29/04/08

SELINTAS SEJARAH SEKO

RWM.BOONG BETHONY



inaSeko
Institut Advokasi & Pemberdayaan Masyarakat Tanah Seko
Institute of Advocacy & Empowerment of ToSeko

Gabah Berserakan: Lintasan Sejarah Masyarakat Seko*

Oleh Zakaria J. Ngelow


Hono', Pohoneang, Beroppa': lipu sitandi laliang; to Seko sa'tokesan buria’...


Beberapa kelompok masyarakat tradisional di Sulawesi (Selatan dan Tengah) mengalami perubahan sosial yang mendasar dalam kurun waktu sekitar 70 - 80 tahun sejak permulaan abad ke-20, yang disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen dan masuknya agama Kristen, maupun karena berbagai gejolak yang terkait dengan perkembangan sejarah nasional Indonesia. Demikian juga masyarakat Seko, yang bermukim di hulu sungai Karama, di aliran sungai-sungai Betue dan Uro, yang kini menjadi salah satu kecamatan di Kab. Luwu Utara, dengan penduduk lebih kurang 12.000 jiwa bermukim di 12 desa.

Masyarakat Seko mengalami perubahan-perubahan sosial mendasar sejak tahun 1920-an akibat masuknya agama Kristen serta administrasi kolonial, kemudian berturut-turut pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan Indonesia, pendudukan DI/TII, dan munculnya pemerintahan Orde Baru. Karangan ini memperlihatkan pokok-pokok perubahan-perubahan itu, yang berlangsung antara tahun 1923 s/d tahun 1967.

Periode sekitar setengah abad tersebut dapat dibagi atas empat babakan sejarah, yakni datangnya dunia baru (1923-1945), mendung di langit Seko (1946-1953), tesebar dalam pengungsian (1954-1963), dan Seko menegakkan kehormatan (1964-1967).

Bahan-bahan untuk tulisan ini diperoleh dari penuturan lisan para pelaku sejarah yang penulis sempat kumpulkan melalui serangkaian wawancara. Selain itu ayahanda penulis, Y.K. Ngelow, juga menulis catatan-catatan pengalamannya sejak zaman Jepang sampai menjadi salah seorang pemimpin masyarakat pengungsi Seko di daerah Makki. Salah seorang tokoh masyarakat Seko, P.K. Bethony, juga menulis suatu karangan panjang mengenai pengalaman-pengalamannya. Seorang tokoh lainnya, S.P. kalambo, secara khusus menulis mengenai gerakan masyarakat Seko menumpas gerombolan DI/TII di Seko pada tahun 1964 dalam suatu operasi yang disebut Operasi Pong Huloi. Karangan-karangan itu masih berupa manuskrip yang belum diterbitkan.

Seko Silam

Masyarakat Seko pada mulanya suatu masyarakat tradisional yang relatif terpencil dalam lingkup wilayah geografisnya di pegunungan yang memang jauh dari jangkauan komunikasi dan transportasi. Hubungan dunia luar terjadi dalam bentuk perjalanan-perjalanan melintasi rimba raya ke arah wilayah Rongkong dan terus ke Masamba di arah Selatan, untuk mendapat garam, maupun dalam kaitan dengan urusan-urusan pemerintahan tradisional sebagai wilayah kekuasaan kapayungan Luwu. Ada pula hubungan-hubungan perang dan damai dengan suku-suku sekitar (Galumpang di sebelah Barat, Kulawi di sebelah Utara) yang al. berkaitan dengan tradisi religius mengayau masyarakat Seko, sebelum pemerintah kolonial masuk dan melarang pengayauan.

Asal-usul masyarakat ini hanya dikenal dari tuturan lisan bahwa penduduk kedua kampung asal, Hono’ dan Pohoneang, berasal dari keturunan seorang tokoh yang disebut Tomessalu (= Yang datang menyusur sungai). Penulis menduga datangnya dari sebelah Barat dengan menyusur sungai Karama. Kedua sub-suku ini memakai bahasa Seko, yang nampaknya tidak serumpun dengan bahasa Toraja yang lasim di daerah Luwu, Toraja, Enrekang, Mamasa dan Mamuju. Bahasa Seko mempunyai banyak kemiripan dengan bahasa To Panasuan di lereng gunung Sandapang sebelah Barat kampung Pohonenang. Kampung Hono’ terletak di dataran luas (=padang) di bagian Timur Seko, sehingga masyarakatnya lasim disebut To Padang. Penduduk kampung Beroppa’, yang merupakan unsur ke-3 dalam masyarakat Seko, adalah perpindahan sejumlah orang Rongkong (mula-mula dari Kanandede), yang tidak tahan terhadap kesewenang-wenangan para pemimpin masyarakatnya. Kaum eksodus ini disambut oleh para pemuka masyarakat Seko di Pehoneang dan diberi tempat pemukiman di daerah Lemo, di sebelah Barat dekat sungai Uro, setelah beberapa lamanya menetap bersama. Mereka kemudian dikenal sebagai To Lemo, dengan bahasa Rongkong yang merupakan suatu dialek bahasa Toraja. Mereka akhirnya membangun kampungnya di bukit Beroppa’, sehingga juga dikenal sebagai To Beroppa’.

Hubungan perang dan damai kadang terjadi antara ketiga fihak, namun juga berlangsung ikatan-ikatan kekeluargaan melalui perkawinan. Demikianlah sub-suku To Pohoneang, To Hono’ (To Padang) dan To Beroppa merupakan tiga serangkai masyarakat Seko yang tumbuh dalam sejarah, hubungan-hubungan perkawinan dan menyatu dalam daerah yang sama, menjadi satu persekutuan ibarat tiga batu tungku mengikuti tiga gunung di wilayah Seko: Kambuno, Malimongan, Baba. Lambat laun penduduk ketiga kampung berkembang dan kampung-kampung baru dibentuk, antara lain: Kariango dan Lantang Tedong di Beroppa’, Hoyane dan Amballong di Pohoneang, serta Eno dan Lodang di Hono’. Sejumlah orang Rampi dari sebelah Timur berpindah mendirikan kampung Singkalong di Seko Padang. Penduduk hidup bertani mengikuti aturan-aturan ketat adat dan keagamaan yang lasim dalam masyarakat agraris tradisional.

Ketiga kelompok ini mempunyai bentuk-bentuk kesenian masing-masing, yang terutama ditampilkan pada masa pesta panen. Nyanyi dan tarian ma’baendon, ma’tindallung, molere, mohokke, tarian sumajo (perempuan), mangaru’ (tari perang) dan ma’dodakan merupakan bentuk-bentuk kesenian tradisional, yang dewasa ini telah banyak dilupakan. Dekat Pohoneang terdapat hatu rondo (=batu berukir), batu besar berdiameter sekitar 4 - 5 meter dan tinggi 1,5 - 2,5 meter yang di permukaannya terdapat lukisan-lukisan kuno yang dipahat menggambarkan telapak kaki, ayam, kapak, nyiru, lesung dan orang menumbuk, dan orang memegang tombak.

Masa silam masyarakat Seko tidak banyak dikenal. Sebagaimana lasimnya dalam tradisi lisan, masa silam diungkapkan melalui silsilah dan kisah-kisah heroik. Ada kisah tentang Talambia, seorang raksasa yang sewenang-wenang mengambil kerbau dan menguras lumbung padi masyarakat. Tetapi kemudian dia dibunuh dengan memberinya makan bulatan besar nasi ketan berisi besi yang dipijarkan. Mungkin itu sebuah tamsil. Ada kisah yang lebih historis tentang Pong Huloi, seorang gembala kerbau yang dengan kearifannya berhasil memimpin para pahlawan perang (=tobarani) memenangkan suatu pertempuran. Kemudian ada kisah tentang serbuan orang Kulawi yang membumi hanguskan Pohoneang. Penduduknya mengungsi ke Beroppa dan beberapa bulan bertahan dalam kampung berbenteng di puncak bukit itu sampai akhirnya pasukan Kulawi pulang tanpa kemenangan. Sejumlah orang Seko masih menyimpan pinae (=kelewang) yang direbut leluhurnya dari tangan musuh-musuhnya di medan perang.

Kisah historis lainnya mengenai Ma’roak, seorang tokoh berperawakan tinggi besar dari daerah Galumpang, Mamuju, yang merajalela merampas milik masyarakat di daerah Pohoneang. Dua orang tobarani dari Beroppa’ berhasil mengalahkan dan memenggal kepalanya. Tengkoraknya, yang mencolok besarnya (sebesar kurin bai =belanga besar yang lasim untuk memasak makanan babi), dikuburkan bersama tengkorak lainnya pada zaman Jepang. Kelewang yang dipakai membunuh tokoh yang kabarnya sangat kebal dan sakti itu masih disimpan keturunan sang tobarani, demikian juga pefo (kain cawatnya) yang lebarnya sekitar setengah meter dan panjangnya sampai tujuh meter.

Satu-satunya karangan mengenai masa silam masyarakat Seko yang penulis dapatkan adalah suatu uraian dari J. Kruyt, zendeling dari daerah Poso, yang diterbitkan pada tahun 1920, mengenai tradisi pesta panen dan tattoo. Dalam pesta itu dilakukan ritus pengorbanan seorang gadis (tandasang) kepada dewa-dewa. Sang gadis dibunuh – setelah beberapa lamanya dilimun (=dipingit dalam rumah dan diberi makan yang enak-enak)– dengan menumbuknya hidup-hidup dengan alu dalam lesung panjang, lalu diarak dari rumah ke rumah untuk diteteskan darahnya di lesung-lesung di setiap rumah sekampung. Tengkoraknya dikumpulkan dalam lumbung tengkorak. Di Beroppa’ seluruh tengkorak itu dikuburkan setelah penganut agama suku beralih seluruhnya ke agama Kristen pada masa pendudukan Jepang. Dalam rangka pesta itu pula dilakukan seni moronno (men-tatto): sejumlah perempuan muda dari kaum bangsawan di-tatto sekujur tubuhnya dari pusar ke atas. Sehari-hari mereka bertelanjang dada, tidak perlu mengenakan baju lagi. Karangan itu memuat gambar-gambar tatto yang lasim di Seko.

Karakter khas ketiga kelompok orang Seko juga berbeda. To Beroppa’ cenderung militan dan reaktif mengandalkan kekuatan fisik, To Pehoneang pendiam dan cenderung masa bodoh, sedangkan To Padang lemah solidaritasnya dan kadang-kadang sulit dipahami keinginannya. Memang ada perbedaan-perbedaan karakter, namun sikap dasar bersama adalah keterbukaan, keramahan dan persaudaraan, sebagaiamana arti nama “seko”: sahabat. Kenalan atau kerabat antara kampung sering saling mengunjungi dan bertukar cindra mata. Orang Pehoneang mahir membuat belanga dari tanah liat yang bermutu. Di daerah Beroppa’ orang menggali batu besi dan meleburnya untuk ditempa menjadi perkakas pertanian dan peperangan: sekop, tajak, parang, kapak, tombak, kelewang dan sebagainya.

Setiap kampung merupakan satu kesatuan yang otonom. Susunan masyarakat terdiri atas kaum pemimpin, rakyat kebanyakan dan para budak. Ada beberapa fungsi kepemimpinan yang masing-masing dipegang oleh beberapa orang. Tomokaka/Tobara’ merupakan pemimpin masyarakat, sedangkan urusan keagamaan dipegang seorang imam (di Beroppa’ disebut Tosiaja’). Masalah-masalah adat berada di bawah Matua Tondok. Keputusan-keputusan penting ditetapkan bersama dalam permusyawaratan. Setelah masuknya pemerintahan kolonial, jabatan Kepala Kampung diadakan, dan kemudian seluruh Seko dijadikan satu distrik dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Paulus Kalambo, Tomokaka Beroppa’, diangkat menjadi Kepala Distrik Seko yang pertama pada tahun 1930-an. Ia berpindah dari Beroppa ke Seko Padang, mendirikan kampung Busak. Kaum perempuan tidak memegang jabatan kepemimpinan namun diakui peranannya dan diminta persetujuannya dalam pertemuan-pertemuan kekeluargaan maupun musyawarah masyarakat. Di kalangan rakyat terdapat orang-orang yang dihormati sebagai orang kaya (mempunyai banyak kerbau dan lumbung padi kain dan harta lainnya) dan para tobarani (=pemberani, pasukan perang). Kaum budak adalah orang-orang yang dibeli (lasimnya gadis remaja dari Toraja yang dibawa ke Seko untuk dibarter dengan kerbau), musuh yang ditawan dalam peperangan, atau orang yang melanggar adat yang tidak mampu membayar dendanya. Setelah agama Kristen masuk para budak dibebaskan dan sistim perbudakan dihapuskan.

Cahaya Baru Bersinar

Sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial, jajaran Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru (orang Ambon dan orang Minahasa) untuk membuka sekolah rakyat di daerah-daerah terpencil pedalaman Sulawesi, termasuk daerah Seko. Tahun 1923 dibuka sekolah rakyat (3 tahun) di Pehoneang dan kemudian di antara Beroppa dan Kariango (di Pebatuan). Anak-anak usia sekolah dipaksa bersekolah. Anak yang menolak bersekolah orangtuanya didenda kerja rodi. Sekolah ini pula yang dipergunakan untuk menyebarkan agama Kristen di kalangan masyarakat. Murid-murid sekolah diajar membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan menggambar. Bahasa pengantar adalah bahasa Toraja dan bahasa Melayu. Bahan-bahannya umumnya berhubungan dengan agama Kristen, sehingga para murid memahami dan lambat laun menerima agama Kristen. Diduga baptisan pertama dimulai sekitar tahun 1927 atau 1928. Mereka mempengaruhi orang tuanya dan sejumlah orang tua menerima agama Kristen. Para orang tua ini bersama guru-guru sekolah merupakan penginjil yang ulet dan berusaha mempengaruhi kerabat dekat mereka. Penginjilan yang lebih sistematis dijalankan setelah wilayah Seko diserahkan kepada GZB, suatu badan penginjilan dari negeri Belanda, yang mengutus H. van Weerden melayani daerah Rongkong dan Seko. Van Weerden, dengan bantuan sejumlah guru, melakukan tugasnya dengan baik dan mendirikan jemaat-jemaat dan membina sejumlah tenaga penginjil asal Rongkong dan Seko, serta menetapkan aturan-aturan kehidupan gereja. Van Weerden menetap di daerah Rongkong (Salu Tallang) dan membangun sebuah rumah besar yang masa itu dikenal sebagai “rumah seratus jendela”. Sampai pendudukan Jepang agama Kristen telah dianut sekitar 30-40% penduduk Seko dan bersama-sama dengan daerah Rongkong merupakan wilayah pekabaran Injil GZB yang paling maju.

Dunia pendidikan cukup menarik perhatian masyarakat Seko sejak awal. Beberapa orang yang dianggap mampu disekolahkan sampai ke Masamba. Bahkan Kalambo, kepala distrik Seko, berusaha menyekolahkan anak-anaknya dengan serius dan mendirikan Mata Lalan (=perintis) suatu lembaga bantuan biaya dari kas (lumbung padi) masyarakat bagi anak-anak Seko yang cerdas. Beberapa anak Seko kelahiran tahun 1920-an dan 30-an menamatkan pendidikan dan menjadi guru di berbagai tempat.

Agama Islam di Seko mulai-mula diperkenalkan oleh para pedagang Bugis dan Enrekang (orang Duri) sejak tahun 1930-an. Ada yang menetap dan kawin dengan penduduk setempat. Beberapa bangsawan Luwu’ dari daerah pantai juga menetap dan kawin dengan penduduk setempat di kampung yang berbeda-beda, misalnya Andi’ Appe’ di Beroppa dan Opu Tosale di Lodang. Terdapat pula keluarga keturunan Tionghoa yang menetap di kampung-kampung Seko sebagai pedagang (membuka kedai barang-barang kelontongan yang dibarter dengan kopi). Mereka disebut oleh penduduk setempat sebagai Baba’: Baba’ Beroppa’, Baba’ Patimang di Pehoneang dan Baba’ Layung dan Baba Gintu di Hono’. Maka agama Kristen dan agama Islam menjadi dua agama yang dianut masyarakat yang hidup berdampingan secara damai, masing-masing memberi pedoman hidup bagi masyarakat Seko, laksana aliran kedua sungai, Betue dan Uro.

Penguasa Jepang melarang agama suku dan memaksa penduduk yang beragama Suku untuk memilih masuk Kristen atau masuk Islam. Umumnya penduduk memilih agama Kristen, tetapi sampai awal tahun 1950-an banyak yang tidak sempat dibaptis. Walaupun agama Kristen dipeluk oleh mayoritas masyarakat Seko, persaudaraan dengan warga Muslim tetap berjalan baik, juga kemudian setelah peristiwa-peristiwa pahit pendudukan gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar.

Para pemimpin gereja berusaha menghapuskan berbagai tradisi pra-Kristen dari masyarakat Seko, namun adat massalu (orang sakit parah dipaksa mengakui kesalahannya yang dianggap penyebab penyakitnya) tetap berlangsung, dan kesetiaan terhadap pantangan mengunjungi pekuburan kecuali kalau ada pemakaman orang mati atau pada peringatan hari kematian Tuhan Yesus Kristus (hari Jumat Agung). Tetapi syair-syair kesenian ma’baendon (tarian dan nyanyian massal pada pesta panen) di kalangan To Beroppa’ diisi dengan puji-pujian Kristiani. Agama Kristen masuk dengan menggunakan bahasa Toraja dalam terjemahan Alkitab dan Mazmur-Tahlil, serta bahasa liturgi, sehingga bahasa daerah setempat sangat dipengaruhi bahasa Toraja.

Hal terpenting yang dilakukan penguasa Jepang di Seko adalah memobilisasi para pemuda dalam organisasi kepemudaan Seinendan. Untuk pertama kalinya melalui wadah ini para pemuda dari kampung-kampung yang berbeda dipertemukan dan dibina bersama melalui latihan-latihan semi kemiliteran. Masa pendudukan Jepang juga banyak dikenang sebagai masa susah karena kurangnya pakaian dan makanan. Tetapi latihan-latihan bagi para pemuda itu kemudian sangat bermanfaat ketika mereka menghadapi situasi baru perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Mendung di Langit Seko

Panggilan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia terhadap pendudukan NICA (The Netherlands Indie Civil Administrastion), suatu badan bentukan Sekutu untuk mengembalikan Indonesia ke penjajahan Belanda, mempertemukan pemuda-pemuda Seko dengan sesama pejuang di daerah Luwu. Daerah ini terus berusaha melakukan perlawanan sampai tahun 1949, ketika perjuangan di daerah-daerah lain telah dipadamkan. Sayang bahwa perjuangan itu juga diwarnai konflik-konflik internal sehingga sejumlah pemimpin dan guru Kristen di daerah Luwu dibunuh dengan tuduhan mata-mata Belanda. Dua orang pemuda Seko dari Beroppa’, Lamba’ Kalambo dan Betulang Tomallo’, gugur di Rantepao, Tana Toraja, ditembak aparat NICA pada tahun 1945. Gugurnya pimpinan pemuda dari Seko itu terkait pula dengan konflik internal tersebut. Konflik-konflik itu sempat memunculkan gagasan sejumlah pemimpin daerah-daerah pegunungan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen untuk keluar dari kesatuan pemerintahan Luwu dan bergabung dengan Tana Toraja.

Sementara itu pasukan NICA menangkap banyak pejuang dari Seko, dan bersama para pejuang lainnya dipenjarakan di Masamba. Sebagian dibawa ke penjara di Makassar, dan dari mereka itu sebanyak 12 orang dibuang ke penjara Nusa Kambangan. Salah seorang dari mereka, Y.K. Ngelow dari Beroppa’, dibaptiskan di gereja Indische Kerk di Cilacap pada tahun 1948. Mereka baru dibebaskan pada tahun 1950, setelah berlangsung penyerahan kedaulatan dari fihak pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia.

Pengungsi Berserakan

Bebas dan pulangnya sejumlah pemuda Seko dari penjara kolonial ternyata bukan akhir dari tantangan generasi itu. Suatu kenyataan baru muncul di Seko pada tahun 1952, yakni anggota gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Mula-mula beberapa pemuda Seko eks-pejuang kemerdekaan bergabung dengan perjuangan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang kemerdekaan dari Sulawesi Selatan itu. Tetapi setelah DI/TII memaksakan peng-Islam-an penduduk dan adanya berbagai tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat maka sebagian pemuda Seko keluar dari perjuangan itu. Bahkan di Beroppa’, salah seorang eks-pejuang memimpin upaya-upaya perlawanan terhadap pendudukan gerombolan DI/TII. Tetapi pertimbangan-pertimbangan yang arif dari para tua-tua masyarakat mendorong para pemuda untuk menempuh jalan lain. P.K. Bethony dan beberapa pemuda masyarakat Seko (Y. Lembe, Pottanubu', Oso' dan Yohan Pangemanan) dibawa DI/TII sampai ke markasnya di lereng gunung Latimojong sebagai bagian dari rekrutmen tokoh masyarakat ke dalam gerombolan DI/TII. Tetapi setelah beberapa lama mereka berhasil melarikan diri dan melapor kepada TNI di Palopo. Di Rongkong beberapa guru dan tokoh masyarakat dibunuh gerombolan, termasuk Pdt. Sangka’ Palisungan, yang ditangkap bersama dua orang guru jemaat dan di bunuh di daerah Malangke’. Pada tahun 1953 penduduk mulai mengungsi, sebagian dapat ditangkap oleh gerombolan dan dieksekusi. Pada tahun 1953 sampai 1955 terbunuh sekitar 50 orang di tangan gerombolan DI/TII (lihat Lampiran). Hari Minggu, tanggal 27 September 1953 delapan pemuda Pohoneang dieksekusi di hadapan ratusan masyarakat yang dipaksa datang dari kampung-kampung lain untuk menyaksikan. Mereka sudah melarikan diri tetapi kembali ke kampung lalu ditangkap. Pada bulan Juni 1954 Guru Injil Rapa’ di Beroppa’ melarikan diri bersama serombongan penduduk. Sejumlah rombongannya terbunuh atau hilang dalam pengejaran gerombolan di hutan, dan Guru Injil Rapa’ bersama tujuh orang lain yang tertangkap dieksekusi di beroppa’.

Pengungsian besar-besaran penduduk Beroppa’ dan Pohoneang berlangsung beberapa bulan kemudian. Mereka mengungsi ke daerah Karama (Galumpang) di sebelah Barat Seko. Kampung-kampung yang mereka tinggalkan dibakar gerombolan setelah harta beda yang ditinggalkan dijarah. Ternak kerbau yang dibiarkan lepas setengah liar di padang rumput juga diambil gerombolan. Pengungsian dari kedua kelompok masyarakat Seko itu berlangsung sampai tahun 196o-an.

Pada bulan September/Oktober 1954 para pemuda Seko dalam satuan OPR bersama pasukan pemuda Galumpang dari pengungsian di Makki berusaha menggempur gerombolan DI/TII di Pohoneang. Kesalahan informasi mengenai kekuatan musuh menyebabkan mereka gagal, namun memaksa gerombolan meninggalkan Pohoneang dan menetap di Eno. Perang melawan satuan Lereng Cinta DI/TII itu menelan korban 11 orang pasukan pemuda Seko.

Di daerah Galumpang para pengungsi masyarakat Seko dihimpunkan di beberapa tempat untuk membangun kampung-kampung terpisah sesuai perkampungannya di Seko. Guru Injil (kemudian menjadi Pendeta) Pattikayhatu yang memimpin masyarakat Galumpang keberatan terhadap upaya menghimpun pengungsi Seko untuk berkampung tersendiri. Ia berharap bahwa masyarakat Seko yang relatif lebih maju dalam pendidikan dan Kekristenan dapat membaur dengan penduduk Galumpang supaya mempengaruhi mereka ke arah tingkat pendidikan dan Kekristenan yang lebih baik. Tetapi para pemimpin Seko berpikir sebaliknya: pembauran akan menimbulkan banyak konflik dan juga akan melemahkan pendidikan dan Kekristenan mereka mengikuti penduduk . Demikianlah pengungsi Seko mendirikan kampung-kampung Kapai’, Rante Lo’po’, Timbu, Lantang Tedong, Tappo, Matandona, Pemanikan, dan Pattung di daerah Makki (Karataun), serta Ladang dan Ledo di Karama. Sebagian orang Beroppa’ yang mengungsi sampai ke Toraja mendirikan kampungnya di To’tallang (daerah Pangala’), tetapi kemudian sebagian pindah ke Seriti, daerah Lamasi, Kab Luwu. Pada masa pengungsian ini masyarakat Seko di Makki dan Karama mendirikan jemaat-jemaat, dan secara swadaya membuka sekolah (SR, SMP) yang kemudian dinaungi Yayasan Pendidikan Kristen Toraja (YPKT), serta membentuk pasukan keamanan (OPR/OPD Seko). Pasukan-pasukan Seko ikut serta dalam mempertahankan keamanan di Toraja dan di daerah PUS/Mamasa pada tahun 1950-an. Tahun 1962 perwira polisi asal Seko, Y.K. Kalambo, sempat membawa lebih 20 kepala keluarga dari Makki ke Gorontalo untuk menetap di sana, tetapi sebagian besar kembali lagi ke Makki.

Perlu dicatat bahwa selama pengungsian di Makki tidak ada perhatian dari fihak pemerintah untuk membantu para pengungsi Seko dengan bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Demikian juga pelayanan gereja (Gereja Toraja) jarang dilakukan, sementara tidak ada pendeta yang ditempatkan di tengah-tengah mereka (masa itu Gereja Toraja kekurangan tenaga pendeta). Sesekali ada pelayanan sakramen dan pemberkatan nikah dilakukan pendeta yang diutus dari Toraja, atau oleh pejabat Gereja Toraja Mamasa yang mengunjungi wilayah Galumpang. Baru pada tahun 1961, Daniel P. Kalambo, putera Seko yang menyelesaikan studinya di sekolah pendeta Makassar, diangkat menjadi pendeta Gereja Toraja untuk masyarakat Seko di Makki. Beliau melayani masyarakat Seko di Makki dan di Seko sampai tahun 1973, lalu masuk dinas militer.

Mengungsi ke Utara

Untuk beberapa waktu lamanya penduduk di daerah Seko Padang berada di bawah kekuasaan gerombolan DI/TII. Orang-orang dari Pehoneang dan sekitarnya yang tidak sempat mengungsi dikumpulkan gerombolan di Seko Padang. Beberapa orang suami atau isteri yang terpisah dengan keluarganya dikawini gerombolan atau dikawinkan dengan orang lain. Mereka semua dipaksa memeluk agama Islam. Tetapi mereka juga berusaha untuk melarikan diri dari penindasan itu dengan mengungsi secara berkelompok melintasi pegunungan perbatasan dengan daerah Kulawi di sebelah utara. Perjalanan berhari-hari di rimba raya mereka tempuh sampai ke kampung-kampung orang Kulawi. Mereka hidup dengan membantu bekerja di kebun orang Kulawi yang memberi mereka makanan dan tumpangan.

Pelarian orang Seko ke Kulawi berlangsung beberapa kali. Kadang-kadang mereka dikejar gerombolan sampai ke daerah Kulawi. Mereka yang tertangkap dibunuh dalam perjalanan kembali ke Seko. Belum diperoleh data lengkap mengenai jumlah dan nama para korban masa itu. Para pemimpin pelarian Seko dalam gelombang-gelombang pengungsian adalah Gr. Injil Taeli, Kepala Kampung Yusak Taeteng, Gr Injil P. Kalesu, guru Tadao, guru Y.T. Saniang. Tanggal 13 Februari 1956, J. K. Kalambo, seorang perwira polisi asal Beroppa’, dengan pasukannya menyelamatkan sekitar 500 orang dalam rangka menyelematkan adiknya (Nyora Minanga, isteri P.K. Bethony) dari tangan gerombolan dan membawa mereka ke Omu. [Kemudian lagi seorang anggota polisi lainnya asal Hono’, Taboki, pada tahun 1963 membawa sejumlah keluarga ke Palolo, setelah sebelumnya menembak mati seorang anggota gerombolan DI/TII yang membunuh orang tuanya. Bulan November 1963 sejumlah sukarelawan orang Seko bersama orang Toraja mengambil sekitar 600 dari Seko Padang orang membawa mereka ke Palolo.]

Pada tahun 1956 para pengungsi Seko di daerah Kulawi dikumpulkan pemerintah dan dimukimkan di Omu, 40 KM sebelah Selatan kota Palu. Mereka diurus oleh Dinas Sosial dan di tempatkan dalam barak-barak dengan makanan dan fasilitas yang tidak memadai sehingga banyak yang sakit dan meninggal. Setelah lolos dari kekuasaan gerombolan DI/TII para pengungsi Seko itu kembali ke agama Kristen dan membentuk jemaat-jemaat. Sebagiannya tetap menganut agama Islam. Guru Injil Kalesu membawa sejumlah pengungsi membuka perkebunan dan perkampungan di hutan lembah Palolo, dekat Danau Lindu. Mereka diorganisir dalam jemaat yang kemudian menggabung ke Gereja Protestan Indonesia Donggala. Sebagian jemaat pengungsi tetap berada dalam Gereja Toraja. Tahun 1956 sejumlah lebih 40 orang pemuda Seko di pengungsian Omu’ direkrut oleh Frans Karangan (waktu itu Komandan Kompi berpangkat Letan Satu) menjadi pasukan TNI, seperti Tapepa’ Lindang, Tabuntiti, Saul Sadi’, Tabangkalang, Piter Kalesu.

Rombongan Dibantai

Pada tahun 1960 DI/TII Kahar Muzakkar melakukan genjatan senjata (cease fire) dengan TNI. Sejumlah pemimpin masyarakat Seko di Makki melihat saatnya tiba untuk mengembalikan para pengungsi ke Seko. Hanya sebagian yang bersedia pulang ke Seko, yang lainnya merasa belum cukup aman dan ingin menunggu perkembangan lebih lanjut. Salah seorang pemuka masyarakat yang mempelopori pemulangan pengungsi ke Seko mendapat tawaran dari seorang bangsawan di Palopo, rekannya berjuang pada masa revolusi, untuk memindahkan para pengungsi ke daerah Masamba. Gagasan itu ditentang oleh masyarakat dan pemimpin Seko lainnya. Para pengungsi yang pulang sejak tahun 1961 berusaha membuka kebun di lahan yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan di daerah Rantedanga’ (Seko Lemo). Seringkali mereka berkunjung ke kerabat dan kenalan di daerah Seko Padang yang tidak mengungsi dan telah beragama Islam untuk meminta bantuan makanan. Mereka dengan senang hati memberi beras dan kebutuhan lainnya untuk para pengungsi yang baru merintis kehidupannya itu.

Keadaan yang dianggap cukup aman itu mendorong Herman Batu Sisang, pejabat Kepala Distrik Pengungsi Seko di lembah Palu, Donggala, berangkat bersama serombongan kerabat ke Makki dan kemudian dengan rombongan yang lebih besar lagi, yang terdiri atas sejumlah pemuka masyarakat Seko di Makki, menuju ke Seko untuk bersilaturrahmi dengan kerabat yang tidak mengungsi di daerah Seko Padang. Tetapi sementara itu gencatan senjata antara DI/TII Kahar Muzakkar dengan TNI telah berakhir. Maka semua laki-laki dalam rombongan Kepala Distrik tersebut dilucuti, mereka ditahan dan kemudian mereka dibunuh dan dikuburkan secara massal di Hanghulo, dekat Lodang. Di antara sekitar 40 orang yang terbunuh itu selain Batu Sisang juga Timotius Tombang (tokoh asal Beroppa’ yang menjadi penganjur utama kembalinya pengungsi ke Seko), dan Jakob Batto’ Ngali’ (calon pendeta Gereja Toraja yang ditempatkan di Omu’). Demikianlah cukup banyak orang Seko yang dibunuh oleh gerombolan DI/TII. Pada berbagai kesempatan penulis menghimbau supaya masyarakat Seko memikirkan penguburan kembali seluruh korban gerombolan DI/TII dan mendirikan suatu monumen untuk dikenang generasi mendatang.

Masyarakat yang berada di Rante Danga’ menerima berita mengejutkan itu beberapa hari kemudian dari dua orang perempuan yang berhasil lolos dari pembunuhan itu dan melarikan diri melalui hutan. Kabar itu juga mencapai daerah Galumpang dan perbatasan dengan Seko (Bua Kayu dan Salu) diblokir. Penduduk dari Rantedanga’ tidak dapat mengungsi ke Makki atau ke Karama, dan bersembunyi di hutan di sekitar hulu sungai Salole, atau mengungsi sampai ke Toraja. Penolakan untuk menolong para pengungsi dari Rantedanga’ itu merupakan bagian dari konflik antara para pemimpin Seko antara yang setuju dan yang menolak pulang ke Seko pada masa genjatan senjata. Penulis, yang waktu itu berumur 11 tahun, mengungsi di hutan beberapa lamanya sampai ayahanda, yang kebetulan pergi ke Makassar, datang dan memutuskan untuk membawa kami sekeluarga ke Makassar melalui Tana Toraja.

Menegakkan Kehormatan

Beberapa orang Seko yang bertugas dalam dinas kemiliteran (tentara dan polisi) mendengar bencana yang menimpa masyarakat Seko itu. Mereka sepakat untuk mengajak semua putra Seko dalam jajaran TNI dan kepolisian mengambil cuti dan membawa senjata untuk pulang mengamankan Seko dari pendudukan gerombolan DI/TII. Johan K. Kalambo (polisi), Silas P. Kalambo (AL), J. Lembe (polisi), Piter Siing (AD) dan sejumlah tentara asal Seko berkumpul di Ladang (Karama) pada tahun 1964. Para tentara dan polisi ini membentuk satuan operasi yang disebut Operasi Pong Huloi, dengan J.K. Kalambo sebagai komandannya. Nama Pong Huloi diambil dari nama seorang pahlawan dalam sejarah peperangan Seko masa silam. Biaya operasi dibebankan kepada masyarakat, baik berupa penyediaan beras, maupun dengan mengambil kerbau di Seko, milik masyarakat yang tersisa dari gerombolan. Satuan operasi dengan senjata moderen bersama pasukan rakyat dengan senjata tradisional menyerbu gerombolan DI/TII di daerah Seko Padang. Mereka berhasil membunuh lebih 20 orang anggota gerombolan dan merampas sejumlah senjata api, termasuk sebuah senjata otomatis milik gerombolan DI/TII. Seko menjadi relatif aman dan para pengungsi dapat pulang dari Makki dan daerah-daerah lain. Pengamanan selanjutnya dilakukan oleh satuan operasi Tumpas TNI, dalam rangka menumpas gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kahar Muzakkar terbunuh dalam suatu pengejaran oleh TNI di daerah Sulawesi Tenggara pada awal bulan Februari tahun 1965. Sisa-sisa gerombolan yang bersembunyi jauh di hutan Seko (daerah Doe’, perbatasan Sulawesi Tengah) dihabisi oleh satuan TNI Raider 700/RIT dari Makassar pada tahun 1967.

Seko Diaspora

Setelah daerah Seko aman, para pengungsi yang kembali ke Seko perlahan-lahan membangun kembali tatanan masyarakatnya. Sejumlah kampung baru didirikan. Pimpinan Gereja Toraja, Pdt. A.J. Anggui dan rombongan, sempat mengunjungi daerah Seko pada masa awal yang masih menghadapi masalah-masalah keamanan. Pemerintahan di bawah Kabupaten Luwu menetapkannya menjadi bagian dari Kecamatan Limbong (disatukan dengan daerah Rongkong Atas), tetapi selama periode Orde Baru tidak ada perhatian serius pemerintah untuk membangun daerah Seko. Baru pada tahun 2003 Seko dijadikan kecamatan sendiri di bawah Kab. Luwu Utara. Keluhan utama masyarakat adalah tidak dibangunnya jalan raya untuk kendaraan roda empat ke Seko (yang sudah pernah dibuat pemerintah Belanda sebelum pendudukan Jepang). Salah satu dampak dari kesulitan transportasi ini adalah tingginya harga kebutuhan pokok yang didatangkan dari luar, seperti garam, gula dan minyak tanah, sementara harga produksi lokal seperti kopi dan kakao rendah sekali. Sementara itu hutan Seko dijarah oleh suatu perusahaan HPH, dan sebagian besar tanahnya dikuasai oleh suatu perusahaan perkebunan teh yang sampai kini tidak berfungsi.

Masyarakat Seko mengeluhkan sarana dan prasarana pendidikan yang makin menyedihkan setelah sekolah-sekolah dasar bermutu yang dikelola Gereja Toraja (melalui YPKT), diambil alih pemerintah menjadi sekolah dasar negeri pada tahun 1970-an. Sekalipun demikian anak-anak Seko tetap berusaha menuntut ilmu dengan berbekal semangat dan keuletan. Salah satu catatan penting dalam kaitan itu adalah “kisah gubuk derita” para siswa-siswi sekolah menengah asal Seko di Palopo pada tahun 1970-an. Mereka mendirikan gubuk sederhana di kompleks SPG dan di samping Taman Pahlawan untuk tempat tinggal, dan pada musim panen padi mereka bolos sekolah untuk pergi membantu memanen supaya memperoleh bagian untuk bekal makanan mereka. Gereja Toraja mendirikan Asrama Elim di Palopo untuk menampung para pelajar dari daerah, namun biayanya tidak terjangkau oleh anak-anak Seko. Generasi Seko sebelumnya memang terbiasa dengan kehidupan keras di rantau. Mereka bersedia menjadi pembantu di rumah orang (ma’baso-baso’) sekedar untuk dapat makan dan tempat tinggal untuk dapat bersekolah. Sejumlah guru senior dan tua-tua Seko mengemukakan pengalaman mereka seperti ini dengan dengan berurai air mata.

Tidak semua pengungsi Seko pulang ke Seko. Sampai sekarang terdapat kelompok-kelompok masyarakat Seko di rantau. Yang terbesar jumlahnya di lembah Palu (Omu’ dan Palolo’). Terdapat pula di Seriti dan di Pangala’ (Tana Toraja). Bahkan kemudian sejumlah orang Seko meninggalkan Seko untuk kehidupan yang lebih baik di daerah Masamba dan daerah-daerah lainnya. Selain para pelajar dan mahasiswa, di Makassar terdapat sekitar 50 KK masyarakat Seko. Mereka di Makassar ini berusaha membantu para mahasiswa dengan mendirikan sebuah asrama mahasiswa sederhana, yang diusahakan dengan mencicil sebidang tanah selama 20 tahun (1978-1998) dan mendirikan bangunan semi permanen atas dana swadaya dan bantuan para dermawan.

Tiga Agenda

Sejarah masih terus berlangsung dan masa depan masyarakat Seko di Seko dan di rantau terpulang kepada setiap pribadi orang Seko. Yang terpenting dewasa ini adalah membangun kesadaran akan identitas dan kesatuan masyarakat Seko di atas asal usul dan sejarahnya, dan dengan membina sumber daya manusia yang handal dan yang memberi perhatian kepada kemajuan masyarakat Seko di Seko dan di rantau.

Dewasa ini ada tiga hal pokok yang penting menjadi perhatian masyarakat Seko. Pertama, membangun kesatuan identitas dan solidaritas masyarakat Seko yang berdasar pada kesatuan wilayah, sejarah, dan kekeluargaan antara ketiga sub-Seko: To Padang, To Pohoneang dan To Beroppa’, baik yang beragama Kristen maupun Islam, baik yang berdiam di Seko maupun yang hidup di rantau. Kisah-kisah silam dan sejarah masyarakat Seko memperlihatkan suatu tema yang selalu berulang: munculnya masalah-masalah yang memberatkan kehidupan masyarakat, namun akhirnya dapat diselesaikan dalam prinsip saling membantu. Kedua, memberi perhatian pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, dengan menekankan pada kemampuan untuk bersaing secara sehat dalam dunia moderen dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat di Seko perlu menembangkan kemampuannya dalam berhadapan dengan para pendatang yang makin banyak masuk ke negeri yang cukup menjanjikan sumber daya alamnya ini. Termasuk dalam hal ini membangun kesatuan visi dan memperkuat kerjasama dengan pemerintah untuk bersama-sama memajukan masyarakat dan daerah Seko. Yang ketiga, membangun hubungan-hubungan persaudaraan yang lebih luas dengan berbagai fihak, khususnya untuk mendapat dukungan-dukungan dalam memajukan masyarakat dan daerah Seko.

Masyarakat Adat SEKO.

RWM.BOONG BETHONY



inaSeko
Institut Advokasi & Pemberdayaan Masyarakat Tanah Seko
Institute of Advocacy & Empowerment of ToSeko

KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA
Nomor 300 Tahun 2004

TENTANG
PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO


DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LUWU UTARA

Menimbang : a. Bahwa masayarakat Adat Istiadat dan Budaya meupakan Pilar utama kerjasama dalam menyelenggarakan Roda Pemerintahan yang yang harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945;
b. Bahwa di tanah Seko terdapat Adat Istiadat dan Lembaga Adat yang memiliki kearifan tumbuh dan berkembang secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat Seko;
c. Bahwa maksud huruf (a) dan (b) tersebut diatas, maka perlu ditetapkan dengan Keputusan Bupati Luwu Utara.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3826);
2. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara nomor 3886).
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Keputusan Menteri Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
5. Peraturan Daerah kabupaten Luwu Utara Nomor 53 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara Sebagai Daerah Otonomi (Lebaran Daerah Tahun 2004 Nomor 82);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 19).
Memperhatikan : Hasil Rapat Pembahasan Draft Keputusan Bupati Luwu Utara tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko tanggal 2 Desember 2004.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA TENTANG PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO.

BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom.
4. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Luwu Utara.
5. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.
6. Orang Seko adalah orang yang memiliki garis keturunan orang Seko baik yang ada didalam maupun diluar wilayah Adat Seko.
7. Wilayah Adat Seko adalah wilayah yang dipagari oleh Pegunungan, Sungai, Lembah dan Situs-situs Budaya.
8. Adat Istiadat alalah aturan prilaku yang diakui secara bersama-sama oleh suatu masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama serta mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki Adat dan Istiadat yang sama.
9. Hukum Adat Seko adalah aturan atau norma yang tidak tertulis yang berlaku dalam setiap wilayah hukum adat Seko, yang bersifat mengatur, mengikat dan dipertahankan serta mempunyai sanksi yang dihargai dan dihormati oleh semua pihak.
10. Kelembagaan Adat Seko adalah Struktur Kepemimpinan Adat dan perangkat-perangkatnya yang memiliki dimasing-masing Wilayah Adat di Seko.

BAB II
PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
Pemerintah Daerah mengakui Masyrakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.
Bagian kedua
Masyarakat Adat Seko.
Pasal 3
Masyarakat Adat Seko adalah masyarakat yang berdasarkan asal-usul leluhur dan mendiami wilayah adat Seko serta memiliki tata nilai dan atau norma-norma adat istiadat serta lembaga adat yang diakui bersama secara turun temurun dan memiliki kearifan-kearifan lokal.
Bagian ketiga
Daerah dan Wilayah Masyarakat Adat Seko.
Pasal 4
Daerah Seko terdiri dari 3 (tiga) daerah yakni Seko Lemo, Seko Tengah, Seko Padang
Pasal 5
Wilayah Masyarakat Adat Seko meliputi 9 (Sembilan) wilayah hukum adat, yang terdiri dari;
1. Singkalong;
2. Turong;
3. Lodang;
4. Hono’;
5. Ambalong;
6. Hoyane;
7. Pohoneang;
8. Kariango;
9. Beroppa’.
Pasal 6
Wilayah hukum adat Seko sebagimana dimaksud dalam pasal 5 (lima) akan ditentukan kemudian berdasarkan kesepakatan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait.

Bagian keempat
Kelembagaan Masyarakat Adat Seko.
Pasal 7
Masyarakat Adat Seko memiliki 9 (sembilan) kepemimpinan tertinggi di masing-masing wilayah hukum adat tersebut, yakni:
1. To Key Singkalong : Pemangku Adat Singkalong;
2. Tu Bara’ Turong : Pemangku Adat Turong;
3. Tu Bara’ Lodang : Pemangku Adat Lodang;
4. Tu Bara’ Hono : Pemangku Adat Hono;
5. To Bara’ Ambalong : Pemangku Adat Ambalong;
6. To Bara’ Hoyane : Pemangku Adat Hoyane;
7. To Bara’ Pohoneang : Pemangku Adat Pohoneang;
8. To Mokaka Kariango : Pemangku Adat Kariango;
9. To Mokaka Beroppa’ : Pemangku Adat Beroppa’.

Pasal 8
Alat kelengkapan lembaga adat sebagaimana disebutkan pada pasal 7 (tujuh) akan disempurnakan lebih lanjut melalui musyawarah adat setempat.

BAB III
PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.
Pasal 9
Pemerintah Daerah wajib melindungi Masyarakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.
Pasal 10
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) diatas diwujudkan dengan cara:
a. Setiap pemberian izin pemenfaatan sumber daya alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus sepengetahuan Masyarakat Adat Seko;
b. Pemerintah wajib memberdayakan, melestarikan, melindungi dan menghormati lembaga adat Seko.

BAB IV
Penutup
Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalamnya akan diadakan perbaikan ataupun penyempurnaan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Masamba
Pada tanggal 23 - 12 - 2004


BUPATI LUWU UTARA


H. M. LUTHFI MUTTY
Diundangkan di Masamba
Pada tanggal, 23 – 12 – 2004

SEKRETARIS DAERAH


DRS. A. CHAERUL PANGERANG
PKT PEMBINA TK 1
NIP : 010 108 780

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2004 NOMOR 25.4.

Tembusan Kepada Yth :
1. Gubernur Prop. Sulawesi Selatan di Makassar;
2. Ka. Badan Koordinasi Wil. I Prop. Sulawesi Selatan di Pare-Pare;
3. Ketua DPRD Kab. Luwu Utara di Masamba;
4. Ka. Bawasda Kab. Luwu Utara di Masamba;
5. Kadis P dan K Kab. Luwu Utara di Masamba;
6. Camat Seko di Eno;
7. Para Kades Kec. Seko;
8. Para Pemangku Adat Kec. Seko;
9. Pertinggal.

14/04/08

SEKO Dalam Prespektif Pembangunan NKRI

RWM.BOONG BETHONY


Tidak banyak daerah di Negeri ini yang memiliki alam seperti Seko. Indah, Hijau, Lembah yang luas dengan kejernihan sungai-sungai, Bentangan Padang-padang Ilalang luas, kekayaan Flora dan Fauna yang unik dalam ribuan hektar hutan rimba yang mengelilingi Seko. Satu-satunya penghambat laju perkembangan Masyarakat seko adalah sarana dan prasarana Lalulintas yang masih sangat Tradisionil
Seko, adalah SEGI TIGA EMAS SULAWESI. Karena daerah ini berada pada titik pertemuan tiga batas Propinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Daerah SEKO diapit oleh 4 Pemerintahan Daerah tingkat dua (Kabupaten) dan 3 Pemerintahan Daerah Tingkat I (satu) atau Propinsi. Sebagai Daerah yang strategis karena dikelilingi dan sekaligus merupakan titik pertemuan batas-batas wilayah Propinsi juga Kabupaten, seharusnya SEKO menjadi lebih maju dan berkembang dari pada daerah lain.
Dapat kami gambarkan sebagai berikut : SEKO berada dalam wilayah Pemerintahan Propinsi SULAWESI SELATAN dan merupakan ujung timur tengah yang merupakan titik temu perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Seko juga diapit langsung oleh Kabupaten Tanah Toraja dan Kabupaten Luwu Utara di Utara dan Selantan lalu Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat di bagian barat Seko dan Kabupaten.............Sulawesi Tengah dibagian Timur Seko. Karena letaknya yang demikian unik ini, sehingga Masyarakat Seko mempunyai hubungan Sosial kemasyarakatan yang erat, termasuk adanya intensitas interaksi Tradisi dan Budaya dengan Masyarakat di di sekelilingnya. Hal ini terlihat dengan adanya ruas-ruas jalan setapak yang menghubungkan Masyarakat Seko dengan ke-empat wilayah dalam tiga propinsi tersebut diatas.
Sayang bahwa daerah yang strategis ini, belum sepenuhnya menikmati perkembangan pembangunan NKRI yang telah berlangsung selama 64 tahun. Kalau toh..Masyarakat Seko menikmati percikan pembangunan, itu bukan karena Usaha pemerintah Daerah maupun Pusat. Tapi semata-mata karena keuletan dan kerinduan yang kuat Masyarakat Seko untuk membangun Daerahnya. Buktinya ada pada Sarana JALAN menuju Seko yang dari zaman Penjajahan Belanda, lalu jaman Jepang kemudian jaman Kemerdekaan!. Belum juga mengalami perubahan selain jalan setapak yang memang murni sudah ada dari dahulu kala, sepanjang keberadaan TO SEKO. Pada Jaman ORLA, berganti Zaman ORBA dan sekarang Zaman Reformasi, jalan-jalan yang ada masih tetap sama! Masih seperti itu! Tetap Becek, Penuh kubangan air, jembatan-jembatan yang ada pun merupakan swadaya murni Masyarakat. Kalau sekarang di Seko ada Landasan Pesawat Terbang, itupun bukan diawali oleh kemauan Pemerintah Daerah untuk membangun dan mengadakan Transportasi udara ini, tetapi oleh karena Kerinduan dan JASA Seorang Peneliti Bahasa Seko yang menterjemahkan ALKITAB
ke dalam Bahasa Seko Padang. Mr. Thomas dan Keluarga. Merekalah yang berinisiatif dan didukung sepenuhnya oleh Masyarakat Seko untuk membangun Landasan ini pada akhir tahun 1980-an! Uniknya, ketika itu Pemerintahan Daerah Luwu bukannya mendukung dan memberi bantuan untuk Pembangunan Landasan Pesawat tersebut sebaliknya menghambat dan mempersulit berbagai perijinan atas rencana pemabangunan yang dimaksud. Lebih aneh lagi, skarang sesudah perluasan dan penambahan Landasan Pesawat, hingga dapat di darati oleh Pesawat Jenis CASSA bermuatan 20 Penumpang, yang banyak memanfaatkannya justru Pemerintah Daerah. Dan Rakyat seko, meskipun sudah mendaftar selama berhari-hari dan berminggu-minggu dapat saja di "cansel" atau malah tidak akan pernah dimuat pada penerbanagan berikut. ?????????.
Perjalanan ke Seko memang sangat melelahkan dan penuh resiko! Jarak Seko Ibu kota Kabupaten, Kota Masamba, "hanya" 79 km melalui Ruas Sabbang - Rongkong - Mabusa - Seko. Tetapi Ruas jalan 79 km ini, akan ditempuh berhari-hari oleh sebagian Masyarakat seko yang berjalan kaki. Dan Kalau terpaksa harus menyewa ojek, terpaksa juga harus merogoh kantong sebesar Rp. 350.000 - sampai Rp. 500.000. Itupun dengan resiko menginap semalam di perjalanan, bisa di Jembatan atau salah satu desa di daerah Rongkong. Demikian juga, ruas jalan peninggalan ex PT. KTT yang "hanya" 54 km dari Ibukota menuju Seko Padang. Ruas ini, lebih berbahaya karena, penuh pendakian dan harus menyebrangi kurang lebih 15 sungai besar dan kecil tanpa jembatan. Beaya Ojek sangat mahal.! Bagi mereka yang sanggup menyewa Ojek berkisar Rp.450.000, sampai Rp. 600.000. Beberapa Bulan lalu (Agustus 2007) saya dan keluarga (5 orang) Pulang ke Seko untuk acara keluarga. Istri dan anak-anak sudah membooking 4 seat tiket menuju Seko. Tapi karena ada beberapa Pejabat teras Pemerintahan Kab. LUWU UTARA akan menuju Seko pada hari yang sama, akhirnya keluarga saya di "Cansel" bukan untuk penerbangan berikutnya, tetapi sampai ada seat kosong lagi. Karena istri saya harus cepat tiba di Seko untuk acara keluarga , akhirnya menyewa 4 buah ojek dengan beaya Rp. 450.000 per ojek. Perjalanan tersebut ditempuh dua hari, meskipun naik ojek, tetapi sesungguhnya lebih menderita, karena pada ruas-ruas tertentu para penumpang harus turun agar motor ojek bisa diseberangkan pada jalan becek berlumpur atau pada pendakian tertentu. Inilah Realitas sebuah Daerah yang bernama SEKO.
Daerah yang sesungguhnya amat kaya! Baik Kandungan Mineral dan Batuan Mulia dalam Perut Buminya; maupun hasil Kebun tanaman Rakyat, juga Hutan-hutan yang sarat Rotan, Damar dan Pohon-pohon Raksasa yang mengelilingi SEKO. Belum Lagi, Ribuan Ekor Kerbau Peliharaan dan Liar, termasuk ANOA, BABI RUSA dan RUSA/Kijang yang hidup dihutan-hutan Seko.
Ketika, tulisan ini saya Posting, kabar terakhir dari teman-teman di YAYASAN INA SEKO, Sebuah LSM Nirlaba yang dibentuk oleh Orang-orang SEKO. Mengatakan bahwa Pesawat DASS yang biasa menerbangi jalur MAKASSAR - TORAJA - MASAMBA - SEKO - RAMPI kini tidak terbang lagi. Dan hal itu sudah berlangsung dari bulan September 2007 lalu. Sampai sekarang alasan penghentian Penerbangan jalur itu belum jelas sampai kapan! Ketika hal itu, Kami Tanya dan sampaikan pada Pemerintahan Kab. LUWU  UTARA melalui Surat pada bulan Januari 2008, belum ada balasan maupun penjelasan resmi Pemerintah Daerah. Penjelasan Resmi justru kami terima dari PIHAK PT DASS di Jakarta. PT DASS Indonesia, melalui email kepada kami mengatakan bahwa Jalur itu bukan dihentikan penerbangannya, tetapi karena Beberapa Pesawat yang dioperasikan oleh PT DASS harus segera diremajakan/diganti. Maka Jalur Penerbangan MAKASSAR - TORAJA - MASAMBA - SEKO - RAMPI yang selama ini merupakan jalur penerbangan PT DASS akan dilelang pada perusahaan Penerbangan Perintis dalam Negeri. Dan skarang dalam tahap negoisasi antara PT DASS dan PT PELITA juga PT MERPATI. Semoga cepat selesei.
Sebuah autokritik bagi Pemerintahan KABUPATEN LUWU UTARA...ternyata Pemerintah Daerah Luwu Utara, sama sekali tidak ada usaha untuk mengupayakan atau apapun istilahnya..agar jalur itu kembali dapat diterbangi oleh Maskapai Penerbangan Perintis Dalam Negeri....Hal ini dapat di buktikan bahwa sama sekali tidak ada perhatian, atau mempertanyakan hal tersebut kepada Depertemen Perhubungan maupun pada PT DASS.... ada apa Bpk dan Ibu di Kab. LUWU UTARA????. Nah...skarang beberapa Putra-putri Seko, termasuk saya..sedang berjuang agar Jalur itu kembali dapat diterbangi....
Harapan kami bahwa rakyat seko dapat lebih menikmati sosialisasi diri terhadap Pembangunan yang sementara berlangsung di Negara ini.
Harapan kami bila Jalur ini sudah kembali normal, Bpk dan Ibu, para pejabat Daerah Kabupaten LUWU UTARA, sudilah kiranya mengutamakan Kepentingan Rakyat dalam hal Fasilitas Penerbangan menuju SEKO JUGA RAMPI....Bpk dan IBu para Pejabat kan ada alokasi dana untuk Perjalanan seperti itu....pergunakan ojek dong!!! Biar Rakyat dapat naik Pesawat karena beayanya lebih MURAH dan Rakyat Bisa mengangkut Hasil Kebun dan Ladang untuk dijual Ke Kota!

A. GEOGRAFI
Daerah Seko, berada diatas ketinggian 1500 meter dari Permukaan Laut. Luas wilayah Seko terbentang dari Utara berbatasan langsung dengan Propinsi Sulawesi Tengan ke Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rongkong dan dari Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Barat (Kab, Mamuju) ke Timur, berbatasan dengan Kab. Tanah Toraja. Gengan Garis Tengah Utara-Selatan sekitar 180 km dan Barat-Timur sekitar 140 km. Atau sama dengan 12600 Km persegi.
Masyarakat Seko terbagai dalam tiga wilayah adat, Yaitu :
1. WILAYAH ADAT SEKO LEMO.
2. WILAYAH ADAT SEKO TENGAH.
3. WILAYAH ADAT SEKO PADANG.

I. WILAYAH ADAT SEKO LEMO.
Tipologi Wilayah ini berbukit-bukit dan terletak di bagian Barat Seko yang berbatasan kangsung dengan Propinsi Yang baru saja di Mekarkan, yaitu Propinsi SULAWESI BARAT.
Masyarakat SEKO LEMO adalah kaum Pekebun (HUMA). Mereka berbahasa To LEMO, termasuk dalam rumpun bahasa TORAJA dengan "dialeg dan idialeg" khas Seko Lemo. Rumah-rumah pada umumnya di bangun di lereng-lereng bukit atau di Pinggir Sungai. Ada 8 Perkampungan atau Dusun di SEKO LEMO. Terbagai dalam 2 Pemerintahan setingkat Desa, yaitu DESA TIROBALI dan DESA MALIMONGAN. Penduduknya 98% Penganut Kristen Protestan, 2 % Penganut MUSLIM.

II. WILAYAH ADAT SEKO TENGAH.
Tipologinya mirip-mirip Seko Lemo, Yaitu berbukit-bukit. Wilayah ini terletak ditengah-tengah antara Seko Lemo dan Seko Padang. Membujur dari utara sampai ke Perbatasan Sulawesi Tengah. Masyarakat juga Pekebun di samping Sawah. Bahasa Seko Tengah beragam. Hampir semua Dusun yang ada memiliki Idialeg dan Dialeg yang berbeda. Rumah-rumah Penduduk di bangun pada lereng-lereng bukit dan sebagian di pinggir sungai. Ada 9 Perkampungan atau Dusun. Terbagai dalam 3 Wilayah Pemerintahan setingkat Desa, Yaitu : DESA AMBALLONG, DESA TANAMAKALEANG dan DESA POKAPPAANG. Penduduk 90 % Penganut Kristen Protestan dan 10 % Penganaut MUSLIM.

III. WILAYAH ADAT SEKO PADANG.
Disebut SEKO PADANG karena 75% wilayahnya terdiri dari Padang Sabana Ilalang. 20 % terdiri dari Persawahan dan Hutan-hutan.

B. SUMBER DAYA ALAM

C. SUMBER DAYA MANUSIA

D. POTENSI EKONOMI DAN WISATA

E. PROSPEK.

.............................BERSAMBUNG...........................

12/04/08

RWM.BOONG BETHONY

......Gadis Kecil Berambut Panjang........

Selamat pagi! Papa, Mama
Erna berangkat sekolah!
Ya anakku!
Ya sayang! Hati-hati di jalan!

Tralili...tralala...
Senandung Erna kecil membuka pagar rumah.
Tralili...tralala....
Rambut sepoi tertiup angin pagi

Seperempat jam
Rumah Papa diketuk tergesa
Mama tergopoh membuka pintu.

Erna kecil tergolek berurai
Roda pagi menjemput
Sejak itu Erna tak pernah muncul disekolah!


Untuk Mengenang Ernaku sayang, Ernaku kecil....RIP 14 January 2002
Roda Jalanan merenggut!


Cupled Kecil Untuk Anakku

Tahukah anakku
terlahir engkau
karena birahi cinta
yang takkan pernah pupus
antara aku dan mamamu.
Mengertilah buah cintaku
Kehadiranmu oleh sebab
api asmara yang takkan pudar
antara kami.

Berusahalah kebanggaanku
dapatkan hidup penuh asmara
sarat birahi yang membuat perjalanan ini penuh bahagia.

Dulu Aku dan dia
perempuan penanggung beban
sembilan purnama
yang tiap pagi, siang, malam
kau habiskan waktunya
adalah pahlawanmu

bukan, bukan aku
tapi dia
perempuan
penanggung beban
sembilan purnama

selalu menyajikan aroma sedap
yang membuatmu lahap

Dia, dia pahlawanmu.

Dulu aku, dia
meski tertatih
meski merangkak
tapi lenganku selalu diraihnya.

disuruhnya aku
tegap
membusung
dan membuka mata serta telinga dia,
Dia pahlawanku
pahlawan kita.

Ya...ibumu.

kelak jangan cari perempuan seperti Dia
sebab tak lagi ada.

Ibumu, hanya istriku!
Cintaku!
Hidupku.

By Roberth WM
Pantai Kute-Bali 1993


..Nukilan kecil
(dari pinggir kampung jawa)

Supinah senyum bangga
hari pagi bakul telah kosong
Sepede jengki ikut gembira dan melaju diatas pematang
dari teras
melambai wajah Giyo bertanya
bakul kosong melonjak-lonjak atas sadel
Supinah dan jengki tua bersandar
pada hari
Kita ketiban rezeki!
Kangkung dan bunga turi
tak lagi membuat Giyo sibuk
Ia pun bersandar pada hari
Kita ketiban rezeki!
Supinah membongkok
tidak seperti hari-hari kemaren
lengannya selalu extra sibuk
ringan sekali diangkatnya
riang benar melangkah
lambaian wajah Giyo terlantar
Supinah melangkah raut ringan
rupa bebas
Matahari milik kita
Celetuk Supina
Udara punya kita
Sambung supina
Tapi kamu
hanya milikkulirihnya
Giyo melambai
wajah dalam nanap
Biar ku rasakan sembab matamu
tutur Giyo
Hari itu
Aku pulang ke desaaku
Cinta Supina pada Giyo
tak dapat kuukur
Ia memandikan, membajui, membasuh pantat!
Mencari, menyuap
Tanpa keluh

Kisah seorang SUPINAH, Wanita Perkasa dari Desa MALUHU, Tenggarong.
Ia Menjadi Kepala Rumah Tangga, semenjak Suaminya invalid, karena ke-2 (dua) Kaki direnggut Dumtruck, saat bekerja di Hutan.


Surat terbuka Untuk sahabatku!

Ya...dulu aku juga sempat merasai betapa indah bermain diatas pematang pada hamparan sawah menguning emas padi!
Menerima tegur sapa dari siapa saja yang kita temui di Desa pun dusun.
Seramah hasil keringat yang selalu membawa sukacita mereka tiap kali panen.
Tapi Pelebaran kota, merenggut semua.
Tangan-tangan kuasa dan pemilik modal, mengubah keramahan menjadi kematian.

Gundul sahabatku....entah kemana keluh ini hendak kucurahkan.
Tulisanmu membuatku marah tapi tak berdaya.
Dusun kita yang dulu riuh tiap purnama,
kini lenyap ditelan roda-roda besi.

Kemana Siti? teman kita yang cengeng itu, yang selalu merenget minta ditemani pulang sebab rumah lewat pekuburan.
Kemana Bambang? Sahabat kita yang jago main engrang?
Atau Heru? Yang sering mengajak mencari ikan mujair dibelakang langgar.
Kemana Pak De Budi? yang terus menerus marah pada kita karena suka melempar mangganya.
Atau, Mira? Gadis remaja yang dulu kita perebutkan.

Gundul temanku.
Meski aku di Megapetropolitan
Tapi kerinduan memanjat jeruk pak Desa seperti dulu, masih ku angan-angan.
Masih ingatkah kau teman, saat kita berkelahi gara-gara berebut belut putih di belakang rumahmu?
Kau bilang, semua hilang!
Semua lenyap!

Gundul temanku!
Masih adakah senyum tulus?
Atau seperti yang kau katakan
"bersama garing sapan menjadi bualan keseharian? berbau pesing dalam penciuman yang tajam!"
Jadi benar?
Desa
Dusun
Hilang lenyap di telan roda-roda besi.
Ach....negeriku berubah!


Kampung Sawah, Jakarta 2002
Trimakasih suratmu, menghidupkan desa dan dusun kita, meski hanya di Pelupuk.

.................WAJAH-WAJAH...............

Bertaut pada tumpukan kertas
Mengeja diatas lembaran
Asa itu
Karsa ini
Ku pagut
Yaah....
Dari tatapmu aku tahu
pada setiap gerak ku mengerti
Pada tinta pada pena
pada meja
pada kata dan kalimat
makna bercerita
Hoi pujangga
Hai penyair
Hei empu

Biarkan!
Ya, biarkan
Ia bertutur
bercerita
berkisah
Dari ruas ke ruas
Dari bilik ke bilik
Pada ruang

Biarkan!
Ya, biarkan
ia mengukir
memahat
melukis
dari kisi-kisi
dari relung
dari sanubari

Biarkan!
Ya, biarkan ia
Melalar
Merenda
Meruntut

Ingat
Suatu waktu kelak
Awan strato menyatu mendung
Sungai menyatu lautan
Langit menyatu bumi

Biarkan!
Ya, biarkan ia
menemui
mendapati
Kerinduannya.

Siang itu
Para pujangga bercerita,
tentang derita yang tak pernah usai
Hari itu
Para penyair bertutur,
soal sengsara tiada henti
Waktu ini
Para empu berkisah
mengenai ashab yang terus melanda

Ach
Resah episode ini
Lakmus tanpa pesona.

Padang, 23 September 2007


....catatan harian Bedjo kali Code..............

Yaa..anaku.
ketika muda kami
Terjajah imperialis
Lalu ku panggul tombak
Kusandang Kariben dan mortir
Ku hunus keris
Darah imperialis berceceran
Tunggang langgang.
Merdeka!

Ya Anaku!
Itu dulu!
Aku di puja
Di buat sejarah
Sumber ilmu
Dipelajari di SD, SMP sampai sekolah tinggi
Semua bangga!

Tapi sekarang anakku!
Sesal diri tak habis
Semua tak berarti lagi
Tiada mimpi jadi nyata
Yang kutuai pahit
yang kulihat duka.

Aku tertipu!
Kawan-kawanku berkalang tanah
bermandi darah di Tugoe, di lempuyangan
di alun-alun, malioboro, jembatan solo
yang menimbun di kali code
Tertipu!
Nyata perjuangan itu bukan untuk rakyat
bukan bagi negeriku
Bukan bagi bunda pertiwi

Kini kusesali
Kenapa pelor belanda hanya menyisakan bekas luka dipunggung
Mengapa tidak menembus dada atau meremukkan jatungku!
Supaya tak kudapati
Anak-anak negeri memuja mimpi
Agar tak kulihat sikaya memainkan hidup orang banyak.
atau si kuasa mengacungkan telunjuk
memusnakan dusun
melenyapkan desa
atau si imperialis kembali membenamkan tongkat membangun tembok-tembok pembunuh
mendirikan roda-roda menggilas

Oooh anakku!
Tak tertahankan air mataku jatuh
Dulu pantang terjadi di perjuangan!
Kini, ia mengalir, deras!
Mungkin karena itu yang tersisa
Hanya ini yang mampu kuberikan.

Anakku
Skarang tak sanggup aku baca koran
Tak mampu melihat TV
Aku takut
Aku gentar
Sebab semua bercerita tentang Penjajahan
Semua memutar perbudakan
Ibumu
Ibu kita
Bunda pertiwi
Skarang bukan Indonesia
yang dulu ku bela
yang dulu merenggut sobat-sobatku
yang dulu.


Catan ini, untuk mengenang seorang pejuang bernama "BEDJO" Pemegang/dianugerahi Bintang Mahaputra oleh bung KARNO....meninggal Maret 1996 di pondok tua kali code Jogyakarta, tanpa sanak saudara. Pada masa perang kemerdekaan anak-istri gugur ditembus pelor belanda di Klaten. Ia tidak pernah menikah lagi, dan bekerja sebagai penambal Ban disamping Jembatan Solo jogyakarta sampai akhir hayatnya.

05/04/08

Kepada DIAN SASTROWARDOYO

RWM.BOONG BETHONY

…………………Pada hari!
by.Roberth W maarthin.

Biasa kubuka jendela dengan mata
Meneteskan setitik air
baru aku ayun kaki
meraih bintang
melompat diatas daun

Biasa kututup jendela dengan mata
Menerima senoktah airbaru aku bersiap
menggapai rembulan
meloncat dari bukit ke gunung

pada hari kusimpan
mereka yang tak kebagian air
mereka yang lalai
menggapai harap
tak pernah kemana

Pada hari kusimpan
mereka yang senoktah
mereka lelahmeraih hidup
hanya tinggal

Pada siapa lagi kutitip
penantian mereka
hanya pada hari
yang setia menemani
hidup dan mati.

Pojok Semanggi, 2008

REFLEKSI BULAN APRIL!

RWM.BOONG BETHONY

Tiap kali memasuki bulan April, dalam benak saya hanya ada satu nama IBUKU KARTINI Putri Jepara pejuang Emansipasi Wanita Indonesia. Saya teringat, pertengahan tahun 70-an, ketika itu saya masih duduk di bangku SD. Tiap kali memasuki bulan April, sekolah kami di Surabaya, sudah akan sibuk dengan persiapan untuk Peringati Ulang Tahun Ibuku KARTINI. Sekolah kami akan selalu sibuk dengan lomba Busana, Pembacaan Puisi, Kebersihan ruang kelas dan nanti akan diakhiri dengan Karnaval antar SD se-Surabaya. Kegiatan ini seperti itu, bukan saja dilakukan di Sekolah Dasar, Juga di SMP dan SMA Swasta pun Negeri. Intinya, Semua ikut merayakan dan bangga bahwa ada seorang Putri Jepara, yang menjadi IBU BANGSA INDONESIA! Hal ini terlihat juga pada kampung-kampung yang ada di Surabaya. Semua ikut merayakan dan bergembira pada setiap tgl. 21 April!
Kegembiraan serupa ini pada masa-masa itu hanya terjadi dua (2) kali setahun, yaitu pada Hari KARTINI dan Tujuh belasan Agustus (17 Agustus).

Pada masa kini, kegembiraan seperti itu, sudah jarang terjadi! Bahkan nyaris hilang! Peringatan Hari Kartini juga Hari Kemerdekaan, sepertinya biasa-biasa saja. Sekolah-sekolah, kampung-kampung juga kantor-kantor pemerintah pun swasta. Tanpa geliat, tanpa spirit untuk kedua hari istimewa ini!
Mungkin karena dianggap pemborosan, baik waktu terlebih uang!
Padahal kalau mau jujur, kedua hari besar kenegaraan ini, adalah moment-moment bersama yang sanggup menghilangkan sekat-sekat, gap, diantara anak bangsa! Dalam Suatu lomba berbusana Nasional ala KARTINI disekolah saya ketika di SMA dulu, seorang putri penjual es gerobak yang mangkal di depan sekolah kami jl. Barwijaya Surabya. Menjadi Pemenang karena keluwesan yang alami dan kecantikan natural miliknya. Dalam Festival baca Puisi se-SMA Surabya, Pemenangnya adalah seorang teman saya beragama Budha! Dalam Festival folksong, memperingati tuju belasan, kami membentuk Group folksong mewakili SMA kami. Dalam Group ini, kami dilatih oleh seorang Pelatif beragama HINDU dan anggota folksong terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Ternyata kami juara satu. demikian pula ketika lomba-lomba yang biasanya dilaksanakan di kampung-kampung, semua bergembira, terlebih yang keluar sebagai juara! Tanpa sekat, tanpa gap, tanpa melihat latar belakang agama, ekonomi, juga strata sosial. Pejabat, Tukang Becak, penjual keliling, Loper Koran, seniman, Dokter, Guru, Dosen, Pendeta, Ustads, Dai, Bhiksu, semua turun bergembira, semua ikut menyemangati siapapun yang turun kegelanggang! Sungguh indah!
Tapi, apakah sekarang ini masih bisa terjadi seperti itu? Masih sanggupkah kita hidup berbangsa dan bernegara, hidup berdampingan, bertetangga, merasa senasib sepenanggungan, bergotong royong bersama, minum teh atau kopi bersama sambil menikmati kacang goreng atau sepiring pisang rebus? Atau kita butuh, hari KARTINI dan HARI KEMERDEKAAN yang baru? Agar kita bisa memperingatinya bersama-sama lagi?

Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya yang orang belanda itu, KARTINI, bercerita tentang kaum wanita indonesia yang selalu merasa rendah diri akibat budaya dan tradisi yang membungkus dan membesarkan mereka!
KARTINI, rindu bahwa KAUM PEREMPUAN Indonesia, sanggup berdiri dalam Budaya dan Tradisi itu untuk mampu seperti kaum PEREMPUAN lain di negara-negara maju...KARTINI tidak pernah ingin menghilangkan BUDAYA dan TRADISI Perempuan Indonesia yang memang memiliki cirikhas dan karekteristik Indonesia! Bahwa Perempuan Indonesia, memang tetap hidup dalam bungkus budaya dan tradisi itu, tetapi elegan, cerdik dan pintar. Bahwa kesadaran pada pemahaman ini harus tetap menjadi milik kaum Perempuan Indonesia. Yang jadi persoalan kemudian, bahwa apa yang terjadi pada Kaum Perempuan Indonesia sekarang ini melebihi dari apa yang pernah di cita-citakan oleh IBUKU KARTINI!
Kita Bergembira, Kita Bangga, kita berbahagia bahwa kaum Perempuan Indonesia dalam kepandaian dan kepintaran juga keahlian dan sikap Profesionalitas(nya) sudah sejajar dengan Kaum Lelaki, bahkan melebihi dari itu! Yang jadi persoalan kemudian adalah budaya KELUARGA, BUDAYA FAMILITAS, dianggap kuno, tradisional, udik. Oleh (Maaf) Kaum Perempuan Indonesia Modern skarang ini. Keluarga dan kekeluargaan dalam arti, Perempuan (IBU) sebagai Moralitas inti yang meramu keindahan, keelokan, sumber dan cermin budi pekerti keluarga mulai retas dan hilang. Menguap sejalan EMANSIPASI NEGATIF KAUM PEREMPUAN INDONESIA.
Sebagai seorang Lelaki yang mendukung dan mendorong Perjuangan IBUKU KARTINI, Saya merasa kawatir, takut sekaligus ngeri membayangkan bahwa, kelak kemudian hari Keluarga dan Kekeluargaan Masyarakat Indonesia, kehilangan budi pekerti, mencari-cari etis moral familitas keluarga indonesia! Yang dulu terkenal ramah, santun dan terikat oleh kasih seorang Perempuan yang menjadi IBU RUMAH TANGGA.
Mungkin..ya mungkin ini salah satu PEMICU, lahirnya moral sekat-sekat, Gap dan terpencilnya seorang tetangga dengan tetangga yang lain! Yang mungkin membuat kekeluargaan indonesia terpecah belah! Sebab IBU KANDUNG tak lagi mampu memberi asuhan, mencurahkan asih, menumpah sayang, terlebih menyejukkan dalam asap dapur yang sedap!

03/04/08

CATATAN CINTA.

RWM.BOONG BETHONY

KELANA
(Notes kecil untukmu)

Saat kau ajak aku berjalan dibawah rerimbunan hutan pinus
Kau rajut rasa sambil bersenandung
Tapi nyata
Pinus rimbun itu tak lagi sesejuk dulu
Rapuh batin ini
Wajah kita jadi asing
Lihat aku terantuk
Dapati diri terbaring rapuh
Sedang kau menatap cermin memoles gincu

Saat itu ku tahu
Sungguh kita tak pernah saling tahu
Lalu sesal pun
Tiada arti
Yang ada
Duka
Jam
dan Jam Duka.
(Makassar, November 1992)

BILA SAAT TIBA

Rindu
Hari-hari lalu panjang
Gairahku terbang membara
Bawa sejuta rasa
Ach, hari panjang melalar entah bila kan henti
Kenari masikah ada
Kepak sayap supaya terbang pulang
Rindu.
(Soppeng'93)

MADAH MELODI
Serupa gesekan biola
Lembut.
Getar jiwa,
Sukma merasuk.
(soppeng'93)

LIAR.

Kutatap lekat bola matamu
Cari pesona
Tapi hanya ada bara dan dengusan nafas tiada kendali
Basah kita.
(soppeng'93)

KERANDA

Bahu penghabisan
Kehormatan
Kenangan
Lupa
Musim abadi
Tiada tak
Tiada ya
Tiada tiada.
(Medio April 2009, Soppeng)

.........

Ziarah terakhir ketika
Aku cari cinta diantara lekuk pesona tubuh
Aku hilang
Juga kamu
Ketika kutemukan
Kau, juga aku
Dalam kesunyian
Hanya itu.
(Palopo, Juni 1989)

BIRU

Mencari asat, jiwa
Hanya karena kehadiranmu, kuterlena
Bukankah pernah kau pinta
Bangun rumah mingil
Supaya penuh canda dan tawa anak-anak
Ternyata bangun itu runtuh
senyummu lakmus
Akhirnya sia-sia
(Gambir, jakarta 1993)

KAMU

Dalam keteguhan,
Jiwa bergetar tanpa perduli
Bias.
(Monas, Jakarta 1993)

PUISI-PUISI PASKAH

RWM.BOONG BETHONY

KEMBARA I
Hidup adalah kisah
Dari setiap gembala yang tak pernah bosan
Berjalan pada padang kembara yang sama
Pada setiap Kerikil, onak dan duri yang juga tak pernah berubah
Lalau bila mana
Ada perhentian atau ada sebuah padang lain
Tak lagi butuh domba-domba berkejaran
atau
Sang gembala dengan tongkat sambil meniup seruling
Juga kerikil atau onak yang tak lagi merajam
Domba pun gembala
(Mataram, Paskah 1997)

KEMBARA II
(pada pondok di tepi Danau Galilea)

Seharusnya malam ini, kita bisa nyenyak
Tapi nyata tidak! keluh Barabas dalam duduk di perapian
Kita adalah pemimpi yang tiada bosn dengan mimpi
Kemaren kita nikmato bobroknya penjara Pilatus
Hari ini dengan selusin anggur merah
Kita nikmati lezatnya Domba guling mudah dan gurih
(malam itu Barabas mengajak berpesta, seekor Domba mudah jadi korban)

KEMBARA III
(episode lain)

Ketika kokok ayam bersahutan di ujung malam
Satu penyesalan jadi saksi
Ada mimpi dari sekelompok orang
Dan
Ketika mentarai menguak ngungun pagi
Petrus tak lagi jadi si batu karang
Wajah sembunyi dibalik beringas, takabur

Pagi ini cambuk dan cemeti banyak bicara
Melebihi sekedar kata
Ketika itu dicatat
Yang dikisahkan adalah
Kisah asmara antara Dia dan kita
Tragedi
Frustasi
dan Dramatik
(paskah, 1998 Singaraja)

DUKA KEMBARA
(catatn kecil, paskah 2000. Tenggarong)

Kalau ada padang tak bertepi
Kesana ku kan pergi
Lantaran episode yang melalar ini

Bila suatu hari rembulan menyata mentari
Sungai menyatu laut
Saat itu kian terasa kembara ini

Jika awan strato mengawini mendung
Bumi mengawini langit
Selamanya kembara duka

Ada ransel, ada tongkat
Bumi jadi bunda, mentari jadi bapak
Kembara terlahir

Ohoi..kaum kembara
Haruskah terus mencari?
Terus bertanya? Melangkah?

Kalau ada padang tanpa tepian
Dari sana aku pulang
Sebab pada saatnya harus kembali

Ketika itu tanya jawab
Tak lagi memiliki makna.


JAM KEBARA.

(nukil wajah-wajah)

Sesungguk depan sesaji
meliuk dupa
serupa kabut
warna-warni kembang
bertaburan

langit diam
guntur membisu
serui sejumput
tembang ilalang

tongkat, ransel tua dan kisah lampau
menggantung
pada palang pintu
Pintu masuk.

(Paskah 2011 - Semarang)



02/04/08

The PART ONE Of My POETRY.

RWM.BOONG BETHONY
KADO KECIL UNTUK GUS DUR DAN MBAK MEGA
(Catatan kecil di tahun 1999)

Indonesia Milik Sipa?
Suatu hari seorang wartawan betanya seperti itu
Saat lain, pelajar bertanya demikian
Kemaren, Rohaniawan bertanya juga
Puluhan Tahun lalu Proklamator juga bertanya
Partai-partai bertanya
DPR bertanya
MPR bertanya
Udin, sopir angkot bertanya
Hakim, Jaksa bertanya
Anakku, bertanya
Artis bertanya
Konglomerat bertanya
Presiden bertanya
Mentri bertanya
Burung Cendrawasi bertanya
Kayu Cendana bertanya
.................
Rakyat bertanya
Rakyat menggugat
Rakyat mana Rakyat siapa
Rakyatmu
Rakyatku? atau
Aku rakyat Indonesia.
Agustus'99

UNTUK CAK NUR

Cak Nur...aku ingat Romo Mangun
Dia bilang,
Kita kehilangan pendidik dan siswa
Dia bilang begitu karena berumag diatas angin
Dia bisa kentut dimana saja
Dia bisa bilang apa pun
Dia bisa diam
Dia begitu karena berunah di atas angin

Cak Nur,..
Kita menerima tapi tak memiliki
Seperti Romo yang kini diam
...Ah...pertapaan kita melompong!
(Selamat jalan ROMO, November'99)

GUS...CAK NUR JUGA PERGI.

Gus, belum terhapus air mata dengan bersih
Ketika Cak Nur Sahabat, menyusul Romo Mangun
Padahal, Romo berpesan padanya
Supaya jadi Guru yang baik

Gus, taburan bunga belum mengering
Saat Cak Nur pamit
Dia bilang, Taman bunda mulai kering
Padahal, dia juga menanam di situ
(Selamat Jalan Cak Nur, Oktober-2004)