HAIKU DAN
PEMBELAJARAN SASTRA. (tulisan pertama dari 3 artikel)
Oleh : Romo Roberth W. Maarthin/RWM
(Artikel
kecil berseri sebuah narasi dalam
rangkah setahun Group Haikuku Indonesia)
Sebagaimana
umumnya, orang tahu bahwa Sastra atau berkesenian dalam bentuk tulis terbukti
mampu memengaruhi wajah dunia. Apa pun bentuk tulisan itu; Novel sejarah, novel
Roman, novel Pop, Cerpen, Puisi, Biografi, Reportair, dokumentasi teks, naskah
drama - filem, bahkan kitab Suci pun tertulis dalam bentuk sastra.
Sebelum kertas ditemukan para seniman
sastra praklasik menulis karya kesenimanannya pada Papyrus (kulit kayu) Daun
Lontar, Bambu, kayu dan Perkamen (kulit binatang) juga batu (dalam bentuk
ukiran, Tugu, prasasti sampai dinding-dinding goa) semua itu karya karya yang
informatif menyiratkan situasi sosial kemasyarakatan pada zaman para penulis.
Di Indonesia misalanya, kita kenal kesustraan terbagai menjadi beberapa tahapan
seperti pra pujangga baru (sebelum jaman kemerdekaan - Clasic), Angkatan
pujangga baru ( masa kemerdekaan - Neo Clasic), angkatan pujangga 66 (?) dan
yang terakhir angkatan pujangga modern(?). Periodesasi seperti itu hendak
menyatakan kondisi sosial yang sedang terjadi ketika para penulisnya mencorat
coret karya karyanya. Itulah sebabnya, karya sastra jadi dokumen primer
pembelajaran perjalanan komunitas masyarakat tertentu bahkan sebuah negara.
Mengapa Kesusastraan? Yah, karena
kesusastraan itu bahasa jiwa, bahasa batin, bahasa kalbu. Karena itu, ia selalu
lahir dalam keindahan, dibuat karena cinta, oleh sebab ruh kedamaian. Lantaran
itu, para seniman sastra biasanya luhur budi, halus peringai, santun bertutur,
elegan berkarya dan yang utama spiritulitas berkeseniannya tak diragukan. Sebab
buahnya hanya keindahan, keluhuran, ketulusan dan kebenaran dalam bentuk teks.
Makanya, para seniman sering kali dijuluki 'manusia diatas angin' sebab norma
norma seperti ini, oleh masyarakat hanya dapat dibaca dalam laku para seniman
umumnya dan sastrawan khususnya.
Lalu bagaimana
dengan Group Haikuku Indonesia dimana kita belajar bersama soal kesusastraan
khususnya sastra Haiku?
Artikel kecil sederhana ini, saya
narasikan dalam rangkah menyambut HUT pertama Group Haikuku Indonesia sekaligus
memenuhi tantangan Sang Presiden Haikuku Diro Aritonang agar saya membuat
sebuah artikel.
Dalam kerangka itu, saya akan jujur
dan menghindari pemikiran yang sifatnya hanya subjektif belaka menuju
objektifitas naratif.
Ketika saya di undang memasuki pintu
rumah Haikuku ini saya sungguh kagum dan gembira. Gejolak darah berkesenian
saya membuncah memenuhi syaraf yang ada. Gembira, karena ternyata ada sebuah
group yang khusus menggeluti Haiku, Kesusastraan Negeri Matahari terbit.
Gembira karena Intensitas member sangat luarbiasa dan animo Penulis Haiku bagai
mata air yang enggan surut termasuk membengkaknya jumlah penghuni.
Seperti hal lumrah terjadi bahwa
sebuah komunitas selalu mengalami persoalan, baik karena pemikiran pun oleh
karena ketidak pahaman satu anggota dengan yang lain. Mengenai apa itu sastra
Haiku, tentang bagaimana Haiku, soal penyesuaian ragam dan bentuk penulisan
karena latar belakang yang memang
berbeda dari asalnya di Jepang sana. Yang paling seru jadi objek diskusi ialah
Kigo. Yang secara sederhana diterjemahkan dalam arti : Pertanda Musim dan juga
Pertanda Waktu. Diskusi tentangnya (KIGO) jadi demikian seru dan vulgar mengenyampingkan
keasadaran diri bahwa yang sedang berdiskusi adalah ‘Para Penghuni Negeri di
Atas Angin’ yang katanya selalu melahirkan keindahan, ketulusan, kedamaian,
kesopanan dan etika tingkat dewa. Padahal, keindahan tidak lahir dari
‘Chaos’/keributan. Ketulusan bukan datang dari amarah. Kedamaian bukan buah
dari kebencian apalagi dendam, iri dan dengki. Kesopanan dan Etika tidak
dikandung oleh pandangan negative dan prasangka buruk. Spiritualitas bukan
persemaian dusta dan fitnah. Bukankah Haiku itu sebuah bentuk yang lahir dari
jiwa atau batin yang mencintai keindahan, ketulusan, kedamaian, kejujuran?
Bukankah Haiku itu ditulis oleh karena perenungan yang kuat dan dalam dari Jiwa
atau Batin pada pondasi Spiritualitas yang kokoh? Bukankah begitu? Itu berarti menulis
Haiku, merupakan penghargaan terhadap keindahan, terhadap cinta, terhadap
kedamaian, terhadap ketulusan, terhadap kejujuran, terhadap keluhuran, terhadap
kebenaran, oleh dan dari para pecinta Tuhan Yang Maha Esa?
JIka pada zaman
Klasik Jepang, kebanyakan para penulis Haiku melahirkan karya dalam spirit
spiritualitas Zen, mengapa seniman Haiku Nusantara tidak mendasari spirit
spiritualitasnya sesuai Iman para penulis? Mengapa musti terpusat pada Zen?
Bukankah Zen itu ‘hanya jalan menemukan....?’ dan bukan sebuah Agama. Melainkan
sebuah cara untuk memahami ‘lingkaran kehidupan antara Alam dan Manusia. Sebuah
jalan yang oleh para penganutnya disebut ZEN. Sebab itu Ia (ZEN) adalah jalan
atau cara untuk memahami ‘Lingkaran Kehidupan Antara Alam dan Manusia’ maka ia
(ZEN) pun berada dimana mana. Di Italia, Jerman, Belanda, Afrika, Amerika,
Australia, China, Jepang, Korea dan juga ada disini. Di Indonesia. Zen tak
pernah mengubah siapa dan apa kecuali mengantar memahami, mengantar mengerti.
Dan Jalan itu melahirkan Haiku dari kontemplatif padepokan (pertapaan) para
penganut Zen di Jepang yang pada umumnya beragama Shinto. Karena Ia (ZEN)
hanyalah jalan, maka semua orang bisa menapak di lorong itu. Terserah apakah berupa jalan tanpa hambatan
(TOLL), gang gang kumuh, jalan tikus, jalan setapak baik yang menurun pun
mendaki atau rata rata saja. Tidak soal, yang penting semua mencoba jalan itu. Toh Haiku adalah karya keindahan, keluhuran,
ketulusan, kedamaian atas nilai spiritualitas para penulisnya.
Sastra Haiku harus
diakuai terlambat mendapat perhatian dari seniman sastra Indonesia, meskipun
menilik sejarah kehadirannya (Haiku) telah mulai di kenal oleh para penulis
Sastra Melayu. Sebut saja Sastrawan Melayu yang Fenomenal Amir Hamzah dengan
Gurindam 12 yang tak kalah menarik dibanding Haiku. Atau syair syair Melayu
dalam bentuk Pantun, Seloka dst, yang sesungguhnya juga amat di pengaruhi oleh
Spiritualitas Islam. Jika mau jujur, Pantun, Seloka, Gurindam 12 lahir dari
dasar yang sama. Yaitu, Keindahan, ketulusan, kejujuran, kedamaian, dan
terutama Spiritualitas kesenimanan dari Iman yang kokoh para penulisnya. Saran
saya, hendaklah penghuni rumah Haikuku Indonesia, juga belajar memahami jenis
kesusastraan Indonesia yang beraneka ragam itu. Tapi baiklah kita kembali pada
maksud artikel kecil ini saya tulis. Sejak lahir awal November 2014 lalu, Group
Haikuku Indonesia jadi Booming dan mendapat perhatian khalayak pecinta sastra
di tanah air bukan saja lewat Media Sosial tetapi juga dalam percakapan nyata
di beberapa tempat, seperti Bandung, Surabaya, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta,
Tasikmalaya, Purwakerta, Malang, Lampung, Medan dan kota lainnya bahkan sampai
keluar negeri. Hal ini terbukti dengan anggota/member membludak melalui karya
karya terposting yang jumlahnya ribuan 1 x 24 jam. Kenyataan ini membuat
penggemar Haiku di seantaro Dunia terheran heran akan fenomenal Group ini.
Termasuk didalamnya, produktifitas Haiga (Lukisan sederhana yang membantu untuk
menjelaskan isi Haiku dimana pada lukisan sederhana itu terdapat grafis Haiku).
Mengapa butuh Haiga? Karena Haiku itu hanya terdiri dari 3 baris dalam format
(Etika – Aturan) 5 suku kata pada baris pertama, 7 suku kata di baris ke-dua
dan 5 suku kata dibaris ke-tiga. Bukankah dengan format seperti itu teramat sulit
untuk menafsirkannya? Bisa di bayangkan! Cerita, kisah, kejadian, renungan
seperti apa yang dapat dituturkan atau dituang hanya dalam 17 Suku kata? Itu
hanya sebuah kalimat pendek jika ingin menjadikannya sebuah kalimat. Teramat
pendek! Itu pun Haiku bukan sebuah kalaimat pendek yang kemudian di susun atau
ditulis jadi Haiku. Bukan! Haiku bukan Kalimat Pendek. Nach! Belum lagi bahwa
menulis Haiku di kemas dalam Pertanda Waktu dan Musim yang di perhadapkan pada
interaksi interaktif pada kejadian itu. Sungguh amat sulit menafsirkannya.
Karena itu, para penulis Haiku menyertakan lukisan atau gambar sederhana agar membantu
para penikmat Haiku memahami maksud si Seniman.
Bagaimana dengan Para penulis Haiku
di Group Haikuku Indonesia?
Alam dan Insan
Satu di mangkuk rasa
Miliki waktu
IN ENGLISH VERSION :
HAIKU AND LEARNING LITERATURE. (The first article of 3 articles)
By Fr. Roberth W. Maarthin / RWM
(Articles tiny glow of a narrative within a year Rangkah Group
Haikuku Indonesia)
As is generally known that literature or art in the form of facial hair proved to
affect the world. Whatever the shape of the article; Historical novels, romance novels, novels Pop, Short Story, Poetry, Biography, Reportair, text documentation, plays - film, even Scripture was written in the form of literature.
Before paper was found the literary artist praklasik was writing kesenimanannya at Papyrus (bark) Leaves Lontar, bamboo, wood and parchment (animal skin) also rock (in the form of carving, Monument, inscriptions until the walls cave) all the works of informative implies social situation at the time of the author. In Indonesia misalanya, we know kesustraan divided into several stages such as pre poet recently (before the era of independence - Clasic), Force poet new (independence - Neo Classic), force poet 66 (?) And the last class of the poet of modern (?). Periodization as it came to reveal the social conditions that happening when authors mencorat scratch his work. That is why, literature so the primary documents of certain community learning journey even a country.
Why Literature? Well, because the literary language of the soul, inner language, the language of the heart. Therefore, it is always born in beauty, made for love, because of the spirit of peace. Because of that, the literary artist usually noble minds, peringai refined, mannered spoken, elegant work and the main doubt spirituality in art. Because his only beauty, nobility, sincerity and truth in text form. Hence, the artists often dubbed the 'man on the wind' because the norms of this kind, the people can only be read in the general behavior of the artists and writers in particular.
And what about the Group Haikuku Indonesia where we learn together about literature, especially literature Haiku?
This simple little article, I Narrate the first anniversary of Group Haikuku welcomed Indonesia as well as meet the challenges of the President Haikuku Diro Arita so I made an article.
Within that framework, I will be honest and avoid ideas that are subjective only toward objectivity mere narrative.
When I was invited to enter this door Haikuku I was really amazed and delighted. My art blood turmoil erupted meet existing nerves. Excited, because it turns out there is a special group wrestle Haiku, Foreign Literature Sunrise. Happy because the member is extraordinary intensity and zest Writer Haiku like springs that are reluctant to recede including the ballooning number of occupants.
As a common thing always happens that a community has problems, either because the thought was because of unfamiliarity one member to another. Regarding the literature Haiku, about how Haiku, a matter of adjustment varieties and forms of writing because background is different from its origin in Japan there. The most intriguing become the object of discussion is Kigo. Which simply translates in meaning: Season Signs and Omens Time. Discussions about (Kigo) be so intriguing and vulgar disregard keasadaran self that is being discussed is 'The Occupant State in Upper Wind' which he always bore beauty, sincerity, peace, decency and ethical level of a god. In fact, beauty does not come from 'Chaos' / fray. Sincerity does not come from anger. Peace is not the fruit of hatred let alone revenge, envy and jealousy. Courtesy and Ethics are not contained by negative views and prejudices. Spirituality is not the nursery lies and slander. Haiku Is not it a form which is born of the soul or inner love beauty, sincerity, peace, honesty? Haiku Is not it written because of strong and deep reflection of Soul or Mind on a solid foundation of spirituality? Is not it? That means writing Haiku, is a tribute to the beauty, the love, the peace, the sincerity, the honesty, the sublime, to the truth, by and of the lovers of God Almighty?
If the Japanese Classical era, most of the authors of the works in the spirit of giving birth Haiku Zen spirituality, why artists Haiku Nusantara is not spiritually appropriate underlying spirit of Faith writers? Why must be centered on Zen? Zen Is not it 'just a way to find ....?' And not a religion. But a way to understand the 'circle of life between Nature and Man. A road by its adherents called ZEN. Therefore he (ZEN) is a path or a way to understand the 'Circle of Life Between Nature and Human' then he (ZEN) also are everywhere. In Italy, Germany, the Netherlands, Africa, America, Australia, China, Japan, Korea, and also here. In Indonesia. Zen never change who and what except drove understand, dropping understand. And it spawned Haiku Way of contemplative hermitage (hermitage) the followers of Zen in Japan are generally Shinto religion. Because he (ZEN) is just way, then everyone can tread in the corridor. It's up to whether a road without a hitch (TOLL), seedy alley alley, street rat, footpaths either declining or average climbed alone. No matter, all of it is trying to walk it. Toh Haiku is a work of beauty, nobility, sincerity, peace on the value of the spirituality of the authors.
Literature Haiku must be acknowledged too late to get the attention of Indonesian literary artist, although examines the history of presence (Haiku) has begun known by the authors of Malay Literature. Call it writer Malay Phenomenal Amir Hamzah with 12 couplets that are not less interesting than Haiku. Malay poetry or poetry in the form Pantun, Seloka etc., who actually also greatly influenced by Islamic Spirituality. If you're honest, Pantun, Seloka, couplets 12 born on the same basis. Namely, beauty, sincerity, honesty, peace, and especially the spirituality of Faith solid artistic authors. My advice, let residents Haikuku Indonesia, also learn to understand the type of Indonesian literature diverse it. But let us go back to the intent of this little article I wrote. Since birth the beginning of November 2014 and, Group Haikuku Indonesia so Booming and got the attention of audiences lovers of literature in the country not only through social media, but also, in conversation, in some places, such as Bandung, Surabaya, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta, Tasikmalaya, Purwakerta, Malang, Lampung, Medan and other cities even abroad. This is proven by the member / member booming through the works of the thousands terposting 1 x 24 hours. This fact makes the Haiku fan at the World seantaro appalled to be phenomenal Group. Including, productivity Haiga (simple painting that helps to explain the contents of Haiku where the graphics are simple painting that Haiku). Why need Haiga? Haiku because it consists of only three rows in the format (Ethics - Rules) 5 syllables on the first line, seven syllables in the second line and five syllables dibaris all three. Is not the format as it was extremely difficult to interpret? Can imagine! Stories, stories, events, reflections such as what can be spoken or poured in just 17 syllables? It was only a short sentence if it is to make a sentence. Very short! It was Haiku is not a short kalaimat then collated or written so Haiku. Not! Haiku is not short sentence. Nach! Not to mention that writing Haiku pack in Time and Seasonal Signs in perhadapkan on interactive interaction on the incident. It is very difficult to interpret. Therefore, the authors Haiku include painting or a simple image to help the audience understand the intent of the artist Haiku.
What Writers Group Haikuku Haiku in Indonesia?
Natural and Human
One bowl flavor
have time
#RWM
HAIKU & ZEN
oLEH : Diro Aritonang.
[PENGANTAR: Mari kita
pahami apa itu hubungan Zen dengan Haiku. Bagi masyarakat Jepang, Zen tentu
berhubungan dengan keyakinan religinya, sehingga kalangan Zen Buddhism dalam
memberi ruh pada haikunya, berhubungan dengan spiritual zen. Bagaimana dengan
haiku di haikuKu Indonesia, apakah juga harus memasukkan spritual zen? Tentu
tidak, tidak harus spiritual zen masuk di dalamnya. Tapi hal-hal yang berkaitan
dengan eksplorasi nilai-nilai universalnya, bukan teologinya. Tentu itu pun
tergantung eksplorasi kita dalam memasukkan unsur spiritual religi yang kita
anut. Beriku merupakan uraian Richard von Sturmer, bagaimana zen merasuk dalam
haiku. Menjadi kekuatan dan kekhasan haiku]
Catatan: Karena haikunya diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Jepang
terjadi perubahan mora/suku kata.
oleh RICHARD VON STURMER
(New Zealand Poetry Society Te Hunga Tito Ruri o Aotearoa)
Sejak Abad Pertengahan,
melalui upacara minum teh, merangkai bunga, seni bela diri, dan teater Noh, Zen
Buddhisme, dengan penekanan pada kesederhanaan, kealamian dan penghematan,
telah menjadi kekuatan dominan dalam budaya Jepang. Di sini kita akan melihat
sembilan kualitas yang melekat dalam Zen dan bagaimana kualitas ini berhubungan
dengan penulisan haiku.
1. Keesaan
Zen mengajarkan bahwa
penderitaan kita timbul dari rasa keterpemisahan, dari perasaan "sendirian
dan takut dalam dunianya yang tidak pernah dibuat". Praktek haiku adalah
cara melarutkan perasaan pemisahan ini dengan mengalami kesatuan alam kita
sendiri dan sifat dari segala sesuatu di sekitar kita. Seperti Basho menulis
kepada seorang murid: "Belajar tentang pinus dari pinus, dan sekitar bambu
dari bambu. Penyair harus. . . masuk ke objek tersebut agar bentuk puisi itu
sendiri menyatu, menjadi satu antara penyair dan objeknya".
the sound of hail-
I remain, as before,
an old oak
bunyi hujan es
Aku tetap, semula
pohon ek tua
- Basho
2. Keintiman
Keintiman berarti tidak
menarik kembali tetapi semakin dekat, dan dengan haiku kita selalu mendekat ke
masalah. Ketika kita berhenti terpaku pada kekhawatiran pribadi kita, kita
dapat memberikan diri kita kepada dunia. Untuk menulis haiku ini berarti
menjadi benar-benar selaras dengan lingkungan kita, apakah kita sedang berjalan
di sebuah jalan yang sibuk atau berbicara diam-diam dengan seorang teman.
they spoke no word,
the host, the guest
and the white chrysanthemum
ngomong tak kata
tuan rumah, tetamu
dan krisan putih
- Ryota
3. Kekosongan
Ketika Bodhidharma, pendiri
Zen, bertemu ke Kaisar Wu dari China Selatan, Kaisar bertanya, "Apa ajaran
fundamental agama Buddha?" Jawab Bodhidharma, "Kekosongan yang luas
dan tidak suci". Pernyataan revolusioner ini telah bergema sepanjang masa,
dan kebenarannya sekarang dikonfirmasi oleh kuantum fisika: atom - hal-hal
dasar dari alam semesta - yang 99,999% kekosongan. Itulah cara permasalahannya.
Dan kita harus kosong sehingga hal dari dunia ini dapat mengungkapkan diri
kita.
midnight - no waves, no
wind
the empty boat is
flooded with moonlight
tengah malam – tak
gelombang, tak angin
perahu kosong
dibanjiri cahaya bulan
- Dogen
4. Suchness
Misteri besar alam semesta
adalah bahwa dari kekosongan yang mendasar muncul berbagai hal mengejutkan
bentuk. Sebagai Yasutani-roshi, Zen Guru modern, katakan, "Wajah asli dari
universalitas bergerak cepat dalam rincian khusus".
the spring is cold-
the puppeteer
keeps coughing
semi yang dingin-
tentang seorang dalang
selalu batuk
- Suiha
5. Keunikan
RH Blyth menegaskan bahwa
"catatan Haiku bagaimana Wordsworth menyebutnya 'titik waktu', saat-saat
yang untuk beberapa alasan yang cukup misterius memiliki makna yang aneh".
Haiku juga merayakan keunikan itu hal biasa dan, pada saat yang sama,
menunjukkan bagaimana keunikan yang berisi universal.
spring rain-
a rat is lapping
the Sumida River
semi berhujan-
tikus memukul-mukul
Sungai Sumida
- Issa
6. Ketidak-kekalan
Dunia ini begitu
menakjubkan, misterius dan indah, kuga sedih karena terus berubah. Tak berguna
berlangsung, semuanya dalam keadaan fluks. Kebenaran ketidakkekalan tidak
mengurangi, melainkan meningkatkan keunikan setiap hal, setiap orang. Hidup ini
berharga karena begitu cepat berlalu. Penyair haiku, mungkin lebih daripada
kelompok penulis, juga seperti wartawan uang melihat pada sifat fana dunia ini.
the owner of the cherry
blossoms
turns to compost
for the trees
milik sakura
nyata adalah kompos
bagi pohonan
- Utsu (ayat kematiannya)
7. Kealamian
Dalam kedua Zen dan haiku
ada apresiasi dari tanpa hiasan, dari yang usang dan lapuk. Saat menulis haiku,
kita memperhatikan apa yang diabaikan, untuk apa yang ada di margin, untuk apa
orang begitu mudah kehilangan di keramaian dan hiruk pikuk kehidupan
sehari-hari. Kealamian berarti menjadi satu dengan alam, selaras dengan musim
dan keadaan berubah sendiri.
the wind brings
enough fallen leaves
to make a fire
angin membawa
daun bergugur cukup
membuat api
- Ryokan
8. Perhatian
Suatu hari orang awam
dikatakan Ikkyu, "Guru, tolong menulis untuk saya beberapa maksim
kebijaksanaan tertinggi?" Ikkyu segera mengambil kuas dan menulis kata
Perhatian. "Apakah itu semua?" Tanya pria itu. "Apakah Anda
tidak menambahkan sesuatu yang lebih?" Ikkyu kemudian menulis Perhatian
Perhatian. "Yah," kata pria itu agak kesal, "Aku benar-benar
tidak melihat banyak kehalusan dalam apa yang Anda baru saja menulis."
Kemudian Ikkyu menulis kata yang sama tiga kali: Perhatian Perhatian Perhatian.
Setengah marah, pria itu bertanya, "Apa arti kata perhatian sih?"
Ikkyu menjawab, "Atensi berarti perhatian." Dialog ini tentang
merangkum: Haiku adalah seni memperhatikan.
peeling pears-
sweet juice drips
from the knife blade
kupas buah pears-
menetes jus yang manis
dari pisaunya
- Shiki
9. Responsif
Kita hidup di alam semesta
yang dinamis dan kita dipanggil untuk menanggapi. Sebagai penulis haiku, kita
menanggapi dunia melalui tulisan kita. Haiku, dengan mengungkapkan afinitas
tersembunyi antara hal-hal, menegaskan keterkaitan dasar dari semua kehidupan.
each time the wave breaks
the raven
gives a little jump
gelombang rehat
seekor burung gagak
beri lompatan
- Nissha
Gagak menjadi satu dengan
ombak, dan kami kembali ke tempat kami mulai di daftar kualitas Zen.
Catatan
Editor: Artikel ini adalah versi kental dari sidang paripurna disampaikan di
Haiku Festival Aotearoa, Wellington, 04-06 Maret 2005. Kami berterima kasih
kepada Richard untuk memungkinkan untuk direproduksi di haikuKu ini.
Untuk informasi lebih lanjut tentang Richard von Sturmer dan Zen, melihat
Auckland Zen Centre situs.
Beberapa catatan Haiku dan Zen :
Catatan: Karena haikunya diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Jepang
terjadi perubahan mora/suku kata.
(New Zealand Poetry Society Te Hunga Tito Ruri o Aotearoa)
I remain, as before,
an old oak
Aku tetap, semula
pohon ek tua
the host, the guest
and the white chrysanthemum
tuan rumah, tetamu
dan krisan putih
the empty boat is
flooded with moonlight
perahu kosong
dibanjiri cahaya bulan
the puppeteer
keeps coughing
tentang seorang dalang
selalu batuk
a rat is lapping
the Sumida River
tikus memukul-mukul
Sungai Sumida
turns to compost
for the trees
nyata adalah kompos
bagi pohonan
7. Kealamian
enough fallen leaves
to make a fire
daun bergugur cukup
membuat api
8. Perhatian
sweet juice drips
from the knife blade
menetes jus yang manis
dari pisaunya
9. Responsif
the raven
gives a little jump
seekor burung gagak
beri lompatan
Untuk informasi lebih lanjut tentang Richard von Sturmer dan Zen, melihat
Auckland Zen Centre situs.
RWM.BOONG BETHONY