22/09/13

Hidup ini Pelajaran.

"Hidup ini Belajar"

Dalam rangka menyambut I Surro (1 Muharram) saya dan beberapa teman-teman (bpk-bpk) nongkrong di pos ronda jatimulyo, selepas solat mahgrib. Pak RT sengaja mengundang untuk diskusi bagaimana menjadikan kampung kami menjadi kampung aman, nyaman buat siapa saja. Sambil minum kopi dan pisang goreng, pak RT minta saya memberikan beberapa masukan 'mumpung' banyak bpk-bpk sedang nongkrong bareng di pos ronda, katanya.  
Belum cukup 5 menit saya memberi masukan, listrik iba-tiba padam di barengngi hujan deras turun.
Serentak beberapa diantara kami berteriak "Wadoohhh..piye PLN ki!"
""Wes peteng njur jawahhh" teriak yang lain.Tapi Pak RT dengan tenang membuka laci kecil di meja Ronda mengeluarkan beberapa Lilin kecil lalu menyulut.
"Wes rak peteng maneh thooo?" hibur Pak RT sambil tersenyum memperlihatkan gigi yang sebagian ompong.
"Wahhh Pak RT jan joss tenan kiiii...ngerti wae yen PLN mati.."
"Tenang-tenang sek, Romo arep ngandiko...monggo dipun lanjutaken Romo..."
"Maurnuwun pak RT!"  sahutku sambil mengangkat gelas kopi. "mongga mumpung iseh angettt" sambungku.
Lalu rame-rame kami menikmati kopi hangat di iringi hujan deras.
"begini bapak-bapak. Membuat suasana kita jadi aman dan tenang sebenarnya tidak susah, tinggal niat dan maksud baik kita masing-masing"
"maksud Romo?" sahut bapak di sebelah kiri saya sambil menghisap kreteknya.
"Salah satu contoh, keadaan kita sekarang ini. Tadi terang menderang karena nyala lampu listrik cuaca juga sejuk. Skarang remang-reman karena hanya diterangi beberapa lilin ditambah hujan deras disekeliling. Situasi kita cepat berubah. nah perubahan itu,  selalu memberi sesuatu yang tidak kita duga. 
Untung Pak RT waspada dengan selalu menyimpang lilin dalam laci meja ini. Kalau tidak..wes bubrah kabeh too? njur adem ngeni ki luwih penak moleh ketemu bojone dewe-dewe hehehehehehe...."
"ha..ha..ha...kecuali pak RT Romo...lha sudah menduda beberapa tahun..." sahut bapak didepan saya.
"hahahahahahahaha......" sambut yang lainnya.
"Wesss...gojegan terus wae..." sambar Pak RT sambil ikutan ngakak.
"Yang saya maksud adalah, bahwa kita memang harus selalu belajar dari setiap peristiwa yang kita alami. Misalnya, ketika PLN padam. Kita belajar untuk menghargai betapa penting menghemat energi...bukan belajar memaki PLN! Atau ketika hujan turun, kita belajar untuk selalu menyediakan payung."
"Wahhh Romo nyindir aku kiiii..." sahut bapak disebelah kanan saya.
"Romo nyindir piye  to kang Tejo?" sahut Pak RT.
"Lhaaa yang maki PLN tadi kan saya" sahutnya sambil ngakak.
"Iki Serius lhooo...hayo Mo..silahkan dilajutkan wejangannya"
"Dari dulu nenek moyang kita selalu mengambil hikmat yang kemudian menjadi kearifan lokal karena peristiwa-peristiwa yang dialami. Contoh lain, kita belajar apa dari perkelahian dan tawuran anak-anak sekolah yang kerap terjadi akhir-akhir ini?" sambungku sambil menatap mereka satu persatu.
"Atau pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa penangkapan para koruptor yang sering ditayangkan dari TV-Tv itu? Bukankah dari perkelahian dan tawuran anak-anak sekolah kita belajar untuk tahu kelalain kita sebagai orang tua memberikan pendidikan budi pekerti pada anak-anak! Dari penangkapan para koruptor, kita belajar betapa penting untuk hidup sederhana dan "nrimo" apa yang kita dapat dari pekerjaan. Dari kasus-kasus pencurian di sekitar kampung selama ini kita belajar untuk waspada dan belajar untuk menjaganya. Dari rubuhnya pos penjagaan yang diujung kampung itu, kita belajar untuk memelihara apa yang sudah kita bangun selama ini. Dari peristiwa kemarau beberapa bulan ini kita belajar bagaimana menghargai dan menghemat air. bukankah begitu bapak-bapak?" jelasku panjang lebar alu mengangkat gelas mendekati bibir.
"Wah, aku baru mendengar itu MO" sahut Tejo.
"Satu Contoh lagi!" sambarku cepat setelah meletakkan gelas.
"Apa itu Romo?"
"Dari peristiwa kematian seseorang kita belajar menghargai hidup ini. Kita belajar untuk mengasihi, mencintai, menyayangi mereka yang ada disekitar kita. Ya istri, anak-anak, orang tua. Kita belajar menjadi orang baik menurut pengajaran iman kita masing-masing. Betul nggak Pak RT?" tanyaku sambil menoleh.
"Wahhh Pak RT kan nggak punya istri yang perlu disayangi lagi lhoooo" sahut seorang bapak menggoda.
"Lha kan masih ada anak-anak, menantu dan cucu-cucuku. Mereka perlu saya sayangi dan cintai mumpung masih sama-sama hidup" sahut Pak RT mantap.
"Banyak orang yang menyia-nyiakan orang-orang disekitarnya baik istri, anak-anak, orang tua, adek-adek atau kakak dengan mengabaikan atau menyakiti mereka bahkan cenderung melakukan tindakan kekerasan. Coba bapak-bapak bayangkan, bisakah semua itu ditebus ketika mereka sudah meninggal? pasti tidak. Yang ada tinggal penyesalan...nah mumpung keluarga kita masih hidup, sayangi, cintai dan kasihi mereka dengan sungguh-sungguh. Bukankah itu Ibadah?"
"Romo dan Pak RT saya pamit dulu ya. Saya harus menemui istri"
"Tapi hujan deras pak" sahut Pak RT.
"Nggak apa-apa pak. Rumah saya kan dekat. Saya tadi membentak istri dan belum sempat minta maaf. pamit dulu bapak-bapak. Assalammuallaikqum!" Dalam deras hujan bapak itu berlari kecil menemui istri tercintanya.

(Jatimulyo, November 2012)   


Silahturahim dan Lebaran dalam Catatan saya.

29 Agustus 2011 pukul 9:15
Sejak masa kanak-kanak, saya sudah akrab dengan suasana Ramadhan yang berakhir pada Hari Raya Idul Fitrih atau Hari Lebaran. Saya yang sejak kecil sudah di Baptis jadi orang Protestan karena lahir dari keluarga Protestan hidup ditengah komunitas Muslim yang baik yang saling menunjang memperhatikan satu sama lain tanpa membedakan Agama. Teringat masa remaja yang saya lewati di Surabya, ketika itu tiap kali Ramadhan, bulan yang amat disucikan oleh saudara Muslim, saya kebagian koordinator Patrol keliling kampung (group-group yang keliling kampung sambil memukul kentungan untuk membangunkan orang ber-saur). Dengan penuh canda dan gembira kami berkeliling dari gang/lorong ke gang/lorong. Seminggu sebelum lebaran tiba, kami anak-anak remaja dan pemuda (di Surabaya di sebut Karang Taruna) di kumpulkan oleh Imam mesdjid Kampung dan di serahi mengecat Rumah Ibadah/Mesdjid,  termasuk pagar. Saya selalu kebagian yang berat-berat seperti mengangkat Cat atau membuat tangga, alasan Pak Imam Mesdjid karena saya nggak puasa. Tiap kali tiba saat untuk Solad Id, kami  keliling kampung meminjam tikar dari rumah kerumah sekaligus mengembalikan. Belum lagi dalam halal-bihalal di kampung, kami biasanya akan sibuk dengan berbagai latihan-latihan untuk pementasan dalam Acara itu.Yang membuat saya selalu bangga menjadi bagian dari Ramadhan dan Lebaran, karena dalam situasi seperti itu semua penduduk kampung menyatu, saling berkunjung dan saling menerima. Rumah kami sudah pasti kewalahan menampung 'hantaran' ketupat, opor ayam dan makanan kecil dari tetangga (bayangkan semua orang melakukan hal itu, saling berkirim makanan meski menunya sama) sebagai bahagian kampung yang beragama lain kami menjadi amat istimewa. Istimewa karena akan selalu jadi tamu istimewa pula di tiap keluarga lain di kampung kami.  Dan menjadi warga kampung yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya.Suatu kali kami sekeluarga bepergian ke Sulawesi (Kakek meninggal dunia di Masamba-sulsel) dan saat itu menjelang akhir Ramadhan, ketidak hadiran kami membuat semua orang kampung bertanya-tanya, bukan karena kami orang penting, tapi menurut Pak Kadus nggak lengkap kalau kami tidak ikut bergembira merayakan saat-saat Suci seperti itu.Tapi itu 35 tahun lalu. Kini suasana agak beda. Kebersamaan sebagai Filosofi Gotong Royong masyarakat Indonesia mulai pudar bahkan di sebagian masyarakat sudah terlupa. Perayaan-perayaan hari besar ke-Agama-an tidak lagi menjadi milik bersama bahkan dianggap tabu untuk hadir. Padahal, Hari-hari besar ke-Agama-an Hari yang sangat menggembirakan dan menyukacitakan tiap orang, termasuk mereka yang beragama lain. Sungguh sedih melihat semua itu. Kerinduan-kerinduan untuk kembali bersukacita dan bergembira bersama saudara-saudaraku Muslim dalam saat-saat FITRAH seperti sekarang ini terasa menyesak di dada. Sepertinya ingin merasai dan menikmati  kembali suasana 35 tahun lalu di Kampung Sawunggaling Surabaya tempat aku bertumbuh, bersama tiap penghuni kampung.Sebagai Kristiani, saya dan keluarga bergembira dan bersukacita atas kegembiraan dan kesukacitaan Hari Raya Idul Fitrih/Lebaran ini. Sekaligus mengucapkan Selamat bergembira, Selamat Bersukacita kepada saudara-saudaraku Muslimin. Salam dan Doa kami dari Semarang.Semarang - 29 Agustus 2011.



AKU MENGGUGAT INDONESIA.

27 September 2011 pukul 12:50
AKU MENGUGAT.

Ada satu kalimat yang begitu akrab dan sering di ucapkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Kalimat ini ada dimana-mana. Ya di kantor-kantor seluruh negeri bahkan di ruang-ruang pos siskamling. Juga di ruang pendidikan, play group sampai perguruan tinggi. Anda pasti sudah bisa menebak kalimat itu, ya 'BHINEKA TUNGGAL IKA'. Kalimat yang diterjemahkan dan di sejajarkan dalam bunyi "PLURALIS". Konotasi dan penjelasan sederhana "Beragam; berwarna-warni; bermacam-macam; terdiri dari banyak latar belakang : Tradisi, Bahasa, rumpun etnis, kepercayaan dan agama, pola hidup, kearifan lokal.
Oleh Bangsa dan Negara Indonesia, Premis ini di kemas sebagai "BUDAYA" Indonesia, Identitas Indonesia, Entitas Indonesia bahkan diklaim sebagai FILOSOFI Indonesia, Rakyat Indonesia.
Tapi 2 windu belakangan PREMIS ini jadi Pesakitan.

Tergugat dan Terdakwa. Di perhadapkan pada Pengadilan terbuka. Gugatan dalam ruang besar NKRI. Pengadilan atas nama Sorga, atas nama penguasa langit, atas nama penguasa hidup, atas nama Premis itu sendiri!
Gugatan yang menyeruak, menyentak, menggetar. Menebar dan menerbangkan apa saja ketika Pledoi-pledoi bertutur Dar! Dir! Der! Dur! Dor! Bum! Bam! Bim! Bom!
Gugatan yang menelikung, meliuk-liuk, berbelok-belok, berkelok-kelok. Menyusur dan menyisir apa saja saat genderang bertalu-talu, berebam-rebam, berebab-rebab.
Gugatan yang berdengung-dengung, melanting-lanting, melantun-lantun, berdenting-denting.
Bukan apa-apa sobat, tidak siapa-siapa kawan, tak kenapa-kenapa kawan, nggak mengapa-mengapa sahabat.
Lantaran itu, semua sama, seluruh sejajar, segala rata.
Timur, Barat, Utara, selatan bernyanyi, berdendang, bersenandung tentang tantang. Kami bukan Indonesia. Aku tidak Nusantara.
Itu kemaren! Hari lalu! Minggu lewat! Bulan tanggal! Tahun pergi! Usang! Tertinggal! Klasik!
Hanya catatan! Sejarah! Monumen! Rumah musium!
Ini Era baru! New Era! Jaman kini!

Bhineka Tunggal Ika, tak lagi ada dalam ruang Indonesia. Burung Garuda yang setia menjaga, terkapar oleh elang-elang dan dicabik-cabik musang.
Helai demi helai rontok bulu-bulu. Berjatuhan seiring pupus Bhineka.
Kami Tunggal Ika, lain tak perlu! Siapa pergi!
Porak-porak dapur, poranda-poranda beranda, berantakan-berantakan tengah ruang.
Wajah kami Tunggal Ika! Rupa lain tak butuh! Pergi siapa!
Luluh-luluh hati, leleh-leleh rasa! Tanpa jiwa! Tiada kalbu.
Mau kami!
Keinginan kami!
Juang kami!

Tralala! Ini lagu baru! Hymne baru! Kebangsaan Baru!
Hanya satu mau kami, ikut atau menggelepar!

Hari-hari Premis bau anyir.
Minggu-minggu Premis bergelimpangan.
Bulan-bulan Premis berguguran.
Tahun-tahun Premis Mati.

(Taman Srigunting, Semarang 27 Sep'011)




RWM.BOONG BETHONY

Catatan Perenungan.

Refleksi dulu dan sekarang

Dulu...aku sangat kagum pada manusia cerdas, kaya, cemerlang dalam karier dan hebat dalam dunianya.Tapi sekarang...aku mengagumi mereka yang hebat di mata Tuhan. Meskipun penampilannya begitu biasa dan bersahaja.
Dulu....aku memilih marah pada mereka yang menyakitiku dengan kalimat-kalimat sindiran serta penghinaan, dan geram pada mereka yang memfitnahku.
Sekarang....aku memilih untuk bersabar, bersyukur atas perlakuan yang sama kepadaku, dan memberi maaf.Dulu...aku memilih untuk mengejar dunia dan menumpuknya sebisaku...tapi kusadar bahwa ternyata kebutuhanku hanyalah makan dan minum untuk hari ini dan bagaimana cara membuang sisanya dari perutku.
Sekarang...aku memilih bersyukur untuk apa yang kumiliki dan berfikir bagaimana aku mampu mengisi hari ini dengan penuh kasih dan bermanfaat untuk sesama.
Dulu.......aku berfikir bahwa aku bisa membahagiakan orang tua, saudara-saudaraku dan sahabat-sahabat dengan dunia yang dapat kuraih.Ternyata....yang dapat membuat berbahagia mereka adalah sikap, tingkah laku dan sapaanku pada mereka.Sekarang...aku memilih membahagiakan mereka dengan yang ada padaku.
Dulu..kupusatkan pikiran, tenaga membuat rencana-rencana dahsyat untuk duniaku...ternyata aku menjumpai teman-teman, saudara dan sahabatku begitu cepat menghadap Tuhan.Sekarang yang menjadi pusat pikiran dan rencana-rencanaku adalah bagaimana mempersiapkan diri dan terutama hatiku agar selalu siap jika suata saat namaku dipanggil olehNya.Tak ada yang memberikan jaminan, bahwa aku masih bisa menghirup nafas esok hari...Dan kalau hari ini atau esok hari aku masih hidup, itu semata-mata hanya karena anugerah Kasih Tuhanku. 

Jatimulyo - Yogjakarta, 13 Desember 2012.



RWM.BOONG BETHONY

Bopeng, luka dan kusam.

Yogjakarta engkau itu.

24 April 2013 pukul 23:07
Padamu Kawan.
Yogja.. aku pulang cumbui elok tubuhmu tak perduli wajahmu bopeng-bopeng
Yogja.. aku kembali nikmati lentur jemarimu tak perduli mukamu luka-luka
Yogja.. aku datang menggauli pesona lenggak-lenggok bodimu tak perduli rautmu kusam-kusam
Yogja.. aku kemari untuk bermesraan denganmu tak perduli rupamu borok-borok
Yahh..tak perduli
Yogja bopeng-bopeng
Yogja luka-luka
Yogja kusam-kusam
Yogja borok-borok
Tak perduli
Bopeng-bopeng Yogjakarta
Luka-luka Yogjakarta
Kusam-kusam Yogjakarta
Borok-borok Yogjakarta
Tak PerduliYogjakarta borok
Yogjakarta kusam
Yogjakarta luka
Yogjakarta borok
Tak perduli
Borok Yogja
Kusam Yogja
Luka Yogja
Borok Yogja
Tak Perduli
Bopeng-bopeng
Luka-luka
Kusam-kusam
Borok-borok
Tak perduli
Yogjakarta borok, kusam, luka, bopeng
Tak perduli
Bopeng, Luka, Kusam, Borok Yogjakarta.
Borok borok borok kusam borok luka borok bopeng
Kusam borok
Kusam kusam
Kusam luka
Kusam bopeng
Luka borok
Luka kusam
Luka luka
Luka bopeng
Bopeng borok
Bopeng kusam
Bopeng luka
Bopeng bopeng
Kita.
RW.Maarthin.
(20 April 2013, Pojok Jatimulyo - Yogjakarta) —



RWM.BOONG BETHONY

Sang Pecinta

REMBULAN Sang Pecinta.
By. RW. Maarthin.

Engkau
Menggantung hari 
Menyalib malam
Memasung petang
Mengurung pagi
dari perkasa dan kelembutanmu para pecinta menghambur
tetes air mata dan semburat sperma
dalam kemolekan dan pesonamu kaum kasmaran menebar
desah dan persetubuhan
Seperti engkau tiada bosan menggerayangi tubuh bunda
Menyusu nikmati sedap kopyor air susunya

Kau
mengikat hari
mengekang malam
mendekap petang
memeluk pagi
pada temaram dan binarmu , insani berhitung
tetesan keringat dalam senggama
dari kerlip dan cahayamu, manusia membilang
lenguh dan birahi
Seperti kau, liar melahap keelokan ibu
Merengguk aroma wangi sekujur tubuhnya

tanpa sisa
tanpa bekas
tanpa tanpa
Sebab engkau Sang Rembulan
Lantaran kau Sang Purnama.

(Kricak - Jatimulyo' Medio September 2013)




RWM.BOONG BETHONY

17/06/13

Perjalanan menuju Seko.

Beberapa Catatan Tentang Seko!


SEKO, Desa terpencil diatas ketinggian 1360 meter dari permukaan Laut.
Pada zaman ORLA menjadi satu distrik, disebut DISTRIK SEKO. Pada Zaman ORBA dilebur menjadi satu kecamatan dengan DISTRIK RONGKONG menjadi Kec. RONGKONG-SEKO. Pada Zaman REVOLUSI Modern sekarang ini, kembali menjadi satu wilayah pemerintah dengan nama KECAMATAN SEKO.
Masyarakat SEKO, Argraris dengan hasil utama, KOPI ARABICA, KOPI REBUSTA, PADI, JAGUNG, AKHIR AKHIR INI (Pertengan thn.90-an) MENGHASILKAN COKLAT BERKUALITAS EKSORT. Disamping Ternak KERBAU dan Hasil HUTAN berupa DAMAR dan ROTAN.
Sayang bahwa pada zaman ORBA hutan-hutan yang menjadi HAK ULAYAT Masyarakat seko oleh Pemerintah Daerah dan Pusat di eksploitasi sedemikian rupa (Lewat PT. KTT) sehingga Hutan-hutan Hak Ulayat tersebut sebagian telah rusak. Sebaliknya, sampai sekarang kompensasi hasil hutan tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh Masyarakat Seko.
Dari Zaman Penjajahan ke zaman ORLA disambung zaman ORBA, berlanjut pada Zaman Revolusi, masyarakat Seko masih seperti dulu. Ya, ramah tamahnya, bersahabat kepada siapa saja, termasuk ketika Masyarakat SEKO DILUPAKAN OLEH DUNIA LUAR SEKO.
Dijaman Modern ini, sungguh mengherankan bahwa masih ada Daerah terpencil dengan komunitas Penduduk (12.000-16.000 Jiwa) tanpa akses jalan sebagai urat nadi perekonomian rakyat.
Ruas jalan yang ada skarang menuju Kec. SEKO, ternyata adalah ruas jalan peninggalan Zending-zending Belanda atau ruas jalan yang dibangun oleh Rakyat SEKO sebelum NKRI ada.



                                            ( Dalam gambar :Ruas Jalan Mabusa - Palandoang - Eno)
Ruas jalan ini sangat menyusahkan dan menyulitkan karena Becek, berbatu, belum lagi lintah darat yang memenuhi beberapa penggal jalan setapak ini, mendaki, keluar-masuk hutan! Masih seperti yang dikisahkan oleh Almarhun Kakek saya (PK. BETHONY). Tidak ada perubahan! Kecuali bahwa Masyarakat seko kini sudah banyak berpendidikan tinggi, dan bahwa Dusun-dusun di SEKO sudah menggeliat mengejar ketertinggalannya dari Anak Bangsa Lainnya.

(Dalam Vidio Ruas Jalan Sipulung - Kariango -Seko Lemo)

Bahwa, Masyarakat SEKO memang harus membangun dirinya sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, dan berlari mengejar zaman agar sejajar dengan Anak Negri yang lain.
Tahun 2007 bulan Agustus, saya kembali berkunjung ke-SEKO sama seperti yang selalu saya lakukan tiap 3-4 tahun sekali....harapan saya bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap ruas-ruas jalan menuju ke Seko. Dan saya tidak terkejut, ketika mendapati bahwa harapan itu tinggal harapan.
Sambil membasuh peluh disela-sela pendakian yang berbatu dan tajam pada ruas jalan Mabusa-seko, saya teringat pada awal Tahun 1984 saat itu untuk pertama kali saya berkunjung ke Seko, setelah menyeleseikan Study di Jogyakarta. Hm...ruas ini masih sama, bahkan makin parah!! Pohon-pohon Raksasa yang dulu membuat Ruas ini teduh, kini tinggal kenangan dan menyisakan bongkol-bongkol hitam di pinggir jalan.
Belum berubah! Rupanya Sentuhan Pembangunan Masyarakat Desa yang selama ini menjadi Primadona Progam Pemerintah, baik Tingkat satu dan dua, terlebih Pusat! Bukan untuk Masyarakat SEKO!
Tapi saya selalu bersyukur bahwa ditengah kejengkelan menghadapi realitas seperti ini, saya terhibur sekaligus Bangga! Sebab dalam perjalananku kali ini hampir setiap jam aku bertemu, bersua dengan orang-orang seko yang menuju kota. Pada posisi seperti ini kami memilki persamaan, yaitu sama-sama berjalan kaki! Bedanya, Mereka memikul Beban di Punggung untuk dijual ke Kota dan saya memikul Beban dan bergumul pada Sikap Pemerintah yang tidak perduli pada Masyarakat SEKO.



(Vidio Ruas Jalan Mabusa - Kariango - Seko Lemo)
Melihat kenyataan ini, saya menjadi marah! Tapi entah kepada siapa akan dilampiaskan.
Cerita Almarhum Kakek dan sekaligus Nasehatnya, masih terngiang...."Cucunda, Hidup Kita orang-orang SEKO memang seperti ini dari nenek moyang kita! Sabar dan bersahabat dengan siapapun, termasuk yang memusuhi kita. Kamu harus berpendidikan, hanya dengan itu kamu akan hidup. Kamu harus Ber-Iman, hanya dengan itu kamu raih hidupmu"

Tahun 2012 lalu di bulan maret, saya, istri dan anak bungsu saya melewati ruas Rongkong - Mabusa - Seko Padang.
Kesejukan dan reindang Pohon-pohon Raksasa awal tahun 1980-an dan kenyataan hilangnya pohon-pohon disisi jalan ruas itu ternyata makin melebar disisi-sisi yang ada. Akibatnya jika musim panas jalan tanah yang sama mengeras seperti batu dan ketika musim hujan tanah menjadi kubangan lumpur yang membutuhkan tenaga super ekstra hati-hati untuk melaluinya. Sungguh ironi dijaman modern seperti ini, masih ada ruas jalan seperti ruas jalan menuju seko. Tapi saya sungguh bersyukur bahwa semua itu tidak menghalangi To Seko untuk meraih masa depannya dibidang Ilmu Pengetahuan dan perkembangan ekonomi. Saya bangga menjadi orang Seko. Kedua orang tua saya, lahir di seko, meskipun saya lahir di pulau jawa tapi itu tidak mengurangi kecintaan saya terhadap Seko.

                                           (Dalam Gambar Ruas Jalan Mabusa - Palandoang - Eno Seko Padang)
Dalam perjalanan saya Maret tahun 2012 kemaren, dengan mengendarai ojek kami tempuh perjalanan itu seharian penuh dan tiba di Eno sekitar pkl. 19.30. Padahal, berangkat dari Sabbang pkl. 07.30. Tapi karena pas musim hujan akhirnya beberapa kali saya dan istri musti berjalan kaki sekitar 1-2 km karena para "pangojek" harus menuntun Motor untuk melewati ruas-ruas itu. Ada beberapa kali saya dan istri 'musti' terpeleset. Para "pangojek" bilang : Itu jatu manis pak! hahahahaha.
Saya tidak tahu keadaan ruas jalan itu sekarang, berita ter-update, katanya sedang dalam pengerasan..tapi apakah itu benar? Atau sementara di kerjakan? Kalau sudah dikerjakan saya berharap bahwa ruas jalan itu akan semakin membaik dan memberi kenyamanan para pejalan kaki, Patte'ke, para pangojek melewatinya.


(Insert : Para Patteke')
Tulisan ini saya buat untuk memutar kembali betapa kecintaan saya terhadap Seko dan selalu berharap bahwa generasi muda to Seko, tidak menjadikan halangan jalan yang rusak itu sebagai hambatan untuk terus menuntut ilmu tapi hambatan itu mampu diubah menjadi Energi positif yang menyemangati untuk terus sukses menuntut ilmu dan membangun kampung halaman. Selamat menuntut ilmu untuk seluruh anak-anakku Generasi Muda Seko. Jangan Putus asa, raih prestasimu setinggi langit dan jangan menganggap dirimu rendah. Kalian sama dengan orang-orang lain di Indonesia.
Maju Seko.
(Yogjakarta, 15 Juni 2013)
Putera Seko, Kerja di Yogyakarta dan tinggal di Semarang.


RWM.BOONG BETHONY

13/02/13

Butet Manurung Penggagas Sekolah Rimba.

Penggagas Sekolah Rimba.

Butet Manurung yang bernama asli Saur Marlina Manurung ini mulai santer dibicarakan. Apalagi ketika Oktober kemudian majalah TIME Asia menobatkannya sebagai salah satu “TIME Asia’s Heroes”, mata Indonesia pun terbuka. Butet lantas dipuji, disanjung dan ada pula yang mengklaim, Butet adalah Kartini jaman sekarang.

butet1211Ya, Butet adalah sosok yang inspiratif dengan apa yang telah ia lakukan. Bahkan, seorang Presiden Susilo Bambang Yudoyono pun tak begitu saja menutup mata pada spirit kepahlawan Butet, perempuan kelahiran Jakarta, 12 Februari 1976 itu.

Dalam artikelnya, "The Making of a Hero," yang diterbitkan di majalah TIME Asia, edisi 3 Oktober 2005, Presiden SBY mengawali tulisannya dengan kalimat: “Every society needs heroes. And every society has them. The reason we don’t often see them is because we don’t bother to look.” Setiap masyarakat membutuhkan figur pahlawan. Dan setiap komunitas sebenarnya memilikinya. Hanya saja kita sering mengabaikannya, itu karena kita sering menutup mata padanya.

Apa yang dilakukan Butet setidaknya juga telah menginspirasinya kembali untuk melahirkan “SOKOLA RIMBA”, buku “diary” yang ditulis Butet berdasarkan pengalamannya selama mengabdi di bagi komunitas Orang Rimba di pedalaman Bukit Dua Belas Jambi.

Buku setebal 250 halaman yang ia rangkum selama rentang waktu enam tahun ini, selain banyak bercerita dari sudut pandang Butet sebagai pendidik dengan berbagai tantangan yang dihadapinya, juga menceritakan kultur Orang Rimba yang kerap dianggap bodoh, miskin, primitif dan stereotip negatif lainnya.

“Padahal, mereka sebenarnya memiliki kehidupan sendiri yang sama sekali jauh dari stereotip itu,” kata Butet. “Orang sering menyebut mereka (Orang Rimba) Kubu, padahal arti Kubu sebenarnya memiliki kesan merendahkan,” jelas Butet lagi.

Di kalangan penduduk Jambi sendiri, kata “Kubu” selalu distereotipkan kepada komunitas yang dianggap terpinggirkan, bodoh, bau, primitif, (tidak modern). Karena “kebodohan” itu, komunitas Orang Rimba seringkali menjadi korban penipuan oleh pendatang-pendatang asing yang menganggap dirinya, pintar, modern, beradab, “manusia yang benar-benar manusia”.

Maka dalam pengabdiannya, Butet sebenarnya bukan hanya mengajari Orang Rimba membaca dan menulis, tapi juga turut membantu memecahkan persoalan yang selama ini sering mereka hadapi. Misalnya, bagaimana agar mereka sadar bahwa hutan yang mereka tempati harus dijaga kelestariannya, bagaimana juga agar mereka tidak kerap tidak berdaya menghadapi orang asing yang ingin menebang hutan mereka, dan persoalan sosial lainnya.

“Untuk menjaga kelestarian hutan, tak cukup hanya menyadarkan mereka bahwa hutan adalah tempat tinggal mereka, tapi juga perlu dibekali pengetahuan hukum agar mereka tidak mudah diperdaya pendatang asing yang ingin menebang hutan mereka,” kata Butet yang memiliki dua gelar sarjana, Sastra Indonesia dan Antropologi Unpad Bandung itu.


RWM.BOONG BETHONY

ENTREPRENEUR.

Rob Colection
MENDALAMI ARTI ENTREPRENEUR


Secara sederhana, entrepreneur didefinisikan sebagai orang yang menciptakan pekerjaan yang 
berguna bagi diri sendiri. Entrepreneur berasal dari kata entrependere (bahasa Perancis) yang 
artinya sebuah usaha yang berani dan penuh resiko atau sulit.
Entrepreneur diartikan pula sebagai orang yang mampu mengolah sumber daya yang ada menjadi 
suatu produk yang mempunyai nilai atau mencari keuntungan dari peluang yang belum digarap 
orang lain. Tokoh entrepreneur Indonesia Dr. Ir. Ciputra mendefinisikan seorang entrepreneur
 adalah seseorang dengan kecakapan mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. 
Menurut beliau orang dengan kecakapan mengubah kotoran dan rongsokan jadi emas tidak harus 
berada di dunia bisnis saja.
Ciputra mengatakan, seseorang yang memiliki jiwa dan kecakapan entrepreneurship dapat
berada di pemerintah, dunia akademik, atau dalam pelayanan sosial. Beliau menambahkan
entrepreneur memiliki pola pikir (mindset), jiwa (spirit), dan kecakapan yang sama yaitu 
mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas, namun yang membedakan adalah tujuan 
yang ingin dicapai.
Entrepreneur di pemerintahan menurut beliau adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 
yang telah mendukung Ciputra mengembangkan Ancol, dan Lee Kuan Yew yang mengembangkan 
Singapura. Entrepreneur di pelayanan sosial seperti Muhammad Yunus peraih Nobel dari Bangladesh.
Definisi mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas menurut Ciputra terdapat tiga makna utama :
 
Pertama adalah terjadinya sebuah perubahan kreatif yang berarti dari kotoran dan rongsokan 
yang tidak berharga dan dibuang orang menjadi sesuatu yang memiliki nilai yang lebih besar.
Kedua hasil akhir dari perubahan memiliki nilai komersial, bukan hanya dianggap sebagai karya yang 
hebat namun juga memiliki nilai pasar yang tinggi.
Ketiga untuk mendapatkan emas seorang entrepreneur bisa memulainya dari kotoran dan rongsokan 
yang tidak bernilai, dengan kata lain dengan modal nol.
Sementara itu, menurut Peggy & Charles (1999), entrepreneur harus memiliki empat unsur pokok :
1. Kemampuan (IQ & Skill)
* membaca peluang;
* berinovasi;
* mengelola;
* menjual.
2. Keberanian (EQ & Mental)
* mengatasi ketakutan;
* mengendalikan resiko;
* keluar dari zona kenyamanan.
3. Keteguhan Hati (Motivasi Diri)
persistence (ulet), pantang menyerah;
* determinasi (teguh dalam keyakinannya);
* Kekuatan akan pikiran (power of mind) bahwa Anda juga bisa.
4. Kreativitas
* mencari peluang.
Sedangkan menurut Edison, entrepreneur mempunyai tiga pokok utama yang harus dimiliki yakni; 
kenal diri, percaya diri, serta mampu menjual diri. 
Menurutnya, entrepreneur adalah suatu kemampuan untuk mengelola sesuatu yang ada pada diri
kita untuk dimanfaatkan dan ditingkatkan agar lebih optimal, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup kita. 
Dari berbagai sumber.
RWM.BOONG BETHONY