Sajak tentang Luka VII.
Dibilik, seukuran 3 x 4 meter itu, seorang perempuan paruh baya asyik merenda hidupnya.
Ia merasa itu tempat terindah, teraman.
Di dalam sana ia berkelana kemana saja, mengembara di mana saja, menemui sahabat-sahabatnya, berjumpa dengan kekasihnya.
Ia nyaman dengan layar persegi itu.
Ia tertawa, menangis, mencurahkan isi hati, bercakap-cakap, membicarakan apa saja.
Ia dapat mengatur dengan siapa ingin bertemu, seperti inginnya, tanpa paksaan pihak mana pun.
Ia bebas, tak butuh berdandan, bersolek, apa lagi bosa basi.
Ia tak perduli sekeliling.
Ia menemukan hidupnya di sana dan lupa siapa ia sesungguh.
Lupa, ada orang disisinya.
Lupa yang nyata.
Lupa, yang realita.
Lupa, ia sendiri.
Lupa, yang diseberang sana, orang-orang yang dianggapnya sahabat, karibnya, kekasihnya, cintanya, hanya ada di dalam kotak persegi itu
Diingkari semua.
Diingkari, marahnya.
Diingkari, bencinya.
Diingkari, perasaannya.
Diingkari, cintanya.
Diingkari, dirinya.
Diingkari, rasa sakitnya.
Bahkan, diingkari dirinya sendiri
Empat purnama lalu, Ia membuang kunci hati, satu-satunya yang masih dia miliki sebagai perempuan paruh baya.
Ia campakkan.
Ia tenggelamkan.
Ia hancurkan.
Ia kubur di dalam kolam agar tak seorang pun menemukan.
Ia asing dengan dunia yang membesarkannya.
Ia asing dengan perasaan sendiri.
Ia asing terhadap diri sendiri.
Ia asing pada cinta yang datang
Ia asing dengan perasaan yang menghampiri
Ia asing terhadap sentuhan hati
Bahkan ia tak lagi mengerti siapa dirinya.
Bahagianya ada didalam sana, di monitor persegi itu.
Dua chandra kemaren, lelaki baya menghampiri pintu mungil itu dan mengetuknya pelahan.
Ia peluk.
Ia cium
Ia berbisik
Ia katakan, aku menemukan cinta di dalam sana
Ia jumpai kekasihnya di situ
Dan perempuan paruh baya itu, masih disana.
Ia tak mengerti, semakin dalam mengurung diri, makin lebar luka di hati.
Ia tak pernah tahu, ruang seukuran 3x4 itu, penjara jiwanya.
Ia tak pernah paham, monitor persegi itu tak menyentuh hatinya.
Ia tak sadar, luka di tubuh, di jiwanya, di hatinya, bertumbuh melebihi kesanggupannya
Dan lelaki baya itu kini terbang bersama pelangi.
Tak ada lagi luka di hati, di jiwa
Ia tersenyum, melebihi senyum yang pernah ada padanya
(Puri Garden Semarang, awal November 2017)
tentang luka V
Perempuan baya itu tak bergeming ketika untuk kesekian kali, android mungilnya berdering. Ia tahu pesan itu dikirim lelaki yang saat ini sedang ia benci. Lelaki yang banyak menyita perhatian bahkan mengaduk-aduk hatinya. Lelaki baya yang menggetarkan rasanya.
Semakin lama ia berdiam, makin dalam lukanya. Kian waktu ia membisu kian menganga borok di hati.
Seperti sore ini, android disampingnya kembali berdering.
Tapi lukanya makin bernanah.
Perempuan baya itu tak mengerti bahwa sesungguhnya ia sedang melukai diri sendiri.
Semakin lama ia membisu semakin ia menyiksa diri.
(Bandung oktober 2017)
Luka IV
Pada akhirnya memudar
Bahkan bayang pun tak berbentuk
Seperti itulah
Jelita didalam sana
Duhai
Mengingat pun tak
Apa lagi berharap, terlebih mengharap.
Seperti itulah engkau melukai diri, menipu hati
Wahai
Berapa purnama kan kau mamah?
Berapa candra kau butuh?
Agar terbuka dan melihat!
Supaya sadar dan jelas!
Ohoi
Bubur tak lagi nasi
Abu tak lagi arang
Dan garam pun hambar
Kekasihku
Ketika itu air mata sia-sia, sesal tak berarti
Dan hilang sudah panggung untukmu.
(Puri Garden, meski november'17)
Cerpen tentang Luka III.
Seorang temen yang sedang di rawat di rumah sakit karena Cancer ketika saya temui mengeluh begini :
"Romo saat ini yang saya butuh adalah orang-orang yang kurindukan! Hanya itu" mendengar ucapannya itu saya hanya bisa menunduk dan berharap bahwa orang yang dimaksud akan segera datang disampingnya. Sahabat itu kini sudah pergi beberapa hari lalu dan aku masih sempat menggenggam jemarinya. Di saat-saat terakhir ia masih sempat menitip permohonan maaf dan minta saya sampaikan itu. Tapi aku tak sempat bertanya pada siapa harus kunyatakan permohonannya itu. Tadi pagi seorang suster menyodorkan sebuah notes kecil. Dan meminta aku menulis status tentang dia yang sudah pergi itu dengan harapan bahwa orang yang dirindukannya membaca dan memaafkan sahabatku itu.
Sore ini aku tulis pesannya.
Maafkan dia.
(Puri Garden, Semarang) |
Cerita tentang luka II
Tahukah engkau duhai kekasih bahwa pembusukan itu mulai dari kepala turun kehati lalu membusuklah seluruh tubuhmu. Pikiran itu harus dikawal oleh hatimu, oleh batinmu. Jika tidak derita yang engkau tuai.
Sayang duhai sayang, banyak yang tak mau masuk kesana. Ia membiarkan dirinya membusuk secara perlahan karena hidupnya melulu di kendalikan oleh pikirannya. Pikiran yang hanya tahu untung rugi, pikiran yang selalu membawanya memasuki hitung-hitungan belaka.
Oh kekasih, kekasihku, keluarlah dari sana dan segera obati luka-luka yang mulai membusuk di tubuhmu.
Duhai kekasih, kekasihku, tinggalkan dan buanglah luka itu, biarlah hatimu, batinmu, menyembuhkannya.
(Puri Garden Semarang)
Luka I
Tubuh ini lemah dan gampang bernanah, membusuk.
Jangan kuatir akan luka-luka di tubuhku sobat.
Jangan merasa iba sebab itu hanya luka tubuh, luka raga.
Kuatirlah pada luka di jiwamu.
Luka di batinmu.
Nanah di hatimu.
Bila luka ditubuh ini membusuk, itu lantaran raga memang petas dan rapuh.
Tapi jiwa yang petas dan rapuh membuatmu merana, menjadikan dirimu pesakitan.
Sebab luka yang sesungguhnya bukan pada tubuh, bukan pada raga tapi dalam batin, di jiwa.
Yah di dalam jiwa
Jangan biarkan ia terluka duhai kekasihku.
"Renungan tentang luka VI"
Lelaki baya itu terbaring lemah, setelah beberapa kali harus menjalani penyinaran di pinggang belakang. Meski berat badannya menurun drastis, tapi wajahnya tetap saja terhias senyum, tampaknya sesuatu di punggung itu tak pernah mengganggunnya, apa lagi menyita perhatiannya.
"kok kamu tenang-tenang saja Rob?" tanya perempuan berambut sepinggang yang datang menjenguknya
"lha..emang harus gimana Nin?"
"kamu...achh..nggak jadi aja" timpal perempuan berambut sepinggang sambil membenahi selimut yang menutup tubuh Roby.
"hm..aku tahu isi hatimu...." Roby berhenti sejenak lalu meraih remot TV dan mengurangi volume suara.
"kamu mau bilang kalau sikapku seperti orang tak sakit, begitu kan?"
Perempuan itu mengangguk lalu duduk di samping ranjang.
"Nin....yang sakit ragaku, tubuhku. Bukan jiwaku, bukan hatiku"
"maksudmu?" Perempuan itu heran.
"yang dilakukan dokter beberapa hari ini kan hanya luka di tubuhku, tubuh yang memang gampang sakit, gampang terluka...tetapi jiwaku, hatiku tidak. Kamu ngerti Nin?" Roby menoleh ke sahabat karibnya itu.
Perempuan yang dipanggil Nin itu hanya menggeleng.
"begini...tubuh kita ini terdiri dari daging, tulang dan air. Daging itu gampang busuk, Tulang juga mudah rapuh, apalagi air, sangat cepat menguap. Nach kebetulan..daging di tubuhku ini sekarang, sedang busuk, jadi para dokter harus mengeluarkan yang busuk itu, mungkin juga bulan depan atau tahun depan, ada tulangku yang rapuh atau justru air yang mengaliri tubuhku akan menguap pelan-pelan. Semua selalu begitu. Termasuk kamu. itulah sebabnya tubuh tidak abadi, tidak langgeng, tidak kekal!"
"maksudmu?"
"maksudku, kalau saat tubuhmu itu ada yang busuk ya jangan mengeluh, karena itu tak membawa perubahan. Tidak memberi dampak apa-apa pada tubuhmu, percuma, justru membuang energi"
"tapi kan terasa sakit Rob"
"sakit? Itu tergantung bagaimana melihat dirimu sendiri. Maksudku, bagaimana kamu dapat menerima keadaan itu sebagai sesuatu yang memang harus terjadi. Menimpa tubuh, mendera tubuh, jadi sesuatu yang natur, alamiah"
"wah..makin bingung aku!"
"pasti kamu sulit mengerti, jika kamu melihat tubuhmu ini sebagai sesuatu yang utama dalam hidupmu"
"lhoohh....semua orang beranggapan bahwa tubuhlah yang paling penting sepanjang hidupnya" protes Nin memotong penjelasan Roby.
"baiklah aku jelaskan pelan-pelan ya, kamu ada waktu kan?"
"hari ini waktuku untukmu" potong Nin lagi
"ok..makasih ya....jadi begini tubuh manusia itu tidak abadi, tidak kekal........"
Kelanjutannya sedang dalam pembedahan penulisnya.
Cerita tentang Luka VIII.
Entah sudah berapa kali lelaki baya itu mengantri di sana. Menunggu panggilan, masuk ruang periksa, ke Lab, dst. Yang jelas ia mulai bosan dengan ritual itu, plus obat-obatan yang harus di la jejalkan ketenggorokan setahun belakangan ini. Perut tambun mengecil serata dada, pipi yang padat bulat kempes mengeriput, langkah tegap jadi tertatih, tak sebanding usianya yang baru awal 50-an.
Senyumnya mengambang, saat kugenggam jemari kirinya yang bebas dari berbagai alat-alat aneh di mataku.
"Romo dengan siapa?" suaranya tenggelam jauh kedalam tenggorokan.
"sendiri, seperti yang kau lihat sobat" aku membalas senyumnya.
"senang Romo datang menjengukku. Romo bagaimana? sehat saja kan?"
Aku mengangguk sambil perhatikan wajah tirus kering tak berdaya itu.
Lelaki baya ini ku kenal sejak beberapa tahun lalu, ketika masih aktif mengajar di Perguruan tinggi Yogyakarta. Saat itu sedang mengikuti KKN Tematik mahasiswa Fakultas Arsitektur dan Desain ke Singaraja. Dalam diskusi Arsitektur Tradisionil lokal Singaradja, ia salah satu nara sumber. Dari situ kami jadi sahabat dan terlibat dalam berbagai kegiatan kebudayaan, khususnya Seni bangun tradisi Indonesia. Seorang arsitek berbakat dan cerdas, karya-karyanya bertebaran di kota-kota besar Indonesia dan juga luar negeri.
"Romo sudah booking hotel?" ia membuyarkan lamunanku.
"Sudah, di The Majestic Malacca Hotel. Nggak jauh dari sini"
"oh syukurlah, tadinya asistenku akan mengurus seluruh kebutuhan Romo selama di Malaka" jelasnya.
"terimakasih Rudi"
ia tersenyum, senyum yang asing di mataku.
"lalu bagaimana operasimu beberapa hari lalu?"
"operasinya berhasil dan bagus Romo, tapi jujur...itu tak banyak menolong. Doakan terus ya"
Mendegar jawabannya, ku tatap ia seksama. Meski baru sewindu mengenalnya, aku tahu, ia lelaki polos dan jujur bahkan karakter itu sering dianggap kasar, terlalu berterus terang, dan sebagian lagi menganggapnya aneh. Tapi begitulah aku mengenal Rudi.
"Romo bukan hanya sahabat tapi terutama pembimbing spiritualku. Aku butuh itu dari Romo" sambungnya lagi.
"aku tahu Rudi, itu sebabnya dikesempatan pertama setelah membaca pesanmu terbang kesini"
"terimakasih Romo" ia meraih jemariku dan kugenggam erat jemari kurus.
"Romo..." ia menatapku.
"ya sobat?"
"beberapa hari ini aku gelisah dan sulit tidur. Dokter sudah memberi obat penenang, tetapi itu tak berarti untuk gelisahku" suaranya bergetar
"aku takut Romo...!"
"Mati?" potongku berterus terang. Begitulah selama ini komunikasi kami.
"bukan! Aku sudah siap untuk itu. Bukankah Romo sering kali mengajarku bahwa kematian itu hal yang wajar. Jadi aku tidak takut Romo" sahutnya pendek, senyumnya melebar, mata yang cekung itu berbinar.
"jadi apa yang kau kuatirkan?"
Ia diam sejenak, lalu menoleh ke asisten pribadinya.
"Tati, tolong ambilkan box yang kamu simpan itu"
Tati, perempuan 40-an, cantik, cekatan dan energik. Perempuan cacat bawaan di ujung telapak kaki kiri. Ia hanya bisa mengenakan sepatu dalam bentuk design khusus. Meskipun demikian ia seorang master alumni Perguruan ternama di Merryland USA. Sudah 15 tahun ia jadi asisten Rudi.
Tati menyodorkan kotak abu-abu, kuraih kotak itu lalu menatap Rudi dengan wajah bertanya.
"aku percaya Romo dapat melakukan semua yang ada di dalam box itu, jika umurku seperti yang di nyatakan dokter" jelasnya menjawab pertanyaanku.
"baiklah. Apakah kau sudah melibatkan pengacaramu tentang isi kotak ini?"
"Sudah, semua tergantung pada Romo"
Aku mengangguk lalu memasukan box itu kedalam ransel.
"nach...sekarang ceritakan apa yang kau kuatirkan?"
Sekali lagi ia menoleh ke Tati dan memintanya keluar ruangan.
"Romo masih ingat perempuan yang aku kenalkan di Pantai Tanjung Aan Lombok beberapa tahun lalu?"
Aku menerawang jauh ke Mataram, pada seorang perempuan penari tradisionil nan gemulai berwajah oval.
"Mirah maksudmu"
Rudi mengangguk.
"ada apa dengannya?"
"maaf aku berdusta padamu. Dia......
Bersambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar