26/10/11

MENGGUGAT INDONESIA.


 MENGUGAT.
Ada satu kalimat yang begitu akrab dan sering di ucapkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Kalimat ini ada dimana-mana. Ya di kantor-kantor seluruh negeri bahkan di ruang-ruang pos siskamling. Juga di ruang pendidikan, play group sampai perguruan tinggi. Anda pasti sudah bisa menebak kalimat itu, ya 'BHINEKA TUNGGAL IKA'. Kalimat yang diterjemahkan dan di sejajarkan dalam bunyi "PLURALIS". Konotasi dan penjelasan sederhana "Beragam; berwarna-warni; bermacam-macam; terdiri dari banyak latar belakang : Tradisi, Bahasa, rumpun etnis, kepercayaan dan agama, pola hidup, kearifan lokal. 
Oleh Bangsa dan Negara Indonesia, Premis ini di kemas sebagai "BUDAYA" Indonesia, Identitas Indonesia, Entitas Indonesia bahkan diklaim sebagai FILOSOFI Indonesia, Rakyat Indonesia.
Tapi 2 windu belakangan PREMIS ini jadi Pesakitan. 

Tergugat dan Terdakwa. 
Di perhadapkan pada Pengadilan terbuka. 
Gugatan dalam ruang besar NKRI. 
Pengadilan atas nama Sorga, atas nama penguasa langit, atas nama penguasa hidup, atas nama Premis itu sendiri!
Gugatan yang menyeruak, menyentak, menggetar. 
Menebar dan menerbangkan apa saja. 
Ketika Pledoi-pledoi bertutur Dar! Dir! Der! Dur! Dor! Bum! Bam! Bim! Bom!
Gugatan yang menelikung, meliuk-liuk, berbelok-belok, berkelok-kelok. Menyusur dan menyisir apa saja saat genderang bertalu-talu, berebam-rebam, berebab-rebab.
Gugatan yang berdengung-dengung, melanting-lanting, melantun-lantun, berdenting-denting.
Bukan apa-apa sobat, tidak siapa-siapa kawan, tak kenapa-kenapa kawan, nggak mengapa-mengapa sahabat.
Lantaran itu, semua sama, seluruh sejajar, segala rata.
Timur, Barat, Utara, selatan bernyanyi, berdendang, bersenandung tentang tantang. Kami bukan Indonesia. Aku tidak Nusantara.
Itu kemaren! 
Hari lalu! 
Minggu lewat! 
Bulan tanggal! 
Tahun pergi! 
Usang! 
Tertinggal! 
Klasik!
Hanya catatan! 
Sejarah! 
Monumen! 
Rumah musium!
Ini Era baru! 
New Era! 
Jaman kini! 
Bhineka Tunggal Ika, tak lagi ada dalam ruang Indonesia. 
Burung Garuda yang setia menjaga, terkapar oleh elang-elang dan dicabik-cabik musang. 
Helai demi helai rontok bulu-bulu. 
Berjatuhan seiring pupus Bhineka.
Porak-porak dapur, poranda-poranda beranda, berantakan-berantakan tengah ruang.
Wajah kami Tunggal Ika! 
Rupa lain tak butuh! 
Pergi siapa!
Luluh-luluh hati, leleh-leleh rasa! 
Tanpa jiwa! 
Tiada kalbu.
Mau kami!
Keinginan kami!
Juang kami!
Tralala! Ini lagu baru! Hymne baru! 
Kebangsaan Baru!
Hanya satu mau kami, ikut atau menggelepar!
Hari-hari Premis bau anyir.
Minggu-minggu Premis bergelimpangan.
Bulan-bulan Premis berguguran.
Tahun-tahun Premis Mati.
(Taman Srigunting, Semarang 27 Sep'011)


Warisan

Waktu aku kecil dulu almarhum Eyang kakung bilang : Tole..lihat tanah airmu dengan mata hati, cintai semua yang ada! Gunung, lembah, pantai, pulau, lautan dan terutama manusia Indonesia.
Aku jawab : Maksud Eyang?
"Karena kita hidup bersama mereka! Camkan itu ya Le"
Sesudah dewasa barulah ku tahu maksud Eyang kakung. Tapi betapa sulitnya mencari orang yang memenuhi pesan Eyang itu.
Nyata bagiku, lebih banyak benci sesama Indonesia
dan memporak porandakan Indonesia.
Eyang Kakung ku adalah pahlawan.
Ia berikan semua
Air mata
darah
dan tubuhnya
Agar, aku
Kau
kita
nikmati
......................
Masih teringiang senandung "Indonesia Tanah Air Beta"
Kidung terakhir menutup mata renta.
Engkau itu.



Kami Tunggal Ika, Lain tak perlu
Siapa pergi.
Surabaya, 21 April 1989.







RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: