Citarum.
Citarum
Ditubuhmu berjuta keluh dan kesah
Gadis cantik yang terlupa
Merana dan pesakitan.
Citarum
Kurindu mencumbu elok tubuhmu
Tapi
Bukan kau yang sekarang
Jangan aku
Anak-anak yang menyusu di ranum buah dadamu pun
Jijik dan menutup wajahnya
Citarum oh Citarum lenggak lenggok jaipong yang kau pertontonkan tak lagi mempesona
Aroma tubuhmu yang dulu wangi memancing lelaki hidung belang berlomba memelukmu, kini menoleh pun tidak.
Kulit mulus sehalus sutera kini bopeng-bopeng
Citarum oh Citarum gadis manis diantara setu-setu dan pegunungan
Naon nu bade kajanteunan?
Bandung, Bumi Pohaci 2017
Kisah akhir pekan.
Surya menusuk nusuk di rerumputan petas tertimpa reranting yang subur menggeletak menggelepar.
Seperti hangat tunggku menghias meja lapang menyatu umbi umbian, keras di garis kering sesawah.
Tiada apa tiada gerak, hanya bayu bersenandung haus.
Danau, sungai, mata air tingal bebatuan, seperti tikungan tajam di pelipis pipi anak anak tirus dan cekungan pipi tetua renta.
Waktu pun berhenti, hanya petaka tergantung dimana mana.
Pada segala pokok, pada semua mahkluk tanpa tanding, bulu pun rontok.
Sayup mengalun seruling menyayat jiwa iringi gendhing cucur bawuk keranda menari nari hidup kembali baru.
Bak bebiji masuki alam baqa lalu bangkit beri bulir dan panen bebuah, kesegaran hanya mimpi ini kali.
Tuhan tunggangi bayu hinggap di pepucuk rumah lantaran tak ada lagi pepohon terlebih dedaun hanya bayangan perih, luka, duka di jam kematian.
Bintang gemintang setia menatap dalam sembab, timur, barat, selatan dan utara masih sama.
Tak beringsut, bepergian, pun bergeser.
Kesetiaan adalah cinta, ialah asmara.
Seperti keteguhan Tuhan mencintaimu.
Jangan cari salah apalagi lapor sampai kesurga, semua ada di sini.
Di rumah kita.
Bukan disana atau disitu tapi disini, di rumah kita.
Rumah semua mahkluk, bukan hanya rumahmu.
Tuhan melompat lompat hindari bara, bara di hatimu.
Seperti hangat tunggku menghias meja lapang menyatu umbi umbian, keras di garis kering sesawah.
Tiada apa tiada gerak, hanya bayu bersenandung haus.
Danau, sungai, mata air tingal bebatuan, seperti tikungan tajam di pelipis pipi anak anak tirus dan cekungan pipi tetua renta.
Waktu pun berhenti, hanya petaka tergantung dimana mana.
Pada segala pokok, pada semua mahkluk tanpa tanding, bulu pun rontok.
Sayup mengalun seruling menyayat jiwa iringi gendhing cucur bawuk keranda menari nari hidup kembali baru.
Bak bebiji masuki alam baqa lalu bangkit beri bulir dan panen bebuah, kesegaran hanya mimpi ini kali.
Tuhan tunggangi bayu hinggap di pepucuk rumah lantaran tak ada lagi pepohon terlebih dedaun hanya bayangan perih, luka, duka di jam kematian.
Bintang gemintang setia menatap dalam sembab, timur, barat, selatan dan utara masih sama.
Tak beringsut, bepergian, pun bergeser.
Kesetiaan adalah cinta, ialah asmara.
Seperti keteguhan Tuhan mencintaimu.
Jangan cari salah apalagi lapor sampai kesurga, semua ada di sini.
Di rumah kita.
Bukan disana atau disitu tapi disini, di rumah kita.
Rumah semua mahkluk, bukan hanya rumahmu.
Tuhan melompat lompat hindari bara, bara di hatimu.
(terapung-apung mengikuti alur Sungai Citarum, merasai aroma busuk)
Sajak-sajak hutan.
Aku menggerutu gerah diantara rerindang luruh
pada pokok-pokok perkasa
seperti kenangan yang ditulis penyair
mengenai hutan
mungkin 40 tahun mendatang
sajak hutan
hanya kata
(menggali mata air dari air mata dan air keringat)😑
RWM.BOONG BETHONY