KEBERAGAMAAN SEBAGAI POTENSI DISINTEGRASI BANGSA
Nama “Indonesia” dicipta oleh seorang antropolog berkebangsaan Inggeris yang bernama James Richardson Logan, yang tinggal dan bekerja di Singapura, pada tahun 1850. Indonesia adalah Masyarakat yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang terbentang luas antara benua Asia dan Australia serta antara lautan Hindia dan lautan Teduh (Pasifik).
Awal dekade 1900 Pemuda-pemuda dalam komunitas masyarakat yang tersebut diatas mulai memperjuangkan kesatuan masyarakat dari penduduk di kepulauan yang luas tersebut dengan memakai nama INDONESIA! Yaitu mengambil-alih nama Indonesia, sehingga tidak lagi sebagai nama yang digunakan dalam lingkungan ilmuwan, melainkan menjadi nama dari suatu kesatuan sosial-politik yang baru, suatu bangsa yang baru. Pada tahun 1928, pemuda-pemuda itu berikrar sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia, dan satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia terdiri dari berbagai ras yang berbeda (baik asli, dari luar, maupun campuran); suku bangsa yang berbeda (bangsa Jawa, bangsa Bugis, bangsa Melayu, bangsa Batak, dsb.); berbagai agama yang berbeda, berasal dari banyak negara pribumi (kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Aceh, kerajaan Bugis, kerajaan Makassar, dll.); dan bercorak-ragam kebudayaan yang berbeda. Karena itu, semua keaneka-ragaman yang saling berbeda itu harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia.
Kita menjadi satu bangsa, bukan karena kita hanya satu ras yang sama, atau satu suku bangsa yang sama, atau satu agama yang sama, atau berasal dari satu negara pribumi yang sama, atau satu corak kebudayaan yang sama. Kita menjadi bangsa adalah tercipta dari perasaan pengorbanan yang telah kita buat dan alami di masa lampau secara bersama-sama dan secara bersama-sama kita melalui dan mengalami masa sekarang dengan kesepakatan-kesepakatan yang kita buat secara bersama-sama, dan selanjutnya, secara bersama-sama pula kita mau melewati masa depan untuk terus hidup bersama-sama. Pancasila di dalam simbol burung Garuda yang kedua kakinya mencengkram dengan kuat pernyataan Bhinneka Tunggal Ika merupakan puncak kesepakatan kita sebagai satu bangsa. Semua keaneka-ragaman dan perbedaan-perbedaan kita, kita cantolkan bersama-sama pada setiap sila dari Pancasila. Kita adalah bangsa majemuk yang menyatakan diri sebagai satu bangsa di tengah bangsa-bangsa yang lain.
Gerakan melawan Pancasila di masa lalu yang gagal adalah pengalaman kita sebagai bangsa. Pengalaman itu adalah bahwa sentralisme kekuasaan pada pemerintah pusat akan merongrong Pancasila. Seiring dengan itu, keberagamaan yang terbatas pada tataran skriptual, simbolik, ekslusif, dan sarat dengan klaim-klaim kebenaran, berkecenderungan untuk mengabaikan Pancasila.
Perjuangan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa adalah perjuangan besar. Itu kita raih karena kita semua (tanpa kecuali) berjiwa besar. Dengan jiwa besar itu pula kita menerima Pancasila. Jiwa arogansi, intoleransi, individualistis, materialistis tidak sejalan dengan jiwa besar kita sebagai bangsa.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dari “bangsa” Bugis, “bangsa” Makassar, “bangsa” Ambon, “bangsa” Jawa, “bangsa” Sunda, “bangsa” Batak, dan “bangsa-bangsa” lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia sekaligus sebagai orang dari ras pribumi, orang keturunan ras Arab, ras Tionghoa, ras India, dan ras-ras lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan melakoni aneka ragam corak budaya yang berbeda-beda. Semua kepelbagaian itu kita lalui di dalam sejarah dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa. Dominasi atas kepelbagaian / kebhinnekaan / kemajemukan, apalagi jika diperoleh dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan, terbukti telah menjadi ancaman keutuhan bangsa kita. Agama pun menjadi potensi disintegrasi bangsa ketika ia berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan. Agama berwajah kekerasan dengan semangat pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan telah mewujudnyata dalam kehidupan keagamaan kini di Indonesia, dan dengan kasat mata kita semua bisa melihat pihak-pihak yang menjadi korbannya (Jemaat Ahmadiyah, rumah ibadah umat Nasrani, budaya/tradisi lokal, herarchi hukum dan perundangan negara, dan lain-lain).
Ironis, lembaga keagamaan, dan juga negara (aparatnya: menteri agama, aparat keamanan dan hukum), yang menjadi tumpuan tempat berlindung bagi segenap warga bangsa (khususnya umat beragama), seringkali memberi angin dan membiarkan sikap keberagamaan berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan tersebut. Agama dengan wajah demikian, selanjutnya bermain di wilayah politik. Agama sering diusung ke gedung parlemen, kantor gubernur, dan menjadi tema pilkada. Akibatnya, agama menjadi barang mainan politisi. Keluhuran agama yang akarnya seharusnya tumbuh dari bawah di tengah-tengah rakyat, tiba-tiba melebarkan daunnya pada negara.
Awal dekade 1900 Pemuda-pemuda dalam komunitas masyarakat yang tersebut diatas mulai memperjuangkan kesatuan masyarakat dari penduduk di kepulauan yang luas tersebut dengan memakai nama INDONESIA! Yaitu mengambil-alih nama Indonesia, sehingga tidak lagi sebagai nama yang digunakan dalam lingkungan ilmuwan, melainkan menjadi nama dari suatu kesatuan sosial-politik yang baru, suatu bangsa yang baru. Pada tahun 1928, pemuda-pemuda itu berikrar sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia, dan satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia terdiri dari berbagai ras yang berbeda (baik asli, dari luar, maupun campuran); suku bangsa yang berbeda (bangsa Jawa, bangsa Bugis, bangsa Melayu, bangsa Batak, dsb.); berbagai agama yang berbeda, berasal dari banyak negara pribumi (kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Aceh, kerajaan Bugis, kerajaan Makassar, dll.); dan bercorak-ragam kebudayaan yang berbeda. Karena itu, semua keaneka-ragaman yang saling berbeda itu harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia.
Kita menjadi satu bangsa, bukan karena kita hanya satu ras yang sama, atau satu suku bangsa yang sama, atau satu agama yang sama, atau berasal dari satu negara pribumi yang sama, atau satu corak kebudayaan yang sama. Kita menjadi bangsa adalah tercipta dari perasaan pengorbanan yang telah kita buat dan alami di masa lampau secara bersama-sama dan secara bersama-sama kita melalui dan mengalami masa sekarang dengan kesepakatan-kesepakatan yang kita buat secara bersama-sama, dan selanjutnya, secara bersama-sama pula kita mau melewati masa depan untuk terus hidup bersama-sama. Pancasila di dalam simbol burung Garuda yang kedua kakinya mencengkram dengan kuat pernyataan Bhinneka Tunggal Ika merupakan puncak kesepakatan kita sebagai satu bangsa. Semua keaneka-ragaman dan perbedaan-perbedaan kita, kita cantolkan bersama-sama pada setiap sila dari Pancasila. Kita adalah bangsa majemuk yang menyatakan diri sebagai satu bangsa di tengah bangsa-bangsa yang lain.
Gerakan melawan Pancasila di masa lalu yang gagal adalah pengalaman kita sebagai bangsa. Pengalaman itu adalah bahwa sentralisme kekuasaan pada pemerintah pusat akan merongrong Pancasila. Seiring dengan itu, keberagamaan yang terbatas pada tataran skriptual, simbolik, ekslusif, dan sarat dengan klaim-klaim kebenaran, berkecenderungan untuk mengabaikan Pancasila.
Perjuangan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa adalah perjuangan besar. Itu kita raih karena kita semua (tanpa kecuali) berjiwa besar. Dengan jiwa besar itu pula kita menerima Pancasila. Jiwa arogansi, intoleransi, individualistis, materialistis tidak sejalan dengan jiwa besar kita sebagai bangsa.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dari “bangsa” Bugis, “bangsa” Makassar, “bangsa” Ambon, “bangsa” Jawa, “bangsa” Sunda, “bangsa” Batak, dan “bangsa-bangsa” lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia sekaligus sebagai orang dari ras pribumi, orang keturunan ras Arab, ras Tionghoa, ras India, dan ras-ras lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan melakoni aneka ragam corak budaya yang berbeda-beda. Semua kepelbagaian itu kita lalui di dalam sejarah dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa. Dominasi atas kepelbagaian / kebhinnekaan / kemajemukan, apalagi jika diperoleh dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan, terbukti telah menjadi ancaman keutuhan bangsa kita. Agama pun menjadi potensi disintegrasi bangsa ketika ia berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan. Agama berwajah kekerasan dengan semangat pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan telah mewujudnyata dalam kehidupan keagamaan kini di Indonesia, dan dengan kasat mata kita semua bisa melihat pihak-pihak yang menjadi korbannya (Jemaat Ahmadiyah, rumah ibadah umat Nasrani, budaya/tradisi lokal, herarchi hukum dan perundangan negara, dan lain-lain).
Ironis, lembaga keagamaan, dan juga negara (aparatnya: menteri agama, aparat keamanan dan hukum), yang menjadi tumpuan tempat berlindung bagi segenap warga bangsa (khususnya umat beragama), seringkali memberi angin dan membiarkan sikap keberagamaan berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan tersebut. Agama dengan wajah demikian, selanjutnya bermain di wilayah politik. Agama sering diusung ke gedung parlemen, kantor gubernur, dan menjadi tema pilkada. Akibatnya, agama menjadi barang mainan politisi. Keluhuran agama yang akarnya seharusnya tumbuh dari bawah di tengah-tengah rakyat, tiba-tiba melebarkan daunnya pada negara.
Seminar ini juga mencermati agama sebagai potensi disintegrasi bangsa. Untuk itu, disarankan pikiran-pikiran dan sebuah pertanyaan berikut:
1. Umat beragama atas bimbingan para pemimpinnya lebih memokuskan perhatian kepada kitab suci masing-masing, seraya mencoba memahami kitab suci yang lain dan berbagai corak pemahaman/sikap keberagamaan umat yang lain.
2. Toleransi tidak cukup dinyatakan dan dihimbaukan, melainkan mesti disikapi dan diberi contohnya.
3. Mencermati kemungkinan egosentrisme keagamaan sedang menimpa diri kita, seraya menumbuhkan terus kesadaran bahwa kita sedang berada di zaman kita sendiri, bukan zaman umat beragama di masa yang sudah silam.
4. Mari dengan tulus dan semampu kita mendorong dan memulihkan citra dan wibawa pemerintah agar seluruh aparatnya berfungsi sungguh-sungguh di dalam mengayomi segenap rakyat yang majemuk ini.
5. Mari memulihkan dan menyegarkan kembali rasa kebangsaaan kita yang mencakup semua unsur dan kelompok yang berbeda-beda, seraya membenahi dan memperbaiki pendidikan kita masing-masing yang diharapkan daripadanya lahir generasi yang memiliki kesadaran kebangsaan yang lebih baik.
6. Bangun pendidikan, di mana agama dikaji dan lebih concern kepada kesulitan dan tantangan social yang dialami oleh warga bangsa kita.
7. Pertanyaan yang mesti kita renungkan jawabannya ialah: apakah agama yang kita anut memang memiliki kemampuan untuk bersanding dengan agama-agama yang berbeda dan, atau, benarkah agama yang kita anut mampu mengindonesia yang nyata-nyata sebagai bangsa yang mejemuk, atau, Indonesia adalah ruang yang tidak terlalu tepat untuk agama kita?
Seminar Kebangsaan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an, Jakarta, Oktober 2007.
RWM.BOONG BETHONY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar