Renungan tentang Kebudayaan.
by, romo Ro Wl Ma.
Dari koran kompas di halaman pertama, jumaat tgl 12 february 2016, Kompas menurunkan artikel 'Kapasitas, Jangan Rente'. Secara singkat Kompas menggambarkan bahwa BPK (Badan Pemeriksa Keungan) masih di sibukan di wilayah pertanggungjawaban keuangan program-program (tata kelola keuangan) di Negara tercinta ini. Masih menurut kompas, mustinya BPK tidak lagi sibuk di wilayah tata kelola, tetapi pada level tepat anggaran atau kwalitas penggunaan dan hasil anggaran itu. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelola anggaran belum mengerti atau paham bagaimana anggaran dapat di pergunakan (di belanjakan) sesuai tujuan anggaran itu. Ini persoalan besar yang mempertontonkan 'kepicikan' para birokrat penguasa pengguna anggaran. Di sisi lain Pemerintah, di samping pengakuan dan pembelaan, mengatakan bahwa kapasitas birokrasi menjadi penyebab utama, sehingga BPK pada 'baru' pada tahapan wilayah itu, mustinya, masih kata Kompas, BPK sudah berada pada wilayah pemeriksaan tepat guna dan hasil dari pengelolaan Anggaran yang ada.
Membaca artikel Kompas Jumaat kemaren, tersirat di benak saya, wajar jika Pembangunan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia mengalami keterlambatan di banding negara-negara Asean lainnya. Lhaa, bagaimana mampu bersaing jika para pengelola dalam hal ini Birokrat mengalami kebingungan atau tidak paham mempergunakan dan mengelola anggaran yang ada! Dengan kata lain, birokrat kita Bermasaalah! Penyakitnya ada di situ! Jadi pantas, jika kemudian persoalan keuangan 99 % di dominasi oleh Birokrat. Bukan karena anggaran yang tidak ada atau karena negara ini miskin.
Dengan kekayaan dan anggaran yang luar biasa itu, mustinya negara ini sejak 40 tahun lalu mensejajarkan diri dengan negara-negara di Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan, Singapure, dst.
Dengan situasi seperti itu, jangan berharap bahwa Negara ini sungguh akan mengalami kemajuan di bidang Ekonomi. Bagaimana mungkin anda sanggup berdiri tegak jika pencernaan anda sedang terganggu? Demikian saya mengibaratkan keadaan Negeri ini. Para pengelola Anggaran (birokarsi) seumpama pencernaan dalam tubuh kita. Sesuatu yang kita makan dan minum, akan di cerna lalu kemudian di distribusi sesuai kebutuhan tubuh dan sisanya/ampas yang tak bermanfaat itu di dibuang keluar. Dapat dibayangkan bagaimana derita seseorang yang pencernaannya tidak berfungsi dengan benar. Negara dengan 240-an juta jiwa ini, sudah terlalu lama mengalami persoalan ini, karena Birokrat yang tak berfungsi laiknya pencernaan anda itu.
Seperti Kompas tulis dalam artikel itu, Bahwa pengelolah (birokrat) anggaran 'bingung' untuk membelanjakan Anggaran yang ada, sebagai akibat dari kebingungan itu, maka lahirlah instanisasi program yang sesungguhnya tidak berdampak kuat terhadap pembangunan Ekonomi Negara. Anda masih ingat dengan program bedah rumah itu bukan? Apa 'impact' dari program itu? bukankah penghuninya masih tetap sama miskinnya? Apakah ada kenaikan kesejahteraan pada mereka yang menerima program itu? Program instan lainnya, bantuan tunai langsung (BTL) bentuk nominal kepada mereka yang katanya 'miskin', adakah dokumen akademis yang menelitinya? Misalnya, apa dampak ekonomi jangka panjang bagi penerima program BTL tersebut.
Buat saya, program instanisasi seperti dua contoh diatas, tidak kreatif apa lagi mau di sebut Cerdas. Ini justru mempertontonkan kebingungan itu.
Anehnya, saat ini banyak daerah mengalami minus untuk program-program pembangunannya. Saya yakin, daerah (propinsi, Kabupaten dan kota) yang minus anggaran itu, akan menyibukan BPK dan kelak KPK pada wilayah pengelolaan bukan pada zona hasil pengeloaan anggarannya.
Belajar pada negara tetangga Singapure.
Singapure negara yang hampir sama luasnya dengan DKI itu, tidak memiliki sumber daya Alam. Tetapi Singapure untuk saat ini, memgang peranan penting dalam system ekonomu dunia. Mengapa Singapure mencapai level sedemikian?
Saya membaca Laporan di Jurnal Ekonomi Asia yang berbahasa Ingris itu, mengatakan bahwa Birokrat dan birokrasi Singapure adalah pengguna anggaran negara yang cerdas dan berdampak luas pada pembangunan ekonomi Singapure (rakyat) bahkan pada negara tetangganya. Bandingkan dengan 'style' penggunaan/belanja Anggaran oleh Birokrat kita, yang sering kali hanya berdampak peningkatan ekonomi keluarga dan kroni-kroninya. Di Singapure jika ada birokrat yang penggunaan anggaran tidak tepat guna, maka ia akan mundur dari jabatan itu untuk menjalani proses-proses hukum. Di Indonesia, jika seorang birokrat kedapatan (ketahuan) berlaku seperti itu, ia akan berusaha menutupi dan mencari alasan serta berusaha menghindar dari proses-proses hukum. Sangat jelas perbandingan itu bukan?
Apa yang salah? Menurut saya ada pada Faktor Sumber Daya Insani (SDI) yang selama ini hanya terfokus dan berorientasi pada Pembangunan Insan yang berilmu dan penguasaan tehnologi belaka, kita abai pada Spiritual kemanusian (kebudayaan dan keadaban). Sekolah-sekolah Dasar hingga ke perguruan tinggi melulu berfikir soal Ilmu dan Tehnologi (belakangan Perguruan Tinggi Keagamaan cawe-cawe nyemplung kesana) dan mengenyampingkan Kebudayaan (seni, agama, etika, spiritual kebangsaan). Mentri pendidikan dan Kebudayaan bisa belajar dari Persoalan para Birokrat ini, bukankah semua birokrat yang ada itu hasil dari system pendidikan nasional?
Adakah yang salah dari Kebudayaan kita?
Colek : Hehanussa Jo, Margie DeWanna, Nancy T Rehatta, Prof Heru S Sudjarwo, Prof Faruk Tripoli, Prof. Dicky Tjandra, Pakdhe Tegoeh, Kudawaningpati IX, Diro Aritonang, Jabugart Joeni Regar, Heru Slamet Suharto, Nopsianus M Damping, Hallie Josias Sahertian, Endang Kasupardi, Ki Lurah Budiyono Jayus Alipawiro, Nyai Mumpuni Sayekti, Sulaiman Manguling, Aleksander Mangoting, Alex Umboh, Eddy Soei Ndoen, Mryana Veta, Diro Aritonang, Rara Gendis Danerek, Agustinus Detik, Kang Embie C Noer, Kang To Namina, Rantau Siregarm Gomar Gultom, Trisno Soriton, Joko Purwadi, Dwi Joko Rusriyanto, Amink Derachman, Paulus Suryanto, Poltak Situmorang, Agus W Tetelepta, Ace Suhaedi Madsupi, Asep Sumekar Januar, Saut Situmorang, Saut Poltak Tambunan, .....rahayu..rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar