21/12/11

Asal usul perayaan Natal menurut Gereja Katholik.



Secara resmi ditetapkan bahwa Kelahiran Yesus jatuh pada tanggal 25 Desember dan Gereja telah menyadari tanggal ini. Daniel Rops, seorang sejarawan, mengatakan bahwa pada masa penganiayaan Gereja Katolik sampai keluarnya Edict Milan (313) yang memberikan kebebasan beragama kepada Gereja Katolik, umat Katolik telah merayakan Natal secara sembunyi-sembunyi di Katakombe-katakombe yang ada di Kekaisaran Romawi (Katakombe = makam bawah tanah).  [Daniel Rops,Prières des Premiers Chrétiens, Paris: Fayard, 1952, pp. 125-127, 228-229]

Di sebagian besar Gereja-gereja Timur, Perayaan ini diperkenalkan sekitar abad keempat dan kelima. Pada akhir abad keempat, Uskup Epifanius dari Salamis (salah satu sejarahwan Gereja) memberikan kronologi kehidupan Tuhan Yesus Kristus di mana menurut Kalender Julian (saat ini Gereja Katolik Roma menggunakan Kalender Gregorian) tanggal 6 Januari adalah hari kelahiran Tuhan dan 8 November adalah hari pembaptisan Tuhan di Sungai Yordan.
Pada permulaan abad kelima, biarawan terpelajar, St. Yohanes Kassianus dari Konstantinopel, pergi ke Mesir untuk mempelajari peraturan-peraturan biara di sana. Antara tahun 418 hingga 425, St. Yohanes Kassianus menulis laporan pengamatannya. Dia memberitahukan kita bahwa uskup-uskup di wilayah itu, pada masa tersebut, menganggap Pesta Epifani (Penampakan Tuhan) sebagai hari kelahiran Tuhan dan tidak ada perayaan terpisah dalam menghormati kelahiran Tuhan. Dia menyebut hal ini “tradisi kuno”.
Kebiasaan lama ini segera memberi jalan bagi tradisi baru. Sementara mengunjungi St. Sirillus, Patriark Alexandria; Uskup Paulus dari Emesa berkhotbah pada perayaan kelahiran Tuhan Yesus pada 25 Desember tahun 432 M. Natal telah diperkenalkan kepada Mesir sebelum waktu kunjungan ini, dapat dikatakan sekitar 418 dan 432 M dan peristiwa ini menjadi bukti kuat berdasarkan kalender yang telah ada.

 St. Gregorius dari Nazianzus, Bapa Gereja dan Uskup, selama tinggal di daerah Seleucia di Isauria (Turki sekarang) merayakan Natal untuk pertama kalinya di Konstantinopel pada tanggal 25 Desember 379. 
St. Yohanes Krisostomos, Bapa Gereja dan Uskup, berkhotbah di Antiokia pada tanggal 20 Desember 386 dan karena kefasihan pewartaannya, ia berhasil mengajak umat beriman untuk menghadiri Natal 25 Desember 386. Sejumlah besar umat beriman hadir di Gereja ketika Natal dirayakan. Kita memiliki salinan khotbah St. Yohanes Krisostomos. Pada Pengantar khotbah, ia berkata bahwa ia berharap dapat berbicara kepada mereka mengenai perayaan Natal yang telah menjadi kontroversi besar di Antiokia. Dia mengusulkan kepada para pendengarnya untuk menghormati dan merayakan Natal dengan tiga dasar:
  1. karena Natal telah menyebar dengan cepat dan pesat dan telah diterima dengan baik di berbagai daerah. 
  2. karena waktu pelaksanaan sensus pada tahun kelahiran Yesus dapat ditentukan dari berbagai dokumen kuno yang tersimpan di Roma; 
  3. waktu kelahiran Tuhan Yesus dapat dihitung dari peristiwa penampakan malaikat kepada Zakarias, ayah Yohanes Pembaptis, di Bait Allah. Zakarias, sebagai Imam Agung, masuk ke dalam Tempat Mahakudus pada Hari Penebusan Dosa Yahudi (The Jewish Day of Atonement). Hari Penebusan Dosa jatuh pada bulan September menurut kalender Gregorian. Enam bulan sesudah peristiwa ini, malaikat Gabriel datang kepada Maria dan enam bulan kemudian Yesus Kristus lahir, yaitu pada bulan Desember. St. Yohanes Krisostomos menyimpulkan khotbahnya dengan sanggahan telak terhadap orang-orang yang menolak bahwa Sang Allah telah menjadi manusia dan tinggal di dunia. 
St. Yohanes Krisostomos, dengan mengacu pada khotbah di atas, mengatakan dengan jelas bahwa pada masa tersebut, ketika perayaan Natal diperkenalkan di Timur, Natal telah dirayakan di Roma lebih dulu.

 Kembali ke Gereja Barat. Bapa Gereja Yohanes, Uskup Nicea, memberitahu kita bahwa Gereja Roma mulai merayakan kelahiran Tuhan Yesus pada tanggal 25 Desember, pada masa Paus St. Julius I (337-352). Paus Kudus ini, dengan bantuan tulisan-tulisan dari sejarawan Yahudi, Josephus, telah memastikan bahwa Kristus lahir pada tanggal 25 Desember.
Dengan demikian, Perayaan Natal memang memiliki asal usul yang sangat tua dan telah dirayakan sejak zaman Gereja Perdana. Natal bukanlah perayaan pagan yang diadopsi masuk ke dalam Kekristenan, tetapi Natal adalah Perayaan Liturgis yang berasal dari dalam Kekristenan itu sendiri.





diterjemahkan dan dikembangkan dari Newsletter of Pope John Paul II Society of Evangelists December 2007http://indonesian-papist.blogspot.com/2011/12/asal-usul-perayaan-natal.html 


RWM.BOONG BETHONY

01/11/11


PLURALIS VERSUS PLURALISME
Suatu refleksi praksis, by. RW. Maarthin.

PENDAHULUAN.

            Diantara issue yang mendapat perhatian cukup besar paskah Reformasi 97/98 adalah issue keberagaman atau pluralitas agama. Issue itu, merupakan fenomena yang cukup menguras perhatian, pemikiran masyarakat Indonesia, khususnya para agamawan (Rohaniawan dan teolog/cendikiawan) sampai pada awal abad ke-21. Fenomena itu hadir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran absolute (absolute truth-claims) antara agama yang saling berseberangan. Kita tahu bahwa setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan yang biasa di sebut “doctrine of salvation” – doktrin keselamatan – bahwa keselamatan atau pencerahan (enlightenment) atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja dan pemeluk agama lain akan celaka dan masuk neraka. Sejatinya keyakinan semacam itu, juga berlaku pada penganut agama antar sekte atau aliran dalam sebuah agama yang sama; seperti yang terjadi antara Roma Katholik dan Katholik Protestan atau Katholik Protestan dengan semua aliran-aliran yang ada di dalamnya.
            Secara umum Issue Pluralisme lahir oleh karena pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan antara klaim kebenaran agama satu dan yang lain melawan pemikiran bahwa agama boleh berbeda tapi tujuan sama, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Realitas pemikiran seperti ini telah mengantar Pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek sekaligus memberi ruang ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, intolerans bahkan sampai pada perbersihan ras (ethnic cleanning atau genocide). Pada ruang lain, pengakuan bahwa semua agama itu sama tujuannya, semakin mengemuka.

PLURALIS DAN PLURALISME
Bunyi Pluralis dan Pluralisme, berasal dari kosa Plural. Sebuah istilah yang di adopsi dari bahasa Ingris, lalu menjadi salah satu suku kata bahasa Indonesia.  Yang artinya, berupa-rupa, beraneka ragam, bermacam-macam atau terdiri dari berbagai (benda-indentitas-tradisi, dst). Bunyi Pluralis dalam pengertian bahasa Indonesia merupakan kata sifat. Yang menunjuk pada suatu keadaan atau suasana keanekaragaman. Sebaliknya, Pluralisme (maaf penjelasan istilah ini dalam bahasa Indonesia, belum baku) merujuk pada arti pengakuan terhadap ‘pandangan bahwa Agama itu sama tujuannya, dan pandangan bahwa agama itu sama hanya cara dan sebutannya yang berbeda’. Dari Premis ini kita dapat mengerti makna-makna istilah-istilah tersebut diatas. Jadi topic bahasan bisa kita lanjutkan.
            Bangsa Indonesia mempunyai satu istilah yang hampir sama pengertian dan maknanya dengan Pluralis, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Perbedaanya hanya terletak pada pemakain kedua istilah itu. Pluralis dipakai untuk menggambar suasana yang umum dan bisa dimana saja, sedang Bhineka Tunggal Ika adalah istilah ke Negaraan Indonesia. Dalam Sejarah Gereja istilah Pluralis dan Bhineka Tunggal Ika di kenal dengan sebutan OIKUMENE. Yang awal mulanya merupakan  istilah untuk menggambarkan wilayah kekuasaan imperium/Kekaisaran Romawi yang meliputi banyak Negeri, Suku Bangsa dan luas daerah jajahan/kekuasaan. Ada satu istilah lagi yang akhir-akhir ini sering diucapkan, Yaitu Multikultural (multiculture), artinya juga nyaris sama dengan Pluralis, Bhineka Tunggal Ika dan Oikumene. Hanya istilah Multikultural di pakai untuk menggambar keanekaragaman manusia.
            Lalu bagaimana dengan Pluralisme? Untuk menjelaskan persoalan ini, kita perlu menengok kebelakang sejenak untuk mengerti dan menggali dari beberapa sudut pandang :

Yang pertama RURALIZATION GOES TO GLOBALIZATION:
            Issue Pluralisme lahir pada pertengahan abad 20, ketika Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi mengalami revolusi luarbiasa dengan penemuan-penemuan yang mencengangkan, seperti tehnologi komunikasi yang menjadikan jagad ini seperti Global Village. Akibat dari itu,  semua belahan dunia menjadi amat terbuka dan tidak ada satu daerah dunia ini yang tersembunyi. Era tehnologi komunikasi ini, berdampak pada cara pandang yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru tentang batas-batas wilayah, Agama dll. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama yang melahirkan ketegangan-ketegangan antar wilayah, ditambah dengan fenomena meningkatnya gelombang dan arus migrasi pemeluk-pemeluk agama ‘timur’ khusus kaum muslimin, kenegara-negara barat. Hal ini menimbulkan kekuatiran terhadap kenyamanan dan keamanan Barat, yang memang belum siap dan terbiasa hidup berkoeksistensi damai dengan dunia Islam.
            Terlepas dari semua itu, hal yang luarbiasa adalah, untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu Negara, satu wilayah, satu kota, satu atap bahkan makan bersama. Situasi ini merupakan hal baru bagi masyarakat dunia, dan belum punya pengalaman dalam berkoeksistensi damai dalam masyarakat pluralis. Akibatnya timbul, problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon situasi yang baru ini.
            Dari sinilah kemudian timbul sejumlah teori Pluralisme agama. (Dalam pemikiran ini, muncul klasifikasi Pluralisme agama, seperti Humanis sekuler, teologi global, sinkritisme, filsafat humanis dst.) Yaitu suatu pemikiran yang memberi legitimasi yang setara kepada semua agama yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Setidaknya, nilai-nilai yang ingin di wujudkan oleh tren pemikiran seperti itu adalah yang kita kenal dengan istilah PLURALISME AGAMA.

Yang Ke-dua, PROBLEM TEOLOGIA.
            Gagasan Pluralisme Agama, yaitu kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusia yang luhur dan mulia. Namun Kajian yang mendalam, objektif kritis (etis tologis) terhadap gagasan tersebut, justru memperlihatkan hal-hal yang sebaliknya bertentangan dengan Iman penganut agama-agama yang ada. Konsep itu, mengingkari transcendent dan hal-hal yang immanent terhadap ajaran agama yang ada, sebab melahirkan sikap-sikap intolerans, bengis dan tidak ramah, dan kontradiksi dalam arti etimologis pengertian agama. Yaitu problem epistemologis dan problem teologis. Belum lagi masaalah metodologis yang jika di implementasikan dalam tatanan praksis apa adanya, justru sangat diametral dengan tujuan-tujuan agama yang ingin dicapai. Oleh karena itu, gagasan Pluralisme Agama tak lebih dari suatu problematika itu sendiri dari pada suatu solusi, dalam Global Village.

Yang ke-Tiga, APA PANDANGAN ALKITAB?
            Ketika Abraham, di panggil meninggalkan Kampung halaman (Ur Kasdim) menuju Negeri yang nanti dalam perjalanan ‘baru Tuhan akan beri tahu’, Allah mengatakan bahwa Abraham akan menjadi berkat bagi Bangsa-bangsa lain (kel.12). Panggilan itu, menyatakan bahwa Allah akan memperkenalakan (mengajarkan) suatu Agama baru yang harus di Imani oleh Katurunan Abraham, sebab keturunan Abraham (bangsa Israel) akan menjadi berkat bangi bangsa dan sungku bangsa disekitar Israel.
            Ketika Musa di panggil untuk menyelamatkan Bangsa Israel yang berada di Mesir, Musa di perintah Allah  memperkenalkan diri sebagai utusan dari “AKU ADALAH AKU…Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakob” Kel. 3 : 13 – 14. Penegasan Tuhan terhadap Musa itu, untuk menyatakan bahwa Agama yang dianut oleh Nenek moyang Bangsa Israel, haruslah tetap menjadi Agama Bangsa Israel, sebab Agama itu berbeda dengan Agama lain (agama orang mesir misalnya.) Demikian juga ketika, Yosua menerima estafet kepemimpinan, Musa berpesan supaya semua ilah-ilah orang kanaan di musnahkan dan bangsa Israel dilarang kawin-mawin dengan orang Kanani yang menyembah ilah-ilah baal. Pada masa Hakim-hakim, Tiap kali bangsa Israel tidak taat terhadap Ajaran Allah (Kitab Taurat) maka bangsa Israel di hukum Allah.
            Demikian pula dalam kisah-kisah Perjanjian Baru. Yang paling mencolok ialah Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius  28 : 16 – 20 yang memerintahkan kepada murid-murid untuk memberitakan INJIL ke pelosok Dunia. Amanat Tuhan Yesus itu, sekaligus merupakan penolakan terhadap pemikiran-pemikiran Pluralisme Agama. Dari penjelasan singkat ini, dapat kita pahami bahwa, Iman Kristen menolak pemikiran Pluralisme Agama. Bahwa Bagi Iman Kristen hanya ada satu Iman, yaitu percaya kepada Yesus Kristus, yang adalah Allah itu sendiri. – TUHAN MEMBERKATI -

Kertas kerja bahan diskusi, P.A.K PERKANTAS JATENG 2010

RWM.BOONG BETHONY

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BESAR  atau PEMIKIR-PEMIKIR BESAR?
(suatu Refleksi isu-isu global dan tantangan abad 21)
Oleh : R.W. Maarthin.

PENDAHULUAN.

            “Panta Rei Uden Menei” atau Segala sesuatu mengalir, tidak ada yang tinggal diam. Demikian dictum kenamaan Filsuf Heraklitus di kota Efesus, Asia Kecil (540 – 480). Laksana air sungai selalu mengalir dan bergerak, maka segala sesuatu takluk pada perubahan. Ini berarti hakikat dan penampilan berubah. Lain lagi pendapat Parmenides(514 – 449 sM) Seorang filsuf dari wilayah Elea, Italia bagian selatan. I a justru berargumentasi bahwa hakikat tidak berubah, yang berubah adalah yang tampak dalam kenyataan.
Proses perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya waktu pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, menampilkan kemajuan pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Apabila dalam abad ke-18 Revolusi Industri dan pengaruh besarnya terlihat dalam abad-abad berikutnya demikian pula halnya dengan perkembangan pesat IPTEK itu, maka terjadilah berbagai perubahan besar dan kecil. Hal ini tampak dimana-mana. Dan perubahan tersebut menyangkut keadaan fisik dan mental manusia.
Demikian pula terjadi perubahan besar pemikiran-pemikiran dan teory-teory yang terus menerus mewarnai pergerakan dan perubahan dari abad-abad yang lalu. Teory-teory yang dianggap mapan pada abad-abad lalu, seperti Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme mulai tertinggal dan berangsur-angsur dilupakan pada Era modern ini.
 Panitia Latihan Kepemimpinan Kader (LKK) PEMKRI Cab. Padang memberi judul bahasan dalam percakapan ini, yaitu Pemikiran-pemikiran Besar di Dunia., tetapi saya kemudian mengubah thema itu menjadi “Pemikiran-pemikiran Besar atau Pemikir-pemikir Besar?”

ABAD KE-21 DAN ISU-ISU GLOBAL.
Berbagai antisipasi dan perkiraan telah di buat oleh para ahli dan pengamat mengenai abad ke-21. John Naisbitt banyak menulis tentang kecenderungan-kecenderungan masa depan. Dalam bukunya “Megatrends 2000 antara lain disebutkan, Globalisasi ekonomi, berkembangnya pasar bebas, era biologi, bangkitnya agama-agama dan kebebasan individu.
Penulis lain seperti Tappscot menulis tentang digital economy, melihat transformasi ekonomi oleh karena revolusi digital di bidang teknologi komunikasi dan transformasi. Atau Bill Gates, Presiden Microsoft dan orang terkaya di dunia mengatakan, era baru adalah era internet; semua akan berada di internet. Demikan juga Alvin Toffler dengan “The Third Wave” yang menggambarkan perubahan abad ke abad  melalui Revolusi Agraris, Revolusi Industri dan Revolusi informasi yang menghadirkan Globalisasi. Orang-orang ini hadir melalui pemikiran-pemikiran yang luar biasa. 
            Kalau kita renungkan pandangan para pengamat dunia, kita akan melihat bahwa sedang terjadi transformasi era baru, abad ke-21.Transformasi ini pada dasarnya dimotori oleh perkembangan yang amat pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan  produk-produk baru yang serba digital, biological dan material.
            Era baru ini diwarnai oleh perubahan akseleratif  bergejolak, baik disektor ekonomi, social budaya maupun politik. Era baru akan menuntut dinamika manusia, perubahan gaya hidup, pola kerja, pola komunikasi, yang pada prinsipnya adalah juga dinamika budaya.
Para pengamat mulai mendeteksi budaya global (global culture) dalam gaya hidup, makan, bekerja, interaksi dan komunikasi. Kini kita menyaksikan program televise global, membaca majalah-majalah global, dibanjiri dan menikmati  produk-produk global serta dipengaruhi gaya hidup global. Pada waktu yang bersamaan kita dapat mengakses informasi dari mana saja di dunia ini. Dengan internet, broadband, telpon/celluler, computer pribadi, kita dapat berhubungan dengan computer lain dimana saja dan dapat mengambil – memberi informasi – membeli dan menjual informasi. Era dimana sudut pandang dan kemampuan  manusia semakin tidak terbatas baik dalam tatanan berfikir pun dalam tatanan praksis. Termasuk didalamnya, mempengaruhi cara kerja, cara belanja, hiburan dan cara belajar bahkan juga cara ber-Iman.

ARAH DISKUSI.
 Dalam Diksusi ini, saya lebih tertarik mempercakapkan “Bagaimana Kesiapan Kita Sebagai Generasi Muda Gereja Yang Juga Merupakan Generasi Penerus Bangsa dan NKRI” dari pada, berdiskusi tentang teory-teory dan serapan-serapan para pemikir abad lampau yang dengan sendirinya menjadi runtuh dalam Era Globalisasi.
Sebagai contoh misalnya, Liberalisme dan Kapitalisme yang mulai terasa kuno dalam pengembangan teory-teory Pemerintahan/kekuasaan, ekonomi/pasar dan modal serta kemasyarakatn,  para pemikir Era Globalisasi, meskipun filosofis dari pemikiran-pemikiran tersebut masih terasa dalam pengembangan Ekonomi dan pasar Dunia. Demikian juga dalam teory-teory Sosialisme yang mulai runtuh pada kahir abad ke-20, kecuali sosialisme yang saat ini di bertahan di RRC dan KORUT.
            Deskripsi ini, adalah ilustrasi penampilan kehidupan gaya baru – gaya modern. Tetapi patut kita bertanya : “Adakah kecenderungan-kecenderungan spiritualitas?”. Naisbitt memang mengamati dan memperkirakan bangkitnya agama-agama. Apakah betul demikian? Apakah Abad ke-21 akan diwarnai oleh kehidupan agamawi yang meningkat? Saya ragu bahwa itu sedang terjadi.
            Memang betul, ada perhatian yang meningkat pada agama-agama dan kehidupan spiritual di Timur. Namun tak ada yang menonjol, kecuali surutnya Komunisme mungkin memberi peluang baru bagi agama, tapi masih meluasnya kemiskinan dan penderitaan di dunia ketiga, menandakan rasionalitas dan iptek belum mampu menyeleseikan masalah manusia. Di pihak lain, kemajuan iptek, kemajuan ekonomi, telah menjadi penyebab  mundurnya dan lunturnya kehidupan beragama di dunia modern.
            Dari sekilas gambaran diatas dapat dilihat bahwa abad ke-21, era globalisasi,  tidak hanya membawa harapan-harapan baru, melainkan juga membawa masalah-masalah baru bagi kehidupan spiritual dan oleh karenanya menjadi tantangan tersendiri bagi umat beragama (baca Kristen : Umat Katholik dan Protestan); untuk mencari solusi yang dapat membantu manusia menghadapi terpaan gelombang revolusi iptek dan informasi. Selain mempersoalkan kesiapan kita untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ditimbulkan oleh era informasi dan globalisasi, patut pula kita waspadai pemikiran yang sepertinya terlalu mengagungkan era ini, seolah-olah informasi dan globalisasi adalah segala-galanya.
  
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sebagai Negara yang sedang membangun, masih sangat mengandalkan pertanian dan industri dalam pembangunan ekonominya. Pemikiran Toffler tentang revolusi pertanian, revolusi industri dan revolusi informasi hadir bersamaan dan dikembangkan secara seimbang untuk keberhasilan pembangunan nasional bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Semantara itu di pihak lain, kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang sedang terjadi hingga dapat memanfaatkan peluang-peluang yang timbul dan berkembang.
            Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah hasil sistematisasi pengamatan dan penelitian manusia tentang apa saja yang terjadi di sekitar alam ini. Sedangkan teknologi pada umumnya adalah aplikasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk menyeleseikan berbagai persoalan dan tantangan yang dialami dan dilihat oleh manusia serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan hidup manusia.
            Ilmu pengetahuan secara sederhana berusaha untuk memahami “apa yang terjadi” melalui hipotesa, pengamatan dan pembuktian, sehingga secara sistematis dan universal dapat diterima dan diberlakukan oleh siapa saja dan dimana saja dalam kondisi dan keadaan yang sama. Sedangkan teknologi, adalah hasil penerapan ilmu pengetahuan yang diciptakan untuk kepentingan kesejateraan manusia.
Yang ingin saya garis bawahi disini adalah bahwa Ilmu Pengetahuan adalah memahami dan merumuskan apa yang tejadi? dan bukan mengapa terjadi?. Kalau ada yang memulai bertanya mengapa – why? Maka dapat saja ia keluar dari arena ilmu pengetahuan ke arena pemikiran, falsafah dan pandangan-pandangan yang berdimensi lain. Sementara itu, berbagai ilmu yang dikembangkan seperti ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan ilmu fisika, memungkinkan manusia mengembangkan teknologi pesawat terbang, tehnologi digital dan telah menjadi pendorong Globalisasi.
Karena itu harus disadari bahwa perkembangan informasi, robotisasi/otomatisasi  pabrik-pabrik, komputerisasi data, modernisasi sarana dan prasarana pertanian/perkebunan, adalah bagian dari perkembangan dan kesinambungan pembangunan Indonesia sebagai upaya pembaruan.
Dalam revolusi informasi inilah Indonesia hadir sebagai salah satu anggota Big Family in ther world – anggota keluaraga dunia. Dimana sebagian pemikiran dan tindakan kita berjejak pada Era Globalisasi dan sebagian lagi menjejak pada realitas kekinian bangsa dan Negara kita. Saya senang menyebut kondisi itu GLOBALIZATION VERSUS RURALIZATION. PMKRI berada di sana. Sebagai Perhimpunan Mahasiswa Katholik memahami realitas itu, amat penting, karena itu sekaligus merupakan suatu persoalan besar bagi bangsa dan Negara.

TANTANGAN IMAN?
Dalam Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katholik Indonesia 2005, dengan thema Bangkit dan Bergeraklah lebih banyak menyoroti dan membahas Komunitas Basis dan Kaum Muda. Artinya, Gereja Katholik Indonesia memberi pemahaman baru strategi menggereja yang bertumbuh pada komunitas basis. Yaitu, perluasan hidup menggereja dan bukanlah  entitas yang statis dan pasif. Sebaliknya menjadi komunitas basis yang proaktif dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, menjadi gerakan yang berorientasi kedepan untuk mengembangkan kehidupan berbangsa yang semakin beradab. Atau dengan kata lain bahwa Kaum Muda Katholik  sebagai Komunitas Basis didorong untuk terlibat langsung dalam penguasaan dan pembelajaran terus menerus terhadap seluruh perkembangan yang saat ini menjadi bagian masyarakat Dunia.
Diatas telah diuraikan bahwa IPTEK dapat menjawab pertanyaan Apa yang terjadi? Dan mungkin sampai bagaimana itu terjadi? Namun belum tentu mampu menjawab Mengapa terjadi? Oleh karena itu IPTEK, harus dilihat dalam kerangka Ciptaan Allah. Iptek berusaha memahami lebih dalam dan lebih sempurna tentang ciptaan Tuhan. Salah satu asas fundamental dari Iptek adalah keteraturan. Contoh, kalau seseorang memasak air di Afrika dan mendidih pada suhu 100 derajat C, maka hal yang sama juga berlaku di Sekretariat Panitia LKK PMKRI Cab. Padang, termasuk misalnya kalau di Bulan sudah bisa memasak air.
Dalam suasana perkembangan IPTEK yang melahirkan Globalisasi, pergumulan-pergumulan apakah yang sedang marak diantara umat Kristen? Salah satu yang paling menarik adalah Apakah IPTEK mendekatkan manusia pada Tuhan atau sebaliknya?

Catatan Akhir :
  1. Tulisan singkat ini, hanya sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi yang berlangsung.
  2. Sebagai suatu kerangka berfikir, tulisan pendek ini adalah wahana untuk membuka pemikiran kritis terhadap situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan orang-orang beriman.
 Disampaikan pada LKK PMKRI SUMATRA BARAT 11 Mei 2009.

RWM.BOONG BETHONY

WAWASAN MULTIKULTURAL

PENDAHULUAN.
          Sebelum kita percakapkan thema pada session ini, ada baiknya kita telusuri dulu  secara leksikal (pengertian bahasa) mengenai Wawasan Multikultural. Judul tersebut diatas terdiri dari 2 kosa kata/bunyi, yaitu : Wawasan dan Multikultural. Kosa kata Wawasan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Mawas yang artinya waspada, hati-hati, berjaga-jaga, yang kemudian menjadi Wawasan yang berarti, lebih luas, lebih mengerti, lebih memahami.  Kosa kata kedua yaitu, Multikultural. Satu istilah yang di adopsi dari bahasa Ingris dengan akar kata MULTI (aneka ragam, bermacam-macam, berbeda-beda)  dan CULTURE (budaya). Ke-2 istilah bahasa Ingris itu kemudian memperkaya khasanah bahasa Indonesia yang member pengertian: banyak, beragam, bhineka budaya.  Jadi Wawasan Multikultural, berarti: Memahami, Mengerti, Mempelajari, Aneka Ragam Budaya.
PENTINGKAH ITU?
          Bukan hanya Penting tapi Harus. Ada dua indikasi yang membuat hal tersebut diatas, mau tidak mau mengharuskan kita untuk Memahami, Mengerti, Mempelajari,  Wawasan Multikultural.

Pertama, Keadaan dan Situasi Negara Indonesia, yang sejak zaman dahulu kala terdiri dari Ribuan Pulau besar kecil dan tiap-tiap Pulau besar di huni berbagai komunitas dengan ragam/aneka Tradisi adat-istiadat dalam hidup keseharian, bahasa masing-masing, bahkan kepercayaan (agama). Seiring dengan itu, terjadi perpindahan penduduk antar pulau baik karena Program Transmigrasi, maupun oleh karena banyak factor, seperti Ekonomi, Kerja, Pendidikan, dst. Migrasi penduduk dari satu pulau ke pulau yang lain diikuti pula oleh tradisi, adat istiadat, bahasa bahkan Agamanya masing-masing. Situasi seperti itu, makin mengemuka di Indonesia, terutama karena  akses transportasi antar pulau semakin baik dan modern bahkan canggih.

Kedua, Bangsa Indonesia berada dalam ruang lingkup Dunia, yang sekarang ini ‘sudah’ menjadi suatu ‘kampong global’ dimana masyarakat dunia tinggal bersama. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dengan hasil tehnologi yang mencengangkan, seperti Tehnologi Informasi, membuat Negara satu dan yang lain terasa tanpa batas; relasi individual di belahan Negara manapun terhubung satu sama lain.  Bukan hanya itu akses yang ditimbulkan oleh IPTEK, tapi yang utama adalah Globalization  (globalisasi) segala bentuk kehidupan masyarakat dunia. Artinya, Kejadian atau apapun peristiwa yang terjadi diatas permukaan Dunia, dalam hitungan menit bahkan detik  sudah menjadi bagian dari masyarakat Dunia.


REALITAS YANG KITA HADAPI.
          Di jaman Globalisasi sekarang ini, banyak persoalan yang timbul, sekaligus memberi peluang  untuk perbaikan kehidupan di segala bidang. Persoalan-persoalan itu saya  klasifikasi kedalam beberapa sub bahasan kita di kesempatan ini :

1.  Persoalan Budaya.
Budaya dalam pengertian umum meliputi, Bahasa, Tradisi – adat istiadat, dan bentuk-bentuk serta pola-pola dan cara-cara masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, termasuk Kepercayaan/Agama, nanti akan di bahas secara khusus sebagai Sub bahasan kertas kerja ini.
Budaya Masyarakat Indonesia, terbagi lagi menjadi sub budaya sesuai dengan suku/etnis yang ada dalam Masyarakat Indonesia. Ada Budaya orang Minangkabau, Budaya masyarakat Jawa, Budaya komunitas Bugis, Budaya Orang Toraja, Budaya Suku Batak, Budaya Etnis Nias, Budaya etnis Tionghoa, Budaya Masyarakat Maluku, Budaya Masyarakat Papua, dst.
Komunitas-komunitas budaya tersebut, bukan hanya berada dalam lingkup dan area asal daerah masing-masing, tapi menyebar dan bercampur  baur hampir diseluruh  Indonesia, terutama di masyarakat kota. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada tahun 2004 kemaren, di dapati bahwa tidak ada lagi daerah di Indonesia yang tidak Multikultural. Artinya, terjadi pembauran antar masyarakat, antar budaya dan antar pulau serta antar bahasa. Bahkan Budaya-budaya dari luar Indonesia pun membaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Persoalan kemudian terletak pada pembauran itu. Yang tadinya ‘hanya’ hidup dan bertetangga dengan masyarakat budayanya (tertutup/eksklusif), sekarang dipaksa oleh keadaan memiliki tetangga orang-orang lain yang bukan atau tidak terikat dalam budaya dan tradisi local, hidup bersama dalam satu kota, satu kampong, satu gang, satu kantor, satu sekolah/kampus, bahkan mungkin satu atap (menjadi inklusif).
Dalam situasi seperti itu, sering terjadi pergesekan antar budaya, pergesekan itu kemudian menimbulkan banyak benturan yang ledakannya kemudian amat  merugikan baik dalam bentuk materi pun nyawa manusia. Belum lagi akibat yang ditimbulkan oleh lajunya tehnologi disegala bidang yang tiap saat menyerbu masyarakat dunia. Tehnologi Informasi misalnya, tiap waktu selalu ada pembaharuan, contoh yang kongkrit adalah Coumputer dan Telephone Celluler, dst.
Pembauran budaya melahirkan/menciptakan masyarakat multicultural disatu sisi, di pihak lain pembauran itu membawa konsekwensi-konsekwensi yang mengubah sudut pandang eksklusifisme menjadi inklisifisme. Siap tidak siap, mau tidak mau, kita berada dalam situasi dan suasana itu, kita hidup di dalam.

Pertanyaan kritis kemudian adalah, Bagaimana menghadapi Persoalan itu agar Budaya Local dan sub Local Suku/Etnis – Komunitas – Masyarakat, tidak menjadi punah dan tinggal sejarah saja? 
Pada tahapan ini, di butuhkan Kearifan sekaligus kecerdasan masing-masing Budaya dan Sub Budaya Suku/Etnis – Komunitas – Masyarakat  local khususnya dan Masyarakat Indonesia umumnya untuk  melestarikan budaya-budaya itu oleh masing-masing Masyarakat, sekaligus kecerdasan untuk mampu menerima kehadiran orang lain dengan budaya yang menyertai orang lain tersebut.
Bagaimana caranya? Untuk menjawab secara Ilmiah akedemisi serta konperehenship, kertas kerja dan waktu yang kita miliki dalam sesi ini belum cukup. Tapi secara garis besar, dikemukakan dalam beberapa catatan dibawah ini :
1.1.      Menjadikan Budaya Lokal sebagai salah satu muatan local dan mata
   pelajaran utama  kedaerahan, di sekolah dasar sampai perguruan
   tinggi, kalau perlu di Universitas yang ada didaerah tertentu ada
   Fakultas untuk itu. Tetapi sekaligus menjadi pusat-pusat kajian
   tentang Multikultural sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan
   menjadi realitas kehidupan Berbangsa dan Bernegara bahkan
   Realitas  Masyarakat Dunia.
1.2.   Peran orang tua  amat penting untuk pelestarian budaya local. Orang
  tua misalnya, tidak segan-segan mengajarkan dan memperkenalkan
  budaya masyarakatnya kepada anak-anak.
1.3.   Lembaga-lembaga budaya local (lsm, kerapatan, paguyuban, Surau,
  dst) aktif dalam penelitian, dan memasyarakatkan/memberdayakan
  masyarakat terhadap budaya local, sekaligus sebagai pusat-pusat di
  mana masyarakat dapat belajar dan mengerti multikultural. 

2.   Pluralis Agama.
Catatan penting, Pluralis adalah Pengakuan terhadap adanya beberapa agama yang hidup dan dianut oleh masyarakat. Jadi bukan Pluralisme. Pluralisme sendiri berarti, mengakui bahwa semua agama itu sama. Paham yang terakhir ini, kita tolak bersama. Sebab masing-masing Agama memiliki kebenaran dan tidak bisa di tawar oleh Agama lain. Islam untuk penganut Islam, Kristen (Katholik dan Protestan) untuk penganut Kristen, Hindu untuk penganut Hindu, demikian pula untuk Budha, konghucu/Metakin. 

Jadi bicara soal Pluralis berarti tentang kehadiran Agama lain selain Agama kita. Dan itu adalah  Realitas yang sudah terbangun dalam sepanjang sejarah Bangsa Indonesia. Realitas itu, akhir-akhir ini agak terganggu dalam harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kejadian-kejadian Paskah Reformasi di beberapa daerah di Indonesia, amat memilukan dan memiriskan hati, sekaligus meninggalkan trauma yang berkepanjangan di benak kita bersama. Ketika Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945, Kesatuan Berbangsa dan Bernegara di naungi oleh Bhineka Tunggal Ika dalam satu wadah yang di sebut Indonesia. Pada awal-awal Kemerdekaan sampai pada masa ORLA,  Masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan dengan tetap saling menghormati dan menjaga diantara sesame Pemeluk Agama dalam format toleransi yang amat tinggi, bahkan menjadi contoh bagi Negara-negara yang kondisi masyarakatnya serupa Indonesia. Pada masa ORBA persoalan kerukunan antara umat beragama diambil alih oleh Pemerintah tanpa adanya gerakan pertumbuhan kerukunan antar umat beragama yang berkembang secara alamiah. Artinya, Pemerintah ketika itu mengambil alih sesuatu yang seharusnya bertumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia dan menjadi pengalaman hidup bagi tiap pemeluk agama dan antar Agama. Akibat dari itu, masyarakat Indonesia selama 32 tahun, tidak memiliki pengalaman untuk belajar menerima dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Jadi sesudah reformasi 1997/1998 yang lalu, masyarakat Indonesia yang terkurung 32 tahun, menjadi histeris dan terbalut utopia kebebasan, seperti yang kita lihat dan alami sepanjang tahun 1998  sampai 2004 bahkan masih berbuntut dengan hadirnya beberapa kelompok keagamaan yang hidup eklusif bahkan cenderung sesat dan menafsir Isi kitab Suci Agama sekehendak hati kelompoknya.
Belajar dari pengalaman itu, Wawasan Multikultural menjadi penting dan suatu keniscayaan yang terus-menerus dikembangkan dalam lapisan masyarakat Indonesia. Penghargaan terhadap kehadiran orang lain dengan Agama yang berbeda ditengah kehidupan kita mestinya  hal yang biasa-biasa saja atau wajar, mengingat bahwa sejak dahulu kala bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat Plural. Realitas itu, tidak bias dihapus, atau dihilangkan dari Bangsa dan Negara kita. Yang jadi persoalan kemudian adalah, kesedian kita untuk sama-sama dapat hidup berdampingan dengan tetap menghormati bahwa Agama yang dianut oleh Tetangga, teman kantor, teman dalam club kesenian dan olah raga,  teman kuliah, teman dalam kelas, teman dalam satu rumah/atap (kost-kostan, Rusun, Apatement), teman dalam satu perjalanan, dengan tetap menjaga kehormatan Agama orang lain dan kekudusan Agama kita sendiri.
Relasi dan intensitas seperti itu yang dibutuhkan  dalam masyarakat Indonesia yang modern bahkan dalam masyarakat Dunia. 
Bukankah Agama dan Iman kita, adalah hubungan yang teramat dalam pada  Tuhan,  yang tidak perlu dibawah-bawah dalam ranah public.  Yang perlu kita waspadai adalah, kelompok-kelompok sempalan dari Agama yang sering kali menjadi pemicu disharmonis ditengah masyarakat kita. Termasuk didalamnya kelompok-kelompok tertentu yang mengatas  namakan Agama untuk memperjuangkan kehendak kelompoknya sendiri tanpa peduli terhadap corak dan cirikhas bangsa Indonesia yang amat Plural ini.


CATATAN AKHIR.
          Wawasan Multikultural di butuhkan oleh setiap komponen masyarakat Indonesia, baik oleh Pemerintah, Tokoh-tokoh Agama, Akademisi, Pendidik dan Tokoh-tokoh Masyarakat. Belajar menerima  kehadiran orang lain (koeksistensi) dengan latar belakang  yang menyertainya, memang tidak mudah dan membutuhkan waktu.
          Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang amat Majemuk (multicultural) yang harus disadari oleh seluruh anak bangsa yang tersebar dari Pulau Sabbang di Barat sampai Pulau Papua di Timur. Kemajemukan itu mestinya kita pelihara bersama-sama dengan tetap utuh pada Agama dan Budaya kita masing-masing.
Masyarakat Dunia sekarang ini, adalah Masyarakat yang saling membutuhkan satu sama lain, tolong-menolong dan ketergantungan sesame masyarakat Dunia. Dalam hal ini, Indonesia pun terlibat di dalamnya.
Demikian kertas kerja ini, semoga bermanfaat bagi Wawasan Multikultural bagi Bpk/Ibu Guru Sekalian. Salam Sejahtera.

Disampaikan dalam  ORIENTASI GURU MULTIKULTURAL  Depertemen Agama Kantor Wilayah Prop. Sumatra Barat.
RW. Maarthin.
RWM.BOONG BETHONY