27/12/19

Renungan Natal dan sajak

Renungan Kebudayaan.
Ketahanan Pangan Mestinya Tidak Keluar Dari Tradisi Pangan Masyarakat Lokal.
Ketahanan Pangan, selalu dilihat dari sudut pandang Pemerintah, bahwa pemerintah sering kali memastikan bahwa Ketahanan pangan 'HANYA DI PAHAMI SEPIHAK OLEH PEMERINTAH HANYA OLEH PENYELENGGARA KEKUASAAN'. Padahal, pandangan demikian menipu dan menyesatkan pemerintah itu sendiri, bukan hanya di masa modern sekarang ini tetapi juga sejak jaman revolusi fisik hingga Orde Baru.
Apa sebenarnya Ketahan Pangan itu? Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahwa Ketahan Pangan itu adalah Kemampuan suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan (Lauk dan Pauk).
Sebagaimana kita tahu bahwa Banagsa dan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia, adalah suatu bangsa yang ber-bhineka dalam segala hal (suku, tradisi, bahasa, agama termasuk aneka jenis panganan lokal yang jadi makanan pokok sehari-hari suatu masyarakat suku/adat).
Program Ketahanan Panganan yang selama ini jadi program primer pemerintah, selalu mengacu pada kebutuhan Beras. Akibat dari itu, seluruh anak bangsa yang ber-bhineka (seperti yang saya jelaskan di atas) hanya di lihat dari konsumsi beras belaka. Dan Kebutuhan pada beras, semua hanya untuk pengadaan beras. JIka di lihat dari ketinggian 60 ribu kaki, maka kita bisa bayangkan bagaimana se-olah2 semua anak bangsa makan nasi. Itulah sebabnya mengapa saya berani menyatakan bahwa Program Ketahanan Pangan, khususnya kebutuhan beras, menipu dan menyesatkan Pemerintah karena hanya dari sudut pandang penguasa saja.
Pertanyaan besar ialah, Apakah seluruh anak bangsa mengkonsumsi nasi? Saya berani jawab, TIDAK!
Saya punya pengalaman hidup setahun dengan Masyarakat Maluku utara, khususnya di Halmahera. Selama setahun itu, saya mengkonsumsi Sagu, Keladi, Pisang rebus dan Kasbi (Singkong). Masyarakat Maluku umumnya, mengkonsumsi apa yang saya sebut barusan. Demikian juga ketika saya tinggal dengan Masyarakat Papua di kota Digoel selama 9 bulan, saya makan sagu dan umbi-umbian.
Ketika saya berkelana dan tinggal dengan masyarakat Kep. Mentawai, sehari-hari saya mengkonsumsi Keladi.
Demikian juga pengalaman saya 'live in' bersama Suku Daya. Bahao di Long Iram, beberapa tahun lalu.
Saya yakin, masyarakat adat lainnya, memiliki Ketahanan Pangan dalam bentuk lain yang sudah men-tradisi dalam kehidupan sejak Nenek Moyang mereka. Seperti Masyarakat pengkonsumsi Jagung (untuk yang terakhir ini, sepertinya tidak ada lagi, khususnya orang Madura yang sudah lupa pada jagung)
Tapi, untuk saat ini, ada kemungkinan beberapa pengalaman saya 'live in' seperti saya sebutkan itu, sudah mengalami perubahan, terutama sejak program Swasembada beras yang dicanangkan Orde Baru yang ternyata juga di ikuti oleh Orde-orde sesudahnya.
Dimana-mana orang mencetak sawah demi Padi (beras). Tapi bersamaan dengan itu, perubahan masyarakat dengan kultur / tradisi menanam keladi, jagung, sagu, singkong, di ubah dengan 'paksa' demi pengadaan beras tanpa disertai pemberdayaan bagaimana bersawah, memelihara padi, menanam padi, dst.
Masih ingat akhir 2009? Bangsa ini geger karena, beberapa daerah di Papua, di sebut sebagai daerah rawan pangan, karena sawah-sawah yang di buat tak berhasil. Padahal, daerah yang disebut sebagai rawan pangan itu, tidak mengkonsumsi beras melainkan umbi-umbian.

--------------------------------------------------------------------
Renungan Budaya.
Kemana Budayawan kita?
Perubahan cepat yang di alami sekarang ini memberi perasaan tak menentu pada siapa saja. Dan perasaan seperti itu akan terus terjadi seiring perubahan itu sendiri. Ironisnya, tidak semua bisa menerima, menguasai bahkan mungkin diluar kemampuan banyak orang untuk mengantisipasi dan melebur pada perubahan itu. Gejala itu di tandai dalam bentuk kooptasi nilai, sikap primordial dan laku marginal di tengah hidup masyarakat. Jadi, jangan heran atas kehadiran kelompok-kelompok eksklusif dengan kepentingannya kemudian bertarung dengan nilai-nilai kelompok sebagai proyeksi diri yang di ikuti konflik kepentingan yang sangat kompleks dan cenderung kasar. Atas situasi seperti itu, pertanyaan besar besama ialah "Apakah sendi-sendi kehidupan budaya kita mampu melakukan kontrol lalu mengelola konflik yang terjadi?"
Jakarta sebagai Pusat Nilai Budaya?
Sebagai Ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta lambat laun jadi model nilai budaya masa kini maupun masa depan masyarakat Indonesia. Tapi pada sisi lain, dalam diri saya, timbul kengerian pada situasi Jakarta sekarang ini. Secara kultural, saya merasa sebagai orang asing dan terjebak meski saya berdomisili di Jakarta. Asing dan terjebak karena atmosfir Jakarta bias otonom atas nilai-nilai kultural bahkan memiliki hukum-hukumnya sendiri pada kompleksitas masyarakatnya. Orang-orang terlindas ringsek oleh gerak dinamik kehidupan metropolis yang tidak perduli pada nasib seseorang bahkan kelompok orang. Persoalan ini dapat dilakukan siapa saja atas nama dinamika kehidupan Jakarta. Dulu, di jaman ORDE BARU, secara struktural dilakukan atas nama Pembangunan.
Sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta adalah kantong raksasa, di mana dalam kantong itu sikut menyikut antara kepentingan kelompok politik, kelompok agama, Suku dan kelompok penghoby sampai pada kepentingan pemerintah versus kebutuhan hidup jadi mengemuka. Pemenangnya ada tiga aliansi, yaitu : Pemerintah, Uang dan kelompok beranggota banyak orang, konflik Vertikal dan horisontal adalah Tamsil kekinian Jakarta.
Apakah nilai-nilai kultural dapat mengontrol dan mengelola semua itu? Saya kok pesimis dan ciut hati, meski ini prasangka subjektif. Bagaimanapun, optimisme tentang kemampuan kehidupan kultural masyarakat Jakarta, tetap subur di benak saya.
Kantong Raksasa ini, di penuhi kaum cendikiawan dan budayawan yang dapat memberikan kejernihan bahkan kejelasan atas pilihan-pilihan mengenai kemanusian versus pembangunan versus kepentingan politik, kelompok bahkan kepentingan pemerintah.
Tapi ketika, cendikiawan dan budayawan, terkooptasi pada kelompok tertentu bahkan nyemplung dalam area pemerintah, maka tak ada lagi pengawal Kultur.
(TIM, akhir November 2019)
Romo, pemerhati - pegiat budaya dan pendamping umat di GPIB.

-------------------------------------------------------

Natal.
Dalam tradisi umat Kristen Merayakan Natal adalah Mengenang kembali Kelahiran Kristus dalam sebuah Kandang Domba di Betlehem.
Suatu peristiwa kelahiran yang tidak pernah dibayangkan oleh banyak orang termasuk Maria dan Yusup. Bukankah setiap orang tua dan tiap suami menginginkan agar istri melahirkan di tempat yang layak dan terhormat. Demikian juga Maria, Ia pasti tak ingin bayi yang dikandungnya lahir dalam sebuah kandang. Ia ingin anaknya lahir ditempat layak sebagaimana umumnya perempuan melahirkan.
Tapi malam itu, tak ada tempat, semua penginapan bahkan rumah-rumah kerabatpun penuh sesak oleh kaum perantau yang datang memenuhi panggilan Kaisar Agustus untuk mendaftar kembali sebagai warga Kekaisaran di masing-masing kota asal. Itulah sebabnya, Maria dan Yusup malam itu tak mendapat tempat menginap yang layak.
Untung bahwa ada sebuah kandang domba yang sudah lama tak terpakai bisa dijadikan tempat menginap sekaligus untuk melahirkan anak sulung Mereka.
Aneh bahwa di masa sekarang tak banyak umat Kristen menengok peristiwa itu sebagai cara untuk mengenang kelahiran yang unik dan memprihatinkan itu Tidak heran jika perayaan natal di masa sekarang, jauh dari kisah memprihatinkan itu.
Natal adalah pesta! Demikian benak sebagian besar umat Kristen. Jadi karena Natal adalah Pesta, maka harus meriah, ada makanan dan kue-kue, hadiah dan berbagai hiasan. Jauh dari mengenang dan merenung atas cara kelahiran yang memprihatinkan itu. Atau mungkin banyak orang tak ingin masuk 'areal' itu karena sangat sederhana dan cenderung menyedihkan?
Selamat menyongsong Natal 25 Desember 2019.
Salam dan doa Rahayu.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Sajak sandal tua.
Usang jadi mainan siapapun
Tak berharga terlebih bernilai apa lagi bermutu
Sandal selalu jadi dirinya tak akan jadi sepatu
Ia tergelatak di pojok pintu sesekali dilirik berharga namun siapa akan memandang?
Hanya angin membelai mengusap dingin
Karena merasa bernilai dan bermutu
Padahal angin selalu datang dan pergi, hinggap di mana saja ia mau.
Angin sejuk membelai hanya sesaat.
Angin datang menghembus harapan kemudian membawanya pergi
Sandal tua tak berarti
Selain jadi mainan.
(Ps.Minggu-medio desember'19)

-----------------------------------------------------------------------------------

sajak Angin Desember.
Lembut kau datang menyapa dan berlalu
Sejuk membelai kemudian pergi
Meninggalkan tetes air di pelupuk
Tak ada kisah sedih sepedih angin desember
Saat diam-diam kau datang menaruh pengharapan dan membawanya pergih
(Medio Desember 2019)



RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: