inaSeko
Institut Advokasi & Pemberdayaan Masyarakat Tanah Seko
Institute of Advocacy & Empowerment of ToSeko
Gabah Berserakan: Lintasan Sejarah Masyarakat Seko*
Oleh Zakaria J. Ngelow
Hono', Pohoneang, Beroppa': lipu sitandi laliang; to Seko sa'tokesan buria’...
Masyarakat Seko mengalami perubahan-perubahan sosial mendasar sejak tahun 1920-an akibat masuknya agama Kristen serta administrasi kolonial, kemudian berturut-turut pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan Indonesia, pendudukan DI/TII, dan munculnya pemerintahan Orde Baru. Karangan ini memperlihatkan pokok-pokok perubahan-perubahan itu, yang berlangsung antara tahun 1923 s/d tahun 1967.
Periode sekitar setengah abad tersebut dapat dibagi atas empat babakan sejarah, yakni datangnya dunia baru (1923-1945), mendung di langit Seko (1946-1953), tesebar dalam pengungsian (1954-1963), dan Seko menegakkan kehormatan (1964-1967).
Bahan-bahan untuk tulisan ini diperoleh dari penuturan lisan para pelaku sejarah yang penulis sempat kumpulkan melalui serangkaian wawancara. Selain itu ayahanda penulis, Y.K. Ngelow, juga menulis catatan-catatan pengalamannya sejak zaman Jepang sampai menjadi salah seorang pemimpin masyarakat pengungsi Seko di daerah Makki. Salah seorang tokoh masyarakat Seko, P.K. Bethony, juga menulis suatu karangan panjang mengenai pengalaman-pengalamannya. Seorang tokoh lainnya, S.P. kalambo, secara khusus menulis mengenai gerakan masyarakat Seko menumpas gerombolan DI/TII di Seko pada tahun 1964 dalam suatu operasi yang disebut Operasi Pong Huloi. Karangan-karangan itu masih berupa manuskrip yang belum diterbitkan.
Seko Silam
Masyarakat Seko pada mulanya suatu masyarakat tradisional yang relatif terpencil dalam lingkup wilayah geografisnya di pegunungan yang memang jauh dari jangkauan komunikasi dan transportasi. Hubungan dunia luar terjadi dalam bentuk perjalanan-perjalanan melintasi rimba raya ke arah wilayah Rongkong dan terus ke Masamba di arah Selatan, untuk mendapat garam, maupun dalam kaitan dengan urusan-urusan pemerintahan tradisional sebagai wilayah kekuasaan kapayungan Luwu. Ada pula hubungan-hubungan perang dan damai dengan suku-suku sekitar (Galumpang di sebelah Barat, Kulawi di sebelah Utara) yang al. berkaitan dengan tradisi religius mengayau masyarakat Seko, sebelum pemerintah kolonial masuk dan melarang pengayauan.
Asal-usul masyarakat ini hanya dikenal dari tuturan lisan bahwa penduduk kedua kampung asal, Hono’ dan Pohoneang, berasal dari keturunan seorang tokoh yang disebut Tomessalu (= Yang datang menyusur sungai). Penulis menduga datangnya dari sebelah Barat dengan menyusur sungai Karama. Kedua sub-suku ini memakai bahasa Seko, yang nampaknya tidak serumpun dengan bahasa Toraja yang lasim di daerah Luwu, Toraja, Enrekang, Mamasa dan Mamuju. Bahasa Seko mempunyai banyak kemiripan dengan bahasa To Panasuan di lereng gunung Sandapang sebelah Barat kampung Pohonenang. Kampung Hono’ terletak di dataran luas (=padang) di bagian Timur Seko, sehingga masyarakatnya lasim disebut To Padang. Penduduk kampung Beroppa’, yang merupakan unsur ke-3 dalam masyarakat Seko, adalah perpindahan sejumlah orang Rongkong (mula-mula dari Kanandede), yang tidak tahan terhadap kesewenang-wenangan para pemimpin masyarakatnya. Kaum eksodus ini disambut oleh para pemuka masyarakat Seko di Pehoneang dan diberi tempat pemukiman di daerah Lemo, di sebelah Barat dekat sungai Uro, setelah beberapa lamanya menetap bersama. Mereka kemudian dikenal sebagai To Lemo, dengan bahasa Rongkong yang merupakan suatu dialek bahasa Toraja. Mereka akhirnya membangun kampungnya di bukit Beroppa’, sehingga juga dikenal sebagai To Beroppa’.
Hubungan perang dan damai kadang terjadi antara ketiga fihak, namun juga berlangsung ikatan-ikatan kekeluargaan melalui perkawinan. Demikianlah sub-suku To Pohoneang, To Hono’ (To Padang) dan To Beroppa merupakan tiga serangkai masyarakat Seko yang tumbuh dalam sejarah, hubungan-hubungan perkawinan dan menyatu dalam daerah yang sama, menjadi satu persekutuan ibarat tiga batu tungku mengikuti tiga gunung di wilayah Seko: Kambuno, Malimongan, Baba. Lambat laun penduduk ketiga kampung berkembang dan kampung-kampung baru dibentuk, antara lain: Kariango dan Lantang Tedong di Beroppa’, Hoyane dan Amballong di Pohoneang, serta Eno dan Lodang di Hono’. Sejumlah orang Rampi dari sebelah Timur berpindah mendirikan kampung Singkalong di Seko Padang. Penduduk hidup bertani mengikuti aturan-aturan ketat adat dan keagamaan yang lasim dalam masyarakat agraris tradisional.
Ketiga kelompok ini mempunyai bentuk-bentuk kesenian masing-masing, yang terutama ditampilkan pada masa pesta panen. Nyanyi dan tarian ma’baendon, ma’tindallung, molere, mohokke, tarian sumajo (perempuan), mangaru’ (tari perang) dan ma’dodakan merupakan bentuk-bentuk kesenian tradisional, yang dewasa ini telah banyak dilupakan. Dekat Pohoneang terdapat hatu rondo (=batu berukir), batu besar berdiameter sekitar 4 - 5 meter dan tinggi 1,5 - 2,5 meter yang di permukaannya terdapat lukisan-lukisan kuno yang dipahat menggambarkan telapak kaki, ayam, kapak, nyiru, lesung dan orang menumbuk, dan orang memegang tombak.
Masa silam masyarakat Seko tidak banyak dikenal. Sebagaimana lasimnya dalam tradisi lisan, masa silam diungkapkan melalui silsilah dan kisah-kisah heroik. Ada kisah tentang Talambia, seorang raksasa yang sewenang-wenang mengambil kerbau dan menguras lumbung padi masyarakat. Tetapi kemudian dia dibunuh dengan memberinya makan bulatan besar nasi ketan berisi besi yang dipijarkan. Mungkin itu sebuah tamsil. Ada kisah yang lebih historis tentang Pong Huloi, seorang gembala kerbau yang dengan kearifannya berhasil memimpin para pahlawan perang (=tobarani) memenangkan suatu pertempuran. Kemudian ada kisah tentang serbuan orang Kulawi yang membumi hanguskan Pohoneang. Penduduknya mengungsi ke Beroppa dan beberapa bulan bertahan dalam kampung berbenteng di puncak bukit itu sampai akhirnya pasukan Kulawi pulang tanpa kemenangan. Sejumlah orang Seko masih menyimpan pinae (=kelewang) yang direbut leluhurnya dari tangan musuh-musuhnya di medan perang.
Kisah historis lainnya mengenai Ma’roak, seorang tokoh berperawakan tinggi besar dari daerah Galumpang, Mamuju, yang merajalela merampas milik masyarakat di daerah Pohoneang. Dua orang tobarani dari Beroppa’ berhasil mengalahkan dan memenggal kepalanya. Tengkoraknya, yang mencolok besarnya (sebesar kurin bai =belanga besar yang lasim untuk memasak makanan babi), dikuburkan bersama tengkorak lainnya pada zaman Jepang. Kelewang yang dipakai membunuh tokoh yang kabarnya sangat kebal dan sakti itu masih disimpan keturunan sang tobarani, demikian juga pefo (kain cawatnya) yang lebarnya sekitar setengah meter dan panjangnya sampai tujuh meter.
Satu-satunya karangan mengenai masa silam masyarakat Seko yang penulis dapatkan adalah suatu uraian dari J. Kruyt, zendeling dari daerah Poso, yang diterbitkan pada tahun 1920, mengenai tradisi pesta panen dan tattoo. Dalam pesta itu dilakukan ritus pengorbanan seorang gadis (tandasang) kepada dewa-dewa. Sang gadis dibunuh – setelah beberapa lamanya dilimun (=dipingit dalam rumah dan diberi makan yang enak-enak)– dengan menumbuknya hidup-hidup dengan alu dalam lesung panjang, lalu diarak dari rumah ke rumah untuk diteteskan darahnya di lesung-lesung di setiap rumah sekampung. Tengkoraknya dikumpulkan dalam lumbung tengkorak. Di Beroppa’ seluruh tengkorak itu dikuburkan setelah penganut agama suku beralih seluruhnya ke agama Kristen pada masa pendudukan Jepang. Dalam rangka pesta itu pula dilakukan seni moronno (men-tatto): sejumlah perempuan muda dari kaum bangsawan di-tatto sekujur tubuhnya dari pusar ke atas. Sehari-hari mereka bertelanjang dada, tidak perlu mengenakan baju lagi. Karangan itu memuat gambar-gambar tatto yang lasim di Seko.
Karakter khas ketiga kelompok orang Seko juga berbeda. To Beroppa’ cenderung militan dan reaktif mengandalkan kekuatan fisik, To Pehoneang pendiam dan cenderung masa bodoh, sedangkan To Padang lemah solidaritasnya dan kadang-kadang sulit dipahami keinginannya. Memang ada perbedaan-perbedaan karakter, namun sikap dasar bersama adalah keterbukaan, keramahan dan persaudaraan, sebagaiamana arti nama “seko”: sahabat. Kenalan atau kerabat antara kampung sering saling mengunjungi dan bertukar cindra mata. Orang Pehoneang mahir membuat belanga dari tanah liat yang bermutu. Di daerah Beroppa’ orang menggali batu besi dan meleburnya untuk ditempa menjadi perkakas pertanian dan peperangan: sekop, tajak, parang, kapak, tombak, kelewang dan sebagainya.
Setiap kampung merupakan satu kesatuan yang otonom. Susunan masyarakat terdiri atas kaum pemimpin, rakyat kebanyakan dan para budak. Ada beberapa fungsi kepemimpinan yang masing-masing dipegang oleh beberapa orang. Tomokaka/Tobara’ merupakan pemimpin masyarakat, sedangkan urusan keagamaan dipegang seorang imam (di Beroppa’ disebut Tosiaja’). Masalah-masalah adat berada di bawah Matua Tondok. Keputusan-keputusan penting ditetapkan bersama dalam permusyawaratan. Setelah masuknya pemerintahan kolonial, jabatan Kepala Kampung diadakan, dan kemudian seluruh Seko dijadikan satu distrik dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Paulus Kalambo, Tomokaka Beroppa’, diangkat menjadi Kepala Distrik Seko yang pertama pada tahun 1930-an. Ia berpindah dari Beroppa ke Seko Padang, mendirikan kampung Busak. Kaum perempuan tidak memegang jabatan kepemimpinan namun diakui peranannya dan diminta persetujuannya dalam pertemuan-pertemuan kekeluargaan maupun musyawarah masyarakat. Di kalangan rakyat terdapat orang-orang yang dihormati sebagai orang kaya (mempunyai banyak kerbau dan lumbung padi kain dan harta lainnya) dan para tobarani (=pemberani, pasukan perang). Kaum budak adalah orang-orang yang dibeli (lasimnya gadis remaja dari Toraja yang dibawa ke Seko untuk dibarter dengan kerbau), musuh yang ditawan dalam peperangan, atau orang yang melanggar adat yang tidak mampu membayar dendanya. Setelah agama Kristen masuk para budak dibebaskan dan sistim perbudakan dihapuskan.
Cahaya Baru Bersinar
Sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial, jajaran Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru (orang Ambon dan orang Minahasa) untuk membuka sekolah rakyat di daerah-daerah terpencil pedalaman Sulawesi, termasuk daerah Seko. Tahun 1923 dibuka sekolah rakyat (3 tahun) di Pehoneang dan kemudian di antara Beroppa dan Kariango (di Pebatuan). Anak-anak usia sekolah dipaksa bersekolah. Anak yang menolak bersekolah orangtuanya didenda kerja rodi. Sekolah ini pula yang dipergunakan untuk menyebarkan agama Kristen di kalangan masyarakat. Murid-murid sekolah diajar membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan menggambar. Bahasa pengantar adalah bahasa Toraja dan bahasa Melayu. Bahan-bahannya umumnya berhubungan dengan agama Kristen, sehingga para murid memahami dan lambat laun menerima agama Kristen. Diduga baptisan pertama dimulai sekitar tahun 1927 atau 1928. Mereka mempengaruhi orang tuanya dan sejumlah orang tua menerima agama Kristen. Para orang tua ini bersama guru-guru sekolah merupakan penginjil yang ulet dan berusaha mempengaruhi kerabat dekat mereka. Penginjilan yang lebih sistematis dijalankan setelah wilayah Seko diserahkan kepada GZB, suatu badan penginjilan dari negeri Belanda, yang mengutus H. van Weerden melayani daerah Rongkong dan Seko. Van Weerden, dengan bantuan sejumlah guru, melakukan tugasnya dengan baik dan mendirikan jemaat-jemaat dan membina sejumlah tenaga penginjil asal Rongkong dan Seko, serta menetapkan aturan-aturan kehidupan gereja. Van Weerden menetap di daerah Rongkong (Salu Tallang) dan membangun sebuah rumah besar yang masa itu dikenal sebagai “rumah seratus jendela”. Sampai pendudukan Jepang agama Kristen telah dianut sekitar 30-40% penduduk Seko dan bersama-sama dengan daerah Rongkong merupakan wilayah pekabaran Injil GZB yang paling maju.
Dunia pendidikan cukup menarik perhatian masyarakat Seko sejak awal. Beberapa orang yang dianggap mampu disekolahkan sampai ke Masamba. Bahkan Kalambo, kepala distrik Seko, berusaha menyekolahkan anak-anaknya dengan serius dan mendirikan Mata Lalan (=perintis) suatu lembaga bantuan biaya dari kas (lumbung padi) masyarakat bagi anak-anak Seko yang cerdas. Beberapa anak Seko kelahiran tahun 1920-an dan 30-an menamatkan pendidikan dan menjadi guru di berbagai tempat.
Agama Islam di Seko mulai-mula diperkenalkan oleh para pedagang Bugis dan Enrekang (orang Duri) sejak tahun 1930-an. Ada yang menetap dan kawin dengan penduduk setempat. Beberapa bangsawan Luwu’ dari daerah pantai juga menetap dan kawin dengan penduduk setempat di kampung yang berbeda-beda, misalnya Andi’ Appe’ di Beroppa dan Opu Tosale di Lodang. Terdapat pula keluarga keturunan Tionghoa yang menetap di kampung-kampung Seko sebagai pedagang (membuka kedai barang-barang kelontongan yang dibarter dengan kopi). Mereka disebut oleh penduduk setempat sebagai Baba’: Baba’ Beroppa’, Baba’ Patimang di Pehoneang dan Baba’ Layung dan Baba Gintu di Hono’. Maka agama Kristen dan agama Islam menjadi dua agama yang dianut masyarakat yang hidup berdampingan secara damai, masing-masing memberi pedoman hidup bagi masyarakat Seko, laksana aliran kedua sungai, Betue dan Uro.
Penguasa Jepang melarang agama suku dan memaksa penduduk yang beragama Suku untuk memilih masuk Kristen atau masuk Islam. Umumnya penduduk memilih agama Kristen, tetapi sampai awal tahun 1950-an banyak yang tidak sempat dibaptis. Walaupun agama Kristen dipeluk oleh mayoritas masyarakat Seko, persaudaraan dengan warga Muslim tetap berjalan baik, juga kemudian setelah peristiwa-peristiwa pahit pendudukan gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar.
Para pemimpin gereja berusaha menghapuskan berbagai tradisi pra-Kristen dari masyarakat Seko, namun adat massalu (orang sakit parah dipaksa mengakui kesalahannya yang dianggap penyebab penyakitnya) tetap berlangsung, dan kesetiaan terhadap pantangan mengunjungi pekuburan kecuali kalau ada pemakaman orang mati atau pada peringatan hari kematian Tuhan Yesus Kristus (hari Jumat Agung). Tetapi syair-syair kesenian ma’baendon (tarian dan nyanyian massal pada pesta panen) di kalangan To Beroppa’ diisi dengan puji-pujian Kristiani. Agama Kristen masuk dengan menggunakan bahasa Toraja dalam terjemahan Alkitab dan Mazmur-Tahlil, serta bahasa liturgi, sehingga bahasa daerah setempat sangat dipengaruhi bahasa Toraja.
Hal terpenting yang dilakukan penguasa Jepang di Seko adalah memobilisasi para pemuda dalam organisasi kepemudaan Seinendan. Untuk pertama kalinya melalui wadah ini para pemuda dari kampung-kampung yang berbeda dipertemukan dan dibina bersama melalui latihan-latihan semi kemiliteran. Masa pendudukan Jepang juga banyak dikenang sebagai masa susah karena kurangnya pakaian dan makanan. Tetapi latihan-latihan bagi para pemuda itu kemudian sangat bermanfaat ketika mereka menghadapi situasi baru perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Mendung di Langit Seko
Panggilan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia terhadap pendudukan NICA (The Netherlands Indie Civil Administrastion), suatu badan bentukan Sekutu untuk mengembalikan Indonesia ke penjajahan Belanda, mempertemukan pemuda-pemuda Seko dengan sesama pejuang di daerah Luwu. Daerah ini terus berusaha melakukan perlawanan sampai tahun 1949, ketika perjuangan di daerah-daerah lain telah dipadamkan. Sayang bahwa perjuangan itu juga diwarnai konflik-konflik internal sehingga sejumlah pemimpin dan guru Kristen di daerah Luwu dibunuh dengan tuduhan mata-mata Belanda. Dua orang pemuda Seko dari Beroppa’, Lamba’ Kalambo dan Betulang Tomallo’, gugur di Rantepao, Tana Toraja, ditembak aparat NICA pada tahun 1945. Gugurnya pimpinan pemuda dari Seko itu terkait pula dengan konflik internal tersebut. Konflik-konflik itu sempat memunculkan gagasan sejumlah pemimpin daerah-daerah pegunungan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen untuk keluar dari kesatuan pemerintahan Luwu dan bergabung dengan Tana Toraja.
Sementara itu pasukan NICA menangkap banyak pejuang dari Seko, dan bersama para pejuang lainnya dipenjarakan di Masamba. Sebagian dibawa ke penjara di Makassar, dan dari mereka itu sebanyak 12 orang dibuang ke penjara Nusa Kambangan. Salah seorang dari mereka, Y.K. Ngelow dari Beroppa’, dibaptiskan di gereja Indische Kerk di Cilacap pada tahun 1948. Mereka baru dibebaskan pada tahun 1950, setelah berlangsung penyerahan kedaulatan dari fihak pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia.
Pengungsi Berserakan
Bebas dan pulangnya sejumlah pemuda Seko dari penjara kolonial ternyata bukan akhir dari tantangan generasi itu. Suatu kenyataan baru muncul di Seko pada tahun 1952, yakni anggota gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Mula-mula beberapa pemuda Seko eks-pejuang kemerdekaan bergabung dengan perjuangan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang kemerdekaan dari Sulawesi Selatan itu. Tetapi setelah DI/TII memaksakan peng-Islam-an penduduk dan adanya berbagai tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat maka sebagian pemuda Seko keluar dari perjuangan itu. Bahkan di Beroppa’, salah seorang eks-pejuang memimpin upaya-upaya perlawanan terhadap pendudukan gerombolan DI/TII. Tetapi pertimbangan-pertimbangan yang arif dari para tua-tua masyarakat mendorong para pemuda untuk menempuh jalan lain. P.K. Bethony dan beberapa pemuda masyarakat Seko (Y. Lembe, Pottanubu', Oso' dan Yohan Pangemanan) dibawa DI/TII sampai ke markasnya di lereng gunung Latimojong sebagai bagian dari rekrutmen tokoh masyarakat ke dalam gerombolan DI/TII. Tetapi setelah beberapa lama mereka berhasil melarikan diri dan melapor kepada TNI di Palopo. Di Rongkong beberapa guru dan tokoh masyarakat dibunuh gerombolan, termasuk Pdt. Sangka’ Palisungan, yang ditangkap bersama dua orang guru jemaat dan di bunuh di daerah Malangke’. Pada tahun 1953 penduduk mulai mengungsi, sebagian dapat ditangkap oleh gerombolan dan dieksekusi. Pada tahun 1953 sampai 1955 terbunuh sekitar 50 orang di tangan gerombolan DI/TII (lihat Lampiran). Hari Minggu, tanggal 27 September 1953 delapan pemuda Pohoneang dieksekusi di hadapan ratusan masyarakat yang dipaksa datang dari kampung-kampung lain untuk menyaksikan. Mereka sudah melarikan diri tetapi kembali ke kampung lalu ditangkap. Pada bulan Juni 1954 Guru Injil Rapa’ di Beroppa’ melarikan diri bersama serombongan penduduk. Sejumlah rombongannya terbunuh atau hilang dalam pengejaran gerombolan di hutan, dan Guru Injil Rapa’ bersama tujuh orang lain yang tertangkap dieksekusi di beroppa’.
Pengungsian besar-besaran penduduk Beroppa’ dan Pohoneang berlangsung beberapa bulan kemudian. Mereka mengungsi ke daerah Karama (Galumpang) di sebelah Barat Seko. Kampung-kampung yang mereka tinggalkan dibakar gerombolan setelah harta beda yang ditinggalkan dijarah. Ternak kerbau yang dibiarkan lepas setengah liar di padang rumput juga diambil gerombolan. Pengungsian dari kedua kelompok masyarakat Seko itu berlangsung sampai tahun 196o-an.
Pada bulan September/Oktober 1954 para pemuda Seko dalam satuan OPR bersama pasukan pemuda Galumpang dari pengungsian di Makki berusaha menggempur gerombolan DI/TII di Pohoneang. Kesalahan informasi mengenai kekuatan musuh menyebabkan mereka gagal, namun memaksa gerombolan meninggalkan Pohoneang dan menetap di Eno. Perang melawan satuan Lereng Cinta DI/TII itu menelan korban 11 orang pasukan pemuda Seko.
Di daerah Galumpang para pengungsi masyarakat Seko dihimpunkan di beberapa tempat untuk membangun kampung-kampung terpisah sesuai perkampungannya di Seko. Guru Injil (kemudian menjadi Pendeta) Pattikayhatu yang memimpin masyarakat Galumpang keberatan terhadap upaya menghimpun pengungsi Seko untuk berkampung tersendiri. Ia berharap bahwa masyarakat Seko yang relatif lebih maju dalam pendidikan dan Kekristenan dapat membaur dengan penduduk Galumpang supaya mempengaruhi mereka ke arah tingkat pendidikan dan Kekristenan yang lebih baik. Tetapi para pemimpin Seko berpikir sebaliknya: pembauran akan menimbulkan banyak konflik dan juga akan melemahkan pendidikan dan Kekristenan mereka mengikuti penduduk . Demikianlah pengungsi Seko mendirikan kampung-kampung Kapai’, Rante Lo’po’, Timbu, Lantang Tedong, Tappo, Matandona, Pemanikan, dan Pattung di daerah Makki (Karataun), serta Ladang dan Ledo di Karama. Sebagian orang Beroppa’ yang mengungsi sampai ke Toraja mendirikan kampungnya di To’tallang (daerah Pangala’), tetapi kemudian sebagian pindah ke Seriti, daerah Lamasi, Kab Luwu. Pada masa pengungsian ini masyarakat Seko di Makki dan Karama mendirikan jemaat-jemaat, dan secara swadaya membuka sekolah (SR, SMP) yang kemudian dinaungi Yayasan Pendidikan Kristen Toraja (YPKT), serta membentuk pasukan keamanan (OPR/OPD Seko). Pasukan-pasukan Seko ikut serta dalam mempertahankan keamanan di Toraja dan di daerah PUS/Mamasa pada tahun 1950-an. Tahun 1962 perwira polisi asal Seko, Y.K. Kalambo, sempat membawa lebih 20 kepala keluarga dari Makki ke Gorontalo untuk menetap di sana, tetapi sebagian besar kembali lagi ke Makki.
Perlu dicatat bahwa selama pengungsian di Makki tidak ada perhatian dari fihak pemerintah untuk membantu para pengungsi Seko dengan bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Demikian juga pelayanan gereja (Gereja Toraja) jarang dilakukan, sementara tidak ada pendeta yang ditempatkan di tengah-tengah mereka (masa itu Gereja Toraja kekurangan tenaga pendeta). Sesekali ada pelayanan sakramen dan pemberkatan nikah dilakukan pendeta yang diutus dari Toraja, atau oleh pejabat Gereja Toraja Mamasa yang mengunjungi wilayah Galumpang. Baru pada tahun 1961, Daniel P. Kalambo, putera Seko yang menyelesaikan studinya di sekolah pendeta Makassar, diangkat menjadi pendeta Gereja Toraja untuk masyarakat Seko di Makki. Beliau melayani masyarakat Seko di Makki dan di Seko sampai tahun 1973, lalu masuk dinas militer.
Mengungsi ke Utara
Untuk beberapa waktu lamanya penduduk di daerah Seko Padang berada di bawah kekuasaan gerombolan DI/TII. Orang-orang dari Pehoneang dan sekitarnya yang tidak sempat mengungsi dikumpulkan gerombolan di Seko Padang. Beberapa orang suami atau isteri yang terpisah dengan keluarganya dikawini gerombolan atau dikawinkan dengan orang lain. Mereka semua dipaksa memeluk agama Islam. Tetapi mereka juga berusaha untuk melarikan diri dari penindasan itu dengan mengungsi secara berkelompok melintasi pegunungan perbatasan dengan daerah Kulawi di sebelah utara. Perjalanan berhari-hari di rimba raya mereka tempuh sampai ke kampung-kampung orang Kulawi. Mereka hidup dengan membantu bekerja di kebun orang Kulawi yang memberi mereka makanan dan tumpangan.
Pelarian orang Seko ke Kulawi berlangsung beberapa kali. Kadang-kadang mereka dikejar gerombolan sampai ke daerah Kulawi. Mereka yang tertangkap dibunuh dalam perjalanan kembali ke Seko. Belum diperoleh data lengkap mengenai jumlah dan nama para korban masa itu. Para pemimpin pelarian Seko dalam gelombang-gelombang pengungsian adalah Gr. Injil Taeli, Kepala Kampung Yusak Taeteng, Gr Injil P. Kalesu, guru Tadao, guru Y.T. Saniang. Tanggal 13 Februari 1956, J. K. Kalambo, seorang perwira polisi asal Beroppa’, dengan pasukannya menyelamatkan sekitar 500 orang dalam rangka menyelematkan adiknya (Nyora Minanga, isteri P.K. Bethony) dari tangan gerombolan dan membawa mereka ke Omu. [Kemudian lagi seorang anggota polisi lainnya asal Hono’, Taboki, pada tahun 1963 membawa sejumlah keluarga ke Palolo, setelah sebelumnya menembak mati seorang anggota gerombolan DI/TII yang membunuh orang tuanya. Bulan November 1963 sejumlah sukarelawan orang Seko bersama orang Toraja mengambil sekitar 600 dari Seko Padang orang membawa mereka ke Palolo.]
Pada tahun 1956 para pengungsi Seko di daerah Kulawi dikumpulkan pemerintah dan dimukimkan di Omu, 40 KM sebelah Selatan kota Palu. Mereka diurus oleh Dinas Sosial dan di tempatkan dalam barak-barak dengan makanan dan fasilitas yang tidak memadai sehingga banyak yang sakit dan meninggal. Setelah lolos dari kekuasaan gerombolan DI/TII para pengungsi Seko itu kembali ke agama Kristen dan membentuk jemaat-jemaat. Sebagiannya tetap menganut agama Islam. Guru Injil Kalesu membawa sejumlah pengungsi membuka perkebunan dan perkampungan di hutan lembah Palolo, dekat Danau Lindu. Mereka diorganisir dalam jemaat yang kemudian menggabung ke Gereja Protestan Indonesia Donggala. Sebagian jemaat pengungsi tetap berada dalam Gereja Toraja. Tahun 1956 sejumlah lebih 40 orang pemuda Seko di pengungsian Omu’ direkrut oleh Frans Karangan (waktu itu Komandan Kompi berpangkat Letan Satu) menjadi pasukan TNI, seperti Tapepa’ Lindang, Tabuntiti, Saul Sadi’, Tabangkalang, Piter Kalesu.
Rombongan Dibantai
Pada tahun 1960 DI/TII Kahar Muzakkar melakukan genjatan senjata (cease fire) dengan TNI. Sejumlah pemimpin masyarakat Seko di Makki melihat saatnya tiba untuk mengembalikan para pengungsi ke Seko. Hanya sebagian yang bersedia pulang ke Seko, yang lainnya merasa belum cukup aman dan ingin menunggu perkembangan lebih lanjut. Salah seorang pemuka masyarakat yang mempelopori pemulangan pengungsi ke Seko mendapat tawaran dari seorang bangsawan di Palopo, rekannya berjuang pada masa revolusi, untuk memindahkan para pengungsi ke daerah Masamba. Gagasan itu ditentang oleh masyarakat dan pemimpin Seko lainnya. Para pengungsi yang pulang sejak tahun 1961 berusaha membuka kebun di lahan yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan di daerah Rantedanga’ (Seko Lemo). Seringkali mereka berkunjung ke kerabat dan kenalan di daerah Seko Padang yang tidak mengungsi dan telah beragama Islam untuk meminta bantuan makanan. Mereka dengan senang hati memberi beras dan kebutuhan lainnya untuk para pengungsi yang baru merintis kehidupannya itu.
Keadaan yang dianggap cukup aman itu mendorong Herman Batu Sisang, pejabat Kepala Distrik Pengungsi Seko di lembah Palu, Donggala, berangkat bersama serombongan kerabat ke Makki dan kemudian dengan rombongan yang lebih besar lagi, yang terdiri atas sejumlah pemuka masyarakat Seko di Makki, menuju ke Seko untuk bersilaturrahmi dengan kerabat yang tidak mengungsi di daerah Seko Padang. Tetapi sementara itu gencatan senjata antara DI/TII Kahar Muzakkar dengan TNI telah berakhir. Maka semua laki-laki dalam rombongan Kepala Distrik tersebut dilucuti, mereka ditahan dan kemudian mereka dibunuh dan dikuburkan secara massal di Hanghulo, dekat Lodang. Di antara sekitar 40 orang yang terbunuh itu selain Batu Sisang juga Timotius Tombang (tokoh asal Beroppa’ yang menjadi penganjur utama kembalinya pengungsi ke Seko), dan Jakob Batto’ Ngali’ (calon pendeta Gereja Toraja yang ditempatkan di Omu’). Demikianlah cukup banyak orang Seko yang dibunuh oleh gerombolan DI/TII. Pada berbagai kesempatan penulis menghimbau supaya masyarakat Seko memikirkan penguburan kembali seluruh korban gerombolan DI/TII dan mendirikan suatu monumen untuk dikenang generasi mendatang.
Masyarakat yang berada di Rante Danga’ menerima berita mengejutkan itu beberapa hari kemudian dari dua orang perempuan yang berhasil lolos dari pembunuhan itu dan melarikan diri melalui hutan. Kabar itu juga mencapai daerah Galumpang dan perbatasan dengan Seko (Bua Kayu dan Salu) diblokir. Penduduk dari Rantedanga’ tidak dapat mengungsi ke Makki atau ke Karama, dan bersembunyi di hutan di sekitar hulu sungai Salole, atau mengungsi sampai ke Toraja. Penolakan untuk menolong para pengungsi dari Rantedanga’ itu merupakan bagian dari konflik antara para pemimpin Seko antara yang setuju dan yang menolak pulang ke Seko pada masa genjatan senjata. Penulis, yang waktu itu berumur 11 tahun, mengungsi di hutan beberapa lamanya sampai ayahanda, yang kebetulan pergi ke Makassar, datang dan memutuskan untuk membawa kami sekeluarga ke Makassar melalui Tana Toraja.
Menegakkan Kehormatan
Beberapa orang Seko yang bertugas dalam dinas kemiliteran (tentara dan polisi) mendengar bencana yang menimpa masyarakat Seko itu. Mereka sepakat untuk mengajak semua putra Seko dalam jajaran TNI dan kepolisian mengambil cuti dan membawa senjata untuk pulang mengamankan Seko dari pendudukan gerombolan DI/TII. Johan K. Kalambo (polisi), Silas P. Kalambo (AL), J. Lembe (polisi), Piter Siing (AD) dan sejumlah tentara asal Seko berkumpul di Ladang (Karama) pada tahun 1964. Para tentara dan polisi ini membentuk satuan operasi yang disebut Operasi Pong Huloi, dengan J.K. Kalambo sebagai komandannya. Nama Pong Huloi diambil dari nama seorang pahlawan dalam sejarah peperangan Seko masa silam. Biaya operasi dibebankan kepada masyarakat, baik berupa penyediaan beras, maupun dengan mengambil kerbau di Seko, milik masyarakat yang tersisa dari gerombolan. Satuan operasi dengan senjata moderen bersama pasukan rakyat dengan senjata tradisional menyerbu gerombolan DI/TII di daerah Seko Padang. Mereka berhasil membunuh lebih 20 orang anggota gerombolan dan merampas sejumlah senjata api, termasuk sebuah senjata otomatis milik gerombolan DI/TII. Seko menjadi relatif aman dan para pengungsi dapat pulang dari Makki dan daerah-daerah lain. Pengamanan selanjutnya dilakukan oleh satuan operasi Tumpas TNI, dalam rangka menumpas gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kahar Muzakkar terbunuh dalam suatu pengejaran oleh TNI di daerah Sulawesi Tenggara pada awal bulan Februari tahun 1965. Sisa-sisa gerombolan yang bersembunyi jauh di hutan Seko (daerah Doe’, perbatasan Sulawesi Tengah) dihabisi oleh satuan TNI Raider 700/RIT dari Makassar pada tahun 1967.
Seko Diaspora
Setelah daerah Seko aman, para pengungsi yang kembali ke Seko perlahan-lahan membangun kembali tatanan masyarakatnya. Sejumlah kampung baru didirikan. Pimpinan Gereja Toraja, Pdt. A.J. Anggui dan rombongan, sempat mengunjungi daerah Seko pada masa awal yang masih menghadapi masalah-masalah keamanan. Pemerintahan di bawah Kabupaten Luwu menetapkannya menjadi bagian dari Kecamatan Limbong (disatukan dengan daerah Rongkong Atas), tetapi selama periode Orde Baru tidak ada perhatian serius pemerintah untuk membangun daerah Seko. Baru pada tahun 2003 Seko dijadikan kecamatan sendiri di bawah Kab. Luwu Utara. Keluhan utama masyarakat adalah tidak dibangunnya jalan raya untuk kendaraan roda empat ke Seko (yang sudah pernah dibuat pemerintah Belanda sebelum pendudukan Jepang). Salah satu dampak dari kesulitan transportasi ini adalah tingginya harga kebutuhan pokok yang didatangkan dari luar, seperti garam, gula dan minyak tanah, sementara harga produksi lokal seperti kopi dan kakao rendah sekali. Sementara itu hutan Seko dijarah oleh suatu perusahaan HPH, dan sebagian besar tanahnya dikuasai oleh suatu perusahaan perkebunan teh yang sampai kini tidak berfungsi.
Masyarakat Seko mengeluhkan sarana dan prasarana pendidikan yang makin menyedihkan setelah sekolah-sekolah dasar bermutu yang dikelola Gereja Toraja (melalui YPKT), diambil alih pemerintah menjadi sekolah dasar negeri pada tahun 1970-an. Sekalipun demikian anak-anak Seko tetap berusaha menuntut ilmu dengan berbekal semangat dan keuletan. Salah satu catatan penting dalam kaitan itu adalah “kisah gubuk derita” para siswa-siswi sekolah menengah asal Seko di Palopo pada tahun 1970-an. Mereka mendirikan gubuk sederhana di kompleks SPG dan di samping Taman Pahlawan untuk tempat tinggal, dan pada musim panen padi mereka bolos sekolah untuk pergi membantu memanen supaya memperoleh bagian untuk bekal makanan mereka. Gereja Toraja mendirikan Asrama Elim di Palopo untuk menampung para pelajar dari daerah, namun biayanya tidak terjangkau oleh anak-anak Seko. Generasi Seko sebelumnya memang terbiasa dengan kehidupan keras di rantau. Mereka bersedia menjadi pembantu di rumah orang (ma’baso-baso’) sekedar untuk dapat makan dan tempat tinggal untuk dapat bersekolah. Sejumlah guru senior dan tua-tua Seko mengemukakan pengalaman mereka seperti ini dengan dengan berurai air mata.
Tidak semua pengungsi Seko pulang ke Seko. Sampai sekarang terdapat kelompok-kelompok masyarakat Seko di rantau. Yang terbesar jumlahnya di lembah Palu (Omu’ dan Palolo’). Terdapat pula di Seriti dan di Pangala’ (Tana Toraja). Bahkan kemudian sejumlah orang Seko meninggalkan Seko untuk kehidupan yang lebih baik di daerah Masamba dan daerah-daerah lainnya. Selain para pelajar dan mahasiswa, di Makassar terdapat sekitar 50 KK masyarakat Seko. Mereka di Makassar ini berusaha membantu para mahasiswa dengan mendirikan sebuah asrama mahasiswa sederhana, yang diusahakan dengan mencicil sebidang tanah selama 20 tahun (1978-1998) dan mendirikan bangunan semi permanen atas dana swadaya dan bantuan para dermawan.
Tiga Agenda
Sejarah masih terus berlangsung dan masa depan masyarakat Seko di Seko dan di rantau terpulang kepada setiap pribadi orang Seko. Yang terpenting dewasa ini adalah membangun kesadaran akan identitas dan kesatuan masyarakat Seko di atas asal usul dan sejarahnya, dan dengan membina sumber daya manusia yang handal dan yang memberi perhatian kepada kemajuan masyarakat Seko di Seko dan di rantau.
Dewasa ini ada tiga hal pokok yang penting menjadi perhatian masyarakat Seko. Pertama, membangun kesatuan identitas dan solidaritas masyarakat Seko yang berdasar pada kesatuan wilayah, sejarah, dan kekeluargaan antara ketiga sub-Seko: To Padang, To Pohoneang dan To Beroppa’, baik yang beragama Kristen maupun Islam, baik yang berdiam di Seko maupun yang hidup di rantau. Kisah-kisah silam dan sejarah masyarakat Seko memperlihatkan suatu tema yang selalu berulang: munculnya masalah-masalah yang memberatkan kehidupan masyarakat, namun akhirnya dapat diselesaikan dalam prinsip saling membantu. Kedua, memberi perhatian pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, dengan menekankan pada kemampuan untuk bersaing secara sehat dalam dunia moderen dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat di Seko perlu menembangkan kemampuannya dalam berhadapan dengan para pendatang yang makin banyak masuk ke negeri yang cukup menjanjikan sumber daya alamnya ini. Termasuk dalam hal ini membangun kesatuan visi dan memperkuat kerjasama dengan pemerintah untuk bersama-sama memajukan masyarakat dan daerah Seko. Yang ketiga, membangun hubungan-hubungan persaudaraan yang lebih luas dengan berbagai fihak, khususnya untuk mendapat dukungan-dukungan dalam memajukan masyarakat dan daerah Seko.
7 komentar:
Info:
Karangan Sejarah Seko ini telah saya revisi dengan banyak data baru. Diterbitkan dalam kumpulan karangan:
Masyarakat Sejo poada Masa Gerombolan DI/TII (1951-1965).
Salam,
Zakaria Ngelow
Info: Karangan sejarah Seko telah saya revisi dengan adata-data yang lebih akurat. Diterbitkan dalam Buku: Masyarakat Seko pada Masa Gerombolan DI/TII (1951-1965).
Salam
Z. Ngelow
Trimakasih untuk informasi Bpk. DR. Z. Ngelow.
Itusangat membantu Tuhan Memberkati.
Waah...isi blog ini makin beragam!
Saya senang mampir disini...karena ingin tahu lebih banyak lagi tentang to seko....
Kalau buku sejarah seko, kami boleh dapat (beli)? Trus siapa yang harus kami hubungi? Saya mau kalau sudah terbit.
ini alamat email saya
ivantambing@yahoo.com.sg
Makasih...Tuhan Memberkati
Salam.
Ivan Putra Toraja!
Buku sejarah seko udah terbit belom? Kalau boleh saya beli satu!
Alamat email sudah saya post sebelumnya!
Ivan Putra Toraja!
Saya tertarik sekali ingin mencari tau org seko datang mengungsi dan menetap di to tallang, pangala.
Saya juga mw belajar ttg sejarah toraja seko dan rongkong..
Klo ad buku revisinya bisa di share pak u.jadi bahan pembahasan di sejarah sulawesi tabe'
Posting Komentar