A falling leaf.
You came at the end of January, greeting, stroking, soft and cool. But at that moment you left. Leaves.. leaves falling to meet her lover. There was no welcome greeting or goodbye.
At the beginning of February, you send rain to marry a branch with fallen leaves so that the lover keeps giving birth to the green shoots.
And when the flowers bloom at the end of February, you pick a sprig of flowers, you tie it up and then you place it on a wet pile, your tears fall.
But regret and tears don't mean anything anymore.
Just like a withered flower on your lap.
(Jakarta 2019)
..................................................
The story of the lake "Banyu Biru"
The fallen leaves floated down into the water in a circle, swaying, breaking and twisting the tree and then silence. The wind blows pushing into the middle of the lake small ripples grow on the banks. Here, at the edge of the lake at the head of the headland, once a girl floated and fell, making clear water swirling, rippling, breaking the silence of the lake on the shore, ending her love story in lonely silence. (Blitar 2019)-----------------------
Tears are dripping down the leaves.
When the Sun divides the light in the east window opens then the dew drops drop by drop. Cold, dusty warm bed was silent at the end of the room A cold wind broke through the frozen window in a silent room, remembering you said, I fused with you and there was no me and you anymore. Only love, only us. But that was then, long before you left the bed so dusty. The window that you normally open every morning, is now fragile and weathered. Tightly closed and silent, as quiet as the heart that covers you.
Sorry is meaningless.
Tears lose their meaning.
Fell frozen one after another.
(Pennsylvania, medio February 1996)
Pada Mula.
Kosong, Roh yang melayang layang
Tak ada perhinggapan
Hanya cakrawala tanpa bayangan
Kemudian daratan
Pada akhirnya aku dan kamu
Roh yang melayang layang
Hinggap
Berpagutan
Berpelukan
Bermesraan
Lahirlah daging
Rupa
Wajah
Kemudian seraut
Tak ada abadi dibawah mentari
Tiada yang kekal!
Dagingmu
Tubuhmu
Tulangmu
Darahmu
Tak pernah ada
Sungguh-sungguh ada
Benar-benar ada
Tapi Roh
Jiwa
Hati
Ialah cinta kekal
Cinta abadi
Tak dapatkah itu kita bangun bersama?
Kita jalani bersama?
Karena hanya itu yang abadi
Sebab itu yang kekal.
Masih kau tanya, cintamu?
Masih kau ragu cintaku?
(Pantai Anyer 2018 diambang petang)
---------------------------------
Tentang pagiku
Tak ada embun terlebih cericit beburung dan kokok ayam hanya alaram dan dengungan Ac menyusup di antara plastik warna warni entah siapa memulai. Semua persegi tanpa tegur ramah hidup tak sama dulu ketika jengkerik mengantar mimpi dan kekalong menari nari dikenari. Mentari pucat menerpa persegi tak pernah menyentuh bumi jegal menjegal potong memotong tak beranting terlebih berdaun.
(Jakarta Februari 2016)
--------------------------------
Sunyi kata.
Dunia sunyi para petapa memekuri silangsengketa riuh mayapada
Dunia senyap ki pujangga menekuni nilai - nilai buana
Dunia sepi ruang begawan menjaga harmoni hidup sederhana, kelembutan tatap kepolosan, tuturan rupa tapi awas jangan coba kata-kata bukan bunyi
bunyi tidak kata-kata
(Samarinda Januari 2016)
-------------------------------
Ialah.
Dunia senyap
ki pujangga
menekuni nilai - nilai buana
Dunia sepi
ruang begawan
menjaga harmoni hidup
sederhana, kelembutan tatap
kepolosan, tuturan rupa
tapi awas
jangan coba
kata-kata bukan bunyi
bunyi tidak kata-kata
(Jatimulyo, Medio February 2014)
---------------------------------
Kahlil Gibran sang pecinta.
Suatu kali kau pinta untuk menyusuri lorong-lorong kecil diantara bukit - bukit Padas diantara jajaran kayu aras Lebanon.
Angin sepoi-sepoi basa berhembus membawa aroma laut kering jadi embun dipucuk Aras menjuntai biru langit.
Bunga padang - padang di tangan gembala kecil berguguran, angin, kering dan lakmus.
Domba dan lembu kurus mengiring gembala yang tertatih
Kemana rumput hijau?
Kemana bunga-bunga Padang bebukitan?
Kemana angin basah dari laut mati?
Kau hanya membisu menyapa bukit-bukit kering
Kau terdiam menatap kering reranting kayu aras
Lebanon oh Lebanon Cinta yang tak pernah padam
Meski kayu-kayu aras mengering sampai ke akar
Walau bukit-bukit mengeras menguras mata air
Tatkala air mata jadi harga mati
Lebanon oh lebanon.
Kahlil Gibran yang dulu mencintaimu dan membawa cintanya sampai ke liang, pun tak mampu menghalau panas cintamu
Didih cintaku
Di tepian laut mati kau berdiri tapi tak sendiri
Matilah waktu kemaren
Dukalah masa lalu.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar