20/08/08

Seko Dataran Tinggi Ekosisten Hutan Tropika Humida!

RWM.BOONG BETHONY
Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko
Rob Colection

Sumber : http://www.alamsulawesi.net/
Andi Ahmad Effendy

Di edit RWM Boong Bethony.

Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka perlu di perkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko. Sehingga dapat berhadap-hadapan dengan pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Agar pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (Hutan) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko, dapat bersinergis sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko.

Kawasan hutan masyarakat adat Seko merupakan salah satu kawasan yang kaya raya keanekaragaman hayati yang tidak kalah pentingnya dengan beberapa daerah lain di Indonesia bahkan diberbagai belahan dunia manapun. Dalam kawasan tersebut ekosistem hutan tropika humida pegunungan masih utuh di sebagian besar wilayah Hutannya.

Jenis floranya meliputi tumbuhan yang dimanfaatkan kayunya seperti Fragerae elliptical, Aghatis (Damar), Elmerilla Sp, Palaguium Sp, Casuarina Sp, Magivera indica, Ficus Sp. Sedangkan ditinjau dari familia (suku), terdapat antara lain; Loganiaceae, Araucariaceae, Magnoliaceae, Sapotaceae, Casuarinaceae dan Moraceae, dll. Sedangkan dalam bahasa local, terdapat kayu Uru, kayu gaharu, Kalapi, Damar, Ulin, Kayu Besi, Tahi, Kadingnge’, Tarian, Bitti, Hulante. Dari Jenis tumbuhan non kayu (rotan) itu sendiri terdapat 12 jenis (dalam bahasa lokal) antara lain; Rotan Kodo, Tuhosumahu, Manoko, Tariang, Kuratung, Pubakiang, Karuku, Madun Karuku, Tariang, Sikuntaa, dll. Sementara jenis tumbuhan lainnya terdapat anggrek, bambu, durian, langsat, enau, berbagai jenis palem dll.
Jenis fauna yang ada antara lain merupakan satwa khas Sulawesi seperti; monyet Sulawesi, elang sulawesi, anoa, lintah, tawon/lebah, ular, babi hutan, biawak, tangkasi, kus-kus, burung tekukur, rangkong, burung hantu, kakak tua putih, pipit, ayam hutan, kupu-kupu, wallet, kelelawar, maleo.
Pentingnya Kawasan Masyarakat Adat Seko ditinjau dari segi hidrologis .
Dari segi hidrologis Kawasan Masyarakat Adat Seko berperan sebagai penyangga air yang sangat penting dan berguna sebagai sumber irigasi persawahan yang mengairi lahan pertanian/persawahan.

Fungsi hidrologis tersebut telah mencakup 7 Kabupaten yang tersebar pada tiga Propinsi yakni Propinsi Sulawesi Selatan sendiri, Propinsi Sulawesi Barat dan Propinsi Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Donggala. Adapun sungai-sungai penting tersebut adalah; Sungai Lariang yang terpanjang di Sulawesi yang mengalir sampai ke Donggala- Sulawesi Tengah.
Posisi Seko pada sungai tersebut berada pada posisi paling hulu yang berbatasan dengan wilayah Rampi. Sungai Budong-Budong dan Sungai Uro yang mengalir ke wilayah Kabupaten Mamuju, Majene dan Toraja. Sungai Benuang dan Sungai Rongkong yang mengalir ke Masamba, Sabbang dan Lamasi. Hasil pengamatan pada beberapa sungai terpenting dari Kawasan Seko yang bermuara di Kab. Luwu dan Luwu Utara, Mamuju dan Majene, Tana Toraja, serta Sulawesi Tengah pada musim hujan memberikan dampak terutama rusaknya lahan-lahan pertanian seperti Perkampungan, Sawah dan kebun-kebun rakyat sedangkan pada musim kemarau airnya berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin rusaknya hutan sehingga banjir mudah terjadi. Melihat kondisi hidrologi di kawasan Masyarakat Adat Seko merupakan penentu bagi keberlangsungan bagi ratusan ribu hektar persawahan, perlu dipertahankan, selain itu dengan semakin terancamnya keanekaragaman hayati terutama, kayu maupun non kayu (rotan), secara langsung akan memberikan dampak dan pengaruh terhadap Kawasan Masyarakat Adat Seko.
Kondisi Sosial Masyarakat Adat Seko Secara Geografis.

Masyarakat Adat Seko adalah termasuk wilayah Pemerintahan Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah besar yaitu Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo yang terdiri atas 9 (sembilan) wilayah berdasarkan Pemangku Adat dan 12 (Dua Belas) wilayah Pemerintahan Desa. Dari data yang di peroleh dari Kantor Camat Seko, bahwa penduduk Masyarakat Adat Seko sebanyak 5.620 KK, 17.053 jiwa adalah 99,5 % hidup sebagai petani. Daerah ini berada pada posisi ketinggian yang dikenal dengan Dataran Tinggi Sulawesi “To Kalekaju” yang berbatasan dengan sebelah Utara Propinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Barat Propinsi Sulawesi Barat -Kabupaten Mamuju, dan Majene, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Tana Toraja. Daerah ini memilki luas wilayah secara keseluruhan sekitar 500.000 Ha dengan perimbangan luas 65 % adalah Hutan sedangkan selebihnya adalah lahan-lahan persawahan, perkebunan, Padang Savana sebagai lahan peternakan masyarakat (kerbau, kuda, sapi) serta perburuan secara tradisional. Daerah ini memiliki bukit-bukit, lembah dan padang savana yang cukup luas sekaligus dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Seko sebagai lahan peternakan.

Seko juga adalah salah satu daerah yang kaya dengan variditas padi lokal ada 23 jenis.
Sejak nenek moyang masyarakat adat seko hingga tahun 1980-an masyarakat Seko masih memproduksi kain dari kulit kayu (ani’, sassang) bahasa lokalnya. Daerah ini sejak tahun 1987 – 1995 dapat ditempuh dengan naik pesawat kapasitas 5 orang penumpang! Kemudian tahun 2000 - pertengan thn 2007 pesawat Dass kapasitas 16 penumpang! Sampai tulisan ini diperbaharui penerbangan ke seko masih belum lancar!. Untuk sekarang kita dapat jangkau dengan naik motor selama 1 hari (10 - 14 jam) perjalanan dan naik kuda dengan 2-3 hari perjalanan. Pada Jaman Kolonial Belanda wilayah ini terjangkau dengan kendaraan beroda empat terutama pada hari-hari tertentu yang telah disepakati dengan masyarakat terutama waktu penimbangan getah Damar. Masyarakat Adat Seko umumnya memanfaatakan sumber daya alam dengan cara bertani/sawah, berladang/berkebun, beternak dengan pengelolaanya secara tradisonal. Potensi Kawasan hutan di Seko yang luasnya sekitar 370.000 Ha sangatlah memungkinkan untuk melanjutkan hajat hidup mereka.

Yang menjadi persoalan adalah semakin lemahnya posisi tawar mereka yang mengakibatkan pengusaha-pengusaha leluasa mengambil kekayaan sumberdaya alam mereka, semakin lemahnya fungsi hukum adat dalam mempertahankan dan melindunginya.

Persoalan yang sama adalah tidak adanya sumberdaya manusia yang mampu melakukan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Bahkan peningkatan skill masyarakat adat Seko dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut baik yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha maupun NGO belum ada sama sekali. Sementara upaya tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan asli masyarakat dan mengimbangi ketergantungan pada penjualan kayu, rotan yang semakin mengancam punahnya komoditi andalan masyarakat adat Seko tersebut.

Mengingat Kawasan Ekosistem Seko tersebut sangat penting terhadap keberlanjutan hidup Masyarakat Adat Seko dan wilayah disekitarnya maka untuk menjaga keseimbangan ekosistem baik diwilayah Seko sendiri maupun wilayah-wilayah lain, maka Yayasan Bumi Sawerigading bekerja sama dengan Masyarakat ada Seko, memandang perlu untuk mengadakan kegiatan “Promosi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan yang berbasis Masyarakat Adat Di Seko Kab. Luwu Utara – Sul Sel” sebagai realisasi kepedulian dalam hal pelestarian sumberdaya alam/lingkungan.
Pentingnya kearifan lokal dalam melestarikan kawasan Seko Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang penting dan bermakna bagi upaya melestarikan hutan tropika misalnya : Memfungsikan hutan sebagai bagian dari harga diri dan roh kehidupan masyarakat adat Seko yang harus dijaga dan dilestarikan.
Memfungsikan hutan untuk keperluan rumah tangga saja dan tidak terkait kepentingan komersial.
Masyarakat Adat Seko secara turun temurun telah melakukan praktek-praktek tebang pilih secara terkendali, mempraktekkan siklus pertanian secara konsisten, menetapkan kawasan tertentu untuk dilindungi; masyarakat memiliki tata ruang yang mengandung nilai-nilai konservasi. Masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan penanaman kembali (durian, langsat) setelah melakukan pembukaan lahan.

Masalah yang dihadapi masyarakat Seko adalah tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam hutan, disamping belum berkembangnya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.
Dari akar permasalahan sebagai berikut sistem alokasi dan pengelolaan sumber daya alam yang terpusat (sentralistik) di tangan pemerintah (government-based resources alocation and management) telah menyebabkan tidak terhiraukannya faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat adat.

Kenyataannya, selama Pemerintahan Orde Baru, kebijakan pembangunan nasional sama sekali belum mengakomodasikan adat, sistem pengetahuan lokal dan metode-metode pengelolaan yang arif dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kawasan Masyarakat Adat Seko yang bisa menjamin keberlangsungan sumber daya alam dan mengurangi kemiskinan. Pendekatan pengelolaan yang didasarkan pada pengelolaan administrasi Pemerintah Daerah telah menyebabkan pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara parsial dan tumpang tindih sehingga strategi yang digunakan untuk ekosistem yang sama dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, akibatnya adalah terjadinya degradasi lingkungan karena saling tunjuk hidung dalam penyelamatan keanekaragaman hayati.
Reformasi telah bergulir, merupakan momentum yang sangat tepat untuk merubah paradigma pendekatan, metode dan strategi pengelolaan sumber daya alam hutan yang tidak adil, demokratis dan lestari. Masyarakat telah dikucilkan dari seluruh proses pembangunan. Secara nasional tuntutan perubahan dari masyarakat semakin keras bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan). Tuntutan perubahan ini bahkan telah diwarnai oleh berbagai tindakan-tindakan perlawanan dan kekerasan. Situasi yang sangat kritis ini harus di “kelola” dengan serba kehati-hatian sehingga transisi berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan keberlanjutan/kelestarian. Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka dapat memperkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko sehingga dapat menghadapi pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (rotan, kayu) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Sehingga hasil yang bisa diharapkan adalah Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko kuat dan mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Menyelamatkan keaneka ragaman hayati hutan pegunungan di Sulawesi yang sudah hampir punah. Keaneka ragaman hayati (rotan) selamat dari kepunahan melalui program yang berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Terjadinya peningkatan ekonomi yang ekologis bagi masyarakat setempat sehingga kemiskinan masyarakat disekitar hutan semakin berkurang.
PRINSIP DAN PENDEKATAN PELAKSANAAN PROGRAM. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka pendekatan yang akan digunakan adalah dengan mengkombinasikan 4 (empat) pendekatan dalam perencanaan wilayah dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang secara keilmuan paling berkembang pesat diseluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu :

1. Pendekatan “natural resource-based” yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai kesatuan yang akan menghasilkan berbagai jenis hasil bumi yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat adat dan pendapatan regional bagi masyarakat adat Seko. Pendekatan ini disamping peningkatan ekonomi masyarakat setempat, maka keadilan bagi masyarakat adat pun akan bisa ditegakan apabila hak-hak adat mereka dihargai dan dilindungi.
Sedangkan pelestarian fungsi ekologi dan keberlanjutan sumberdaya alam (hutan) akan bisa terjamin dengan rasionalisasi menuju perimbangan tekanan ekstraksi/eksploitasi diantara berbagai jenis hasil bumi yang berbeda sesuai dengan potensinya.
2.Pendekatan “ecosystem” yang mengintegrasikan faktor kesamaan karakteristik ekologi di kawasan Hutan Masyarakat Adat Seko dalam system alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Pendekatan “ecosystem” di wilayah masyarakat adat Seko ini juga menjadi relevan karena kawasan tersebut secara turun temurun, dihuni, dikuasai, dan dikelola oleh Masyarakat Adat Seko yang memilki cultural dan histories.
3.Pendekatan “socio-cultural” yang menempatkan sistem kekerabatan, kesamaan sejarah dan budaya sebagai perekat sosial dalam penerapan pendekatan ekosistem.
4.Pendekatan “community-based” yang menempatkan masyarakat adat sebagai pemegang kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pendekatan-pendekatan ini dianggap paling sesuai dengan wilayah masyarakat adat Seko karena sebagaian besar masyarakatnya masih menganut prinsip-prinsip kearifan tradisional, antara lain :

1)Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga kesimbangannya.

2)Bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resource) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar.

3)Sistem pengetahuan dan struktur pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.

4)Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dan penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas.

5)Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial ditengah masyarakat.

Dengan alternatif baru berbasis masyarakat adat ini maka kemungkinan besar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Masyarakat Adat Seko akan lebih fleksibel dalam mengakomodasikan kepentingan masyarakat, efisien dari segi biaya dan efektif dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini pula, kontribusi ilmu pengetahuan akademisi akan memperkaya pranata adat, system pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang sudah ada.

Andi Ahmad Effendy

2 komentar:

Anonim mengatakan...

menurut saya hal utama yang harus dilakukan oleh Masyarakat Seko adalah memperkuat basis adat, tradisi sakaligus sebagai persiapan jika suatu waktu kelak Jalan menuju Seko dibangun/dibuat pemerintah!
Penguatan pada wilayah dan hak ulayat masyarakat seko amat penting! Apalagi Masyarakat Adat Seko sudah dilindungi oleh Perda dan Keputusan Bupati LUWU!
Skarang tergantung pada seluruh komponen Masyarakat Seko untuk memujudkan Basis tradisi itu, agar kuat dan tahan terhadap ekspansi luar yang pada umumnya selalu menawarkan sesuatu yang bersifat konsumtif (dengan meng-imimng-imingi barang-barang yang mungkin sulit didapat masyarakat seko) sekaligus suatu pola ekonomi yang amat instan!
Jadi menurut saya kalau, masyarakat seko tidak siap dari sekarang, milik pusaka orang seko yang merupakan jantung sulawesi ini akan hancur dan musnah!
Semoga itu tidak terjadi!
Salam!

RWM Boong Bethony mengatakan...

Bang/mbak, trimakasih masukannya!
Pemikiran itu akan kami perhatikan!
Sering-sering berkunjung ke Blog ini!
Makasih!
Salam Persahabatan!