GEREJA YANG BERDIALOG
atau DIALOG GEREJA?
Sebuah Refleksi.
Kita tahu pengertian Gereja. Yang
pertama adalah orangnya (tiap umat kristen) dan yang ke-2 adalah Gedung(atau Lembaga).
Gereja dalam tulisan ini ialah orang atau tiap individu Kristiani. Dan pengertian berdialog atau
Dialog ialah : 2 orang atau lebih, bercakap-cakap atau sedang berbicara
membahas sesuatu. Jadi Dialog itu terjadi karena 2 orang atau lebih sedang
berbicara. Tujuan penulisan sederhana ini ialah mencoba meneropong ‘Bagaimana
Gereja yang berdialog”. Berdialog dengan siapa? Mengapa musti ada Dialog? Lalu
kemana arah dan muara Dialog itu?
Gereja atau umat Kristiani lahir kedunia ini oleh satu tokoh kontroversi. Namanya Yesus Kristus. Dia adalah penjelmaan Allah Sang Pencipta Alam Raya ini. Tokoh ini menjadi kontroversial karena pengajaran dan tindakan yang menjungkirbalik (baca : memutarbalik) tradisi beragama dan beriman orang-orang zaman itu (abad Pertama Masehi) bahkan sampai saat tulisan ini saya ketik, masih juga kontroversial, bukan hanya dikalangan Gerejawi (baca=lembaga Kekristenan) atau Umat Kristiani tapi juga diluar Gereja. Hidupnya relatif singkat hanya 33 tahun tapi cara kematian yang ditempuh, diluarnalar atau tidak masuk akal atau lebih tepatnya Kontroversi. Dalam situasi itu (kontroversial) Gereja mulai belajar hidup dan berjumpa dengan yang lain. Suku yang beda, bahasa tidak sama, budaya dan tradisi asing bahkan bersentuhan dengan agama lain.
Sepanjang hidupnya, terutama 3 tahun menjelang kematianNya, Yesus banyak berdialog atau bercakap-cakap pada tiap orang yang ditemui. Dialog yang disertai praktek dalam berbagai aktifitas memberi. Dalam perjumpaan itu, Yesus tidak bertanya : darimana? Siapa kamu? Terlebih, agama apa? Yang diperbuat berdialog dan berkarya. Bercakap-cakap. Berbicara. Mendengar dan bertindak. Topik favorit yang selalu di dipercakapkan Yesus ialah : Pengampunan karena Kasih Allah yang menyelamatkan. Yaitu, Kasih Allah pada Dunia dan segala isinya. Kasih yang tanpa batas, tak dapat diukur, melebihi hitungan zaman. Kasih yang datang dari Sorga. Itulah tujuan utama kahadiranNya dalam Dunia. Inti dari penderitaan kematiaan diatas kayu salib. Kasih yang diwariskan. Diwariskan? Ya diwariskan pada tiap umat Kristiani. Menjadi Hak saya dan anda tak perduli dari Denominasi atau Gereja manapun. Sepanjang dia Mengaku Yesus Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat, dia mendapat Hak itu. Persoalannya ialah, apakah tiap umat kristen menyadari, mengerti, Hak itu? Apakah ‘warisan’ itu mengaktual dalam hidupnya? Menjadikan Hak itu sebagai budaya dan peradapan pribadi juga komunitas?
Kasih adalah dasar ruang dan gerak umat Kristiani sepanjang zaman. Mustinya itu titik.
Tapi sejarah banyak bertutur kegagalan umat Kristiani membangun dan menjadikan kasih sebagai budayanya. Sejarah bahkan menoreh luka dan borok dalam tubuh kita. Luka dan borok yang terus bernanah, dalam hidup banyak Umat Kristen. Harapan saya semoga tidak bertumbuh jadi kangker. Kangker adalah penyakit yang saat ini belum ditemukan bagaimana cara pengobatannya. Anda bisa bayangkan, jika luka dan borok-borok sejarah umat kristiani itu terus berkembang dalam tubuh ini bagaimana akan teratasi?
Gereja atau umat Kristiani lahir kedunia ini oleh satu tokoh kontroversi. Namanya Yesus Kristus. Dia adalah penjelmaan Allah Sang Pencipta Alam Raya ini. Tokoh ini menjadi kontroversial karena pengajaran dan tindakan yang menjungkirbalik (baca : memutarbalik) tradisi beragama dan beriman orang-orang zaman itu (abad Pertama Masehi) bahkan sampai saat tulisan ini saya ketik, masih juga kontroversial, bukan hanya dikalangan Gerejawi (baca=lembaga Kekristenan) atau Umat Kristiani tapi juga diluar Gereja. Hidupnya relatif singkat hanya 33 tahun tapi cara kematian yang ditempuh, diluarnalar atau tidak masuk akal atau lebih tepatnya Kontroversi. Dalam situasi itu (kontroversial) Gereja mulai belajar hidup dan berjumpa dengan yang lain. Suku yang beda, bahasa tidak sama, budaya dan tradisi asing bahkan bersentuhan dengan agama lain.
Sepanjang hidupnya, terutama 3 tahun menjelang kematianNya, Yesus banyak berdialog atau bercakap-cakap pada tiap orang yang ditemui. Dialog yang disertai praktek dalam berbagai aktifitas memberi. Dalam perjumpaan itu, Yesus tidak bertanya : darimana? Siapa kamu? Terlebih, agama apa? Yang diperbuat berdialog dan berkarya. Bercakap-cakap. Berbicara. Mendengar dan bertindak. Topik favorit yang selalu di dipercakapkan Yesus ialah : Pengampunan karena Kasih Allah yang menyelamatkan. Yaitu, Kasih Allah pada Dunia dan segala isinya. Kasih yang tanpa batas, tak dapat diukur, melebihi hitungan zaman. Kasih yang datang dari Sorga. Itulah tujuan utama kahadiranNya dalam Dunia. Inti dari penderitaan kematiaan diatas kayu salib. Kasih yang diwariskan. Diwariskan? Ya diwariskan pada tiap umat Kristiani. Menjadi Hak saya dan anda tak perduli dari Denominasi atau Gereja manapun. Sepanjang dia Mengaku Yesus Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat, dia mendapat Hak itu. Persoalannya ialah, apakah tiap umat kristen menyadari, mengerti, Hak itu? Apakah ‘warisan’ itu mengaktual dalam hidupnya? Menjadikan Hak itu sebagai budaya dan peradapan pribadi juga komunitas?
Kasih adalah dasar ruang dan gerak umat Kristiani sepanjang zaman. Mustinya itu titik.
Tapi sejarah banyak bertutur kegagalan umat Kristiani membangun dan menjadikan kasih sebagai budayanya. Sejarah bahkan menoreh luka dan borok dalam tubuh kita. Luka dan borok yang terus bernanah, dalam hidup banyak Umat Kristen. Harapan saya semoga tidak bertumbuh jadi kangker. Kangker adalah penyakit yang saat ini belum ditemukan bagaimana cara pengobatannya. Anda bisa bayangkan, jika luka dan borok-borok sejarah umat kristiani itu terus berkembang dalam tubuh ini bagaimana akan teratasi?
Pertaanyaan besar adalah : Bagaimana Menyembuhkan Luka dan Borok itu?
Pertama
: Sejarah adalah masa lampau.
Disadari bahwa sampai sekarang tiap-tiap Denominasi ‘masih’ menyimpan dendam sejarah. Cenderung memburuk-burukan, saling curiga satu dengan yang lain sampai pada ‘klaim keselamatan yang amat eksklusif-inklusif’! Inilah penampakan kehadiran gereja ditengah dunia ini.
Disadari bahwa sampai sekarang tiap-tiap Denominasi ‘masih’ menyimpan dendam sejarah. Cenderung memburuk-burukan, saling curiga satu dengan yang lain sampai pada ‘klaim keselamatan yang amat eksklusif-inklusif’! Inilah penampakan kehadiran gereja ditengah dunia ini.
Dalam
penampakan warna seperti itu, bagaimana Gereja mampu menunjukan Kasih Allah pada
dunia?
Sejarah yang mustinya jadi
refleksi Kasih terhadap budaya dan peradapan gereja, terabaikan! Mengapa
“refleksi Kasih?” Ya, karena hanya kasih yang memberi kekuatan untuk mengampuni. Bukankah Pengampunan
selalu memberi hidup yang baru? Memberi kekuatan baru? Memerdekan sekaligus
membebaskan dari semua rasa malu hari kemaren? Mensejajar sesama manusia (baca
Umat) tanpa ada sekat-sekat?
Anehnya Gereja sering melupakan itu dan lebih riuh ber-‘refleksi’ lewat akal dan pemikiran-pemikiran manusiawi.
Anehnya Gereja sering melupakan itu dan lebih riuh ber-‘refleksi’ lewat akal dan pemikiran-pemikiran manusiawi.
Padahal, pemikiran-pemikiran dan
hasil-hasilnya bertujuan untuk memperkaya dan memperkuat Gereja dalam pengaktualan
warisan Yesus Kristus padanya. Saya tidak mengerti, mengapa sejarah terus menerus jadi ‘Kambing Hitam’
untuk menghindari penyembuhan Luka dan borok atas dendam sejarah itu? Lihat dan
amati dengan seksama, betapa lembaga-lembaga gerejawi tidak berani jujur untuk
mengakui kelemahan masa lalu. Sekaligus berani tulus mengakui “bahwa engkau dan
aku adalah satu”. Satu Keselamatan! Satu Tubuh! Satu Iman! Yaitu, YESUS KRISTUS
dalam Tri Tunggal.
Padahal, pengalaman masa lalu memberi pengajaran untuk
tidak melakukan kesalahan yang sama atau setidak-tidaknya memperbaiki apa yang
keliru. Atau mencari jalan keluar untuk sesuatu yang masih ‘gelap’ yang belum
tercerahkan atau yang masih samar-samar.
Padahal, catatan sejarah menjadi rujukan untuk
memasuki hari esok atas pengalaman
lampau. Bukankah Kita belajar Kasih dari sejarah masa-masa itu? Baik
dari catatan penulis-penulis Alkitab dan jurnal-jurnal teolog serta bapa-bapa
Gereja?
Apakah situasi seperti itu akan
terus mewarnai perjalanan gereja kedepan? Dalam pengharapan Terhadap Kuasa
TUHAN YESUS KRISTUS hentikan sampai disini dan kita bersama memasuki dunia
baru.
Ke-dua : Belajar mengakui dan menerima tradisi masing-masing denominasi.
Ke-dua : Belajar mengakui dan menerima tradisi masing-masing denominasi.
Dialog dilakukan untuk dapat
mengerti dan memberi pemahaman pada orang lain. Kelemahan Gereja selama ini ada
disitu. Kita kurang intens berdialog bahkan ada yang menghindari proses-proses
itu. Saya tidak tahu penyebabnya.
Padahal, dialog penting. Penting
untuk saling memahami. Bagaimana mengetahui dan mengerti yang lain jika menutup
diri? Bagaimana tahu jika tidak belajar?
Bagaimana akan dikenal bila tidak membiarkan diri dikenal? Bagaimana menghargai
tradisi liturgi yang lain jika sudah beranggapan tradisinya yang benar?
Bukankah tradisi Liturgi masing-masing adalah wahana pembangun iman yang tiap
kali ada konvesi Gereja selalu berubah dan ada pembaharuan? Karena Liturgi
adalah tradisi, maka sesungguhnya dia bisa berubah tiap saat. Karena itu
mustinya Liturgi atau tradisi masing-masing bukan menjadi penghalang untuk
terus menerus melakukan dialog interdenominasi gereja.
Padahal, dialog dapat dilakukan
dalam berbagai kreasi-kreasi. Saling berkunjung. Ibadah Oikumene dengan liturgi
khusus yang dibuat bersama. Doa bersama, belajar isi alkitab bersama, pentas
musik gerejawi baik Vokal Group dan Paduan Suara sampai pada dialog karya untuk
sesama manusia. Termasuk berbagai kreasi-kreasi lain, sesuai usia umat dan
pendidikannya.
Lalu dari mana memulai dialog?
Mulailah dari Para Imam. Yaitu Pastor, Bruther, Suster, Pendeta, evanjelis,
para Majelis gereja sebagai pemimpin dan pembimbing umat. Dialog dimulai dari mereka,
Ibarat kembang tanaman. Ketika ia mulai kuncup dan berbunga, maka seluruh
tumbuhan kembang itu menjadi indah. Jika para imam memperlihatkan
ekspresi-ekspresi dialog kepada umatnya maka umat pun akan ikut dari belakang.
Karena itu memberi contoh, sebagai teladan jauh lebih utama, dari pada
teori-teori dialogis yang selama ini diseminarkan atau dicetak dalam buku-buku
tebal. Termasuk melalui khotbah mingguan para Imam yang sering menyerukan
bagaimana Kasih Allah terhadap sesama, berkumandang dari gedung-gedung gereja
termasuk yang disiarkan media massa Elektonik sampai internet. Kenyataannya, sering
kali para tokoh-tokoh gereja yang notabene para imam, enggan melakukan hal itu,
meski tak dipungkiri ada
gejala cukup positif mengarah kesana.
Nach, Gereja dengan berbagai
denominasi itu, sesungguhnya adalah satu. Ketika Tuhan Yesus Berdoa di Taman
Getsemani sesuai kesaksian Injil Yohanes 17, doaNya bukan hanya untuk
murid-murid. Tapi kepada semua orang percaya karena pemberitaan para murid itu.
Siapa ‘semua orang percaya itu’? Tentu saja semua Gereja sepanjang zaman,
sampai penggenapan kedatangan Yesus Kristus ke-dua kalinya. Inilah yang selalu
musti di perjuangkan, yang harus di upayakan dalam dialog interdenominasi.
Bahwa engkau dan aku adalah satu. Yaitu, Tubuh Yesus Kristus.
Pertanyaan berikut adalah, bagaimana Gereja berdialog dengan sesama? Dalam awal tulisan ini saya singgung bahwa sejak Gereja lahir kedunia ini, sudah berhadapan dan berjumpa dengan berbagai-bagai manusia dan beragam budaya. Gereja hidup dalam konteks keragaman, hidup ditengah multikultural, ditengah multireligius. Bagaimana dialog gereja pada kondisi seperti itu? Apa yang musti dilakukan? Dan bagaimana gereja tetap hidup berdampingan dengan dengan yang lain?
Pertanyaan berikut adalah, bagaimana Gereja berdialog dengan sesama? Dalam awal tulisan ini saya singgung bahwa sejak Gereja lahir kedunia ini, sudah berhadapan dan berjumpa dengan berbagai-bagai manusia dan beragam budaya. Gereja hidup dalam konteks keragaman, hidup ditengah multikultural, ditengah multireligius. Bagaimana dialog gereja pada kondisi seperti itu? Apa yang musti dilakukan? Dan bagaimana gereja tetap hidup berdampingan dengan dengan yang lain?
Kesadaran gereja terhadap Hak Waris(yaitu :kasih) amat penting.
Kasih inilah yang membedakan gereja dengan yang lain. Sebagaimana pengorbanan
Allah dengan mengutus Anak Tunggalnya (Yohanes 3 : 16) sampai pada pengorbananNya
diatas salib. Maka ciri utama Kasih, adalah berkorban. Berkorban? Ya, Gereja
musti berani berkorban untuk memulai dialog dengan yang lain. Gereja tidak
boleh pasif tetapi aktif! Bukankah Kasih itu aktif? Bagaimana Gereja ada di
Dunia ini jika Allah tidak aktif dan progresif? Terutama pekerjaanNya melalui
Roh Kudus. Dari kota kecil Betlehem, menuju Yerusalem, kemudian Efesus,
Korintus, Filipi, lalu masuk kota Roma dan menyebar keseluruh polosok dunia,
dimana ada Manusia, disana gereja pun ada. Bukankah itu karena Allah yang aktif
bahkan progresif dalam kasihNYa? Bagaimana konteks kita di Indonesia? Kita
tahu, dari sejak dulu kala Indonesia dikenal sebagai Bangsa yang Religius,
Ramah tamah, Gotong Royong dengan Budaya dan tradisi yang adiluhung dengan
kekayaan alam yang menggiurkan banyak bangsa-bangsa lain sehingga datang
menduduki Indonesia. Tapi akhir-akhir ini, memperlihatkan kenyataan sebaliknya.
Kerusuhan antar kelompok marak dimana-mana. Demonstrasi yang mustinya jadi
sarana demokrasi berubah anarkies. Masyarakat desa yang seharusnya
memperlihatkan keluguan dan kesederhanaan justru menampakan kekerasan antar
desa. Belum lagi tawuran antar pelajar, antar mahasiswa yang diperparah oleh
miskinnya mental spiritual tokoh-tokoh publik baik oleh pejabat pemerintahan,
Artis sampai tokoh agama. Bagaimana Gereja hidup dengan sitiuasi seperti ini?
Menjelang Yesus Kristus pulang ke Surga, Ia mengingatkan para murid untuk terus menerus menebar, menyebar dan menyemai kasih tiap waktu. Dimana, kemana, kapan saja Kasih musti di dialogkan kepada siapa saja. Segala mahkluk! Manusia dan lingkungan.
Persoalan bagi gereja ialah, siapkah untuk itu? Sebenarnya menyatakan Kasih pada dunia, tidak sulit, juga tidak menyusahkan. Kasih hanya butuh pengorbanan untuk melakukan kehendak Tuhan Yesus dengan tulus. Romo Fransiscus Asisi katakan dalam puisi yang ditulisnya beberapa abad lalu seperti ini : Dimana ada pertikaian, kesana aku bawa kasih. Dimana ada kebohongan, kesana aku bawa ketulusan. Kasih seperti ini yang memberi kekuatan dan spirit luar biasa bagi Mother Teresia untuk mencintai kaum papa dan miskin di Calcuta India sepanjang hidupnya. Kasih yang sama juga jadi pendorong Romo Mangun Wijaya, mencintai masyarakat kali Code sampai akhir hayat. Indonesia butuh kasih seperti ini dari tiap kristiani. Bisa dibayangkan jika seluruh kristiani di Indonesia yang diperkirakan berjumlah 60-an juta itu menjadikan kasih sebagai budaya hidupnya sehari-hari. Indonesia akan mengalami perubahan luar biasa dalam hubungan antar sesama dan antar umat beragama. Tapi, sekali lagi Kasih itu berkorban. Berkorban untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berkorban untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Berkorban untuk menjadi jujur ditengah ketidak jujuran. Berkorban untuk menolong mereka yang papa. Berkorban untuk hidup sederhana ditengah kemiskinan. Berkorban mengampuni sepahit apapun persoalan yang kita alamai.
Menjelang Yesus Kristus pulang ke Surga, Ia mengingatkan para murid untuk terus menerus menebar, menyebar dan menyemai kasih tiap waktu. Dimana, kemana, kapan saja Kasih musti di dialogkan kepada siapa saja. Segala mahkluk! Manusia dan lingkungan.
Persoalan bagi gereja ialah, siapkah untuk itu? Sebenarnya menyatakan Kasih pada dunia, tidak sulit, juga tidak menyusahkan. Kasih hanya butuh pengorbanan untuk melakukan kehendak Tuhan Yesus dengan tulus. Romo Fransiscus Asisi katakan dalam puisi yang ditulisnya beberapa abad lalu seperti ini : Dimana ada pertikaian, kesana aku bawa kasih. Dimana ada kebohongan, kesana aku bawa ketulusan. Kasih seperti ini yang memberi kekuatan dan spirit luar biasa bagi Mother Teresia untuk mencintai kaum papa dan miskin di Calcuta India sepanjang hidupnya. Kasih yang sama juga jadi pendorong Romo Mangun Wijaya, mencintai masyarakat kali Code sampai akhir hayat. Indonesia butuh kasih seperti ini dari tiap kristiani. Bisa dibayangkan jika seluruh kristiani di Indonesia yang diperkirakan berjumlah 60-an juta itu menjadikan kasih sebagai budaya hidupnya sehari-hari. Indonesia akan mengalami perubahan luar biasa dalam hubungan antar sesama dan antar umat beragama. Tapi, sekali lagi Kasih itu berkorban. Berkorban untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berkorban untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Berkorban untuk menjadi jujur ditengah ketidak jujuran. Berkorban untuk menolong mereka yang papa. Berkorban untuk hidup sederhana ditengah kemiskinan. Berkorban mengampuni sepahit apapun persoalan yang kita alamai.
Mungkin Gereja musti berdialog
disana. Dialog dalam pengorbanan untuk kebaikan dan kehidupan orang lain. Seperti
Yesus Kristus, berkorban untuk kehidupan anda dan saya.
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi inspirasi untuk terus menerus berdialog dalam kasih.
Jogjakarta, 31 Januari 2013.
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi inspirasi untuk terus menerus berdialog dalam kasih.
Jogjakarta, 31 Januari 2013.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar