14/07/17

Indonesia Negara Raksasa

Renungan Kebudayaan tentang Raksasa Bangkit atau Bangkrut
Romo Ro Wl Ma.


Andai semua negara Asean menjadi sebuah daratan, maka hanya akan menutup seperempat wilayah Indonesia.
Sebuah negara dengan bangsa yang besar, setidak-tidaknya demikian pengakuan dalam rasa segan dari hampir semua negara asean di tahun 50 - hingga awal 90-an. 
Angkatan Laut dan Angkatan Darat Repoblik Indonesia, pada tahun-tahun tersebut sangat menakutkan bagi negara-negara asean, demikian pula perekonomian Indonesia di kala itu, dianggap paling mapan dan stabil. Perkambangan pendidikan di indonesia pun dianggap paling maju dari seluruh negeri asean, Sahdan negeri-negeri itu (asean ) belajar ke Indonesia dalam banyak hal. Termasuk dunia perpolitikan. Tapi itu beberapa periode yang lalu. Kini Indonesia, tertinggal jauh dari negeri-negeri asean, terutama dari Malaysia yang luasnya hampir sama dengan jawa timur itu, atau Singapure yang lebih kecil dari Pulau Batam. Apa yang terjadi?
Saat indonesia mulai membangun jalan toll, Malaysia bahkan raksasa seperti Tiongkok datang belajar ke Indonesia. Ketika, UI, UNEIR, UGM, UNBRA dan IKIP di bangun di banyak kota, negeri-negeri asean mengutus ribuan mahasiswa untuk belajar dan dididik kesana. Apa yang terjadi sekarang? 
Banyak hal yang harus kita pikir bersama-sama, banyak persoalan yang harus kita cari jalan bersama, kemudian 'move on' bersama. Negara Raksasa ini, mesti bangkit jika tak ingin bangkrut.
Apa yang harus kita lakukan lalu bagaimana mengatasi persoalan ini? 
Banyak orang Indonesia, akan mengarahkan telunjuk pada Pemerintah dan menaruh semua persoalan itu kepundak pemerintah. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya kita tidak pernah menjadi Bangsa yang besar.
Mari telusuri bersama persoalan-persoalan ini.

Agama itu mencerahkan, membebaskan manusia dari penderitaan.

Saya pikir semua agama bertujuan begitu dan mengarahkan penganutnya hidup berbahagia, lahir dan batin. Jika seperti ini, mestinya kehidupan rakyat Indonesia semarak dalam rasa bahagia dalam keagamaannya. Lalu terlihat dari bagaimana menjalankan dan mengamalkan kehidupan ini sebagai kaum beragama. tetapi sungguh mengherankan, bahwa tujuan itu akhir-akhir ini bukan menjadi target dalam kehidupan beragama. Jauh panggang dari api. Keagamaan justru mempertontonkan kegelisahan, kegalauan, kecurigaan dimana-mana. Penampakan keagamaan seperti ini, pasti tidak memberi rasa nyaman, rasa damai. Dan itu berarti bukan kebahagian. Energi bangsa dan negara ini terbuang sia-sia dan ini kontra produktif. Mengingkari nilai keagamaan yang sesungguhnya mencerahkan, membebaskan manusia dari kegelisahan, kegalaun, bahkan kecurigaan. 
Apa yang terjadi dengan kehidupan beragama bangsa Indonesia. Ini persoalan yang harus diseleseikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Terutama para Rohaniawan, Kiyai, Pdt, Pastor, Pedande, Biksu, Imam, bersama tokoh masyarakat, budayawan dan semua akar rumput. Saya melihat ini, salah satu hambatan dan penyebab laju maju bangsa dan negara Indonesia. 
Ach...semoga saya tidak akan di anggap sebagai penista agama, gara-gara tulisan yang terlalu lugu ini.

Partai Politik, Politik identitas dan Politisasi Agama.
Partai Politik merupakan salah satu komponen penting dalam Demokrasi, Demokrasi tanpa Partai politik akan bermuara kekuasaan absolut. Karena itu kita butuh Partai Politik sebagai demokratisasi suara-suara rakyat. Tetapi rakyat bukan untuk partai politik apalagi negara dan bangsa ini. Sebagai sarana demokrasi, maka partai politik bukan penghambat laju pembangunan dalam berbagai bidang untuk rakyat Indonesia. Ia (partai politik itu) mestinya menjadi jalan yang memuluskan roda pembangunan, menjadi rel kereta yang mendorong pembangunan secara cepat dan tepat, menjadi pelabuhan menyambung rantai pembangunan keseluruh pelosok, jadi bandar udara yang cekatan dan lincah mendistribusi arah pembangunan dari satu pulau kepulau yang lain. Tapi nyatanya, partai-partai politik sering kali justru jadi 'trable maker' dalam banyak hal, mulai dari mempolitisasi agama sebagai politik identitas, kader-kader partai baik sebagai wakil rakyat di DPR RI hingga DPRD dan pucuk-pucuk pemerintahan di kabupaten dan kota merajalela dalam tindak Korupsi hingga politik dinasti. Meski ada beberapa kader partai politik yang serius untuk membangun kemakmuran rakyat, tetapi itu bisa dihitung dengan jari. Partai - partai politik itu, terlalu banyak menguras energi, sumber daya dan uang rakyat yang mestinya di pakai untuk kemakmuran rakyat. Jadi jangan heran, jika saat ini jumlah politikus jauh lebih banyak dari pada mereka yang politisi.
Korupsi dan Kartel.

Korupsi itu bersahabat dengan Kartel, apapun jenis kartel itu. Menjadi rahasia umum, bahwa banyak usaha di Indonesia, memegang kekuasaan yang besar pada kehidupan rakyat Indonesia. Mereka, perusahaan-perusahaan itu mengeruk keuntungan seperti seseorang yang menyekop tanah. Sangat mudah keuntungan mereka dapat.
Perusahan dan konsirseum kendaraan bermotor baik roda dua pun roda empat, lihatlah merek-merek yang beredar di Indonesia, bukankah hanya merek-merek itu saja? Merek-merek itu merupakan kartel dan untuk mendapat hak sebesar dan seluas itu, setoran pun mesti besar. Pertanyaan besar, apakah anak bangsa yang katanya hebat, besar dan pada dekade 50 -an hingga awal 90-an justru menjadi tujuan banyak negeri untuk belajar? 
Apakah anak bangsa ini, belum sanggup membuat kendaraan roda dua dan empat? Bukan..bukan karena tidak sanggup. Lihatlah berapa ratus kali bahkan ribuan kali, anak-anak Indonesia memenangkan berbagai kompetisi diluar negeri, baik simulasi dan dan rancang bangun kendaraan roda dua dan roda empat. Bahkan anak-anak sekelas SMK saja, sudah sanggup membuat kendaraan sendiri. Kemana semua itu? 
Yah, karena ada Kartel kendaraan bermotor di Indonesia, dan semua itu merupakan lingkaran Korupsi. Lingkaran yang menutup langkah laju kemampuan tehnologi anak bangsa.

Pendidikan dan kebudayaan.

Sistem pendidikan yang ada sekarang ini, bukan sistem pendidikan yang menumbuhkan rasa bangga sebagai orang Indonesia. Anak bangsa dengan sistem pendidikan seperti itu, hanya membawa peserta didik pada kecintaan Ilmu pengetahuan nir kecintaan pada kebangsaanya. Tentu ini menyedihkan sekaligus menggelisahkan. Perserta didik, dicabut dari akar kebangsaannya dan mengganti 'hanya' dengan ilmu pengetahuan belaka. 
Saya teringat, Bapak kebangkitan Nasional Budi Utomo dan bapak pendidikan Nasional. Kedua tokoh ini, mengajarkan betapa penting menyadarkan peserta didik pada kebangsaan. Pada kebudayaan dan ide tentang budaya Indonesia yang bertebaran dari Sabang sampai merauke di Papua. Kebudayaan dengan aneka warna, multi bentuk dan plural. 
Adakah kurikulum tentang Pluralitas, tentang keanekaan, mengenai Ide kebudayaan sebagai kesatuan bangsa dan Negara Indonesia? Adakah? Tentang kecintaan pada bangsa dan negara ini? Kalau toh ada, seringkali tidak serius bahkan menjadi ekstra kurikulum belaka dan bukan yang utama.

Negara Pertanian dan Maritim yang layu sebelum berkembang.

Beberapa tahun lalu, saya berkunjung ke Korea. Dalam sebuah kesempatan diskusi, seorang sahabat memberi testimoni begini.
Bukankah anda berasal dari Negara Pertanian? Pasti para petani di negara anda makmur. Kami di korea, tidak bisa bertani sepanjang tahun karena pada musim dingin negara kami tertutup Salju. Mendengar ini, saya jadi malu, dan hanya mengiyakan statement itu.
Sungguh bukan hanya pada saat di korea perasaan malu, tetapi saat menulis renungan pendek ini pun saya sangat malu pada kaum tani di Indonesia. Negara pertanian, yang berusaha di ingkari dengan ketidak seriusan memperhatikan pertanian itu sendiri. Lihatlah, mulai dari Lombok, jagung, kopi, kedelei dan beras. Kita harus datangkan dari luar negeri. Bahkan kaum Tani di Indonesia, adalah kaum termiskin.
Pengairan saja negara ini tak sanggup mengurusnya. Kapan kaum tani dapat menikmati, kemahsyuran sebagai bangsa dan negara pertanian? 
Demikian pula, kekayaan laut negara yang disebut-sebut sebagai bangsa dan negara yang terpanjang gugusan pantainya. Itu berarti memiliki luas lautan yang juga terpbesar di Dunia. Tetapi bangsa ini, bukan produsen ikan terbesar di dunia. Masuk lima besar pun tidak.
Ada sesuatu yang salah dan keliru melihat kekayaan Laut kita, karena begitu kayanya isi lautan Indonesia, sehingga bangsa lain datang memanen isinya dan nelayan-nelayan negeri ini pun sama persis dengan kaum tani, miskin. 
Jika kaum petani dan nelayan di negeri kaya raya ini, miskin dan tak berdaya, yakinlah negara ini juga ikut miskin dan kelak akan bangkrut.


Memperingati hari kebangkitan nasional, mestinya bukan dilakukan dengan ritual dan mengenang para pendahulu saja. 
Tetapi mari dengan jujur, melihat persoalan-persoalan yang ada, lalu dengan terbuka, semua akar rumput, birokrat/pemerintah, tokoh agama, budayawan, tokoh adat, ekonom, kaum pendidik, politisi - pengurus partai, melakukan TOBAT NASIONAL.

Bertobat kembali mencintai Bangsa dan negara ini, dari pada kelak terlambat.
Selamat Hari kebangkitan Nasional.

----------------------------------------------
Pasar Minggu, 20 Mei 2017.
Pemerhati kebudayaan.
Tinggal di Jakarta

Rob Colection'17

RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: