah kopi bu, yang lain udah duluan. Kami mampir jemput ibu ‘team’!”
Dulu di Pittsburg, jam segitu kami masih pulas! Kalau toh sudah bangun, mempersiapkan sarapan untuk keluarga sambil nonton TV dan wajahku sudah pasti “terbungkus cream masker” kalau tidak, berendam air hangat di “jakuzi”. Tapi di SEKO, sejam lalu aku udah bangun mempersiapkan sarapan dan kebutuhan anak-anak untuk sekolah. Jangan tanya perawatan wajah, apalagi berendam air hangat, terlebih nonton TV.
Dengan sigap baju tidur ku ganti Jeans dan kaos lengan panjang lalu menyambar sepatu boot dari rak sekaligus meraih topi lebar yang dulu biasa kupakai di pantai. Tak lupa Camera digital kusalempang sebagai ganti parang hi..hi..hi…
Setelah mencium ke-3 anak-anak, kuhampiri Mas Roberth yang sedang memotong kayu bakar dihalaman samping.
“Hati-hati Say…”. Mas Roberth dari dulu manggil gitu (ia menyingkat namaku…... tapi juga artinya bisa sayang….hi..hi..hi…) Sesudah Mas mencium keningku, aku ikut rombongan. Aku tahu Mas Roberth pasti menggeleng-geleng dan tersenyum melihat gayaku pagi itu.
Jarak 4 km, masih terasa jauh dan melelahkan bagiku, meski selama ini kaki-kakiku sudah cukup terlatih. Tapi menjajari langkah ibu-ibu ini membuat keringat meleleh dan sepatu boot terasa lebih berat dari biasanya. Pkl.07.10 kami tiba di kebun, kurang lebih 30-an ibu sudah ada disitu dan sedang bersiap untuk memetik buah kopi.
“Ini Kopi ARABICA, dan yang disana Kopi REBUSTA bu” Jelas ketua PKK sambil menunjuk tanaman Kopi diseberang lembah.
“Kebun kopi ini adalah swadaya PKK. Lahannya kita beli bergotong royong mengerjakan sawah pak LINDANG selama dua tahun. Bibit kopi dari beliau juga bu” (maksudnya, Ibu-ibu di Desa Eno bekerja bergotong royong untuk mendapat lahan itu. Jadi dibeli dengan Tenaga).
Luar biasa! Itu komentarku pada suami, ketika sore harinya kami duduk-duduk diberanda sambil nikmati Ubi jalar rebus.
Mendengar komentarku, Mas Roberth hanya tersenyum sambil mengunyah Ubi.
“Indonesia negara kaya Say! Dan kekayaan itu justru ada di Desa-desa! Sayang bahwa Pemerintah Indonesia, terjebak dalam Pemikiran “Polisnisasi” yang beberapa dekade belakangan ini Menglobal.”
“Maksud Mas?”
“Ya Say lihat sendiri kan? Desa-desa di Indonesia dibiarkan begitu saja. Padahal basic Ekonomi Indonesia ada di Sana! Sistem-sistem ekonomi tradisionil Indonesia amat kuat dan mengakar sekaligus saling menunjang antar sistem-sistem itu!”
“Yang sederhana dong, Kalau mas udah pake istilah aneh-aneh Saarty jadi bingung!” Godaku sore itu. Aku tahu kalau mas Roberth udah bicara soal itu akan serius. Meski gaya kocaknya juga sering keterlaluan.
“Pemerintah Indonesia selalu terjebak untuk membangun sentra-sentra ekonomi dengan menjadikan kota sebagai pusat sentra-sentra itu. Sebaliknya Desa-desa dimana 80% penduduk indonesia berdomisili dianggap sebagai Pemborosan untuk dibangun. Penglihatanku selama ini, suatu desa difasilitasi dengan membangun sarana dan prasarana (jalan, jembatan) karena dari daerah itu ada hasil yang dapat dieksploitasi oleh pemerintah dan biasanya hal-hal ini menyangkut Hasil Tambang. Seperti Minyak Bumi, Batu Bara, Gas, Emas, Timah, Uranium, Perak dan diluar itu karena Hasil Hutan. Itupun, bukan dengan spirit Moral tanggung jawab Pemerintah membangun desa-desa. Banyak lho Say, desa-desa yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Irian, yang ketika hasil tambang dan hutan habis, desa-desa itu kembali seperti semula. Kecuali meninggalkan bekas-bekas yang lebih memedihkan masyarakat yang ada.”
“Hi..hi…hi…mas serius amat ya? Padahal si amat orang biasa-biasa, tuuu” potongku menunjuk si bungsu udah tertidur di lantai beranda!
“He..he…he….maaf Say…siapa suruh sore-sore gini ngajak diskusi….Haaap!” Mas Roberth membopong Bungsu kami, lalu menidurkannya kedalam rumah.
“Jangan lupa Gensetnya dihidupin mas!” pintaku sambil menuruni tangga menuju jemuran.
“Diskusi mau lanjut nggak?” teriak Mas.
“Besok lagi mas….entar lagi tamu-tamu kita padang datang! Billy…bantuin mama dong!” Jawabku sambil mamggil Billy, si adopsi yang jadi sulung dirumah.
Tak lebih setengah jam sesudah Mas Roberth menghidupkan Genset….rumah kami mulai ramai oleh para tetangga! Dari anak-anak sampai orang tua “ngepool” di rumah. Nonton TV bareng-bareng. Maklum di Eno hanya ada tiga Keluarga yang memiliki TV, dua diantaranya sudah lama tidak di hidupkan karena jauh sebelum Pemerintah menaikkan BBM, di Eno harga Bensin Rp.12.000 dan Solar Rp.9000- perliter. Bahkan sebelum kami di SEKO, harganya memang sudah segitu. Yang satu lagi, dirumah. Mungkin juga beberapa waktu kedepan sudah akan mengalami nasib serupa kedua TV lainnya. Hi..hi.hi…
Karena tiap malam keadaan seperti itu, Mas Roberth berencana akan membangun sebuah Pendopo khusus untuk “acara nonton bareng” dan mengupayakan Listrik Tenaga Air dengan memanfaatkan Sungai Betue (Karama) yang bermuara di Selat Karimata sebagai tenaga pendorong (mohon doanya teman-teman yang dudulz di Yahoo blog ya???).
Beberapa hari sesudah, diskusi pendek sore itu. Aku minta mas Roberth menulis artikel untuk Jurnal Perempuan edisi bulan JULI 2008 tentang Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Pedesaan.
Terutama soal Ekonomi Pedesaan, yang harusnya dikembangkan oleh Pemerintah di Indonesia di masa mendatang. Ketika harga BBM naik, didesa-desa tidak terjadi gejolak, apalagi demo besar-besaran. Bahkan yang namanya BLT (bantuan tunai langsung) di SEKO, desa terpencil dan belum ada akses jalan raya, tidak dikenal! Apalagi yang namanya RASKIN (rumah tangga miskin).
“Sebuah Ironi Masyarakat kota versus Kemapanan Masyarakat Desa. Globalization versus Ruralization yang menggelikan!” Mas Roberth bilang begitu! Padahal Ironi biasanya sedih dan tragik, tapi di mata Mas Roberth menjadi sesuatu yang lucu!.
Lucu karena Nilai-nilai Manusia diukur dari Material!
Menggelikan sebab Mengaku bangsa yang Humanis tapi terjebak pada pemikiran Konsumerisme.
Aaahhhh….seringkali pola pikir Mas Roberth membuatku semakin bodoh dan ingin belajar lebih banyak……Mas I Love you!
AKU BARU MENGERTI BAHWA MENJADI PINTAR ITU MUDAH, TAPI JADI ORANG BIJAK AMAT SULIT.
Saarty Maarthin.
Eno, 31 Mei 2008.


RWM.BOONG BETHONY

2 komentar:

wisnu saputra aji mengatakan...

saya mahasiswa yogyakarta baru saja melihat tayangan di TVone tntng dusun seko yang sangat jauh dari keramayan kota , & saya sangat mengaguminya.. baik tempat, kondisi alam skitar, (mungkin karena sya menyukai alam bebas) ..
terus pertahan kan akan kelestarian alam nya ...
& majukan kesejahteraan masyarakat sekitar ... (wisnu.saputra31@gmail.com)

wisnu saputra aji mengatakan...

saya mahasiswa dari yogyakarta, sya baru saja melihat di TVone tentang dusun seko , sangat mengagumkn tntng alam skitarnya ..
terus pertahankan kelestarian alamnya & majukan kesejahteraan masyarakatnya .. (wisnu.saputra31@gmail.com)