09/04/15

Gereja Yang berdialog

GEREJA YANG BERDIALOG atau DIALOG GEREJA?
Sebuah Refleksi.

Kita tahu pengertian Gereja. Yang pertama adalah orangnya (tiap umat kristen) dan yang ke-2 adalah Gedung(atau Lembaga). Gereja dalam tulisan ini ialah orang atau tiap individu  Kristiani. Dan pengertian berdialog atau Dialog ialah : 2 orang atau lebih, bercakap-cakap atau sedang berbicara membahas sesuatu. Jadi Dialog itu terjadi karena 2 orang atau lebih sedang berbicara. Tujuan penulisan sederhana ini ialah mencoba meneropong ‘Bagaimana Gereja yang berdialog”. Berdialog dengan siapa? Mengapa musti ada Dialog? Lalu kemana arah dan muara Dialog itu?
Gereja  atau umat Kristiani lahir kedunia ini oleh satu tokoh kontroversi. Namanya Yesus Kristus. Dia adalah penjelmaan Allah Sang Pencipta Alam Raya ini. Tokoh ini menjadi kontroversial karena pengajaran dan tindakan yang menjungkirbalik (baca : memutarbalik) tradisi beragama dan beriman orang-orang zaman itu (abad Pertama Masehi) bahkan sampai saat tulisan ini saya ketik, masih juga kontroversial, bukan hanya dikalangan Gerejawi (baca=lembaga Kekristenan) atau Umat Kristiani tapi juga diluar Gereja. Hidupnya relatif singkat hanya 33 tahun tapi cara kematian yang ditempuh,  diluarnalar atau tidak masuk akal atau lebih tepatnya Kontroversi.  Dalam situasi itu (kontroversial) Gereja mulai belajar hidup dan berjumpa dengan yang lain. Suku yang beda, bahasa tidak sama, budaya dan tradisi asing bahkan bersentuhan dengan agama lain.
Sepanjang hidupnya, terutama 3 tahun menjelang kematianNya, Yesus banyak berdialog atau bercakap-cakap pada tiap orang yang ditemui. Dialog yang disertai praktek dalam berbagai aktifitas memberi. Dalam perjumpaan itu, Yesus tidak bertanya : darimana? Siapa kamu? Terlebih, agama apa?  Yang diperbuat berdialog dan berkarya. Bercakap-cakap. Berbicara. Mendengar dan bertindak. Topik favorit yang selalu di dipercakapkan Yesus ialah : Pengampunan karena Kasih Allah yang menyelamatkan. Yaitu, Kasih Allah pada Dunia dan segala isinya. Kasih yang tanpa batas, tak dapat diukur, melebihi hitungan zaman. Kasih yang datang dari Sorga. Itulah tujuan utama kahadiranNya dalam Dunia. Inti dari penderitaan kematiaan diatas kayu salib. Kasih yang diwariskan. Diwariskan? Ya diwariskan pada tiap umat Kristiani. Menjadi Hak saya dan anda tak perduli dari Denominasi atau Gereja manapun. Sepanjang dia Mengaku Yesus Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat, dia mendapat Hak itu. Persoalannya ialah, apakah tiap umat kristen menyadari, mengerti, Hak itu? Apakah ‘warisan’ itu mengaktual dalam hidupnya? Menjadikan Hak itu sebagai budaya dan peradapan pribadi juga komunitas?
Kasih adalah dasar ruang dan gerak umat Kristiani sepanjang zaman. Mustinya itu titik.
Tapi sejarah banyak bertutur kegagalan umat Kristiani membangun dan menjadikan kasih sebagai budayanya. Sejarah bahkan menoreh luka dan borok dalam tubuh kita. Luka dan borok yang terus bernanah, dalam hidup banyak Umat Kristen. Harapan saya semoga tidak bertumbuh jadi  kangker. Kangker adalah penyakit yang saat ini belum ditemukan bagaimana cara pengobatannya. Anda bisa bayangkan, jika luka dan borok-borok sejarah umat kristiani itu terus berkembang dalam tubuh ini bagaimana akan teratasi?
Pertaanyaan besar adalah : Bagaimana Menyembuhkan Luka dan Borok itu?

Pertama : Sejarah adalah masa lampau.
Disadari bahwa sampai sekarang tiap-tiap Denominasi ‘masih’ menyimpan dendam sejarah. Cenderung memburuk-burukan, saling curiga satu dengan yang lain sampai pada  ‘klaim keselamatan yang amat eksklusif-inklusif’! Inilah penampakan kehadiran gereja ditengah dunia ini.
Dalam penampakan warna seperti itu, bagaimana Gereja mampu menunjukan Kasih Allah pada dunia?
Sejarah yang mustinya jadi refleksi Kasih terhadap budaya dan peradapan gereja, terabaikan! Mengapa “refleksi Kasih?” Ya, karena hanya kasih yang memberi kekuatan untuk mengampuni. Bukankah Pengampunan selalu memberi hidup yang baru? Memberi kekuatan baru? Memerdekan sekaligus membebaskan dari semua rasa malu hari kemaren? Mensejajar sesama manusia (baca Umat) tanpa     ada sekat-sekat?
Anehnya Gereja sering melupakan itu dan lebih riuh ber-‘refleksi’ lewat akal dan pemikiran-pemikiran manusiawi.
Padahal, pemikiran-pemikiran dan hasil-hasilnya bertujuan untuk memperkaya dan memperkuat Gereja dalam pengaktualan warisan Yesus Kristus padanya. Saya tidak mengerti, mengapa  sejarah terus menerus jadi ‘Kambing Hitam’ untuk menghindari penyembuhan Luka dan borok atas dendam sejarah itu? Lihat dan amati dengan seksama, betapa lembaga-lembaga gerejawi tidak berani jujur untuk mengakui kelemahan masa lalu. Sekaligus berani tulus mengakui “bahwa engkau dan aku adalah satu”. Satu Keselamatan! Satu Tubuh! Satu Iman! Yaitu, YESUS KRISTUS dalam Tri Tunggal.
Padahal,  pengalaman masa lalu memberi pengajaran untuk tidak melakukan kesalahan yang sama atau setidak-tidaknya memperbaiki apa yang keliru. Atau mencari jalan keluar untuk sesuatu yang masih ‘gelap’ yang belum tercerahkan atau yang masih samar-samar.
Padahal,  catatan sejarah menjadi rujukan untuk memasuki hari esok atas pengalaman  lampau. Bukankah Kita belajar Kasih dari sejarah masa-masa itu? Baik dari catatan penulis-penulis Alkitab dan jurnal-jurnal teolog serta bapa-bapa Gereja?
Apakah situasi seperti itu akan terus mewarnai perjalanan gereja kedepan? Dalam pengharapan Terhadap Kuasa TUHAN YESUS KRISTUS hentikan sampai disini dan kita bersama memasuki dunia baru.

Ke-dua : Belajar mengakui dan menerima tradisi masing-masing denominasi.
Dialog dilakukan untuk dapat mengerti dan memberi pemahaman pada orang lain. Kelemahan Gereja selama ini ada disitu. Kita kurang intens berdialog bahkan ada yang menghindari proses-proses itu. Saya tidak tahu penyebabnya.
Padahal, dialog penting. Penting untuk saling memahami. Bagaimana mengetahui dan mengerti yang lain jika menutup diri? Bagaimana tahu  jika tidak belajar? Bagaimana akan dikenal bila tidak membiarkan diri dikenal? Bagaimana menghargai tradisi liturgi yang lain jika sudah beranggapan tradisinya yang benar? Bukankah tradisi Liturgi masing-masing adalah wahana pembangun iman yang tiap kali ada konvesi Gereja selalu berubah dan ada pembaharuan? Karena Liturgi adalah tradisi, maka sesungguhnya dia bisa berubah tiap saat. Karena itu mustinya Liturgi atau tradisi masing-masing bukan menjadi penghalang untuk terus menerus melakukan dialog interdenominasi gereja.
Padahal, dialog dapat dilakukan dalam berbagai kreasi-kreasi. Saling berkunjung. Ibadah Oikumene dengan liturgi khusus yang dibuat bersama. Doa bersama, belajar isi alkitab bersama, pentas musik gerejawi baik Vokal Group dan Paduan Suara sampai pada dialog karya untuk sesama manusia. Termasuk berbagai kreasi-kreasi lain, sesuai usia umat dan pendidikannya.
Lalu dari mana memulai dialog? Mulailah dari Para Imam. Yaitu Pastor, Bruther, Suster, Pendeta, evanjelis, para Majelis gereja sebagai pemimpin dan pembimbing umat. Dialog dimulai dari mereka, Ibarat kembang tanaman. Ketika ia mulai kuncup dan berbunga, maka seluruh tumbuhan kembang itu menjadi indah. Jika para imam memperlihatkan ekspresi-ekspresi dialog kepada umatnya maka umat pun akan ikut dari belakang. Karena itu memberi contoh, sebagai teladan jauh lebih utama, dari pada teori-teori dialogis yang selama ini diseminarkan atau dicetak dalam buku-buku tebal. Termasuk melalui khotbah mingguan para Imam yang sering menyerukan bagaimana Kasih Allah terhadap sesama, berkumandang dari gedung-gedung gereja termasuk yang disiarkan media massa Elektonik sampai internet. Kenyataannya, sering kali para tokoh-tokoh gereja yang notabene para imam, enggan melakukan hal itu, meski tak dipungkiri ada gejala cukup positif mengarah kesana.
Nach, Gereja dengan berbagai denominasi itu, sesungguhnya adalah satu. Ketika Tuhan Yesus Berdoa di Taman Getsemani sesuai kesaksian Injil Yohanes 17, doaNya bukan hanya untuk murid-murid. Tapi kepada semua orang percaya karena pemberitaan para murid itu. Siapa ‘semua orang percaya itu’? Tentu saja semua Gereja sepanjang zaman, sampai penggenapan kedatangan Yesus Kristus ke-dua kalinya. Inilah yang selalu musti di perjuangkan, yang harus di upayakan dalam dialog interdenominasi. Bahwa engkau dan aku adalah satu. Yaitu, Tubuh Yesus Kristus.

Pertanyaan berikut adalah, bagaimana Gereja berdialog dengan sesama? Dalam awal tulisan ini saya singgung bahwa sejak Gereja lahir kedunia ini, sudah berhadapan dan berjumpa dengan berbagai-bagai manusia dan beragam budaya. Gereja hidup dalam konteks keragaman, hidup ditengah multikultural, ditengah multireligius. Bagaimana dialog gereja pada kondisi seperti itu? Apa yang musti dilakukan? Dan bagaimana gereja tetap hidup berdampingan dengan dengan yang lain?
Kesadaran gereja terhadap Hak Waris(yaitu :kasih) amat penting. Kasih inilah yang membedakan gereja dengan yang lain. Sebagaimana pengorbanan Allah dengan mengutus Anak Tunggalnya (Yohanes 3 : 16) sampai pada pengorbananNya diatas salib. Maka ciri utama Kasih, adalah berkorban. Berkorban? Ya, Gereja musti berani berkorban untuk memulai dialog dengan yang lain. Gereja tidak boleh pasif tetapi aktif! Bukankah Kasih itu aktif? Bagaimana Gereja ada di Dunia ini jika Allah tidak aktif dan progresif? Terutama pekerjaanNya melalui Roh Kudus. Dari kota kecil Betlehem, menuju Yerusalem, kemudian Efesus, Korintus, Filipi, lalu masuk kota Roma dan menyebar keseluruh polosok dunia, dimana ada Manusia, disana gereja pun ada. Bukankah itu karena Allah yang aktif bahkan progresif dalam kasihNYa? Bagaimana konteks kita di Indonesia? Kita tahu, dari sejak dulu kala Indonesia dikenal sebagai Bangsa yang Religius, Ramah tamah, Gotong Royong dengan Budaya dan tradisi yang adiluhung dengan kekayaan alam yang menggiurkan banyak bangsa-bangsa lain sehingga datang menduduki Indonesia. Tapi akhir-akhir ini, memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Kerusuhan antar kelompok marak dimana-mana. Demonstrasi yang mustinya jadi sarana demokrasi berubah anarkies. Masyarakat desa yang seharusnya memperlihatkan keluguan dan kesederhanaan justru menampakan kekerasan antar desa. Belum lagi tawuran antar pelajar, antar mahasiswa yang diperparah oleh miskinnya mental spiritual tokoh-tokoh publik baik oleh pejabat pemerintahan, Artis sampai tokoh agama. Bagaimana Gereja hidup dengan sitiuasi seperti ini?
Menjelang Yesus Kristus pulang ke Surga, Ia mengingatkan para murid untuk terus menerus menebar, menyebar dan menyemai kasih tiap waktu. Dimana, kemana, kapan saja Kasih musti di dialogkan kepada siapa saja. Segala mahkluk! Manusia dan lingkungan.
Persoalan bagi gereja ialah, siapkah untuk itu? Sebenarnya menyatakan Kasih pada dunia, tidak sulit, juga tidak menyusahkan. Kasih hanya butuh pengorbanan untuk melakukan kehendak Tuhan Yesus dengan tulus. Romo Fransiscus Asisi katakan dalam puisi yang ditulisnya beberapa abad lalu seperti ini : Dimana ada pertikaian, kesana aku bawa kasih. Dimana ada kebohongan, kesana aku bawa ketulusan. Kasih seperti ini yang memberi kekuatan dan spirit luar biasa bagi Mother Teresia untuk mencintai kaum papa dan miskin di Calcuta India sepanjang hidupnya. Kasih yang sama juga jadi pendorong Romo Mangun Wijaya, mencintai masyarakat kali Code  sampai akhir hayat. Indonesia butuh kasih seperti ini dari tiap kristiani. Bisa dibayangkan jika seluruh kristiani di Indonesia yang diperkirakan berjumlah 60-an juta itu menjadikan kasih sebagai budaya hidupnya sehari-hari. Indonesia akan mengalami perubahan luar biasa dalam hubungan antar sesama dan antar umat beragama. Tapi, sekali lagi Kasih itu berkorban. Berkorban untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berkorban untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Berkorban untuk menjadi jujur ditengah ketidak jujuran. Berkorban untuk menolong mereka yang papa. Berkorban untuk hidup sederhana ditengah kemiskinan. Berkorban mengampuni sepahit apapun persoalan yang kita alamai.

Mungkin Gereja musti berdialog disana. Dialog dalam pengorbanan untuk kebaikan dan kehidupan orang lain. Seperti Yesus Kristus, berkorban untuk kehidupan anda dan saya.
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi inspirasi untuk terus menerus berdialog dalam kasih.
Jogjakarta, 31 Januari 2013
.



RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: