26/11/14

Menelisik proyek-proyek Swasta atas nama Pemkab Di SEKO.
Rob Colection
Perbaikan Ruas jalan Mabusa - Palandoang

WAJIB BACA!
Sahabat, Handaitaulan serta kerabat To Seko Lipu-Tondok, dimanapun berada, proyek besar Seperti pertambangan, PLTA adalah proyek-proyek yang didanai, dieksplore dan dikerjakan oleh Swasta.
Pemerintah, baik Nasional, Propinsi dan Kabupaten/kota hanya memfasilitasi agar Proyek-proyek itu berjalan dengan baik. Pihak Pemerintah, memberi atau mengeluarkan Ijin untuk Pembangunan PLTA, Pertambangan atau proyek-proyek apapun yang bersifat Eksploitasi. Dana pembangunan proyek-proyek itu semua dari pihak swasta, nanti dikelolah oleh swasta dan keuntungan untuk pihak swasta. pemerintah diuntungkan dengan penarikan pajak dari proyek-proyek seperti itu.
Tentu berbeda dengan proyek-proyek sarana dan prasarana infrastruktur seperti, membangun jalan raya, jembatan pun sarana-sarana pendidikan, keagamaan dst.
Biasanya, sebelum pihak swasta membangun proyek-proyek berupa Pertambangan, PLTA/PLTU/PLTBB/PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga : Air/Uap/Batu Bara/Nuklir). Pemerintah akan mengundang Pihak-pihak terkait langsung: Seperti Masyrakat Pemilik Lahan, Tokoh-tokoh Adat dan Pemuka Masyarakat. Untuk membicarakan rencana sebuah proyek di suatu wilayah, dalam pertemuan itu yang dibicarakan adalah :
1. Menyampaikan Maksud dan Tujuan Pemerintah kepada Masyarakat di wilayah dimana proyek itu akan dibuat, Mengapa ini dibutuhkan?
Pertama : Agar Masyarakat tahu tujuan sebuah proyek
kedua : Bagaimana proyek itu akan dilakukan/dilaksanakan
ketiga : Membicarakan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat diwilayah tertentu (biasanya kemudian dibentuklah AMDAL yang melibatkan banyak Pihak dan ini memakan waktu yang cukup lama, sebuah proyek besar seperti pembangunan PLTA di Seko, minimal butuh waktu 1 - 2 tahun untuk penelitian.Karena meliputi, pengukuran luas tanah untuk proyek, batas-batas wilayah yang akan dimanfaatkan (berapa hektar dan berbatasan langsung dengan milik siapa), Jika dibangun bendungan, apa yang akan terjadi dengan debit air khususnya DAS dimana sungai itu mengalir dan nanti akan berdampak langsung dengan masyarakat di Karama, Bone hau, dst. Lalu bagaimana dengan limbah proyek yang akan dibangun! Mencatat nama-nama pemilik lahan yang terkena dampak langsung,
keempat : Dibicarakan bagaimana mekanisme pergantian Utung - Rugi bagi Masyarakat berdampak lansung.
2. Ketika Amdal sementara berlangsung, Pemerintah memperkenalkan calon investor yang akan menggarap dan memanfaatkan luasan wilayah yang akan dipakai.
3. Berapa penggantian yang diterima oleh Masyarakat atas proyek itu (kepada para pemilik lahan pun kepada masyarakat yang akan terkena dampak tidak langsung)
4. Direncanakan alih tehnologi kepada masyrakat lokal (biasanya dibentuk semacam pendidikan ketrampilan bagi masyrakat lokal)
5. Berapa alokasi dana untuk CSR selama proyek berlangsung?
6. Ketika semua itu sudah siap, maka disiapkan kertas kerja dalam bentuk proyek dan Agenda Persetujuan antara Masyarakat Pemilik Lahan, Pemerintah dan Pihak investor dalam bentuk MOU.
7. Swasta boleh melakukan kegiatan tersebut (masuk Lokasi, jika sudah jelas semua hal yang saya sebut diatas).
8. JIKA BELUM TERPENUHI MAKA MASYARAKAT DIWILAYAH BERDAMPAK LANGSUNG BERHAK UNTUK MENOLAK DAN MELAKUKAN PERLAWANAN.
9. POSISI PEMERINTAH DALAM HAL INI ADALAH MEDIATOR ANTARA MASYRAKAT PEMILIK LAHAN DAN PIHAK INVESTOR.
10. POLISI HANYA MENGAMANKAN DAN MENJAGA AGAR SELAMA PERUNDINGAN TERJADI MENJADI AMAN.
11. BAIK PEMKAB LUTRA DAN POLRES LUTRA TIDAK BERHAK MENGINTIMIDASI, MEMAKSA APALAGI MENAKUT-NAKUTI MASYARAKAT AGAR MENYETUJUI PROYEK TERSEBUT.
12. UNTUK MENJAMIN BAHWA MOU/PERSETUJUAN DALAM KLAUSAL MOU ITU DAPAT DILAKSANAKAN, MAKA PENANDA TANGAN PERSETUJUAN HARUS DILAKUKAN DIDEPAN NOTARIS DAN DIHADAPAN PEMKAB LUTRA, PIHAK INVESTOR DAN MASYRAKAT.
13. NAH...APAKAH SEMUA INI DILAKUKAN DISEKO?
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi pemikiran positif kepada semua pihak.
Rob Colection
5 KM sebelum Palandoang

Rob Colection
Kerbau melintas di Sungai Uro

RWM.BOONG BETHONY

25/11/14

Pokok-pokok Pikiran untuk Masyarakat Adat Seko.

Masyarakat Seko menolak pembangunan PLTA di Seko.
LAPORAN DARI SEKO 0leh : Aleksander Mangonting.
Perjalanan ke Seko dalam rangka pembinaan baik untuk pemahaman tentang PKBGT maupun peningkatakn ekonomi jemaat secara khusus dalam pendampingan untuk menghadapi persoalan yang ada kami laksanakan bekerjasama dengan Ketua PKBGT Klasis Seko Padang Bapak Drs. Tahir Bethoni pada tanggal 6-10 Oktober 2014.
Dalam perjalanan ke Seko beberapa waktu yang lalu, 6-10 Oktober 2014, kami mengunjungi dan mengadakan pembinaan di ketiga Klasis di Seko yaitu Seko Padang, Seko Embona Tana dan seko Lemo. Untuk Klasis Seko Padang dan Seko Embona Tana kami berdua dengan Ketua biro Hukum Gereja Toraja (Pnt. Aleksander Sambenga, SH. M.Kn), dan untuk Seko Lemo hanya kami yang melakukan pembinaan yang dilaksanakan di Kariango dan Kampung Baru.
Adapun perusahaan yang masuk ke Seko adalah PT Asripower menjadi PT Sekopower Prima dan PT Sekopower Prada.
Beberapa catatan penting:
1.Perlunya pengembangan masyarakat Seko ke depan untuk dibina dalam bentuk kelompok baik itu kelompok tani, kelompok wanita dan dalam bentuk koperasi bersama untuk mengembangkan usaha. Dan juga perlu peran aktif dari masyarakat dan jangan hanya menungguh.
2.Perlu sinergitas diantara semua kelompok masyarakat untuk mengambil kesepakatan saling memahami dan saling mendukung dalam berjuang bersama sebagai masyarakat Seko.
3.Perlunya informasi dan data yang jelas mengenai rencana pembangunan PLTA di Seko (2 perusahaan), kemudian diskusi secara terbuka mengenai berbagai hal menyangkut proyek tersebut.
4.Di Sae, Seko Tengah merupakan ujung terowongan aliran air untuk pembangkit listrik tenaga air di Seko dan mobil alat berat sudah sampai di situ dan membuka Posko di tempat tersebut tetapi belum ada papan proyek.
5.AMAN di Seko perlu mengambil peran sebagai penggerak dan bukan “bermain mata” dengan pihak perusahaan lewat kontak person.
6.Titik paling rawan dan paling resah selama beberapa waktu ini (beberapa bulan terakhir ini) adalah di Makaleang.
7.Proyek ini tentu mempunyai dampak kepada seluruh masyarakat Seko baik langsung maupun tidak langsung.
Beberapa masukan untuk masyarakat di Seko sebagai berikut:
1.Perlunya perencanaan secara strategis dalam pendataan dan pengurusan surat-surat tanah masyarakat sehingga jelas posisi hukum tanah mereka paling tidak dalam bentuk SKT (Surat Keterangan Tanah).
2.Sistem pengelolaan masalah dan penangannya harus transparan kepada segenap masyarakat.
3.Amdal proyek perlu transparan kepada masyarakat.
4.Apakah sudah ada percakapan secara terbuka kepada masyarakat tentang ganti rugi.
5.Sudah adakah kesepakatan antara pihak perusahaan dengan masyarakat mengenai hak-hak dan fasilitas apa yang akan diberikan kepada masyarakat.
6.Sesudah berjalan dengan baik kelompoknya, maka beberapa kelompok masyarakat dapat membentuk Koperasi bersama, seperti koperasi tani mandiri dll.
7.PT Seko Fajar kalau kita lihat dari sisi izin usaha, maka seharusnya sudah berproduksi tetapi hingga kini belum ada titik terangnya. Ini perlu dipertanyakan.
8.Sudah pernah ada pengumpulan tanda tangan untuk penolakan mengenai proyek tetapi tidak jelas apa yang menjadi titik tolak dalam penolakan tersebut.
Saran untuk tindak lanjut ke depan :
1.Untuk menindak lanjuti berbagai persoalan yang ada, diharapkan kepada ketiga Klasis yang ada di Seko untuk memasukkan dalam program kerja Klasis tentang pendampingan kepada masyarakat Seko menghadapi persoalan ini.
2.Perlunya pemdampingan secara terus menerus kepada masyarakat atas prakarsa Gereja Toraja di Tiga Klasis di Seko, tetapi masyarakat harus lebih aktif berperan dalam bentuk kelompok. Jadi pola dan sistem perlu kita bangun bersama.
3.Perlu masyarakat dibentuk dalam kelompok-kelompok untuk lebih memudahkan mengorganisir dalam pembinaan dan pengembangannya ke depan.
4.Agar seluruh masyarakat Seko baik yang tinggal di Seko maupun yang tinggal diluar perlu lebih proaktif dalam menghadapi berbagai persaoalan yang ada dan jangan hanya menungguh saja. Zakaria Ngelow To Seko Lipu-Tondok Obil To Seko Hoyane Ikha Milka Nance
Rob Colection

Sekilas Tentang Seko 
By :Rais Laode Sabania

Seko dalam bahasa setempat berarti saudara, atau sahabat/teman, pengertian ini didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah Dataran Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh dari sekian kecamatan di Kabupaten Luwu Utara.
Luas Seko mencapai 2.109,19 Km2, wilayahnya berada di ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Rampi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toraja, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju.
Kecamatan Seko terdiri dari 12 desa, yang semuanya sudah berstatus definitif sejak tahun 2000. selain itu terdapat sembilan wilayah adat yang tersebar ditiga wilayah besar, yakni Seko Padang (Hono’, Turong, Lodang, Seko Rampi/Singkalong), Seko Tengah (Pohoneang, Amballong, Hoyyane), dan Seko Lemo (Kariango dan Beroppa). Kesembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, wilayah yang jelas, dan menerapkan hukum adatnya secara otonom.
Dalam pengambilan keputusan, secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan cara musyawarah. Sehingga keputusan tertinggi berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dikenal dalam bahasa adatnya dengan sikobu/silahalaha untuk Seko Padang, massalu untuk di Seko tengah dan seko lemo.
Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara turun temurun. Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan berkembang. Mereka memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih dijalankan sampai saat ini.
Sistem Hukum
Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang merupakan tata nilai dan menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks masyarakat Adat, hukumpun menjadi hal yang subtansi dalam system kehidupan mereka. Namun berbeda dengan system hukum  yang dipahami oleh Negara dengan Masyarakat Adat, dimana negara (baca: Pemerintah) hukum nya  bersifat Tertulis, sementara Masyarakat Adat sendiri, hukumnya tidak tertulis, hanya berupa kesepakatan yang kemudian disakralkan, hal ini tertihat daripada sanksi-sanksi yang di berikan oleh hukum adat.
Masyarakat Adat Seko juga memiliki system Hukum sebagaimana masyarakat Adat yang lainnya. Dalam masyarakat Adat Seko, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam sebuah persidangan adat. Tetapi sebelumnya, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, mendengar terlebih dahulu orang yang dituduh melanggar Adat atau para pihak yang bersengketa, setelah itu mendengar pendapat para Tetua Kampung. Kemudian tetua kampung tersebut berembuk dengan To/Tu Bara, To Makaka, To Kei, setelah ada keputusan hasil rembukan tersebut barulah To/Tu Bara, To Makaka, To Kei menjatuhkan putusan.
Dalam hasil musyawarah Adat Seko yang dilaksanakan pada tahun 2000 di Kec. Seko, sanksi adat yang terberat adalah Denda Kerbau dan diusir dari kampung yg dalam bahasa lokal disebut “dipasahu nai Lipu” . Akan tetapi hasil ini tidak sepenuhnya disepakati oleh komunitas adat setempat, sebab menurut pandangan mereka bahwa tidak semua wilayah Adat di Seko memiliki persamaan system Hukumnya, pun penting melihat dan menyesuaikan kondisi masyarakat yang sedang berperkara.
Kearifan Lokal
Kearifan local adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan masyarakat adat dalam menjaga hutan, Masyarakat tidak akan melakukan penebangan pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak daripada  hal tersebut jika dilakukan.
Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam, pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih dipraktekkan  oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati bermakna keseimbangan alam. Beberapa Kearifan-kearifan lokal masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut: (a). Mupalus : kerja kelompok (khusus tubara hono, lodang dan turong). Tapi Khusus to key disebut dengan Momewalo : kerja kelompok. (b). Mampehola : membuka lahan baru dengan gotong royong. (c). Buat rumah tetap masih dijalankan dengan gotong royong. (d). Jika hama menyerang tanaman masyarakat maka langsung diadakan musyawarah dan tugas towolialah yang menebak kejadian/kesalahan apa yang sedang terjadi dikampung sampai hama menyerang.
Sumber Daya Alam Seko
Wilayah Adat Seko dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan SDA, baik dari sektor hutan, maupun hasil-hasil pertaniannya. Tanahnya subur, sehingga banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa hidup, diantaranya; cengkeh, padi tarone, dambo, kopi, coklat, dan tebu, yang hasilnya cukup berkualitas.
Hutan di Wilayah Adat Seko banyak menghasilkan getah damar, rotan, madu, kayu gaharu dll. Namun kekayaan alam yang sedemikian melimpah tersebut tidak berarti bahwa hidup masyarakat seko menjadi lebih baik. justru sebaliknya, kekayaan alam mereka lebih banyak dinikmati oleh orang lain ketimbang mereka sendiri.
Salah satu contoh adalah PT.Kendari Tunggal Timber yang merupakan perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Wilayah Seko. Saat itu keberadaannya tidak memberikan harapan yang lebih baik kepada masyarakat Seko, justru yang ada adalah perpecahan di tengah-tengah masyarakat Seko itu sendiri.
Selain itu, hingga saat ini PT. Seko Fajar secara administratif masih menguasai cukup luas wilayah kelola masyarakat dan beberapa wilayah lainnya masuk dalam kawasan lindung, hal inilah yang membuat masyarakat seko sangat terbatas dalam pengelolaan sumber daya alamnya. 


Rob Colection
(*)RWM.BOONG BETHONY

22/11/14

Gugatan Masyarakat Seko

MENGGUGAT PEMKAB LUTRA.
Para sahabat, Handaitaulan dan kerabat To Seko Lipu-Tondok...Kita bukan bermaksud menolak Pembangunan PLTA PT SEKO PAWER, tapi cara-cara yang dilakukan itu yang tidak menempatkan masyarakat Seko dengan Hormat. Anda bayangkan, ketika saudara-saudara kita di Mamuju (Bonehau, Kalumpang, Karama) menolak rencana pembangunan tersebut, lalu tiba-tiba dialihkan kedaerah Seko, tanpa meminta persetujuan (tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat adat Seko) lalu tiba-tiba datang serombongan orang untuk mengukur Lokasi Pembangunan proyek PLTA tersebut! Sebagai orang Seko, saya pasti menolak cara-cara seperti itu! Karena dengan cara seperti itu, Pemerintah masih memandang rendah Masyarakat Adat Seko!
Mustinya, Pemkab Lutra, mensosialisasikan rencana proyek itu, lalu meminta persetujuan Masyarakat Adat Seko, kemudian konpemsasi untuk Masyarakat adat bagaimana?.
Pertanyaan yang saya ajukan kepada Pemkab LUTRA daalam sebuah e-mail adalah :
1. Mengapa Pemkab Lutra tidak mensosialisasikan Proyek itu? Dan Mengapa dipindahkan dari Mamuju ke Seko?
2. Kapan Pemkab Lutra mendapat persetujuan Masyarakat Adat untuk memakai lahan - wilayah Masyarakat Adat seko untuk pembangunan tersebut?
3. Konpensasi apa yang akan diberikan kepada Masyrakat adat? (misalnya ganti - untung atas lahan-lahan yang dipakai untuk proyek itu?
4.Pemkab Lutra, menurut UU Otonomi Daerah..tidak bisa memaksakan kehendak kepada Masyarakat tanpa sosialisasi baik atas nama Pembangunan bahkan atas nama apapun.
5. Menurut UU Otonomi daerah, Pemerintahan kota/Kab. Jika akan melakukan pembangunan Proyek-proyek, maka kewajiban Pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat yang berdampak langsung atas proyek-proyek tersebut.
Nach...jadi kita bukan menolak, tapi "MENGGUGAT" cara-cara PEMKAB LUTRA memperlakukan Masyarakat SEKO! Sebagai Generasi To Seko Lipu-Tondok...kami menolak cara-cara ORBA tersebut.
Para Sahabat, Handaitaulan dan kerabat To Seko Lipu-Tondok, khususnya yang berada di Luwu Utara [Sulsel], informasi mengenai pemanggilan 10 orang tokoh masyarakat dan adat di Seko oleh Kapolres LUTRA, harap dikawal dengan sungguh-sungguh. Tolong perhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Jika pemanggilan itu dalam rangkah dialog tentang ketidak setujuan masyarakat adat Seko soal pembangunan PLTHM PT. SEKO PAWER, maka Kedudukan Masyarakat Adat dan Kapolres sejajar...tolong IPPMS dan teman-teman pengurus AMAN LUTRA bisa mengawal dialog itu.
2. Jika pemanggilan itu atas dasar pemaksaan untuk menyetujui proyek tersebut, maka Masyarakat adat berhak untuk menolak pemanggilan itu.
3. Dalam Pembangunan Proyek PLTHM PT. SEKO PAWER, kedudukan Polisi "HANYA" mengamankan situasi jika terjadi tindakan-tindakan anarkis atau kriminal. Dalam persoalan proyek POLISI tidak berhak mengatas namakan atau berpihak pada Pembangunan PLTHM PT SEKO PAWER. POLISI HARUS berdiri dikedua belah pihak.
4. Mohon teman-teman masyarakat adat Seko untuk tidak terpancing melakukan tindakan yang negatif tapi kedepankan bermusyawarah sebagaimana arti SEKO itu sendiri.
5. Jaga jangan sampai POLISI LUTRA melakukan tindakan kekerasan kepada Masyarakat Adat Seko dalam persoalan negoisasi pembangunan Proyek PLTHM PT. SEKO PAWER.
6. Kami masyarakat Seko di Perantauan tidak akan tinggal diam dan berusaha untuk mencari berbagai upaya hukum dan dukungan dari berbagai pihak.
Semoga teman-teman Generasi muda to Seko Lipu Tondok dapat melihat itu sebagai sebuah kebutuhan bersama demi masa depan Masyarakat Adat SEKO.
www.tondokseko.blogspot.com

RWM.BOONG BETHONY