Esei tentang Ugahari.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia : Ugahari itu memiliki makna: Sedang; Pertengahan dan Sederhana. Bunyi Sedang itu memiliki arti Tidak keatas tidak juga kebawah. Ukurannya rata-rata, tidak besar, tidak banyak, tidak melimpah, tidak pula kekurangan, bukan miskin, bukan kecil. Selanjutnya bunyi Pertengahan, dapat pula berarti tidak di pinggir tidak pula di tengah; tidak di awal atau di akhir, tidak diluar atau di dalam, tapi di tengah atau pertengahan. Istilah Ugahari ini berasal dari istilah Sansekerta.
Bunyi kedua setelah UGAHARI adalah KEUGAHARIAN. Bunyi kedua ini merupakan kata kerja yang berarti, Kesederhanaan atau Kesahajaan. Yaitu, berperilaku (menjalani kehidupan) sederhana, bersahaja di keseharian. Suatu pilihan yang berbalikan atau kebalikan dari keadaan sesungguhnya.
Kata UGAHARI dan KEUGAHARIAN berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada tradisi dan kebiasan hidup para Rohaniawan (Biksu - Biksuni, Begawan, Resi ), para Empu (para ahli, para pengajar, para seniman) dalam perkembangan Sejarah Indonesia masa kejayaan Hindu - Budha. Dimana, para rohaniawan dan para Empu memilih hidup sederhana di 'Pertapaan' (tempat bertapa), di padepokan, dst. Pilihan hidup sederhana atau bersahaja seperti yang di perlihatkan oleh para Rohaniawan dan para Empu ini, dapat kita sejajarkan dengan 'JALAN zen' yang berkembang di Jepang, di daratan China/Tiongkok sampai kedaerah Buthan dan India yang di kenal sebagai jalan Yoga meski secara substansil tidak sama persis, tetapi miliki jalan yang sama yaitu Memilih hidup Ugahari atau Keugaharian.
Setelah Agama Islam dan Kristen masuk ke Indonesia, hidup Ugahari atau Keugaharian di perlihatkan oleh para Kiyai dan para pastor atau pendeta. Para Kiyai memilih hidup sederhana, bersahaja di balik Pesantren dan atau Asrama bagi para Pendeta dan Pastor.
UGAHARI dan KEUGAHARIAN Sebagai SPIRITUALITAS.
Dalam konteks Kapitalisme yang menggurita di masyarakat kita, dibutuhkan spiritualitas baru untuk mengembalikan Manusia sebagai Manusia seutuhnya. Yaitu spiritualitas yang dapat di artikan sebagai daya kekuatan bersama yang menghidupkan dan menggerakkan. Dewasa ini, spiritualitas jadi makin penting, karena menjadi ukuran hubungan pribadi dengan Sang KHALIK yang dapat terlihat dari perilaku hidup sehari-hari. Karena, Spiritualitas tidak hanya berhubungan dengan Keagamaan atau hal-hal yang rohani saja, tetapi juga dapat menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi realitas dalam bentuk apapun (penjajahan, penganiayaan, penindasan, dst) tetapi juga sebaliknya untuk mencapai tujuan bersama (pembangunan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dst). Dalam pengertian seperti ini, maka Spiritualitas lebih merujuk kepada 'Cara hidup', 'cara bertindak' dalam keseharian. Spiritualitas sebagai Cara Hidup, adalah benteng bagi kehidupan beriman setiap orang, bahkan lebih lebih dari itu Spiritualitas dapat mendorong, memotivasi, menghidupkan dan menumbuhkan, seseorang dalam pengalaman perjumpaan dengan SANG KHALIK YANG DISEMBAHNYA.
Salah satu pertanda zaman yang mewarnai kehidupan masyarakat (manusia) dewasa ini yakni, Ganasnya Kapitalisme melanda tubuh manusia. Tubuh manusia di jadikan sebagai 'objek dan subjek' produk ekonomi dan alat Komoditas untuk kepentingan kaum Kapitalis (terlebih Neokapitalis). Seorang Sindhunata berteriak lantang, bahwa gaya hidup manusia hanya berorientasi pada diri sendiri dan berlomba-lomba mengejar kenikmatan, kepuasaan diri (Duniawi), krisi iman, miskin dalam solidaritas terhadap sesama, boros dengan membayar harga yang sangat mahal atau berhutang. Tubuh bahkan jiwa kita di jajah oleh kaum kapitalisme. Tak ada lagi ruang tersisa, mulai dari ujung jari kaki, sampai ujung rambut di kepala bahkan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Semuanya, di rebut oleh Kapitalisme yang pada saat bersamaan berjalan seiring dengan NeoKolonialisme. Perhatikan dan amati dengan seksama, betapa dahsyat kapitalisme melanda hidup manusia. Merasuk semua lini dan komponen hidup bermasyarakat. Lihatlah, hidup para birokrat, Rohaniawan, kaum intelektual, Seniman (artis/aktor Filem, perupa, dramawan, Pemusik, sastrawan) Legislatif, Yudikatif. Perhatikan dan tonton tayangan TV nasional dan transnasional. Majalah, Buletin sampai pada jurnal-jurnal dalam dan luar negeri...semua di rebut oleh Kapitalisme, semua di jajah sebagai bentuk baru dari Kolonialisme.
Begitu hebat Kapitalisme melanda hidup manusia, sehingga hidup beragama pun tak lagi menjadi sesuatu yang 'Magis, Luhur, Mulia, Agung dan Kudus' dan pada 'saat tertentu' hanya di jadikan pelengkap dalam bentuk-bentuk ritual belaka.
Bagaimana kita di Rumah HAIKUKU INDONESIA?
Seperti yang saya jelaskan secara singkat diatas, bahwa dahulu kala, para Empu (Seniman, ahli membuat...., pengajar,..) dan para Rohaniawan (biksu - Biksuni, Kiyai, Pendeta/Pastor) memilih hidup Ugahari atau Keugaharian sebagai jalan hidupnya.
Mereka (Empu dan Rohaniawan) itu, bukan saja memilih hidup sederhana, tetapi laku Mereka pun sangat sederhana, tidak sombong, lemah lembut, berbudi halus (welas asih) dan mengajar dalam kesederhanaan. Sebab itu, Mereka, sangat di hormati, di cintai, dan di rindukan oleh banyak orang. Sebab dari Mereka, orang lain belajar menjalani hidup.
Para sastrawan Haiku klasik, terkenal dengan Hidup Ugahari atau Keugaharian dengan memilih hidup sederhana. Hidup di pertapaan dengan apa adanya, tetapi pada saat yang bersamaan mereka menjadi Guru bagi siapa saja, termasuk menjadi guru kita para pecinta Haiku.
Dalam esai sederhana ini, saya mengajak semua Handaitaulan, kerabat dan para sahabat, untuk melihat situasi kita masing-masing dalam bentuk perenungan-perenungan, meditasi-meditasi, solat Tahajud, berkontemplatif, Berpuasa, sesuai dengan agama yang kita yakini.
Saya akhiri Esai kecil ini dengan Prosa kecil :
Pada akhirnya, Sang Khalik, TUHAN YANG MAHA ESA menjadi kesepian, di tengah umat yang menjadikan Ibadah dan amalnya hanya sebagai Formalitas Belaka.
TUHAN YANG SENDIRIAN di dalam semarak ritual-ritual keagamaan yang riuh rendah dalam bayangan Kapitalisme.
Pada arena ini, pandangan Spiritualitas menjadi penting bagi kita. Spiritualitas yang menjadi dasar terhadap gerakan dan kekuatan untuk merebut kembali Tubuh dan jiwa yang sudah di kukung, di penjarakan oleh Kapitalisme.
Spiritulitas yang mampu menggerak kita merebut kembali tubuh dan jiwa ini menjadi Tahta di mana TUHAN YANG MAHA ESA hadir dalam perilaku, tuturan, dan berfikir kita.
Selamat Ber-UGAHARI atau KEUGAHARIAN.
Salam dan doa dari Kalimantan Timur.
Dibawah ini saya sertakan bagaimana diskusi yang berlangsung :
Menarik ulasannya Romo Ro Wl Ma... Rahayu
#Yesmil_Anwar:
Yesmil Anwar mencerahkan, tks romo
Terima kasih pencerahannya Romo
Dimyati salam ugahari...!
Menembus dinding tebal konsumerisme, pragmatisme, kapitalisme ... hidup ugahari
Ro Wl Ma :
Mas Trisno Soriton...selamat Ber-Ugahari....salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma :
Akang haji Yesmil Anwar...alhamdulillah, terpujilah Tuhan Yang Maha Esa. Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma :
Mbak Dian Kencana....terimakasih, selamat ber-Ugahari...salam dan oda rahayu.
Ro Wl Ma : Mas Ipit Saefidier Dimyatii...terimakasih, mari sobatku. Salam Ugahari, rahayu selalu.
Ro Wl Ma : Kang Ace Suhaedi Madsupi...seorang Filsuf tua dari abad 4 sebelum masehi, berjalan-jalan di sekitar kota Yunani di siang hari sambil membawa dian kesana kemari. Ketika ia tanya, mengapa membawa lampu siang hari, Sophocles menjawab, sedang mencari Nurani yang lama hilang dari bangsa Yunani.
Mungkin itu juga yang sedang terjadi pada sebagian manusia dewasa ini...salam dan doa rahayu.
Ace Suhaedi Madsupi : Dalam perjalanan hidup saya 10 terakhir, saya banyak menemukan laku manusia seperti dicontohkan Romo. Ada yang menyingkir dari keramaian untuk bertirakat, ada yang memilih hidup susah dari kacamata umum, ada yang berteriak-teriak di tengah keramaian seperti orang gila mengajak manusia eling padahal di hari lain dia tampil waras di hadapan keluarga dan murid-muridnya.
Ro Wl Ma : Kang Ace Suhaedi Madsupi....spiritualitas semacam itu adalah 'pencarian' atas spiritualitas itu sendiri.
Dalam esai sederhana diatas, saya mengajak anggota di Haikuku ini untuk belajar pada pilihan hidup seperti yang terungkap di esai kecil diatas.
Belajar pada Keugaharian....
Nina Hendrayana : Terimakasiiihhh pencerahannya Romo..., semoga saya bisa mengambil banyak pembelajaran dari ke-ugaharian , salam dan doa, rahayu Romo...
Ro Wl Ma : Selamat siang mbak Nina Hendrayana....yah mari belajar bersama mbak Nina. Salam dan doa rahayu.
Nina Hendrayana : Saya selalu menunggu & menghayati pencerahan dari Romo.., walau mungkin sdh agak lemot ..hehehe
Semoga Romo tak bosan-bosan membimbing kami-kami disini yaa Romo-kuuu... rahayu..
Nina Hendrayana : Selamat siang juga Romo-kuuu.. , terimakasiihh
Roc Koesoemahprawira : Mereka (Empu dan Rohaniawan) (atau guru atau pembimbing atau pemimpin) itu, bukan saja memilih hidup sederhana, tetapi laku Mereka pun sangat sederhana, tidak sombong, lemah lembut, berbudi halus (welas asih) dan mengajar dalam kesederhanaan. Sebab itu, Mereka, sangat di hormati, di cintai, dan di rindukan oleh banyak orang. Sebab dari Mereka, orang lain belajar menjalani hidup..... *jempol!!!!
Bunda Tami : Cerah sekali Romo Ro Wi Ma walau sebenarnya hujan besar..di sini
Ramana Ariasma : Mencerahkan di siang hujan ini. Bahkan kapitalisme telah mencengkram sebagian pesantren. Sangat memprihatinkan.
Kang Ramdan : Kesederhanaan memang menjadi pijakan spiritualitas yang tersembunyi di balik tembok pesantren atau pun asrama.
Alangkah indahnya jika kesederhanaan spiritualitas ini menjadi cara hidup dari orang kebanyakan, seperti kita, bukan monopoli dari para pelaku spiritual saja.
Tulisan yg mencerahkan, Romo.
Semoga para penulis haiku di rumah haikuKu ini bisa menjadi pelopor untuk menerapkan cara hidup sederhana, minimal ditunjukkan dalam haiku-haikunya.
Salam.
#Rizal : selamat menikmati senja romo, saya hendak bertanya, adakah persamaan ugahari dan moksa romo?
Michael Sukadi Sonokaryo : Semoga kita mampu menjalani Ugahari dan Keugaharian disisa usia kita. Terimakasih Romo Ro Wl Ma. Sebuah peringatan dan perenungan buat kita. Salam Rahayu
Okty Budiati : spiritualitas sebenarnya pun sebuah pilihan, sebagaimana sebermula manusia itu memilih pun adalah satu laku dari spiritualitas itu sendiri. hal yang menjadikannya sulit untuk dilakukan, mungkin, mampukah manusia memilih untuk menjadi sederhana dengan melawan ego diri sendiri. karena kapitalisme, atau pun isme-isme yang lainnya telah hadir sebagai bentuk wujud dari politik dan itulah peradaban manusia. pertanyaanya, apakah kini manusia memahami spiritualisme sebagai religi? sedang religi sangatlah berbeda jauh dari spiritual melaku... colek mas Romo Ro Wl Ma, juga mas Igo Koesoemahprawira. hehe... ngeteh dulu ahhh...
Asep Eri : Indah .....
Okty Budiati : wah, esainya dihadirkan secara utuh oleh alam mba, hujan menjadi pelangkapnya. pencerahan! aseeekkkk... @ mba Atsuko Tamiko Atsuko Tamiko. damailah selalu ya
Ninik Noor Hidayatun : Sebuah pencerahan setelah hujan romo.....menyimak terus
Ro Wl Ma : Mas Igo Roc Koesoemahprawira...spiritualitas seperti itu untuk saat sekarang ini terasa begitu asing. Orang lebih memilih untuk hidup dengan kemewahan duniawi dan kesombongan duniawi dari pada bermegah dalam bahasa batin atau bahasa jiwa, seperti terungkap dalam esai kecil di atas. Saya mensejajarkan hidup Keugaharian sebagai jalan Zen yang di tempuh oleh kebanyakan penulis Haiku tradisionil jepang....salam ber-Ugahari.
Ro Wl Ma : Madam Bunda Tami....itulah jalan Zen yang selama ini selalu coba kita kuak dalam diskusi-diskusi soal Zen. Selamat ber-Ugahari..semoga pencerahan diri merasuk, rahayu..rahayu.
Ro Wl Ma : Sobatku Ramana Ariasma...untuk masa sekarang ini tembok-tembok keagamaan dengan mudah di runtuhkan oleh Kapitalisme sehingga tak ada lagi Tuhan dalam bilik hidup manusia.
Semoga esai kecil ini dapat mengingatkan, setidak-tidaknya membuat kita duduk merenungkan 'pola hidup' kita di zaman ini. Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Francinne Maryento....rahayu..rahayu..rahayu kekasihku.
Ro Wl Ma : Kang Ramdan sahabatku. Ugahari adalah pilihan untuk membawa kita memasuki dunia asing yang oleh alam kekinian kita dianggap sesuatu yang kuno, udik dan ketinggalan zaman. Manusia lebih memilih kemegahan duniawi dari pada kemegahan spiritulitas dalam bahas jiwa, bahasa batin. Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Mas #Rizal...Moksa dan Ugahari tentu saja beda...Ugahari adalah pilihan hidup. Sementara Moksa adalah pencapaian dari spiritualitas seseorang untuk menemui atau berjumpa dengan TuhanNYA.
Ro Wl Ma : Mas Michael Sukadi Sonokaryo....selalu berdoa untuk itu sobatku. Rahayu..rahayu..rahayu.
Ro Wl Ma : Sobatku Okty Budiati....dalam konteks tertentu, spiritualitas adalah religi (agama).
Tapi dalam bentuk tertentu spiritualitas bisa dalam bentuk spirit untuk mencapai tujuan.
Sebagai contoh spiritualitas rakyat indonesia untuk mencapai kemerdekaanya.
Spiritualitas untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
Jadi apakah itu sebuah pilihan? silahkan saja.
Semua orang memiliki religi sebagai spiritualitasnya.
Yang hendak di capai oleh esai sederhana di atas adalah menawarkan Ber-Ugahari dan Keugaharian sebagai jalan spiritualitas.
Ro Wl Ma : Bunda Ninik Noor Hidayatun....terimakasih. Hujan juga sebuah spiritualitas, jika kita ingin berdialog dengan mengapa hujan turun, mengapa ada musim kematau, mengapa angin bertiup, dst.
Salam dan doa rahayu.
Okty Budiati : @ mas Romo Ro Wl Ma, baiklah, jika demikian, bagaimana dengan spiritualisme dari suku Baduy. yg tentu saja itu dapat dijadikan satu bentuk kesederhanaan itu sendiri, lalu "kejawen", dan masih banyak lagi, yang konteksnya di sini bisa menjadi suatu Ugahari dalam haiku di Indonesia. akankah itu menjadi sejalan dengan konteks religi yang terbangun di negeri ini?
Ro Wl Ma : Sobatku Okty Budiati...suku badui tidak mengenal Ugahari atau Keugaharian sebab cara hidup mereka sudah seperti itu dari dahulu kala.
Sementara hidup Ber-Ugahari atau Keugaharian adalah menjalani hidup sederhana, kebalikan dari keadaannya yang sesungguhnya.
Yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, kemapanan hidup (materi) tetapi meilih menjalaninya dengan hidup sederhana.
Jadi bukan pola hidup sebagai tradisi.
Dalam esai di atas saya jelaskan tentang itu.
Spiritualitas masyarakat Baduy dalam adalah menjaga tradisi hidupnya sebagai Ekologi hidup masyarakat Baduy. Apakah dapat kita jadikan conoth? Sepertinya kurang tepat untuk itu.
Salam dan doa rahayu.
Okty Budiati : siap aku bungkus ya mas Romo Ro Wl Ma. Saved! damailah selalu
#Denny Cholid Rachmat Awan : Hadir dan selalu menyimak. Terimakasih Romo ilmunya...
Ro Wl Ma : Sobatku #Denny Cholid Rachmat Awan....mari sama belajar sobatku...kita saling menyimak. salam dan doa rahayu.
#Denny Cholid Rachmat Awan: Iyah Romo Ro Wl Ma, saya semoga tidak ketinggalan kereta, saya baru beres program "Mata Air" nih dari Romo Mudji Sutrisno, saya lagi banyak belajar filsafat beliau hehehe...
Ro Wl Ma : Mas #Denny Cholid Rachmat Awan...saya juga banyak belajar dari beliau, terutama soal Filsafat sosial....
#Denny Cholid Rachmat Awan:.. Saya kebelum sering ketemu dan sangat akrab... Semoga saya pun bisa dipertemukan Romo Ro Wl Ma
Roc Koesoemahprawira : Romoku Ro Wl Ma, dan sahabatku Okty Budiati saya mau sharing juga ya sedikit mengenai kesederhanaan dan hubungannya dengan spriritualisme:
Ada banyak tokoh-tokoh besar yang menjadi pengubah jalannya sejarah dan memiliki image besar namun hidup secara sederhana. Sebutlah : (Selain para nabi sebutlah nama Mahatma Gandhi, Madame Teresa, Dalai lama, Nelson Mandela, Romo Mangunwijaya, Mohammad Hatta dll). Mereka adalah orang orang yang jiwanya, cita-cita dan nalar kreatifnya benar benar besar.
Mereka adalah jiwa jiwa yang di drive oleh nafas religi dalam pengabdian mereka kepada masyarakat, dimana nilai nilai yang mereka jalankan merupakan pengejawantahan dari nilai spiritual pribadi dan konsep ajaran surgawi yang mementingkan orang banyak diatas kepentingan pribadi.
Biasanya, semakin berisi tingkat spiritualitas mereka maka semakin seseorang akan merunduk serendah rendahnya ibarat buliran padi, hal ini diakibatkan karena mereka mengenal konsep menolong yang tidak tahu, membantu yang lemah, mengarahkan masyarakat atau kelompok yang diasuhnya ke arah yang lebih baik dalam praktek kehidupan bermasyarakat baik secara perilaku maupun budi pekerti.
Sebaliknya, mereka yang masih memikirkan gelar atau julukan, mereka yang masih memikirkan eksistensi diri mereka adalah orang orang yang biasanya justru lemah secara spiritual, merekalah yang masih dikuasai ego, masih senang dipuja-puji, masih membutuhkan pengakuan. Dan untuk mencapainya mereka sebisa mungkin akan menunjukkan kemahiran mereka, kehebatan mereka, atau menunjukkan betapa besarnya mereka di posisinya.
Seorang Pengajar/Guru/Pemimpin yang memiliki kedalaman spiritual bisa dikatakan seringnya tidak membutuhkan penghargaan, tidak membutuhkan pujian, mereka membiarkan alam berjalan apa adanya, mereka hanya menjalankan kebajikan yang mereka miliki, dan believe it or not, penghargaan itu justru datang dengan sendirinya kepada diri mereka.
Saya melihat, ada banyak orang yang berprofesi guru atau dokter atau Sukarelawan atau Pendeta atau para ustadz di daerah terpencil di indonesia yang mengorbankan diri demi mengajar anak anak yang tidak mampu dan membimbing anak anak yang terbelakang, merekalah sebenarnya orang orang yang berjiwa raksasa, merekalah martir kemajuan pendidikan anak negeri ini… dan ironisnya mereka seringkali malah tidak mendapatkan penghargaan yang selayaknya dari pihak manapun.
Sikap sederhana secara spiritual akan muncul jika seseorang mampu menghargai kualitas hidup yang lebih dalam, menghargai dan memahami alur kehidupan, bukannya menghargai kemasan atau gaya hidup yang lebih menampakkan kulit luarnya saja. Dan hal yang nampak paling menonjol dari mereka yang semakin sederhana biasanya nampak pada wujud perilaku dan tutur katanya.
Mari kita mulai menjadi orang yang sederhana dalam penampilan namun kaya raya dalam sisi spiritual.
Teriring Salam
#Haris_Sungkawa : Mencerahkan Romo Ro Wl Ma...(sambil merenungkan makna sejati dari sederhana dan kesederhanaan).
Bukankah sederhana itu berarti unit utuh yang tak bisa diurai lagi ? Semoga tidak tuna, sehingga tetap bisa sederhana.
Okty Budiati :.. akhirnya balasan dari mas Igo Roc Koesoemahprawira hadir dalam bahasa yang tidak sederhana dan puanjang. hihihi... menarik! ya, jika melihat kembali ke belakang, banyak sekali manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk melaku dengan keyakinannya. saya rasa, sering ngilu, sebuah pilihan dalam melaku masih di dominasi oleh strata dan kepentingan sosial. realitanya itulah yang berlaku, kini atau lebih tepatnya saat dunia modern diterapkan dalam peradaban dan tentu negeri ini menerima dampaknya, karena itu "kapitalisme" pun disinggung oleh mas Romo Ro Wl Ma di dalam postingannya. sekarang yg menjadi pertanyaan saya lagi, sebenarnya, sejauh mana sebuah pilihan hidup mampu menjadi pilihan yang tepat bagi pemilih jika pola pendidikan terkecil [keluarga] lebih mengedepankan pendidikan massal [yg berlaku umum dan terakui oleh budaya], mengapa saya menyebut "budaya", saya ingin mengambil konteks dari komentar mas Romo Ro Wl Ma soal mengambil contoh suku Baduy yang dirasa kurang relevan. tapi menghadirkan mereka dan mengakui keberadaan mereka tentu akan membantu kaum borjuis untuk membaca toh... jika kita menutup sebutir debu, apakah kita tahu di meja itu kotor atau tidak?, itu hanya sebutir... ahhh... ngupi ndhisikkk...
Derniz Hilman Fiqri : Salam Hangat Romo Ro Wl Ma .. Ulasan ini datang dari qolbu,, Terimakasih Sangat terasa dan mendalam ..
Mryana Veta : .. WS. Rendra ( alm ) menyebut Resi, Pendeta, Rohaniawan, Seniman adalah orang2 di atas angin. Mereka adalah orang2 yang tidak terikat oleh hal2 yang bersifat badani ( materi ).
Raja2 di jaman kehinduan, memang membutuhkan orang2 yang memiliki setengan angin dan setengah badan. Mereka adalah orang2 yang mudah diatur berdasarkan kehendak raja. Tapi orang2 yang benar2 berada di atas angin adalah mereka yang memiliki kebebasan yang tersentuh dengan kepentingan materi.
Rendra menyebutnya Akademi Jakarta ( Yang dibentuk Ali Sadikin dan terdiri dari oleh2 cendekiawan pilihan) menurut Rendra mereka adalah orang2 setengah badan. Mereka tak memiliki otoritas penuh karena mereka menerima gaji dari orang 2 yang sepenuhnya memiliki badan ( birokrat ) .
Pertanyaannya, apakah Keugaharian versi Romo sama dengan orang2 di atas angin versi Mas Willy ( alm ) ?
Mryana Veta : Ralat ; Tapi orang2 yang benar2 bersda di atas angin adalah mereka yang memiliki kebebasan yang tak tersentuh dengan kepentingan materi.
Ichiko Blank : ... suguhan pelajaran / pencerahan spiritual yg tinggi dengan redaksi yg sederhana mudah dipahami, dicernak dan dijalankan (?). .... bravo romo dan terima kasih ...
Mryana Veta : Keugaharian lebih bersifat pilihan hidup untuk sederhana dan apa adanya. Sedang orang2 yg berada di atas angin adalah orang yang memiliki pilihan ideologis untuk bebas, tak terikat dengan hal2 bendawi, tapi memiliki kebajikan hidup yang luhur. Merdeka dari segala kepentingan materi. Malah Rendra mengeritik Akademi Jakarta, sebagai institusi yang membernya Penghargaan Hadiah Sastra, sebagai manusia2 setengah badan.
Ro Wl Ma : Betul kangmas Mryana Veta....
Ro Wl Ma : Selamat sore kangmas Mryana Veta...orang-orang yang berumah di atas angin..itu istilah WS Rendra ketika itu. Benar yang mas katakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak tersentuh aturan tetapi sekaligus tidak mau melanggar aturan (etika)...
Dan orang-orang Setengah Badan setengah angin adalah sindirin WS rendra terhadpa para Seniman, Empu, begawan dan rohaniawan yang 'dipelihara' oleh Raja atau pimpinan untuk melegitimasi keinginan para Raja (pemimpin).
Mengenai Ugahari ata :u Keugaharian, adalah pilihan untuk hidup sederhana atau bersahaja, bukan karena 'keadaan' tetapi justru karena merupakan pilihan.
Dalam konteks sekarang ini, mereka yang kuat dan mapan (baik Ilmu dan Bendawi) tetapi memilih hidup sederhana atau bersahaja....seperti itu spiritual yang saya maksud kangmas. Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Kang Ichiko Blank..terimakasih mas. Semoga bermanfaat.
Ro Wl Ma : Mas Derniz Hilman Fiqri...salam ber-Ugahari sobatku. Semoga bermanfaat...salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Mas #Haris_Sungkawa....makasih..semoga bermanfaat ya mas. Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Mas Igo Roc Koesoemahprawira...makasih untuk ulasan yang indah itu, salam dan doa rahayu.
Ibenk Campret : Menyentuh sangat dalam.. Terima kasih paparan wawasannya, pencerahannya sangat membantu saya yg masih awam. Salam santun.
Ganesha Putra Kénéh : Hahaha...
Aya didieu ning?
Ibenk Campret : Nembe lebet dinten Rebo, kamari, Kang..
Hoyong nambih wawasan.. #baluweng. heheheee..
Ganesha Putra Kénéh : Kénéh Haahaha..
Saé..
Saé kakang.....
Ibenk Campret : Hatur nuhun, Kang Ganesha.!!!
Ganesha Putra Kénéh : Sami-sami Kakang..
Ro Wl Ma : Okty Budiatii..jika tidak melakukan pilihan hidup itu, maka kita tidak akan pernah mengerti dan memahami..karena dalam pilihan seperti itu terjadi pengingkaran terhadap segala sesuatu yang munkin sebelum menjatuhkan pilihan untuk hidup sederhana atau hidup bersahaja. Yang maksud dengan pengingkaran itu adalah dulu sebelum hidup bersahaja atau sederhana, kita lebih menikmati kemewahan sebagai ukuran hidup, tetapi ketika masuk dalam hidup sederhaan (bersahaja) seperti dalam uraian di atas, maka kemewahan dan kemegahan bukan lagi ukuran. Baik secara fisik pun secara meteri.
Mengapa Suku Baduy tidak bisa menjadi contoh, karena suku Baduy dari sejak nenek moyangnya sudah menganut pola hidup seperti itu. Tapi jika ingin belajar pola hidup suku baduy sebagai cara untuk memahami bagaimana hidup ala orang Baduy, itu baru cocok.
Ingat bahwa Ugahari atau Keugaharian itu, adalah memilih hidup sederhana dan meninggalkan kemewahan atau kemegahan bendawi, kemegahan dan kemegahan pola laku (menjadi orang welas asihn rendah hati, dst.)
Salam dan doa rahayu.
Ro Wl Ma : Mas Ibenk Campret...mari sama-sama belajar mas..toh di group Haikuku Indonesia ini, kita semua adalah Cantrik (belajar). Salam dan doa rahayu.
Ganesha Putra Kénéh : Saya menyimak Romoku..
Rahayu Jati waluya.
_/|\_
Hari ini tentang Ugahari.
Bunyi Ugahari berarti : Kesahajaan; Kesederhanaan; Sedang; Pertengahan, demikian pemaknaan Nomina klasik dalam khasanah Bahasa Indonesia. Kosa kata UGAHARI di kutip dari Bahasa Sansekerta yang merujuk pada pola hidup bersahaja, sederhana dan juga pada klasifikasi strata sosial secara ekonomi di kehidupan Masyarakat Nusantara pada beberapa abad lalu pada sejarah Masyarakat Hindu dan Budha. Pada konteks dan teks itu kemudian jadi Narasi (terpolarisasi) tradisi atau budaya berperilaku hingga berfikir masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan Luar Jawa; yang kelak tanpa di sadari menjadi spirit perilaku sehari-hari secara turun temurun. Sikap Hidup yang demikian disebut sebagai KEUGAHARIAN. Yaitu, memilih berperilaku (menjalani kehidupan) sederhana, bersahaja di keseharian. Yaitu kebalikan dari keadaan sesungguhnya. Sebagai contoh : seorang yang kaya raya, memilih hidup sederhana. Demikian juga perilaku jika ia seorang pejabat tinggi negara. Mengapa Keugaharian menjadi Narasi tradisi di masa itu?
Karena hidup sederhana atau bersahaja itu adalah kehidupan itu sendiri.
Bukankah kebutuhan semua manusia sama? Yaitu :
1. Hidup bermasyarakat dan sederajat, karena derajat seseorang bukan di tentukan oleh kekayaan, jabatan dan Agama. Adakah seorang manusia yang dapat hidup seorang diri? Bahkan Tarsan di ceritakan hidp di hutan, butuh mahkluk lain di sekitarnya.
2. Makan 3 x sehari dan minum lalu mengeluarkan atau membuang ampas yang dimakan dan diminum adakah orang / Manusia yang hanya makan dan minum saja?
3. Ajaran Agama yang menuntun setiap orang berlaku seperti itu atau adakah Agama yang mengajarkan para penganutnya untuk hidup sombong dan berfoya-foya?
4. Semua manusia butuh baju/jubah untuk menutup Aurat, atau adakah manusia yang hidup telanjang? Bahkan Tarsan pun butuh sehelai cawat untuk itu.
5. Sederhana atau bersahaja itu menghilangkan sekat-sekat antar manusia yang sering kali terkotak-kotak karena kesombongan primordial baik oleh karena Agama, Suku, warna kulit dan bahasa? Bahkan zona demargasi antar negara yang selama itu tertutup rapat oleh tembok-tembok kecurigaan menjadi hancur oleh gerakan persamaan derajat.
6. Semua mahkluk apapun di dunia ini di buat Tuhan terkoneksi satu dengan yang lain. Bahkan cacing tanah pun di ciptakan untuk membantu menusia mengurai tanah.
7. Bukankah hancurnya lingkungan hidup oleh karena manusia lebih mengutamakan keinginan dari pada kebutuhan? Bahkan mengingkari mahkluk-mahkluk lainnya sebagai patner kehidupan manusia di alam raya ini.
Lalu bagaimana? Apakah Perilaku Ugahari masih relevan dalam konteks dan teks kekinian Indonesia?
Saya berharap bahwa sikap hidup demikian (keugaharian) dapat kita kampanyekan sebagai cara hidup bersama antar masyarakat, antar individu. Karena hidup konsumtif dan berfoya-foya tidak pernah memberdayakan sesama manusia terlebih mereka yang memang sederhana akalau tidak mau di sebut miskin secara ekonomi. Bahkan sikap hidup konsumtif dan berfoya-foya justru menguntungkan Neokapitalis yang selalu mendorong masyarakat untuk hidup konsumtif (sebagai pemakai) tanpa berusaha untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri.
Dari mana kita mulai Kampanye Keugaharian?
Musti di mulai dari mereka yang menjadi Publik Figur, seperti : Rohaniawan (Kiyai, Pendeta/Pastor, Ustad) Birokrat (presiden, Mentri-mentri, Gubernur, Bupati/walikota, PNS), Legislatif (MPR, DPR RI, DPRD I dan Kota/kabupaten), Pengusaha (Jasa, industri, Pariwisata) Yudikatif (Hakim, Jaksa dan POLRI-TNI) Para pendidik (Prof, Dosen, Guru), Budayawan (Seniman dan pemerhati kebudayaan).
Semaju dan secanggih apa pun Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi, jika manusia tidak hidup Berugahari, maka manusia akan kehilangan kemanusiaannya dan berlomba membuat sesamanya menderita.
Lihatlah, amatilah bagaimana Manusia menjalani kehidupan ini, bukankah pelan tapi pasti menuju pada penghancuran diri sendiri? Atau dengan kata lain, kita mencuri, merampas dan merampok, kehidupan anak cucu kita. Dengan cara hidup seperti itu, maka sesungguhnya kita bukan manusia, sebab hanya binatang yang memakan anak-anaknya.
Mari belajar untuk hidup sederhana, bersahaja, meskipun anda sanggup hidup mewah, saat seperti itu anda jadi manusia sutuhnya.
Samarinda, 6 February 2016.
Diskusi jilid II tentang Ugahari :
Diskusi Jilid III