Politik ke-Bhinekaan atau Ke-Bhinekaan Politik? Catatan Pinggir seorang Romo.
Bunyi Bhineka yang dimaknai sebagai Ke-aneka ragaman itu, memiliki nalar yang jauh dari sekedar ke-aneka ragaman yang selama ini melulu di beri lebel :
1. Banyak Suku,
2. Banyak bahasa,
3. Banyak Agama,
4. Adat istiadat,
5. Lalu banyak pulau - pulau, dst.
Penerimaan atas pemaknaan hanya seperti saya kutipan diatas, kemudian dijelaskan (atau dibatasi?) melalui produk UU, mulai dari UUD'45, hingga berbagai aturan dari kantor pemerintah, pusat hingga ke daerah.
Dalam berbagai diskusi sesama pemerhati kebudayaan, pertanyaan kerap muncul ialah : apakah sebuah produk budaya butuh perundang-undangan untuk membuatnya jadi value yang mengikat masyarakat? Bukankah aturan (baca UU) selalu bermuara pada pengganjaran atas ketidak-taatan?
Bunyi Bhineka Tunggal Ika, lahir dari hegemoni sikap Mojopahit yang pada jamannya menginvasi dan merebut wilayah kerajaan lainnya secara paksa berdasar atas ambisi dan Sumpah seorang Mahapatih, Ki Gajah Mada. Dalam konteks Majapahit, Maka Ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan bukan penghargaan pada ke-bhinekaan itu sendiri. Di Eropah, dalam sejarah dunia, di kenal istilah Eukumene (Oikumene) dari imperial Romawi (150 tahun seb. M hingga 350 thn. M) untuk menggambarkan ke-aneka-ragaman, wilayah, negara, budaya serta luasnya daerah kekuasaan Romawi. Dalam benak kaisar-kaisar Roma, Ke-bhinekaan tersebut, merupakan symbol luas dan besar kekuasaan.
Baik Majapahit dan Romawi, ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan kekuatan atas wilayah yang di jajah. Karena itu, jangan heran jika ada gejala pengingkaran atas kekuasaan dan kekuatan, maka tindakan represi aktif jadi ujung pendekatan.
1. Banyak Suku,
2. Banyak bahasa,
3. Banyak Agama,
4. Adat istiadat,
5. Lalu banyak pulau - pulau, dst.
Penerimaan atas pemaknaan hanya seperti saya kutipan diatas, kemudian dijelaskan (atau dibatasi?) melalui produk UU, mulai dari UUD'45, hingga berbagai aturan dari kantor pemerintah, pusat hingga ke daerah.
Dalam berbagai diskusi sesama pemerhati kebudayaan, pertanyaan kerap muncul ialah : apakah sebuah produk budaya butuh perundang-undangan untuk membuatnya jadi value yang mengikat masyarakat? Bukankah aturan (baca UU) selalu bermuara pada pengganjaran atas ketidak-taatan?
Bunyi Bhineka Tunggal Ika, lahir dari hegemoni sikap Mojopahit yang pada jamannya menginvasi dan merebut wilayah kerajaan lainnya secara paksa berdasar atas ambisi dan Sumpah seorang Mahapatih, Ki Gajah Mada. Dalam konteks Majapahit, Maka Ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan bukan penghargaan pada ke-bhinekaan itu sendiri. Di Eropah, dalam sejarah dunia, di kenal istilah Eukumene (Oikumene) dari imperial Romawi (150 tahun seb. M hingga 350 thn. M) untuk menggambarkan ke-aneka-ragaman, wilayah, negara, budaya serta luasnya daerah kekuasaan Romawi. Dalam benak kaisar-kaisar Roma, Ke-bhinekaan tersebut, merupakan symbol luas dan besar kekuasaan.
Baik Majapahit dan Romawi, ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan kekuatan atas wilayah yang di jajah. Karena itu, jangan heran jika ada gejala pengingkaran atas kekuasaan dan kekuatan, maka tindakan represi aktif jadi ujung pendekatan.
Bhineka Tunggal Ika sampai di mana Ke-Bhinekaanmu?
Sebelum NKRI ada, wilayah yang kita sebut sebagai NKRI sekarang ini adalah Hindia Belanda, yaitu sebuah wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Dengan politik ekonomi yang mengangkut sebagian besar kekayaan wilayah ini. Atas nama ekonomi, Belanda memaksakan mono agrikultur pertanian seperti Tebu dan tembakau di Jawa, Rempah-rempah di luar jawa. Tak ada ke-bhinekaan dan kemerdakaan atas pertanian. Di luar itu, Suku-suku berkomunikasi bahasa masing-masing, beragama kepercayaan masing-masing dan hidup dari adat istiadatnya, bahkan kenyang dari tradisi konsumsi masing-masing.
Sumpah Pemuda 1928 dengan Trilogi dasar berbangsa (bukan Bernegara) Lahirlah, satu : Bahasa, Tanah air, Bangsa Indonesia. Cita-cita pada sebuah Bangsa dengan ke-Bhinekaan yang selaras dengan kehadiran berbagai suku dan bahasanya, adat-istiadat, kepercayaan dan hak hidup atas wilayah adat dan nilai tradisi.
Dalam paham kebudayaan, penghormatan atas ke-bhinekaan adalah ujung tombak geliat kehidupan Manusia. Sebab, itu (ke-bhinekaan) menyangkut seluruh hakekat manusia. Baik atas nilai-nilai yang dianutnya, penghidupan yang dijalani, keyakinan atas yang di percaya, pengembangan dan pelestarian sitektur, sistem-sistem pertanian, perkebunan, ladang-sawah dan irigasi, termasuk di dalamnya keaneka hayatan yang tersebar dalam wilayah adat dan tradisi tiap suku di Indonesia.
Sumpah Pemuda 1928 dengan Trilogi dasar berbangsa (bukan Bernegara) Lahirlah, satu : Bahasa, Tanah air, Bangsa Indonesia. Cita-cita pada sebuah Bangsa dengan ke-Bhinekaan yang selaras dengan kehadiran berbagai suku dan bahasanya, adat-istiadat, kepercayaan dan hak hidup atas wilayah adat dan nilai tradisi.
Dalam paham kebudayaan, penghormatan atas ke-bhinekaan adalah ujung tombak geliat kehidupan Manusia. Sebab, itu (ke-bhinekaan) menyangkut seluruh hakekat manusia. Baik atas nilai-nilai yang dianutnya, penghidupan yang dijalani, keyakinan atas yang di percaya, pengembangan dan pelestarian sitektur, sistem-sistem pertanian, perkebunan, ladang-sawah dan irigasi, termasuk di dalamnya keaneka hayatan yang tersebar dalam wilayah adat dan tradisi tiap suku di Indonesia.
74 tahun Bangsa Indonesia Merdeka, sampai di mana Kebhineka Tunggal Ika - an itu?
Pertanyaan sederhana saya ajukan seperti ini :
1. Bagaimana penghargaan dan pelestarian atas sistem-sistem
penghidupan dan kehidupan lokal suku-suku bangsa yang
ada?. Misalnya ; Atas pertanian, peladangan, perkebunan,
masyarakat suku?
Pertanyaan sederhana saya ajukan seperti ini :
1. Bagaimana penghargaan dan pelestarian atas sistem-sistem
penghidupan dan kehidupan lokal suku-suku bangsa yang
ada?. Misalnya ; Atas pertanian, peladangan, perkebunan,
masyarakat suku?
2. Apakah ada perlindungan pada sistem-sistem penghidupan dan kehidupan masyarakat adat dengan kekayaan Tradisinya? Bukankah Bhineka Tunggal Ika, menempatkan ke-Bhinekaan sebagai tujuan dan ujud berbangsa kita?
Ach.....nanti aja di sambung ya Guys...tulisan ini nggak penting-penting amat kok.
Romo Ro Wi Ma : Pemerhati - pegiat kebudayaan dan Pendamping umat di GPIB
--------------------------------------------------------
Dialegtika Bahagia.
Apa itu?
Banyak orang mengeluh bahwa hidupnya tak bahagia, penuh pergulatan bahkan cenderung menderita batin.
Jadi bagaimana agar terbebas dari semua itu?
Sederhana sobat.
Maksudnya?
Bahagia itu ada dalam dirimu.
Dalam diri?
Yah dalam dirimu.
Maksud Romo bagaimana? Masa bahagia itu ada dalam diri?
Yah.
Cerita dong Mo.
Begini, jika kamu sangka bahwa bahagia itu diluar dirimu, maka kamu akan kecewa.
Bahagia ialah anugerah Tuhan yang paling indah dan besar sepanjang hidupmu.
Bahagia itu hanya butuh kau pelihara dan manfaatkan untuk hidupmu dan juga pada orang lain. Bahagia itu bukan materi, bukan benda. Tapi rasa. Rasa yang membuat seluruh sel-sel tubuhmu bergembira. Membuat desiran darahmu bergejolak. Membuat adrenelin tubuhmu tetap sempurna.
Ach Romo bwrbelit-belit nih. Yang gamblang napaaa.
baiklah jika itu maumu sobat. Begini, bahagia itu pengorbanan.
Pengorbanan mo?
Iyaaa, karena bahagia memberi. Yaitu memberi kebahagian pada diri sendiri.
Bingung Mo.
Sebenarnya ketika kau menolong seseorang kau menolong diri sendiri. Saat kau memberi kegembiraan pada keluargamu, kau membuat dirimu bahagia.
Waktu kau luangkan waktu untuk menemani seseorang yang butuh teman, kau membahagiakan dirimu sendiri.
Bahagia bukan mengambil tapi memberi kebaikan pada orang lain.
Jika engkau berfikir bahwa bahagia itu tergantung pada materi, maka siaplah menerima kecewa darinya. Bila kau anggap bahwa uang sanggup membahagiakan dirimu, siaplah menderita karena uang. Kalau kau anggap jabatan dan kekuasaan mampu memberi bahagia bersiaplah terpuruk.
Bahagia tidak pernah membuatmu menderita, bergulat apalagi terpuruk.
Yang membuat manusia menderita, bergulat dan terpuruk, hanya satang dari luar dirimu. Semua yang kau ambil kelak akan mengecewakan dirimu.
Tapi semua hal baik yang kau berikan pada orang lain, pada keluargamu, termasuk pada alam, selalu membuatmu bahagia.
Sampai disini, kau paham sobat?
Banyak orang mengeluh bahwa hidupnya tak bahagia, penuh pergulatan bahkan cenderung menderita batin.
Jadi bagaimana agar terbebas dari semua itu?
Sederhana sobat.
Maksudnya?
Bahagia itu ada dalam dirimu.
Dalam diri?
Yah dalam dirimu.
Maksud Romo bagaimana? Masa bahagia itu ada dalam diri?
Yah.
Cerita dong Mo.
Begini, jika kamu sangka bahwa bahagia itu diluar dirimu, maka kamu akan kecewa.
Bahagia ialah anugerah Tuhan yang paling indah dan besar sepanjang hidupmu.
Bahagia itu hanya butuh kau pelihara dan manfaatkan untuk hidupmu dan juga pada orang lain. Bahagia itu bukan materi, bukan benda. Tapi rasa. Rasa yang membuat seluruh sel-sel tubuhmu bergembira. Membuat desiran darahmu bergejolak. Membuat adrenelin tubuhmu tetap sempurna.
Ach Romo bwrbelit-belit nih. Yang gamblang napaaa.
baiklah jika itu maumu sobat. Begini, bahagia itu pengorbanan.
Pengorbanan mo?
Iyaaa, karena bahagia memberi. Yaitu memberi kebahagian pada diri sendiri.
Bingung Mo.
Sebenarnya ketika kau menolong seseorang kau menolong diri sendiri. Saat kau memberi kegembiraan pada keluargamu, kau membuat dirimu bahagia.
Waktu kau luangkan waktu untuk menemani seseorang yang butuh teman, kau membahagiakan dirimu sendiri.
Bahagia bukan mengambil tapi memberi kebaikan pada orang lain.
Jika engkau berfikir bahwa bahagia itu tergantung pada materi, maka siaplah menerima kecewa darinya. Bila kau anggap bahwa uang sanggup membahagiakan dirimu, siaplah menderita karena uang. Kalau kau anggap jabatan dan kekuasaan mampu memberi bahagia bersiaplah terpuruk.
Bahagia tidak pernah membuatmu menderita, bergulat apalagi terpuruk.
Yang membuat manusia menderita, bergulat dan terpuruk, hanya satang dari luar dirimu. Semua yang kau ambil kelak akan mengecewakan dirimu.
Tapi semua hal baik yang kau berikan pada orang lain, pada keluargamu, termasuk pada alam, selalu membuatmu bahagia.
Sampai disini, kau paham sobat?
Salam dan doa Rahayu.
Foto: Dokpri - RWM'19 - Kuta.