Siang menjelang sore itu, aku sedang duduk-duduk sambil perhatikan lalu lalang orang di serambi kanan bagian luar dari Temple of Mount ketika orang berbondong-bondong datang mengelilingi seorang pemuda yang sedang menulis sesuatu di jalan raya berdebu itu. Kerumunan orang banyak terus berdatangan, sebagian ingin tahu apa yang terjadi, sebagian lagi sengaja datang untuk bertemu anak muda yang asik menulis sebait puisi di badan jalan. Sebagian lagi datang sambil ingin mendengar apa yang akan di katakan anak muda itu. Saya pun beringsut mendekati kerumunan orang-orang itu.
Sayang kamera kecil saya tertinggal di Jaffa Hostel padahal ingin sekali mengabadikan peristiwa ini.
"kami membawa penista agama ini padamu, hai anak muda! Jika kau paham tradisi dan budaya kita pasti tahu apa yang harus dilakukan pada orang ini!" Teriak seorang lelaki 60-han maju mendekati.
Anak muda itu, menolah.
"Apa maksud bapak?" tanyanya.
Lelaki 60-an itu kemudian mengangguk pada beberapa lelaki tegap berseragam berdiri mengelilingi seorang perempuan yang sedang ketakutan. Dua diantara lelaki tegap itu kemudian mendorong perempuan itu sampai terjatuh di jalanan.
"Perempuan ini menista agama dengan melakukan zinah menjual diri!" Tunjuk lelaki 60-an sambil meludah kearah perempuan ketakutan itu.
Anak muda itu kemudian berdiri, sesudah ia membaca kembali puisi pendek yang ditulisnya di badan jalan.
Ia menoleh ke lelaki 60-an kemudian menatap semua orang yang mengelilinginya, mata jernihnya menusuk hati ketika beradu pandang dengannya.
Ia lalu tersenyum pada semua orang.
"apa yang dilakukan perempuan ini?"
"apakah tidak kau dengar yang kukatakan tadi anak muda?" hardik lelaki 60-an.
"0h aku sedang menulis sebait puisi tadi" jawabnya lembut.
"Bukankah engkau ini seorang guru? Terpelajar dan pandai. Banyak orang mengatakan bahwa engkau memami seluruh tradisi dan budaya kita. Nach sekarang aku bertanya padamu, mewakili semua orang yang berdiri mengelilingimu. Menurutmu, apa yang harus dilakukan kepada seorang penista agama seperti perempuan hina dina yang melacurkan diri ini?"
Anak muda itu kembali memandang sekelilingnya lalu berhenti pada lelaki 60-an itu.
"menurut bapak apa dan bagaimana tradisi kita tentang itu?" ia balik bertanya.
"dia harus di hukum mati dengan cara di rajam (dilempar batu sampai mati)" Tegas lelaki 60-an itu.
"iya begitulah adat istiadat kita..." teriak sebagian orang banyak itu. Aku beringsut lebih kedalam, karena ingin tahu bagaimana pemuda itu akan menjawab.
"baiklah" Pemuda itu menjawab dengan tenang, lalu memungut batu sebesar kepalan.
"siapa diantara bapak-bapak, ibu-ibu yang tidak pernah menista agama? Menista agama bukan hanya seperti kelakuan perempuan ini, tetapi juga menipu, korupsi, menyalahgunakan wewenang, kolusi, selingkuh, membenci sesama, penyimpangan ajaran agama, membunuh, menghianati suami atau istri, meniduri perempuan lacur sampai pada fitnah adalah penistaan agama. Nachh, siapa yang tidak pernah melakukan itu, silahkan duluan melempari perempuan ini"
Ia kemudian meletakkan batu itu ditengah-tengah kerumunan orang banyak. Lalu melanjutkan menulis puisi.
Mendengar kalimat terakhirnya, aku menjadi malu, lalu menjauh darinya dan hanya melihatnya dari seberang jalan.
Entah berapa bait puisi yang sudah dia tulis sebelum berdiri, menatap perempuan pelacur itu dan memandang sekelilngnya.
"tak ada seorang pun yang merajammu?" ia bertanya pada perempuan pelacur itu.
Perempuan hanya menangis.
"nach pergilah. Jangan lakukan lagi perbuatan itu. Bertobatlah sebab Tuhan itu Maha Pengampun"
Sore itu aku sangat malu, menyadari betapa aku pun penista agama dan menyepelekan Tuhan yang menurunkan agama untuk keteraturan hidup dan pengamalan hidup.
Oh ampuni aku Tuhan.
Salam dan doa rahayu
Jakarta medio Maret 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar