WAWASAN MULTIKULTURAL
PENDAHULUAN.
Sebelum kita percakapkan thema pada session ini, ada baiknya kita telusuri dulu secara leksikal (pengertian bahasa) mengenai Wawasan Multikultural. Judul tersebut diatas terdiri dari 2 kosa kata/bunyi, yaitu : Wawasan dan Multikultural. Kosa kata Wawasan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Mawas yang artinya waspada, hati-hati, berjaga-jaga, yang kemudian menjadi Wawasan yang berarti, lebih luas, lebih mengerti, lebih memahami. Kosa kata kedua yaitu, Multikultural. Satu istilah yang di adopsi dari bahasa Ingris dengan akar kata MULTI (aneka ragam, bermacam-macam, berbeda-beda) dan CULTURE (budaya). Ke-2 istilah bahasa Ingris itu kemudian memperkaya khasanah bahasa Indonesia yang member pengertian: banyak, beragam, bhineka budaya. Jadi Wawasan Multikultural, berarti: Memahami, Mengerti, Mempelajari, Aneka Ragam Budaya.
PENTINGKAH ITU?
Bukan hanya Penting tapi Harus. Ada dua indikasi yang membuat hal tersebut diatas, mau tidak mau mengharuskan kita untuk Memahami, Mengerti, Mempelajari, Wawasan Multikultural.
Pertama, Keadaan dan Situasi Negara Indonesia, yang sejak zaman dahulu kala terdiri dari Ribuan Pulau besar kecil dan tiap-tiap Pulau besar di huni berbagai komunitas dengan ragam/aneka Tradisi adat-istiadat dalam hidup keseharian, bahasa masing-masing, bahkan kepercayaan (agama). Seiring dengan itu, terjadi perpindahan penduduk antar pulau baik karena Program Transmigrasi, maupun oleh karena banyak factor, seperti Ekonomi, Kerja, Pendidikan, dst. Migrasi penduduk dari satu pulau ke pulau yang lain diikuti pula oleh tradisi, adat istiadat, bahasa bahkan Agamanya masing-masing. Situasi seperti itu, makin mengemuka di Indonesia, terutama karena akses transportasi antar pulau semakin baik dan modern bahkan canggih.
Kedua, Bangsa Indonesia berada dalam ruang lingkup Dunia, yang sekarang ini ‘sudah’ menjadi suatu ‘kampong global’ dimana masyarakat dunia tinggal bersama. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dengan hasil tehnologi yang mencengangkan, seperti Tehnologi Informasi, membuat Negara satu dan yang lain terasa tanpa batas; relasi individual di belahan Negara manapun terhubung satu sama lain. Bukan hanya itu akses yang ditimbulkan oleh IPTEK, tapi yang utama adalah Globalization (globalisasi) segala bentuk kehidupan masyarakat dunia. Artinya, Kejadian atau apapun peristiwa yang terjadi diatas permukaan Dunia, dalam hitungan menit bahkan detik sudah menjadi bagian dari masyarakat Dunia.
REALITAS YANG KITA HADAPI.
Di jaman Globalisasi sekarang ini, banyak persoalan yang timbul, sekaligus memberi peluang untuk perbaikan kehidupan di segala bidang. Persoalan-persoalan itu saya klasifikasi kedalam beberapa sub bahasan kita di kesempatan ini :
1. Persoalan Budaya. Budaya dalam pengertian umum meliputi, Bahasa, Tradisi – adat istiadat, dan bentuk-bentuk serta pola-pola dan cara-cara masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, termasuk Kepercayaan/Agama, nanti akan di bahas secara khusus sebagai Sub bahasan kertas kerja ini.
Budaya Masyarakat Indonesia, terbagi lagi menjadi sub budaya sesuai dengan suku/etnis yang ada dalam Masyarakat Indonesia. Ada Budaya orang Minangkabau, Budaya masyarakat Jawa, Budaya komunitas Bugis, Budaya Orang Toraja, Budaya Suku Batak, Budaya Etnis Nias, Budaya etnis Tionghoa, Budaya Masyarakat Maluku, Budaya Masyarakat Papua, dst.
Komunitas-komunitas budaya tersebut, bukan hanya berada dalam lingkup dan area asal daerah masing-masing, tapi menyebar dan bercampur baur hampir diseluruh Indonesia, terutama di masyarakat kota. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada tahun 2004 kemaren, di dapati bahwa tidak ada lagi daerah di Indonesia yang tidak Multikultural. Artinya, terjadi pembauran antar masyarakat, antar budaya dan antar pulau serta antar bahasa. Bahkan Budaya-budaya dari luar Indonesia pun membaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Persoalan kemudian terletak pada pembauran itu. Yang tadinya ‘hanya’ hidup dan bertetangga dengan masyarakat budayanya (tertutup/eksklusif), sekarang dipaksa oleh keadaan memiliki tetangga orang-orang lain yang bukan atau tidak terikat dalam budaya dan tradisi local, hidup bersama dalam satu kota, satu kampong, satu gang, satu kantor, satu sekolah/kampus, bahkan mungkin satu atap (menjadi inklusif).
Dalam situasi seperti itu, sering terjadi pergesekan antar budaya, pergesekan itu kemudian menimbulkan banyak benturan yang ledakannya kemudian amat merugikan baik dalam bentuk materi pun nyawa manusia. Belum lagi akibat yang ditimbulkan oleh lajunya tehnologi disegala bidang yang tiap saat menyerbu masyarakat dunia. Tehnologi Informasi misalnya, tiap waktu selalu ada pembaharuan, contoh yang kongkrit adalah Coumputer dan Telephone Celluler, dst.
Pembauran budaya melahirkan/menciptakan masyarakat multicultural disatu sisi, di pihak lain pembauran itu membawa konsekwensi-konsekwensi yang mengubah sudut pandang eksklusifisme menjadi inklisifisme. Siap tidak siap, mau tidak mau, kita berada dalam situasi dan suasana itu, kita hidup di dalam.
Pertanyaan kritis kemudian adalah, Bagaimana menghadapi Persoalan itu agar Budaya Local dan sub Local Suku/Etnis – Komunitas – Masyarakat, tidak menjadi punah dan tinggal sejarah saja?
Pada tahapan ini, di butuhkan Kearifan sekaligus kecerdasan masing-masing Budaya dan Sub Budaya Suku/Etnis – Komunitas – Masyarakat local khususnya dan Masyarakat Indonesia umumnya untuk melestarikan budaya-budaya itu oleh masing-masing Masyarakat, sekaligus kecerdasan untuk mampu menerima kehadiran orang lain dengan budaya yang menyertai orang lain tersebut.
Bagaimana caranya? Untuk menjawab secara Ilmiah akedemisi serta konperehenship, kertas kerja dan waktu yang kita miliki dalam sesi ini belum cukup. Tapi secara garis besar, dikemukakan dalam beberapa catatan dibawah ini :
1.1. Menjadikan Budaya Lokal sebagai salah satu muatan local dan mata
pelajaran utama kedaerahan, di sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, kalau perlu di Universitas yang ada didaerah tertentu ada
Fakultas untuk itu. Tetapi sekaligus menjadi pusat-pusat kajian
tentang Multikultural sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan
menjadi realitas kehidupan Berbangsa dan Bernegara bahkan
Realitas Masyarakat Dunia.
1.2. Peran orang tua amat penting untuk pelestarian budaya local. Orang
tua misalnya, tidak segan-segan mengajarkan dan memperkenalkan
budaya masyarakatnya kepada anak-anak.
1.3. Lembaga-lembaga budaya local (lsm, kerapatan, paguyuban, Surau,
dst) aktif dalam penelitian, dan memasyarakatkan/memberdayakan
masyarakat terhadap budaya local, sekaligus sebagai pusat-pusat di
mana masyarakat dapat belajar dan mengerti multikultural.
2. Pluralis Agama.
Catatan penting, Pluralis adalah Pengakuan terhadap adanya beberapa agama yang hidup dan dianut oleh masyarakat. Jadi bukan Pluralisme. Pluralisme sendiri berarti, mengakui bahwa semua agama itu sama. Paham yang terakhir ini, kita tolak bersama. Sebab masing-masing Agama memiliki kebenaran dan tidak bisa di tawar oleh Agama lain. Islam untuk penganut Islam, Kristen (Katholik dan Protestan) untuk penganut Kristen, Hindu untuk penganut Hindu, demikian pula untuk Budha, konghucu/Metakin.
Jadi bicara soal Pluralis berarti tentang kehadiran Agama lain selain Agama kita. Dan itu adalah Realitas yang sudah terbangun dalam sepanjang sejarah Bangsa Indonesia. Realitas itu, akhir-akhir ini agak terganggu dalam harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kejadian-kejadian Paskah Reformasi di beberapa daerah di Indonesia, amat memilukan dan memiriskan hati, sekaligus meninggalkan trauma yang berkepanjangan di benak kita bersama. Ketika Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945, Kesatuan Berbangsa dan Bernegara di naungi oleh Bhineka Tunggal Ika dalam satu wadah yang di sebut Indonesia. Pada awal-awal Kemerdekaan sampai pada masa ORLA, Masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan dengan tetap saling menghormati dan menjaga diantara sesame Pemeluk Agama dalam format toleransi yang amat tinggi, bahkan menjadi contoh bagi Negara-negara yang kondisi masyarakatnya serupa Indonesia. Pada masa ORBA persoalan kerukunan antara umat beragama diambil alih oleh Pemerintah tanpa adanya gerakan pertumbuhan kerukunan antar umat beragama yang berkembang secara alamiah. Artinya, Pemerintah ketika itu mengambil alih sesuatu yang seharusnya bertumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia dan menjadi pengalaman hidup bagi tiap pemeluk agama dan antar Agama. Akibat dari itu, masyarakat Indonesia selama 32 tahun, tidak memiliki pengalaman untuk belajar menerima dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Jadi sesudah reformasi 1997/1998 yang lalu, masyarakat Indonesia yang terkurung 32 tahun, menjadi histeris dan terbalut utopia kebebasan, seperti yang kita lihat dan alami sepanjang tahun 1998 sampai 2004 bahkan masih berbuntut dengan hadirnya beberapa kelompok keagamaan yang hidup eklusif bahkan cenderung sesat dan menafsir Isi kitab Suci Agama sekehendak hati kelompoknya.
Belajar dari pengalaman itu, Wawasan Multikultural menjadi penting dan suatu keniscayaan yang terus-menerus dikembangkan dalam lapisan masyarakat Indonesia. Penghargaan terhadap kehadiran orang lain dengan Agama yang berbeda ditengah kehidupan kita mestinya hal yang biasa-biasa saja atau wajar, mengingat bahwa sejak dahulu kala bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat Plural. Realitas itu, tidak bias dihapus, atau dihilangkan dari Bangsa dan Negara kita. Yang jadi persoalan kemudian adalah, kesedian kita untuk sama-sama dapat hidup berdampingan dengan tetap menghormati bahwa Agama yang dianut oleh Tetangga, teman kantor, teman dalam club kesenian dan olah raga, teman kuliah, teman dalam kelas, teman dalam satu rumah/atap (kost-kostan, Rusun, Apatement), teman dalam satu perjalanan, dengan tetap menjaga kehormatan Agama orang lain dan kekudusan Agama kita sendiri.
Relasi dan intensitas seperti itu yang dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang modern bahkan dalam masyarakat Dunia.
Bukankah Agama dan Iman kita, adalah hubungan yang teramat dalam pada Tuhan, yang tidak perlu dibawah-bawah dalam ranah public. Yang perlu kita waspadai adalah, kelompok-kelompok sempalan dari Agama yang sering kali menjadi pemicu disharmonis ditengah masyarakat kita. Termasuk didalamnya kelompok-kelompok tertentu yang mengatas namakan Agama untuk memperjuangkan kehendak kelompoknya sendiri tanpa peduli terhadap corak dan cirikhas bangsa Indonesia yang amat Plural ini.
CATATAN AKHIR.
Wawasan Multikultural di butuhkan oleh setiap komponen masyarakat Indonesia, baik oleh Pemerintah, Tokoh-tokoh Agama, Akademisi, Pendidik dan Tokoh-tokoh Masyarakat. Belajar menerima kehadiran orang lain (koeksistensi) dengan latar belakang yang menyertainya, memang tidak mudah dan membutuhkan waktu.
Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang amat Majemuk (multicultural) yang harus disadari oleh seluruh anak bangsa yang tersebar dari Pulau Sabbang di Barat sampai Pulau Papua di Timur. Kemajemukan itu mestinya kita pelihara bersama-sama dengan tetap utuh pada Agama dan Budaya kita masing-masing.
Masyarakat Dunia sekarang ini, adalah Masyarakat yang saling membutuhkan satu sama lain, tolong-menolong dan ketergantungan sesame masyarakat Dunia. Dalam hal ini, Indonesia pun terlibat di dalamnya.
Demikian kertas kerja ini, semoga bermanfaat bagi Wawasan Multikultural bagi Bpk/Ibu Guru Sekalian. Salam Sejahtera.
Disampaikan dalam ORIENTASI GURU MULTIKULTURAL Depertemen Agama Kantor Wilayah Prop. Sumatra Barat.
RW. Maarthin.
RWM.BOONG BETHONY