Tentang Perubahan

Pemikiran hari ini tentang Perubahan

BY, Romo Ro Wl Ma.
(Postingan ini saya tulis di Wall Facebook beberapa waktu lalu dan mendapat tanggapan serius dari beberapa sahabat pemerhati kebudayaan, saya pindahkan ke Blog ini)

Dalam suatu diskusi kecil di pondok sederhana saya kemaren malam, seorang teman bilang begini : Romo, Tehnologi mengubah norma (nilai) relasi antar manusia pada ruang di mana semuanya terkoneksi secara bersamaan. Dan itu berarti makna hidup tak seperti sebelumnya. Apakah ini tidak menggelisahkan Romo sebagai rohaniawan (padahal saya lebih suka di sebut sok pemerhati kebudayaan hehehehhehe..)

Tesis berupa pertanyaan itu, membuat saya berfikir keras (padahal sekeras apa pun saya berfikir toh dunia sedang bareng-bareng nyemplung kesana) termasuk beberapa rekan yang hadir. 

Pagi ini sesudah melahap Getuk Lindri yang di sajikan si buah hatiku lalu membuka resume diskusi kemaren. Saya gelisah membaca beberapa kesimpulan itu, dan saya juga ingin membuat anda turut merasakan kegelisahan itu. Ini kesimpulan pertama :

- Relasi (norma-nilai) tradisionil menjadi usang tetapi pada sisi yang lain semakin kuat. 

Dari kesimpulan pertama di atas, saya berandai-andai betapa runyamnya bila, relasi antar manusia, tentu juga antar anggota keluarga. Bukan lagi runtut pada nilai atau norma tradisional itu. Hubungan antar sesama berlaku karena kebutuhan (keperluan), bukan lagi karena seseorang itu, patut mendapat kehormatan, patut di sapa - di tegur, atau karena relasi kekeluargaan, relasi se-RT, relasi sekampung, relasi sedaerah, relasi seAgama (seIman) dan relasi-relasi yang merupakan tradisi keIndonesiaan.

Menurut anda apa yang akan terjadi dalam konteks seperti ini? Sepi atau sunyi bukan? sebagai contoh kecil, misalnya : perhatikan komunikasi antar individu di sekitar anda. Relasi anak dan orang tua, kakak dan adek? Adakah kemesraan di sana? Antar Guru dan murid, pemimpin dan staf, antar warga kampung, dst. Bahkan ajaran-ajaran Agama yang selama ini jadi norma atau nilai bersama, mulai di kurung di ruang tertentu sampai pada gugatan pada pengajaran Agama. Baik atas nama Tuhan itu sendiri pun atas nama keadilan, transparansi, kemanusia dan tentu saja yang paling mudah atas nama HAM (dalam perspektif ini, mucul istilah LGBT yang kontroversial itu, dst). 

Itu pada halaman depan, bagaimana di halaman belakang? 

Sebaliknya dapat terjadi penguatan norma atau nilai, yang ujung-ujungnya jadi sekterian, eksklusif tanpa ada pintu terbuka. Pada dinding ini, relasi dan komunikasi hanya akan terjadi antara anggota, di luar itu di anggap pelanggaran dengan konsekwensinya. Nilai yang berlaku biasanya atas dasar pemikiran seseorang yang ditahbiskan jadi kultus komunitas itu. Yang ini, bisa karena dasar agama, norma atau nilai ekonomi, tradisi, dst.

Kesimpulan berikut :

- Relasional manusia bukan lagi pada kemanusian, tetapi pada kebutuhan dan tujuan yang sama, akibat dari itu akan berkembang Komunitas-komunitas dalam bentuk lintas : Negara, Agama, Bahasa, Suku dan status sosial.

Pada bagian ini, pikiran saya melayang pada temuan dan penemuan sebagai akibat progresifitas Ilmu dan Tehnologi. Tulisan yang beberapa menit lalu ini, sekarang sedang anda baca dan menyatu dalam pikiran saya, tak soal anda menolak atau justru ingin menajamkan pemikiran di dalamnya, bukankah ini oleh karena Ilmu dan tehnologi yang melaju lebih cepat dari beberapa bagian di dunia ini?.

Sejak masa meletusnya gerakan renaissance di perancis di ikuti revolusi Industri Inggris pada rentang waktu Abad 14 sampai akhir abad 18 lalu, terjadi sebaran demografi di semua Benua, akibat urban antar penduduk dunia. 

catatan saya soal ini : Penyebaran peduduk ini tidak di ikuti oleh penyebaran kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi. Contoh kongkrit : anda dan saya saat ini hanya sebagai konsumen (pemakai) perkembangan itu mungkin juga anda termasuk yang menerima sebaran kesejahteraan itu.

Buah Pengetahuan dan tehnologi yang sangat mengubah tampilan dunia ialah Tehnologi Komunikasi, yang tidak hanya memberi kemudahan pemakainya, tetapi juga ikut andil mencipta budaya baru dalam sejarah manusia. Neil Postman berpendapat dalam bukunya : Technopoly : Barang baru melahirkan kata baru dan kata baru mengubah makna hidup tidak lagi seperti yang sebelumnya. Kota kata seperti : Gawai, Hape, Daring, Surel, Selfie, Digital, dst. Adalah beberapa kosa kata dari ribuan yang mau tidak mau jadi bagian hidup manusia, kalau tidak, anak-anak muda secara satir mengolok dengan ucapan : Hareeee geneeeeee.........

Perwujudan nyata dari Kesimpulan yang kedua ini terlihat pada ISIS yang secara transnasional menarik banyak orang untuk bergabung atau KKK (Kluk kluks Klan) di USA yang eksistensi keberadaanya dari abad 18 sampai sekarang dan menyebar kebeberapa negara di Eropa, atau Romanisti, yaitu para penggemar atau Seporter Klub Roma, yang ada hampir diseluruh negara, para suporter ini merasa saling memilki meski mereka tidak pernah bertemu langsung. Demikian juga dalam berkesenian, seperti pecinta seni puisi tradisionil Jepang, Haiku misalnya. Jazz Club atau Rolling Stone organitation, dua kelompok Genre musik diantara ratusan club-club musik di seantaro dunia. Atau Lion Club, organisasi sosial yang tak mampu di batasi hanya oleh ke warganegaraan. Dan masih banyak lagi lainnya.

Bukankah beberapa organisasi tersebut di atas merupakan gerakan lintas benua?

Atas semua itu, saya mau bilang : 

1. Bersediakan atau Mampukah kita mendefinisikan ulang Kebudayaan Indonesia? Pertanyaan ini untuk para Budayawan

2. Bersediakan atau mampukah kita menafsirkan kembali Ajaran Agama? Pertanyaan ini untuk para Teolog dan Rohaniawan.

IN ENGLISH VERSION:

Thinking today about changes

BY Romo Wl Ro Ma.

(This post I wrote in the Wall up some time ago and got serious response from some companions cultural observer, I moved to this Blog)

In a small discussion in my humble cottage yesterday evening, a friend told me this: Romo, Technology changing norms (values) human relations at the space where everything is connected simultaneously. And it means that the meaning of life is not like before. Does this not disturbing Romo as clergy (though I prefer is called quasi observer culture hehehhehe ..)
Thesis in the form of the question, made me think hard (when no matter how hard I think after all the world is together nyemplung there) included several colleagues were present.
This morning after devouring Getuk Lindri that at present the fruit of my heart and opened resume discussions yesterday. I am anxious to read some of the conclusions, and I also want to make you also feel the anxiety. This is the first conclusion:
- Relationships (norm-value) of the traditional become obsolete but on the other hand is getting stronger.
The first conclusion from the above, I suppose how runyamnya when, human relations, of course also between family members. Not more coherently on the traditional norms or values. Relationship between the force of necessity (purpose), not because someone is, worthy of honor, worthy of greetings - in scolds, or because of the relationship of family, relationships se-RT, relationships compatriot, relationships to be covered, relations religionists (faith) and relationships -relasi which is a tradition keindonesiaan.
What do you think would happen in a context like this? Lonely or not lonely? as a small sample, for example: note the communication between people around you. Relationships of children and their parents, brothers and Adek? Is there romance in there? Inter Teachers and students, leaders and staff, among villagers, and so on. Even the religious teachings which have been the norm or set of shared values, ranging in brackets in a particular room until the lawsuit on the teaching of religion. Neither the name of God itself was the name of fairness, transparency, to the human and certainly the easiest in the name of human rights (in this perspective, the term LGBT appear controversial, etc.).
It was on the front page, how in the backyard?
Conversely possible strengthening of norms or values, which ends so sectarian, exclusive with no door open. On this wall, relationship and communication will only occur between members, outside it is considered a violation to the consequences. Prevailing values ​​are usually based on the thoughts of someone who is ordained so that community cult. That this could be because the basis of religion, norms or economic values, traditions, and so on.

The following conclusions:
- Hyman relational is no longer in humanity, but on the needs and goals are the same, it will evolve as a result of the communities in the form of a cross: the State, religion, language, tribe and social status.
In this section, in my mind drifted to the findings and discoveries as a result of the progression of Science and Technology. Writing a few minutes ago, is now being read and fused in my mind, no matter you refuse or just want to sharpen thinking in it, is not this because science and technology is go faster than some parts of the world ?.
Since the time of the eruption of the renaissance movement in France follow the British Industrial Revolution in 14th-century time span until the end of the 18th century, there was a demographic distribution in all the continent, due to inter-urban population of the world.
my notes about this: peduduk Deployment is not followed by the deployment of well-being and Science and Technology. Concrete example: you and I are current only as consumers (users) that development may also receive you include the distribution of welfare.

Fruit of Knowledge and technology are profoundly changing the world by see Communication Technology, which not only provide convenience of the wearer, but also contribute to creating a new culture in human history. Neil Postman argues in his book: Technopoly: new product spawned new words and new words to change the meaning of life is no longer as before. Cities like: Gawai, Hape, Online, E-mail, Selfie, Digital, and so on. Are some of the vocabulary of thousands who would not want to be part of human life, if not, young people are satirical poke with the words: Hareeee geneeeeee .........
Real embodiment of the conclusion of this second look at ISIS that is transnational attract more people to join or KKK (Kluk kluks Klan) in the USA which is the existence of its existence from the 18th century to the present and spread to several countries in Europe, or Romanisti, namely the fans or Seporter club of Rome, which exist in nearly all countries, the fans have the feel each other even though they never met in person. Likewise in the art, such as art lovers of traditional Japanese poetry, haiku for example. Jazz Club or Rolling Stone Organitation, two groups of musical genre among the hundreds of club music in seantaro world. Or Lion Club, a social organization that is unable to be limited only by to citizenship. And many others.
Are not some of the organizations mentioned above is a movement across the continent?

Above all, I want to say:
1. Bersediakan or Can we redefine Culture of Indonesia? This question is for the Budayawan

2. Bersediakan or could we reinterpret religious teachings? This question to the theologian and The priest.

Suka

KomentariBagikan

49Lisbeth Ho, E Eka Kasmana, dan 47 lainnya

Komentar

Ipit Saefidier Dimyati Kebudayaan hrs selalu didefinisikan ulang, krn hakikat kebudayaan adalah perubahan.
Agama jg hrs selalu ditafsirkan kembali. Kitab suci mungkin tetap dari saat ke saat, namun orang yg menafsirkan berada dalam arus yg tetus berubah.

Suka · Balas · 4 · 24 Februari pukul 16:31

Reinhard Samah Kansil Aduh, topik 'berat' romo...
ninggal jejak dulu (sembari nyimak)

Suka · Balas · 24 Februari pukul 16:38

Ro Wl Ma Kang Ipit Saefidier Dimyati.....petaka lahir disana. Ketidak mampuan mendefinisikan kembali kebudayaan kita berakibat kebingungan disana-sini yang melahirkan mereka yang beranggapan modern dan yang di pinggirkan sebagai 'ketinggalan zaman'. Sebagai contoh : dalam polemik Sastra yang saat ini sedang riu di jagat sastra Indonesia.
Dan ketika memasuki atau utak-atik alur sakral maka setali tiga, ada yang di pinggirkan atau bahkan disingkirkan qkqkqkqkqkqk...

Suka · Balas · 3 · 24 Februari pukul 16:43

Ro Wl Ma Sobatku Reinhard Samah Kansil....di buat 'ringan' saja sobat....smile emotikon

Suka · Balas · 24 Februari pukul 16:48

Emma Liana Waduh berat romo diskusinya hehe, perubahan budaya akan terjadi krn ketidaksesuaian budaya yg saling berbeda,yg kemudian terjadinya keaadaan yg tdk pada kegunaanya

Suka · Balas · 1 · 24 Februari pukul 17:11

Mryana Veta Saya sependapat dengan Kang Ipit Saefidier Dimyati, bahwa kebudayaan selalu mengubah definisinya sendiri.
Mengingat jumlah penduduk manusia semakin bertambah, sementara sumber daya alam makin menipis, maka relasi2 yang tumbuh antar manusia adalah relasi2 kebutuhan. Ekspansi Amerika ke Irak, Libya, Syria. Dan komitmen2 politik dan kekuasaan antara Saudi, Israel dan Amerika semuanya adalah dalam kerangka penyelamatan energi yang tak terbarukan.
Bentuk2 budaya tradisional dan modern secara lambat namun pasti akan menyatu dan cair dan dalam format2 budaya baru.
Kemajuan teknologi informasi, revolusi gadget dan telivisi akan melahirkan terputusnya relasi relasi tatakrama di mulai dari rumah, keluarga, lingkungan sosial kecil dan merambat ke lingkungan sosial yang lebih luas.
Peranan agama semakin mengecil, tapi radikalisasi penafsiran kitab2 suci nampak akan lebih agresif
Jamaah2 kegamaan yang tadinya kita anggap paling tradisional, malah akhir2 ini menampak diri sebagai jamaah keagamaan yang lebih modern.
Nasinalisme lambat laun akan mengubah dirinya menjadi paguyuban global atau krennya berkembangnya internasionalisme. Karena sendi2 peradaban nasional menjadi babak belur digempur oleh sikap modernisme sebagai kebutuhan.

Suka · Balas · 3 · 24 Februari pukul 17:16

Kang Ramdan Jadi inget dengan kalimat yg pernah dilontarkan oleh spritualis dari Bandung ketika pertemuan yg kesekian kalinya di Semarang: "Teknologi dan segala pencapaiannya adalah manifestasi dari Ruh". smile emotikon

Suka · Balas · 1 · 24 Februari pukul 17:46

Heru Slamet Suharto Saya jadi 'malu' kalau nama saya selalu disebut dln colekan krn mgkn ada yg mengira saya juga 'menggeluti' soa budaya .Pdhl sesungguhnyalah saya merasa 'nol' dlm bidang itu .

Suka · Balas · 24 Februari pukul 18:09

Paulus Suryanto Jadi mengingatkanku saat nenek jauh" hari sebelum pulang kerahmatullah. Belau tidak mengenal agama islam masih murni jawa segala sesuatu ditulisnya dengan huruf jawa, mengatakan demikian: Lee (terhadap anak/cucu laki") titenana mbesuk yen titi wancine jaman iki, wong/bocah pada ora ngerti unggah ungguh ha he ha he pasar wis ilang kumandange mertandani Jaman Edan.
Ya sekarang ini kejadiannya Romo RWM

Suka · Balas · 3 · 24 Februari pukul 19:21

Paulus Suryanto Kalau berdoa ucapnya hanya pendek saja: Ibu Bumi, Bapa Kawasa turutana apa kang dak kira . . . .

Suka · Balas · 24 Februari pukul 19:23

Barth Padatu Next time if you write your messege, write short please...he..he.he I didn't have time to finish it. I think we, all, need new lanscape, new perspective to coming more depth in to this area. Many terms that can aid us to explore it, such as ICTS, Web 2.0, Fin Tech, ect.

Actually, to establish the new culture in ICTs age, every body can start with such as write their "status in FB" in short way smile emotikon

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:54 · Telah disunting

Ro Wl Ma Hi Buddy, how you doing out there?
Well Barth Padatu...... I agree with that, but on the other hand some of the companions asked that why no explanation as background of.... So ... in the end the writing was not frivolous-known (sembrono).qkqkqkqkqk.

Faruk Tripoli apakah kita itu seorang jawa yang memandang agama. ataukah, orang agama yang memandang jawa. misalnya, pengakuan pariyem karya linus. kata pengakuan itu memperlihatkan ada bingkai lain yang digunakan linus dalam memandang jawa. dari mana kita bermula. bisakah kita menemukan jawa dalam arti yang sebening-beningnya?

Ro Wl Ma Sugeng dalu kangmas...sepertinya sulit untuk melihat dengan kaca mata tunggal itu.

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:52

Faruk Tripoli benar, mas. mungkin bolak-balik. tapi, kita nggak boleh mengingkari kenyataan bahwa proses sosialisasi dan enkulturasi kita tidak hanya digerakkan oleh satu perspektif. istilah metodologis sekarang, kita harus siap untuk self-reflektif, menyadari bagasi kultural yang kita bawa dalam memandang apa saja

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:55

Ro Wl Ma Saya kok cenderung berfikir bukan perspektif kebudayaan tapi kebudayaan perspektif, bukan koper yang dibawa kemana-mana tapi kopernya ada dimana saja.
Seperti pertanyaan bisa kah memandang jawa dalam arti sebenaning-beningnya. Jadi bukan metodologis tapi perspektif.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:00 · Telah disunting

Faruk Tripoli setuju. itu yang sedang takbicarakan. kebudayaan perspektif, kalau saya nggak salah tafsir, berarti selalu sadar perspektif yang kita gunakan dalam memandang kebudayaan. juga peka terhadap perspektif yang orang gunakan. bukan perspektif kebudayaan dalam memandang kenyataan, melainkan kebudayaan yang sadar perspektif

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:02

Faruk Tripoli kebudayaan perspektif itu juga yang membuat saya segara menangkap perspektif mas Revolusi Sorga

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:03 · Telah disunting

Faruk Tripoli itu juga yang membuat saya dengan cepat menangkap adanya perspektif pengakuan dalam pengakuan pariyem

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:04

Faruk Tripoli hanya dalam ruang pengakuan dosa, orang bisa bicara sejujur dan sebebas pariyem..

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:05

Ro Wl Ma Itu yang membuat beberapa perguruan tinggi agak gamang menggeser paradigma soal kebudayaan itu, kalau nggak salah UGM juga masih getol seperti itu ya kangmas.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:06

Ro Wl Ma Termasuk kami di UI prof...sulit jujur untuk itu.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:08

Faruk Tripoli hampir semuanya sudah nggak gitu, mas. laksono, heddy, irwan abdullah, bambang hudayana, termasuk antropolog ugm yang dengan cepat menyerap paradigma baru

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:09

Faruk Tripoli ya, mas. kita harus mulai, mas

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:09

Faruk Tripoli kita tidak boleh berpura-pura tidak bawa apa-apa..

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:09

Ro Wl Ma qkqkqkqkqkqkkq.....yang terakhir itu kok mirip kata saktinya bambang hudayana ya

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:10 

Faruk Tripoli kalau dilihat dari sejarah kepenyairannya, linus menemukan dunia keagamannya dulu, baru, setelah bertemu dengan UK, menemukan kejawaannya

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:37

Revolusi Surga Ih keren banget neeh pemikiran Romo.. Menanggapi pertanyaan pertama, sekitar definisi baru kebudayaan Indonesia ya?.. Kenapa aku lebih tertarik pada pemikiran2 global vilage ya?, internationalism, dll itu. Entah ada hubungannya atau tidak, aku selalu mengucapkan selamat datang pada semua perubahan yg positif, karena esensi kebudayaan itu sendiri adalah perubahan Romo..

Batal Suka · Balas · 1 · 24 Februari pukul 23:43

Faruk Tripoli maaf, nimbrung. itu sekarang, mas. dulu, orang melihat kebudayaan justru dari tatanannya.

Suka · Balas · 1 · 24 Februari pukul 23:45

Revolusi Surga Ya bang Faruk Tripoli..

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:47

Faruk Tripoli begitulah, mas. kita, sadar tidak sadar, terbawa oleh satu perubahan paradigmatik dalam memandang kebudayaan. hanya orang dengan pengalaman mobilitas yang tinggi yang akan mendapat keuntungan dari paradigma perubahan itu.

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:48

Faruk Tripoli dulu umar kayam menyebut orang jawa sebagai kangen society. tadi siang saya ngobrol dengan seorang teman, bahwa orang jawa rabetah kerja suwe-suwe di luar kampung atau pulaunya. mungkin itu masih terpengaruh oleh hegemoni mangan ora mangan anggare kumpul. ada ikatan lokalitas yang sangat kuat

Suka · Balas · 24 Februari pukul 23:50 

Ro Wl Ma Mas Revolusi Surga...betul saat ini kita terikat oleh kalimat sakti Global Village. Hanya, saya memandangnya dari perspektif lain. Bahwa toh desa desa itu musti memiliki identitas sendiri, jadi bukan internationalism.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:13

Hallie Josias Sahertian Mendefinisikan kebudayaan - bukankah kebudayaan itu produk kolektif kelompok ? Bagaimana caranya kita mendefinisikan ulang ?

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:20

Ro Wl Ma Bro Hallie Josias Sahertian..betul kebudayaan deskripsi sebuah komunitas. Artikel singkat sebelumnya juga bicara soal itu. Yang saya maksud dengan pertanyaan itu ialah mengubah perspektif kebudayaan menjadi kebudayaan perspektif....jadi bukan lagi teori-teori kebudayaan tetapi berkebudayaan yang memberi teorteory baru soal itu...

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:30

Hallie Josias Sahertian Menafsirkan kembali ajaran agama-- bukannya ini hampir tiap saat terjadi ? Ketika kelompok kelompok agama sering menafsirkan agama dengan selera pikir dan rasa masing2....?

Batal Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 0:22

Ro Wl Ma Pagi bro Hallie...di satu sisi patutlah bergembira atas upaya itu, tetapi Agama sebagai lembaga justru membunuh upaya-upaya kritis seperti itu. Dan bagi lembaga keagamaan, tafsir atas pengajarannya, sudah selesai.

Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 10:29

Ro Wl Ma Padahal, pengajaran keagamaan, baik sebagai idiom pun sebagai etika tidak selalu mampu menjawab tantangan masa kini. Contoh kongkrit, yang sekarang riuh di perbincangkan, LGBT atau HAM, misalnya. Adakah tafsir-tafsir baru tentang itu?

Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 11:39 · 

Faruk Tripoli sangat penting melihat artikulasi bolak-balik. bagaimana yang global diartikulasikan oleh yang lokal, yang lokal diartikulasikan oleh yang global. juga yang primordial. bagaimana kapitalisme mengartikulasikan agama-agama, bagaimana agama-agama mengartikulasikan kapitalisme. misalnya, etika protestan. menjadi kaya adalah menjadi orang yang terpilih. dsb. cinta, misalnya. harus dilihat akarnya sampai ia diartikulasikan oleh sastra dan kemudian oleh budaya popular

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:22

Ro Wl Ma Wah perspektif ini tajam kangmas.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:23

Faruk Tripoli sip, mas. nuwun..

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:24

Ro Wl Ma Seperti mas katakan di atas jangan berpura-pura tidak membawa apa-apa.
Toh selalu saja ada apa apanya.
Keberanian memasuki perspektif yang 'tajam' itu ada nggak ya? Lha baru bicara soal LGBT saja dah kayak perang dunia eee

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:27

Faruk Tripoli itu karena kita tidak terbiasa mengemukakan perbedaan, mas. kita bahkan cenderung menyembunyikannya dan mengira semuanya sama. lalu kaget begitu keberbedaan itu muncul secara tak terelakkan

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:28

Faruk Tripoli kembali ke pengakuan pariyem, misalnya. kita harus akui bahwa linus di situ tidak hanya merepresentasikan jawa, tetapi mengartikulasikannya

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:29

Faruk Tripoli dengan mengartikulasikan itu, linus sudah memperkaya jawa justru ketika ia menggunakan perspektif yang berbeda

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:30

Ro Wl Ma Wadohh Lowbatt kangmas....

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:36

Faruk Tripoli rapopo, mas. charge aja dulu. internet selalu sabar

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:36

Faruk Tripoli pertanyaan saiki, jawaban sisuk. ramasalah..

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:37

Ro Wl Ma Mas saya kutip Pengakuan Pariyem (mumpung masih ada powernya)

wong Jawa wis ora nJawani -kata simbah-
karena lupa adat yang diadatkan …
Demikianlah, benih dalam hati saya tertanam:
Sambutlah siapa pun juga dia
dengan sabar dan tenang
Terimalah bagaimana pun juga dia
dengan senyum dan keramahan
Dan jamulah apapun juga dia
dengan ikhlas tanpa kecurigaan

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:41

Ro Wl Ma Dan pertanyaan Linus dalam buku itu :

Dan agama, apakah agama? …
Tapi di sorga, Gusti Allah tak bertanya:
‘Apa agamamu di dunia?’ Tapi Ia bertanya:
‘Kamu berbuat apa di dunia’

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:43

Faruk Tripoli sangat menarik, mas. mengkaji ulang pengakuan pariyem. bagaimana gerakan pariyem. dari sebuah pengakuan akan dosanya bergerak menjadi kritik yang bebas terhadap sekitarnya.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:45

Faruk Tripoli kenapa misalnya, linus memilih nama maria magdalena sebagai nama baptis si pariyem. bagaimana kedua nama itu bertemu dan kemudian saling mengartikulasikan

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:51

Faruk Tripoli sulit, misalnya, mencari acuan jawa bagi kutipan pertama di atas. orang jawa, seperti antara lain yang dikemukakan hidred geertz, cenderung hat-hati, berjarak, niteni disik..

Suka · Balas · 25 Februari pukul 0:57

Ro Wl Ma Pagi kangmas. Semoga nggak terlalu sibuk dengan ritual sehari-hari di bulak sumur.
Kutipan diatas terdapat di halaman 58 - 59...sepertinya Linus mengutip keluhan pariyem itu, dalam konteks Wonosarian yang keras dan sederhana. Secara tata bahasa, akan sulit menemukan ungkapan seperti itu. Agaknya Linus mengkritik sikap 'Niteni' yang kental dalam tradisi jawa.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 10:22

Ro Wl Ma Dan apakah itu bukan kritik positif terhadap spirit 'nrimo' yang dengan cerdas ingin di modernisasi oleh Linus?
Mengingat anti-tesis modernisasi yang melanda kota Yogyakarta pada era 80-an. Mas Faruk Tripoli pasti masih ingat, masa-masa itu. Johan Effendi misalnya dengan kelompok pemikir islam liberal yang disambut hangat oleh Cak Nur, kala itu.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:18 ·

Herman Effendi Saya selalu berbicara pada Anak-anak dikelas,Anda tidak perlu takut kehilangan Tradisi,melainkan harus memelestarikannya. karena ketika kita selalu memegang teguh tradisi, kapan kita akan membuat tradisi baru.Salam Romo. Rahayu ...Rahayu...Rahayu....

Batal Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 9:55

Ro Wl Ma Selamat pagi kang Herman Effendi...setuju kang. Mengubah paradigma dalam perspektif baru penting untuk mengartikulasikan tradisi sebagai budaya. Yang terjaid selama ini, kita agaknya masih takut kehilangan, sehingga mati-matian bertahan di situ. Padahal, meredefinisikannya jauh lebih indah dari sekedar mempertahankannya. Atau bagaimana pendapat mas Herman Effendi?

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:16

Herman Effendi beberapa kali saya dan teman teman dikampus membuat penelitian kesenian buhun,dan setelah kita amati ternyata saat ini kesenian tersebut sudah tidak adalagi penerusnya yang usianya muda muda, terlebih lagi masyarakat penyangga sudah tidak ada, maka hemat saya kesenian tersebut bisa dicastast saja dalam sejarah, bahwa mereka pernah ada.JADI tugas kitalah sekarang mendorong anak anak muda untuk membuat tradisi baru, yang pada akhirnya nanti akan menjadi tradisi lagi. begitu Romo salam .

Suka · Balas · 26 Februari pukul 10:26 

Sis Triadji Tradisi yg kuat dan baik adalah tradisi yg "hidup" .....tradisi yg dihidupi dan manghidupi lingkunganya . rahayu...rahayu....rahayu....

Batal Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 11:25

Ro Wl Ma Teteh Emma Liana...yang pasti selalu ada perubahan. kebudayaan bukan sesuatu yang statis, ia berkembang karena artikulasi-artikulasi di sekitarnya juga berubah makna.

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:27

Ro Wl Ma Pagi kangmas Mryana Veta....pemikiran-pemikiran itu ingin kita artikulasikan dengan tepat. Kongkritnya, bagaimana kita memulai? Apakah dengan menerima begitu saja apa yang disebut 'inernationalism' sebagai senjata ruh Global Village? Atau kah menyongsongnya dalam perpsketif baru. Kebudayaan perspektif misdalnya?

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:31

Ro Wl Ma Selamat pagi kang Kang Ramdan....persoalan kita sesungguhnya ialah ketidak siapan menyambut manifestasi itu dan mengartikulasikan dengan tepat dalam perspektif budaya kita. Atau ada pemikiran lain?

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:33

Ro Wl Ma Selamat siang kang Sis Triadji...secara filosofi saya setuju kangmas. Pertanyaan, bagaimana kita memulainya?

Suka · Balas · 1 · 25 Februari pukul 11:38

Jabugart Joeni Regar NORMA dan AKAL, ketika kedua ini melangkah bersamaan, produknya adalah dinamisme yang terkontrol nilai2 baiknya, baik kala manusia itu sebagai peng-ADA maupun saat sebagai peng-GUNA.
Norma disiapkan sebagai PENGAWAS, akal sebagai anasir PELAKSANA, maka balance lah.
Faktor ini yang terdegradasi, oleh apa? dari persfektif agama ini bisa terjadi oleh perubahan konteks keimanan, dari persfektif kebudayaan disebabkan derasnya pengaruh budaya luar yang liberal (nyaris tak bernilai merujuk ke nilai2 ketimuran).

Ah romo... kalo dibahas panjang kali... tak cukup kata saja yang mengutarakannya.... salam

Suka · Balas · 25 Februari pukul 11:59 · Telah disunting

RWM.BOONG BETHONY