28/04/11

DIALEKTIKA

LEBARAN DALAM CATATAN SAYA.


Sejak masa kanak-kanak, saya sudah akrab dengan suasana Ramadhan yang berakhir pada Hari Raya Idul Fitrih atau Hari Lebaran. Saya yang sejak kecil sudah di Baptis jadi orang Protestan karena lahir dari keluarga Protestan hidup ditengah komunitas Muslim yang baik yang saling menunjang memperhatikan satu sama lain tanpa membedakan Agama. Teringat masa remaja yang saya lewati di Surabya, ketika itu tiap kali Ramadhan, bulan yang amat disucikan oleh saudara Muslim, saya kebagian koordinator Patrol keliling kampung (group-group yang keliling kampung sambil memukul kentungan untuk membangunkan orang ber-saur). Dengan penuh canda dan gembira kami berkeliling dari gang/lorong ke gang/lorong. Seminggu sebelum lebaran tiba, kami anak-anak remaja dan pemuda (di Surabaya di sebut Karang Taruna) di kumpulkan oleh Imam mesdjid Kampung dan di serahi mengecat Rumah Ibadah/Mesdjid,  termasuk pagar. Saya selalu kebagian yang berat-berat seperti mengangkat Cat atau membuat tangga, alasan Pak Imam Mesdjid karena saya nggak puasa. Tiap kali tiba saat untuk Solad Id, kami  keliling kampung meminjam tikar dari rumah kerumah sekaligus mengembalikan. Belum lagi dalam halal-bihalal di kampung, kami biasanya akan sibuk dengan berbagai latihan-latihan untuk pementasan dalam Acara itu.Yang membuat saya selalu bangga menjadi bagian dari Ramadhan dan Lebaran, karena dalam situasi seperti itu semua penduduk kampung menyatu, saling berkunjung dan saling menerima. Rumah kami sudah pasti kewalahan menampung 'hantaran' ketupat, opor ayam dan makanan kecil dari tetangga (bayangkan semua orang melakukan hal itu, saling berkirim makanan meski menunya sama) sebagai bahagian kampung yang beragama lain kami menjadi amat istimewa. Istimewa karena akan selalu jadi tamu istimewa pula di tiap keluarga lain di kampung kami.  Dan menjadi warga kampung yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya.Suatu kali kami sekeluarga bepergian ke Sulawesi (Kakek meninggal dunia di Masamba-sulsel) dan saat itu menjelang akhir Ramadhan, ketidak hadiran kami membuat semua orang kampung bertanya-tanya, bukan karena kami orang penting, tapi menurut Pak Kadus nggak lengkap kalau kami tidak ikut bergembira merayakan saat-saat Suci seperti itu.Tapi itu 35 tahun lalu. Kini suasana agak beda. Kebersamaan sebagai Filosofi Gotong Royong masyarakat Indonesia mulai pudar bahkan di sebagian masyarakat sudah terlupa. Perayaan-perayaan hari besar ke-Agama-an tidak lagi menjadi milik bersama bahkan dianggap tabu untuk hadir. Padahal, Hari-hari besar ke-Agama-an Hari yang sangat menggembirakan dan menyukacitakan tiap orang, termasuk mereka yang beragama lain. Sungguh sedih melihat semua itu. Kerinduan-kerinduan untuk kembali bersukacita dan bergembira bersama saudara-saudaraku Muslim dalam saat-saat FITRAH seperti sekarang ini terasa menyesak di dada. Sepertinya ingin merasai dan menikmati  kembali suasana 35 tahun lalu di Kampung Sawunggaling Surabaya tempat aku bertumbuh, bersama tiap penghuni kampung.Sebagai Kristiani, saya dan keluarga bergembira dan bersukacita atas kegembiraan dan kesukacitaan Hari Raya Idul Fitrih/Lebaran ini. Sekaligus mengucapkan Selamat bergembira, Selamat Bersukacita kepada saudara-saudaraku Muslimin. Salam dan Doa kami dari Semarang.Semarang - 29 Agustus 2011. 
RWM.BOONG BETHONY