23/09/16

Reflections on False.

Reflections on False.
Romo Ro Wi Ma

Counterfeit know since when sound familiar to us. Clearly, Fake That suggests something that is not true, or at not resemble the original.
Lately the State and our Nation tantrum because of the outbreak of what was referred to as the False-false it.If in inventerisir 'something called Fake it will have a very long list. For he called Fake it, it was not just questioning the material (material) but also on human behavior.
From the 2000s we know the term KW KW I to III, I do not know where the term KW - KW this. What sort of acronym or a term to refine the sound False.
My first experience I know the term or KW I, KW II to III, the time to buy Auto Parts to be replaced.
KW how will you?
I turn to ask, what is KW?
The owners figure laugh, then explained that KW I, II or III is counterfeit goods with quality classification KW I - III. That is false but there is a quality class duplicity.
Experience of the second, when replacing Baterey watch my hands on a Super Mall. Waiters were waiting counter Watches, ask the same thing.
If KW II, how?
A few rupiah, she answered quickly.
KW I?
More expensive.
If not KW late?
more expensive again!
I finally decided to buy that is not a classification KW. Alias ​​original.
When he returned home and sit alone, I remembered the two events mentioned above.
I was so amazed and fascinated. Counterfeit goods also turned out to have classes duplicity.
KW term I - III for something that was considered an imitation or counterfeit, apparently with the 'feel' comfortable can be accepted by the people of Indonesia. Proved that are referred to as goods KW I - III exist everywhere alone. Starting from the figure at the edge of a narrow alley in the Mall to super luxury.
What exactly is happening on the Nation's?
Why fake something so easy to penetrate even received comfortably in this country? As if not something 'in the forbidden, banned, in disgrace, even in decline'? What is wrong?
Lest there something wrong with our system of social life.
Something that is false, it did not interfere with, or tickling or exasperate us.
Throughout the 2000s until now, we were surprised by the vaccine False, then Fertilizer False, Raskin fake, counterfeit drugs, herbal fake, watch the fake, counterfeit money, rice false, Hp false, literary fakes, artists false, Police Fake, Army fake, fake social gathering, DVD / VCD fake, fake passports, fake diplomas, and other falsehoods.
I was so horrified and scared. Lest there also false teachers, false professors, bureaucrats fake, Parliament False, false pastor, Pastor false, Kiyai Fake, fake priest, bogus family perhaps even false gods. Wahhhh ... really scary.
If a society filled by falsities like this, then that society is essentially also a community that is false. Because what will happen then is socially false, false communication, kindness fake, fake smiles, false worship, false rituals, including prayers false.
So then it could be forming a community KW I, KW II and then III.
With such conditions, can imagine is not easy to build and maintain the robustness of the pillars of Indonesian culture. For almost all the joints infiltrated falsehood. And this is a moral crisis. The crisis, which in essence become our common concern.
Because, falsehood or false, is the theft of purity. Diversion on authenticity. Deviations from the authority of public piety and devotional society with its culture.
For falsehood or false is a crisis of mind harassing creative expression of humanity. And that means, to deny spiritual or human soul that exalts the beauty, purity, honesty, innocence and sincerity as a Human.
Therefore falsity or false, is the denial of the presence of God Almighty.
A friend says this when we were having coffee both:
Father!. Legislative, bureaucrats, prosecutors, judges, police, ministers, regents, governors, that corruption is false people. And they were all pioneers of falsehood in this country.
I was only able to utter.
Haiiyaaaaaaaaaaa.

Romo Ro Wi Ma
The  observer of culture and Protestants Priest.
Stay in Samarinda.
Indonesian Verzion

Renungan tentang Palsu.
Romo Ro Wl Ma

Entah sejak kapan bunyi Palsu akrab di telinga kita. Yang jelas, Palsu itu menyatakan sesuatu yang tidak benar atau setidak-tidak menyerupai yang asli.
Akhir-akhir ini Negara dan Bangsa kita geger karena merebaknya apa yang di sebut sebagai sesuatu yang Palsu-palsu itu.Jika di inventerisir 'sesuatu' yang di sebut Palsu itu akan memiliki daftar sangat panjang. Sebab ia yang disebut Palsu itu, ternyata bukan hanya menyoal kebendaan (materi) tetapi juga tentang perilaku manusia.
Dari tahun 2000-an kita kenal istilah KW I sampai KW III, saya tidak tahu dari mana asal istilah KW - KW ini. Apakah semacam akronim atau sebuah istilah untuk memperhalus bunyi Palsu.
Pengalaman pertama saya mengenal istilah KW I atau KW II sampai KW III, waktu membeli Onderdil Mobil yang harus di ganti.
Bapak mau KW berapa?
Saya balik bertanya, apa itu KW?
Pemilik tokoh tertawa, lalu menerangkan bahwa KW I, KW II atau KW III adalah barang tiruan dengan mutu klasifikasi KW I - III. Artinya Palsu tetapi ada kelas mutu kepalsuannya.
Pengalam kedua, ketika mengganti Baterey arloji tangan saya di sebuah Super Mall. Waiters yang menunggu kounter Jam Tangan, bertanya hal yang sama.
Kalau KW II, berapa?
Sekian rupiah, jawabnya cepat.
KW I?
Lebih mahal.
Jika bukan KW KW-an?
lebih mahal lagi!
Akhirnya saya putuskan membeli yang bukan klasifikasi KW. Alias yang asli.
Saat kembali kerumah dan duduk sendiri, teringatlah saya pada dua kejadian tersebut diatas.
Saya jadi terheran-heran dan terkagum-kagum. Ternyata barang Palsu pun memiliki kelas-kelas kepalsuannya.
Istilah KW I - III untuk sesuatu yang dianggap tiruan atau palsu, ternyata dengan 'rasa' nyaman dapat di terima oleh masyarakat Indonesia. Terbukti bahwa yang di sebut sebagai barang KW I - III ada di mana-mana saja. Mulai dari tokoh di pinggir gang sempit sampai di Mall super mewah.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada Bangsa dan Negara ini?
Mengapa sesuatu yang palsu begitu mudah merasuk bahkan di terima dengan nyaman di negara ini? Seolah-olah bukan sesuatu yang 'di haramkan, di larang, di cela, bahkan di tolak'? Ada apa?
Jangan-jangan ada yang salah pada sistem kehidupan kemasyarakatan kita.
Sesuatu yang palsu, sepertinya tidak mengganggu, atau menggelitik atau menggusarkan kita.
Sepanjang tahun 2000-an sampai sekarang ini, kita terkejut dengan Vaksin Palsu, lalu Pupuk Palsu, Raskin palsu, obat palsu, jamu palsu, jam palsu, uang palsu, beras palsu, Hp palsu, sastrawan palsu, perupa palsu, Polisi Palsu, Tentara palsu, arisan palsu, DVD/VCD palsu, pasport palsu, ijasah palsu, dan kepalsuan lainya.
Saya jadi ngeri dan takut. Jangan-jangan ada juga guru palsu, dosen palsu, birokrat palsu, DPR Palsu, Pendeta palsu, Pastor palsu, Kiyai Palsu, Imam palsu, keluarga palsu bahkan mungkin juga tuhan palsu. Wahhhh...sungguh menakutkan.
Jika sebuah masyarakat di penuhi oleh kepalsuan-kepalsuan seperti ini, maka masyarakat itu pada hakekatnya juga sebuah komunitas yang palsu. Sebab yang akan terjadi kemudian adalah pergaulan palsu, komunikasi palsu, kebaikan palsu, senyum palsu, ibadah palsu, ritual palsu, termasuk juga doa-doa palsu.
Maka kemudian akan bisa jadi terbentuklah sebuah masyarakat KW I, KW II kemudian KW III.
Dengan kondisi seperti itu, bisa di bayangkan tidak mudah membangun dan menjaga pilar-pilar kekokohan budaya indonesia. Sebab hampir semua sendi di susupi kepalsuan. Dan ini krisis moral. Krisis yang sejatinya jadi perhatian kita bersama.
Karena, kepalsuan atau Palsu, adalah pencurian kemurnian. Penyelewengan pada keaslian. Penyimpangan dari wibawa kesalehan publik maupun kesalehan masyarakat dengan kebudayaannya.
Sebab kepalsuan atau palsu merupakan krisis pikiran yang melecehkan ekspresi kreatif kemanusiaan. Dan itu berarti, mengingkari bathin atau jiwa manusia yang mengagungkan keindahan, kemurnian, kejujuran, kepolosan dan ketulusan sebagai Manusia.
Oleh karena Kepalsuan atau palsu, adalah pengingkaran pada Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang sahabat bilang begini saat kami sedang minum kopi berdua :
Romo!. Legislatif, birokrat, jaksa, hakim, polisi, menteri, bupati, gubernur, yang korupsi itu adalah orang-orang palsu. Dan mereka semua pelopor kepalsuan di Negeri ini.
Saya hanya mampu berucap.
Haiiyaaaaaaaaaaa.

Romo Ro Wl Ma
Pemerhati kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
Tinggal di Samarinda.
Rob Colection


RWM.BOONG BETHONY

Meditations today about forgiveness.

Meditations today about forgiveness.
(This reflection I took from a collection of my articles a few years ago)
Romo Ro Wi Ma

A young man from the early centuries AD .... to say this to his friends.
Blessed are those who out of love can forgive others, even though everyone else was doing evil and cunning to Him.
It defies logic, challenging tradition, debt pay debt, smack reply blows, insults reply cursing. Especially in today, where everything in the measure of value, from the nominal value, of personal profit.
When I read the advice that was raging feeling abused, deceived, in lowered, even felt were killed when they were alive.
Also feeling angry, wanted to take.
And that desire is very strong, very, very strong.
And I choose to forgive.
Forgive.
And I choose, at peace with myself.
And I choose to pray for God to forgive them.
Then peace in my soul.
Peace in my heart.
And I'm free spirit.
Freedom from hatred, envy, anger, resentment.
And free me from embarrassment.
Good to others, especially to God.
Then the young man continued utterances, he says this:
Not easy to do all that, because the struggle for independence takes sacrifice, it takes time, it takes patience, it takes humility, loyalty need, especially the determination.
Not easy, but not something that is not possible! The young man ended the author's words.

And the next day, a young man hanging on a cross.

{This article turned out to make me more patient, more diligently and hopefully other rekanita colleagues also blessed}

(Jatimulyo - Yogyakarta, september 2013)


Indonesian Verzion


Renungan hari ini tentang memaafkan.
(Renungan ini saya ambil dari kumpulan artikel saya beberapa tahun lalu)
Romo Ro Wi Ma.

Seorang Pemuda dari abad awal tahun masehi....berkata begini kepada kawan-kawannya.
Berbahagialah siapapun yang oleh karena kasih dapat mengampuni orang lain, meskipun orang lain itu berbuat jahat dan licik kepada Dia.
Ini menentang logika, menantang tradisi,  hutang bayar hutang, tempeleng balas pukulan, hujatan balas memaki. Terlebih di jaman sekarang, dimana segala sesuatu di ukur dari nilai, dari nominal, dari keuntungan pribadi.
Ketika saya membaca petuah itu, sedang berkecamuk perasaan di lecehkan, di tipu, di rendahkan, bahkan merasa di bunuh ketika masih hidup.
Juga perasaan marah, ingin membalas. 
Dan keinginan itu amat kuat, teramat sangat kuat.
Dan aku memilih memaafkan. 
Mengampuni.
Dan aku memilih, berdamai dengan diriku.
Dan aku memilih mendoakan mereka agar Tuhan mengampuni.
Maka damai dalam jiwaku.
Damai di hatiku.
Dan aku bebas merdeka.
Merdeka dari rasa benci, rasa iri, rasa marah, rasa dendam.
Dan merdeka aku dari rasa malu.
Baik kepada sesama, terutama pada Tuhan.
Lalu Sang Pemuda itu melanjutkan tuturan, Ia bilang begini :
Tak mudah melakukan semua itu, sebab berjuang untuk kemerdekaan butuh pengorbanan, butuh waktu, butuh kesabaran, butuh kerendahan, butuh kesetiaan, terutama ketetapan hati.
Tidak gampang, tetapi bukan sesuatu yang tak mungkin! Kata Pemuda itu mengakhiri pengaran.

Dan pada hari berikutnya, seorang pemuda tergantung di atas kayu salib.

{Artikel ini ternyata membuatku lebih sabar, lebih tekun dan semoga rekan-rekanita lainnya juga di berkati}

(Jatimulyo - Yogyakarta, september 2013)

Rob Colection


RWM.BOONG BETHONY

Rhyme today about sharing.

Rhyme today about sharing.
Romo Ma Ro Wl 

A young man from the early centuries AD recalled that when you give something to those in need, in fact that you give something that is God.
The young man said that when people are questioning and theorize about 'giving'.
Good about who should we give and what should be given. He said, the hungry fed, the naked gave clothes, ill give it time entertaining, the prison visit and pray. Even the thirsty given drink. Very simple and easy to do. Including how to divide the atmosphere, dividing the space, dividing the environment for others.
But why is it difficult to in practice? Is it because the advice was too simple and very unpretentious?
My pal and brother shared was not just about the material, but also sharing, sharing time, sharing atmosphere. But often we are narrowing the meaning of sharing only for the interest and benefit of yourself, maybe even for the benefit of families and groups.
Globalization is the reality of our present all aspects of human life. Namely, a state, in which the world is getting narrower as indefinitely even noticeably faster time elapsed from previous centuries. This atmosphere as a result of the rapid development of communication technology through, sound, photographs / pictures and movies that almost all the world population has access and at the same time super-sophisticated communication media users it.
There are no hidden events, all easily spread in all directions, just in a matter of minutes and even seconds. Because it feels cramped and crowded world, the inhabitants of the World unite in what is referred to as the Global Village, where the neighbors can peep each other, for each other.
Mutual neighbors know the difference between right and on the left.
Well, Globalization changed the world into a village, where coexistence is a joint narrative. A situation that we could not possibly deny.
So share the goodness with a neighbor, in the kampong or neighbors into goals and behavior together.
Talk about the difference today is aimed at mutual understanding, mutual giving heart, mutual respect even the difference is a boon. A foundation to create a village building becomes a sturdy, strong and elastic to the brunt of cyclones even by the rain as swift as any.
Differences among people is a necessity.
Inevitable
Would not want to be recognized
Differences in religion or belief which have become a chasm is deep and grave danger, must be in place as an unnecessary part in question or in fights. Faith Is not that a private sphere, the affairs of someone who believes in God in saying,?
But often Religion and Belief tempt us to tinker with others, to rake a neighbor, blow-blowing and blowing and deny the harmony of living together in the global village.
Nothing the otherness, but we in the perspective of living together.
In the uniqueness of each tradition, religion and belief and even complexion fashion Clothing and Board.
Do not get us split the difference as the value of humanity?

Samarinda, East Kalimantan, Medio September 2016

Indonesian Verzion

Sajak hari ini tentang Berbagi.
Romo Ro Wl Ma

Seorang Pemuda dari abad awal masehi bertutur bahwa ketika engkau memberi sesuatu kepada mereka yang butuh, sesungguhnya yang engkau beri sesuatu itu adalah Tuhan.
Sang Pemuda menuturkan hal itu ketika orang-orang yang menyoal dan berteori tentang 'memberi'.
Baik mengenai siapa yang harus kita beri dan apa yang harus di berikan. Ia bilang, orang lapar beri makan, yang telanjang berikan baju, yang sakit beri waktu menghiburnya, yang di penjara kunjungi dan doakan. Bahkan yang haus berikan minum. Amat sederhana dan mudah melakukannya. Termasuk juga bagaimana membagi suasana, membagi tempat, membagi lingkungan untuk sesama.
Tetapi mengapa sulit untuk di praktekkan? Apakah karena nasehat itu terlalu sederhana dan teramat bersahaja?
Sobat - sobatku berbagi itu bukan hanya soal material, tetapi juga berbagi tempat, berbagi waktu, berbagi suasana. Tapi sering kali kita menyempitkan arti berbagi hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, bahkan mungkin juga untuk kepentingan keluarga dan kelompok.
Realitas kekinian kita ialah Globalisasi segala aspek kehidupan Manusia. Yaitu, suatu keadaan, di mana Dunia jadi makin sempit seolah tanpa batas bahkan waktu terasa lebih cepat berlalu dari abad-abad sebelumnya. Suasana ini akibat dari pesatnya perkembangan tehnologi komunikasi melalui, suara, foto/gambar dan filem yang hampir semua penduduk Dunia memiliki akses dan sekaligus pengguna media komunikasi super canggih itu.
Tak ada peristiwa yang tersembunyi, semua dengan mudah tersebar kesegala arah, hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Sebab itu Dunia terasa sempit dan sesak, para penghuni Dunia di persatukan dalam apa yang di sebut sebagai Kampung Global, di mana para tetangga dapat saling mengintip, saling memperhatikan.
Saling tahu perbedaan antara tetangga sebelah kanan dan yang di sebelah kiri.
Yah, Globalisasi mengubah Dunia menjadi sebuah Kampung, di mana hidup bertetangga merupakan narasi bersama. Sebuah keadaan yang tak mungkin kita ingkari.
Sebab itu berbagi kebaikan kepada tetangga, pada orang-orang Sekampung mustinya menjadi tujuan dan laku bersama.
Bicara soal perbedaan pada masa kini adalah bertujuan untuk saling memahami, saling mengerti, saling menghormati bahkan perbedaan adalah sebuah anugerah. Sebuah pondasi untuk membuat bangunan kampung menjadi kokoh, kuat dan elastis terhadap terjangan angin puyuh bahkan oleh guyuran hujan sederas apapun.
Perbedaan di antara manusia adalah keniscayaan.
Tak terhindarkan
Tak teringkari
Perbedaan Agama atau kepercayaan yang selama ini menjadi sebuah jurang dalam dan penuh bahaya maut, mustinya dapat di tempatkan sebagai bagian yang tidak di pertentangkan. Bukankah Iman itu merupakan ranah pribadi, urusan seseorang yang mempercayai Tuhan yang di sembahnya?
Tetapi sering kali Agama dan Kepercayaan menggoda kita untuk mengotak-atik orang lain, mengusik-usik tetangga, menghembus-hembus dan meniup-niup dan mengingkari harmoni hidup bersama dalam kampung Global itu.
Tak ada sang liyan, melainkan kita dalam perspektif hidup bersama.
Dalam keunikan masing-masing tradisi, Agama dan kepercayaan bahkan corak busana dan Sandang dan Papan.
Tidak dapatkan kita membagi perbedaan sebagai nilai Kemanusiaan?

Samarinda, Kalimantan Timur, Medio September 2016

Rob Colection

RWM.BOONG BETHONY

Devotional Culture.

Devotional Culture.

Pluralism The fact that (try to ..) be banned
Romo Ro Wi Ma.

One of the realities of the postmodern era is a reality on the recognition of pluralism or diversity. It has been suggested naively that it is the recognition of pluralism in one God with different religion, I just want to ask those who interpret it as such. Because the interpretation and understanding as it precisely: narrows, narrowing and silting meaning of what it Pluralism.
Pluralism Is not that the reception on diversity in the broadest sense. Namely the recognition of the presence of: Ethnicity, other Faith (their religion and beliefs), Language, Options for Politics, Gender, and various other aspects of life, both social as well as within the framework of the state and nation.
In social studies, anthropology and multicultural, diversity is a condition or situation or factors that lead to progress in many countries.
Countries that accept pluralism as a social foundation society is far more advanced than in the countries covered in diversity, and community or residents can enjoy the well-being of much higher or much more prosperous.
By contrast, countries that community or its inhabitants and covered reign on diversity or pluralism, inclined at Quo statusf labels even 'poor'. Energy and attention in countries that reject pluralism or diversity is often depleted in the desire to maintain or hang on uniformity. And their presence is not forbid, a party, in religion, tribe, the same language, compatriot, different skin color, and so on. The point is not the same then become enemies.
Whereas Since the early universe was created to accommodate diversity, cultivate and develop this diversity might even Earth is not the only planet in the habitable living beings given that our sun is not the only star clusters in the Universe this. There are clusters of the Milky Way (Ing. Milky Way; Ex. Via Lactea, Yun. Galaxias), Star Cluster Open (Open Cluster), Ball star cluster. (Globular clusters), and so on.
Indonesia is the world's largest archipelago accompanied by diversity of ethnicity, language, belief and religion, language, traditions, arts, and so on. To deny this, it means the denial of the Act of 1945, Proclamation and Pancasila.
In the text and context of Indonesia, the real recognition of diversity or pluralism is not something new or strange. The fact the relics in the form of building ornaments and inscriptions showing the situation. Prambanan temple in Klaten, for example, is a blend of Bhuda and Hindu architecture, as well as the Borobudur Temple in Magelang, that some parts of the Hindu sitektur relief characterize his era. Whether, Prambanan and Borobudur then adheres to the presence of the God they worship? Apparently not, blend sitektur it, want to express respect for the presence of other religions.
In today's modern houses of Christian worship and Islam is often a blend of European sitektur with background sitektur Christianity and the Middle East with Islamic cultural background. Or the Great Mosque Istiqlal is the dome-like church Blendoeg Semarang and Jakarta Immanuel Church in Gambir. Or Mesdjid Court in Holy relics Walisanga, where sitektur building adopts three cultures, Islamic, Hindu and Javanese. What I am trying to put forward as examples of buildings above, is a show about the acceptance of their presence are different.
Viewing social thinkers such as Amartya Sen, gave instructions that the history of nations in the world, suggesting that the Pluralism (acceptance of diversity is NOT recognition in one God) is the requirement to give birth to the welfare of society.
Presumably, the awareness to recognize and accept pluralism as a cue for the common welfare, need campaigned, conveyed, in the voice, in preaching, anywhere. Yes in Primary education (elementary, middle, high school / vocational school) up to college, so in the church, so in the mosque, so in pure or temples, yes pagoda, in the club - sporting club, in the theater, so in seminary and the School of Theology, in Pesantren yes, yes in the parliament, yes in the bureaucracy, principally in unmute where and anywhere.
In the text and context of this, the stakeholders of Public Welfare (government) and those who need welfare (People) need to change the paradigm and continuously echoes Pluralism as joint cultural education teaching.

Romo Ma Ro Wl
The priest Culture and Protestant observers.
Stay in Samarinda.

Indonesian Verzion
Renungan Kebudayaan.

Pluralisme Kenyataan yang (coba untuk..) di ingkari
Romo Ro Wl Ma.

Salah satu realitas era pascamodernisme adalah kenyataan pada Pluralisme atau pengakuan pada Keberagaman. Ada yang menafsirkan secara naif bahwa Pluralisme itu adalah Pengakuan pada satu Tuhan dengan berbagai Agama, saya justru ingin bertanya pada mereka yang menafsirkannya seperti itu. Karena penafsiran dan pengertian seperti itu justru : mempersempit, mengecilkan dan pendangkalan makna apa itu Pluralisme.
Bukankah Pluralisme itu penerimaan pada Keberagaman dalam arti seluas-luasnya. Yaitu pengakuan pada kehadiran : Etnisitas, Iman lain (adanya agama dan kepercayaan), Bahasa, Pilihan Politik, Gender, serta berbagai aspek hidup lainnya, baik secara sosial kemasyarakatan maupun dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Dalam kajian sosial, antropologi dan multikultural, keberagaman merupakan keadaan atau situasi atau faktor yang memicu kemajuan di berbagai negara. 
Negara-negara yang menerima Pluralisme sebagai pondasi sosial masyarakatnya ternyata jauh lebih maju dari pada negara-negara yang tertutup pada keberagaman, dan masyarakat atau penduduknya dapat menikmati kesejahteraan jauh lebih tinggi atau jauh lebih sejahtera.
Sebaliknya, negara-negara yang masyarakat atau penduduknya dan Pemerintahannya tertutup pada keberagaman atau pluralisme, cenderung pada lebel statusf Quo bahkan 'miskin'. Energi dan perhatian di negara-negara yang menolak Pluralisme atau keberagaman seringkali terkuras pada keinginan menjaga atau bertahan pada penyeragaman. Dan mengharamkan kehadiran mereka yang tidak, segolongan, seagama, sesuku, bahasa yang sama, sekampung, warna kulit yang berbeda, dst. Intinya tidak sama maka menjadi musuh. 
Padahal Sejak awal alam raya diciptakan untuk menampung keberagaman, menumbuhkan dan mengembangkan keberagaman bahkan mungkin Bumi ini bukan satu-satunya planet yang di huni mahkluk hidup mengingat bahwa Matahari kita bukan satu-satunya gugus bintang di Alam Raya ini. Ada gugus Bima Sakti (Ing. Milky Way; Lat. Via Lactea, Yun. Galaxias), Gugus Bintang Terbuka (Open Cluster), gugus Bintang Bola. (Globuler Cluster), dst. 
Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia di sertai keanekaan Etnisitas, bahasa, Kepercayaan dan Agama, Bahasa, tradisi, kesenian, dst. Mengingkari hal ini, berarti pengingkaran pada Undang-Undang Dasar 1945, Proklamasi dan Pancasila.
Dalam teks dan konteks Indonesia, sesungguhnya pengakuan terhadap Keberagaman atau Pluralisme bukan sesuatu yang baru, atau asing. Kenyataan pada peninggalan-peninggalan berupa ornamen bangunan dan prasasti mempertontonkan keadaan itu. Candi Prambanan di Klaten misalnya, merupakan perpaduan arsitektur Bhuda dan Hindu, demikian juga Candi Borobudur di Magelang, yang beberapa bagian dari relief mencirikan sitektur Hindu di jamannya. Apakah, Candi Prambanan dan Candi Borobudur kemudian menganut pada adanya satu Tuhan yang mereka sembah? Ternyata tidak, perpaduan sitektur itu, mau menyatakan penghormatan pada kehadiran agama lain. 
Di jaman modern ini Rumah-rumah ibadah Kristiani dan Islam pun sering merupakan perpaduan sitektur eropa dengan latar belakang kekristenan dan sitektur Timur Tengah dengan latar belakang budaya islam. Atau mesjid Agung Istiqlal Jakarta yang dengan kubah yang mirip Gereja Blendoeg Semarang dan Gereja Immanuel di Gambir Jakarta. Atau Mesdjid Agung di Kudus sebagai peninggalan Walisanga, di mana sitektur gedung mengadopsi tiga kebudayaan, Islam, Hindu dan Jawa. Apa yang saya coba kemukakan sebagai contoh bangunan diatas, adalah pertunjukan tentang penerimaan atas kehadiran mereka yang berbeda. 
Mengamati pemikir sosial seperti Amartya Sen, memberi petunjuk bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia, mengisyaratkan bahwa Pluralisme (penerimaan pada keragaman BUKAN pengakuan pada satu Tuhan) adalah persyaratan untuk melahirkan kesejahteraan masyarakat.
Agaknya, kesadaran untuk mengakui dan menerima Pluralisme sebagai isyarat untuk kesejahteraan bersama, butuh di kampanyekan, di sampaikan, di suarakan, di khotbahkan, di mana saja. Ya di Pendidikan dasar (SD, SMP, SMU/SMK) sampai ke perguruan tinggi, ya di gereja, ya di mesjid, ya di pure atau kuil , ya di klenteng, di klub - klub olah raga, di panggung teater, ya di seminari dan Sekolah Tinggi Theologi, ya di Pesantren, ya di ruang perlemen, ya di ruang birokrasi, pokoknya di suarakan di mana  dan kemana saja.
Dalam teks dan konteks inilah, para pemangku kepentingan Kesejahteraan Masyarakat (Pemerintah) dan mereka yang butuh kesejahteraan (Rakyat) perlu mengubah paradigma dan terus menerus mengumandangkan Pluralisme sebagai pengajaran pendidikan kebudayaan bersama.

Romo Ro Wl Ma
Pemerhati Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
Tinggal di Samarinda.

Rob Colection

RWM.BOONG BETHONY

22/09/16

Kristiani dan Budaya



Christianity amongst the bustle of Culture Indonesia, an introductory note.
Romo Wl Ro Ma.

Go, make all people my disciples, baptizing them in the name of the Father, the Son and the Holy Spirit. This sentence fragment, contained in Matthew chapter 28 verse 19. Before that there are principles that led to the sentence of this command. Namely, the revelation of Christ on His power over Heaven and Earth, paragraph 18.
Based on this spirit, there was the movement's message of the gospel out of Israel.
Theologians formulate this movement with kongklusif: From Jerusalem to Europe (Rome) then anywhere.
Europe entered the archipelago of merchant ships along the imperealis to the archipelago. There are Christians in the archipelago or Indonesia today. Remember, Christians in Indonesia and Indonesia are not Christians.
Both revelation last, about to criticize the growth of Christianity in Indonesia are 'unfamiliar' with local traditions and cultural traditions of Indonesia as the Indonesian people.
Read this revelation, many Christians in Indonesia will frowning eyebrows then objected then to counter with arguments.
But in reality, the building - the church building, church ritual, liturgical style clothing, tools - tools of ritual worship, to the liturgy - the ecclesiastical liturgy, is a relic of the calculations to think very highly influenced traditions (culture), Israel and Europe. All were deliberately adopted even in consecrated as' something as if a 'great sin' if left behind or forgotten. How to think so, at that very moment, deliberately going to deny 'around the world'. Where churches live, grow, develop and serve.
Perhaps, because it (too busy digging the traditions of the past) so that the church in its development in Indonesia, linear affairs and cool into there, and occasionally look left or right. As though God only knows the tradition of Israel and the European tradition.
Though the Church in Indonesia, are Indonesian Christians. Present and living in the archipelago, eat there, die there, buried there even remembered there.
Is not this archipelago is a paradise earth culture very interesting, exotic, with a unique tradition etniksitas by region, language and islands. A stretch of territory and time with pearl ornaments verb is deliberately created by the Lord of Life, Lord Jesus, God the Creator of Heaven and Earth.
So what is wrong with the local tradition which is a process - a process of life and human development? What was wrong from the point of view of the church to the world of Indonesian culture? So that the difficulties or is reluctant to dissolve in the local culture by some church leaders sometimes forbidden or considered wicked?
Discipleship, as the quote at the beginning of this paragraph is certainly not intended to deprive the prospective students out of their culture or leave ecohabitas that has been growing and shaping it as human beings. Certainly not the intention of the Master, but on what is referred to as enlightenment habitus, mental enlightenment, spiritual enlightenment. Because habitat can be changed at any time - but habitus is the basis of the behavior of a person's humanity.
That happened in the development of Evangelism in Indonesia, was the removal of the disciples (Christians) of habitat, of environment, of traditions, of culture and form a new student was in the box with the traditions and cultures of Israel and Europe. So, do not be surprised if from the 18th century until now people -the Christians in Indonesia are often nicknamed 'kebelanda - belandaan or too westernized - westernized' cause foreign style and way of life of its own culture. Some even feel that Indonesian culture is not culture, though the skin, hair and ancestors native to Indonesia.
Not just a matter of 'repeal it' but the ornaments - ornaments locally as a result of thinking, initiative, creativity and sense, human Indonesia in lebeli as objects - objects Wicked. Then there was the destruction, suppression of the mass of the particular cultural wealth in Indonesia. Which until now how to think like that 'still' haunting perspective of the Christian tradition as a form of culture.
Therefore do not ask, if the church buildings still will be built in the style of western sitektur, Rituals - the ecclesiastical ritual smelling Europe or Israel, instruments (objects) ritual of the church still must be imported either from the outside. Clothing lirturgis still would like robes winter europe, music - musical accompaniment and singing - singing still thick Etniksitas import. Etc.
If the understanding of the church is still as it was in the Indonesian culture, until whenever Christianity in Indonesia will still be a Christian, Christians in Indonesia not Indonesia.
But hopefully not so.

Greetings and prayer rahayu.
Observer culture and Protestant clergy
Staying in Samarinda
Indonesian Verzion

Kekristenan di antara hiruk pikuk Budaya Indonesia, sebuah catatan pengantar.
Romo Ro Wl Ma.

Pergilah, jadikan semua orang muridku, baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Rohkudus. Penggalan kalimat ini, termaktub dalam Injil Matius pasal 28 ayat 19. Sebelum itu ada dasar yang memunculkan kalimat perintah ini. Yaitu, penyataan Kristus tentang kuasaNya atas Sorga dan Bumi, ayat 18.
Berdasar spirit ini, terjadilah gerakan Pekabaran injil keluar Israel.
Para teolog merumuskan gerakan ini dengan kongklusif : Dari Yerusalem ke Eropa (Roma) kemudian kemana saja. 
Dari Eropa masuk nusantara seiring kapal-kapal dagang kaum imperealis ke bumi Nusantara. Ada orang kristen di Nusantara atau Indonesia sekarang ini. Ingat orang Kristen di Indonesia dan bukan orang kristen Indonesia.
Kedua penyataan terakhir itu, hendak mengkritisi perkembangan Kekristenan di indonesia yang 'masih asing' dengan tradisi lokal maupun tradisi indonesia sebagai kebudayaan manusia Indonesia.
Membaca penyataan ini, banyak orang kristen di Indonesia akan mengernyit alis kemudian keberatan lalu meng-Counter dengan argumennya.
Tetapi dalam kenyataannya, gedung - gedung gereja, ritual gereja, corak pakaian liturgis, alat - alat ritual ibadah, sampai pada liturgi - liturgi gerejawi, merupakan peninggalan dari kalkulasi-kalkulasi berfikir yang amat sangat di pengaruhi tradisi (kebudayaan) Israel dan Eropa. Semua itu secara sengaja di adopsi bahkan di kultuskan sebagai 'sesuatu' yang seolah-olah sebuah 'dosa besar' jika di ltinggalkan atau di lupakan. Cara berfikir demikian, seketika itu, dengan sengaja hendak mengingkari 'dunia sekitar'. Di mana gereja hidup, tumbuh, berkembang dan melayani.
Mungkin, karena itu (terlalu sibuk menggali tradisi masa lampau) sehingga gereja dalam perkembangannya di Indonesia, linier pada diri sendiri dan asik di sana, dan sesekali menengok ke kiri atau kanan. Seolah-olah Tuhan hanya mengenal tradisi israel dan tradisi Eropa.

Padahal Gereja di Indonesia, adalah orang Kristen Indonesia. Hadir dan hidup di bumi nusantara, makan disitu, mati disitu, di kubur disitu bahkan di kenang disitu. 
Bukankah bumi Nusantara ini adalah sorga kebudayaan yang sangat menarik, eksotik, dengan tradisi unik sesuai wilayah etniksitas, bahasa serta pulau-pulau. Sebuah bentangan wilayah dan waktu dengan hiasan mutiara manikam yang dengan sengaja di ciptakan oleh Sang Empunya Hidup, Tuhan Yesus, Tuhan Pencipta Langit dan Bumi.
Lalu apa yang salah dengan tradisi lokal yang merupakan proses - proses kehidupan dan perkembangan manusia? Apa yang keliru dari cara pandang gereja terhadap dunia budaya Indonesia? Sehingga kesulitan atau memang enggan melarut dalam budaya lokal yang oleh sebagian tokoh-tokoh gereja terkadang di haramkan atau di anggap fasik?

Pemuridan, seperti kutipan di awal paragraf ini pastilah bukan bermaksud untuk mencabut calon murid keluar dari kebudayaannya atau meninggalkan ecohabitas yang selama ini menumbuhkan dan membentuknya sebagai manusia seutuhnya. Pasti bukan itu maksud Sang Guru, melainkan pada apa yang di sebut sebagai pencerahan Habitus, pencerahan jiwa, pencerahan bathin. Sebab habitat dapat saja berubah sewaktu - waktu, tetapi Habitus adalah dasar perilaku kemanusian seseorang.
Yang terjadi dalam perkembangan Pekabaran Injil di Indonesia, adalah pencabutan para murid (kristiani) dari habitatnya, dari lingkungannya, dari tradisinya, dari budayanya dan membentuk murid baru itu dalam kemasan tradisi dan budaya Israel dan Eropa. Jadi, jangan heran bila dari abad 18 sampai sekarang orang -orang Kristen di Indonesia sering kali di juluki 'kebelanda - belandaan atau juga kebarat - baratan' sebab corak dan cara hidupnya asing dari kebudayaannya sendiri. Bahkan ada yang merasa bahwa budaya Indonesia bukan kebudayaannya, meskipun kulit, rambut dan nenek moyangnya asli Indonesia.
Bukan hanya soal 'pencabutan itu' tetapi ornamen - ornamen lokal sebagai hasil dari berfikir, karsa, cipta dan rasa, manusia Indonesia di lebeli sebagai benda - benda Fasik. Maka terjadilah pemusnahan, pemberangusan massal terhadap kekayaan budaya tertentu di Indonesia. Yang sampai sekarang cara berfikir seperti itu 'masih' menghantui cara pandang kristiani terhadap tradisi sebagai bentuk kebudayaan.
Karena itu jangan bertanya, jika gedung-gedung gereja masih akan di bangun ala sitekrut barat, Ritual - ritual gerejawi berbau Eropa atau Israel, instrumen (benda) ritual gereja masih harus di import entah dari luar. Busana lirturgis masih akan seperti jubah musim salju eropa, musik - musik pengiring dan nyanyian - nyanyian masih kental Etniksitas import. Dst.

Jika pemahaman gereja masih seperti itu tentang kebudayaan Indonesia, sampai kapan pun kekristenan di Indonesia masih akan menjadi Kristen di Indonesia bukan Kristen Indonesia.
Tapi semoga tidak begitu.


Salam dan doa rahayu.
Pemerhati kebudayaan dan rohaniawan protestan
Tinggal di Samarinda

Rob Colection





RWM.BOONG BETHONY

Culture, As Reflection Humanity

Talk A bout Culture  in two languages

CULTURE, AS REFLECTION humanity
 By : Father  Ro Ma Wl

WHAT IS CULTURE? Why talk about it?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Times change, and we change too in it. A Latin proverb that its actuality until now, later and later. Changes that occur in the course of that time, expressing Human explore the search for meaning in a question Who? What and How, Man as it changes. Similarly, culture or cultured (culture) change according to the context of the times. Culture or cultured then follow the changes in thinking, feeling, intention and human creativity. Nothing lasts forever, except change itself.
Because it is steeped in a matter of culture invites us to reflect on: the development of thinking, feeling, intention and human creativity. He (read: culture and cultured) was never out of narrative expression and humanitarian Hermeneutik 1).
This simple paper, prepared as half the paperwork, meaning not a purely scientific work, but rather an accentuation on Culture, As a reflection of Humanity. Namely, accentuate cultural events or culture and so the community or individual expression both in thought and behavior in the study was a growing culture around us the last two or three decades; in the text and the context of Indonesia's progress and intensity will happen after 1990-han 2) until now. In the main this simple article I limited the growth of the Cultural Events in Social Media as part of the discourse of Mass Culture and Mass Media. Namely, Community Group HAIKUKU Indonesia.
Viewing events - Cultural events in the studies (study) teaches us; at least for me! That none of concepts (the theory or proposition) of the Culture in the 'cult' right or 'passes' as depictions valid and accepted by activists, thinkers and humanists or cultured. Thus pertaanyaan about What is Culture or Culture, will never be finished. It will give birth to a theory or a concept or a new proposition as grandchildren or great-grandchildren on the previous questions. So what is Culture or Culture? My answer will always be: It is a reflection or expression of Humanity as thinking, feeling, intention and copyright 3).
Then how to demonstrate Culture? This question abstractive which in my mind is always wild and naughty 'but can account for that culture or culture is footage of Signs (sign) or Symbolisasi (symbol) or symptoms (being) or value (value) is always evolving and being around or at least encircle a community or an individual in a variety (diversity) aspects (read Holistic) Human life. Such as: relationships cosmic, literature, entertainment, theater, film, sports, education, politics, science - technology and philosophy, system of government and power, economy, welfare, defense and security, mating rituals, aesthetics, morality, social life , belief and religion, and so on. This coverage also depends on the development and the development perspectives of Science - Science with a concentration of each study.
To be sure, that culture or cultured is a sign or a symbol or a symptom or human values ​​historically continues, who knows how long.

HAIKU AS CULTURAL EVENTS.

Globalization is an expression of humanity that is born of the pace of development and the development of science in accompanied invention to answer any technology in human anxiety, and very shocking of all findings - findings it is Technology Media Communications and Mass Media Technology. As a result of the development of Technology Communication and the Mass Media. World 'feel' cramped, crowded, even as if - if there is no longer the time span also limits the area that a few decades ago seemed distant, airy and feels isolated. Within seconds of an event happening anywhere in the world as soon as possible from spreading through the mass media, communication media, and even premises their Smartphone coupled wit storing various audio and visual data, all users at any time can become a 'journalist' on any event and proclaim to anyone via internet services. A situation in which all people simultaneously felt something together 4). A state in which every human being and are forced to accept this fact. A tide of change uncompromising grind, roll, sets in all directions with no one force dispel. Therefore do not be surprised if there or here there stuttering and nervousness.
Stuttering because do not understand is happening, nervous because not understand how to behave. So, from the nervous and stuttering, let's roll - boisterous welcome, entering the era to look up, be yourself. Is not the development and the development of science and technology 'just' a means to address anxiety - anxiety over the human imperfections. So stay Dashing Mighty in their own culture or your culture.
I borrowed the joke of the late Gus Dur impersonate popular in Indonesian society: Gitu aja kok bother! So I interpret this joke in narrative text and context that globalization is an expression of humanity now, at this time, and that continues. That anyone even any country in this world has no power to prevent or reject Globalaisasi. Therefore, there is no choice, but to accept the rest of the world together. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

In unflagging expression that I found Haiku as a part of the culture of the past five), enliven the development of the literary universe the world, including in Indonesia. Tracing the history of Indonesian literature contiguity with Haiku, then some Legend of Indonesian Literature, like Amir Hamzah, Rendra and Gunawan Muhamad, a few times and try to write Haiku To publish the work - their work. But the campaign of celebrities have been unable to Indonesian literary universe turned towards it.
Therefore, let's thank the Social Media Facebook (of course without forgetting the names of the writers above) which already provides a variety of spaces 'app' for anyone. From Social Media Facebook is, at the end of 2014, began to bloom in Haiku widely known in Indonesia 6). By the presence of observers and activists groups Haiku, with the name of Group Haikuku Indonesia. Group Haiku Indonesia is a pioneer in social media because of my knowledge, before that, there is no other group of Indonesia as serious as these groups to: explore, examine and learn at the same time an inventory of what is called Kigo INDONESIA 7). Presence Group Haikuku Indonesia broad impact on the action and reaction to the world of praxis. The group is fronted writers Diro Arita and Comrades 8). Until now, this simple article I type, member of Group Haikuku statistically Indonesia amounted to 11 837 people. A fantastic number considering the new age of 2 (two) years of road. I am more and more amazed when compared with group Haiku abroad. For example, Group Haiku Canada of 2007. To penetrate 10,000 members, this group had to wait seven years.

CONVERGENCE

Let me shift the context of this discussion of trends over to the context of the narrative in expressive Group Haikuku Indonesia is today undergoing its own historical. Positioning the Group Haikuku Indonesia into the behavior of Culture or culturally meaningful browse for thinking, feeling, initiative and creativity of the entire community Haikuku dynamics. As a community Culture or Culture, the newly formed and learn a short poem Japanese or HAIKU who also recently even strangers at all, it is natural in the range of 2 (two) years, the dynamics are quite 'exciting' that resulted THIGH (read: Members dismissal Haiku by Admin) including friends - friends Diro Arita as the Founder Group, and or they are silent - silent out avoiding 'rigors' dynamic discussions that sometimes 'massive' gathering in the form of the establishment - phrases barb others. But this does not reduce the interest ripple curiosity of many people, which is why members instead increasingly receding but increasing in quantity. What is interesting from Group Haikuku? And what makes the discourse Haikuku? The answer to that question is that Group Haikuku Indonesia, choose the path of Haiku Classic or CONSERVATIVE. This is what distinguishes the other group that stands for exodus or ex Haikuku.

Find dynamics like that, my mind wandering through time into the barracks silent, simple recluse Buddhist Zen around the country of Japan at that time, where the hermitage of silent birth poetry short poems understated as a result of reflection on all natural events, where the the hermit inner hone, sharpen the sensitivity of the soul in the presence of Almighty God from every natural event 9) that occurred around Man. From the Hermitage silent and simple it is created h Haiku - spiritual haiku who put respect for the presence of Almighty God Mahas. God is understood by hermit - as a hermit, gentle, compassionate, peaceful and loving life. From the Hermitage silent and simple, I then jump across the span of centuries and perch in Group Haikuku Indonesia carrying sweet memories of gentleness, compassion, peace and love of life of the inventor and creator of Haiku. By then I imagine the memories and realize the fact, that the Group Haikuku Indonesia is a modern community with the bustle of modernity, where Pluralism 10) and Globalization so dialeg and hopefully towards Harmony gentleness, compassion, peace and love of life.
Why Pluralism? Because in my mind is the fact pluralism of Indonesian society that has existed since centuries ago and will continue as such. Pluralism is not a form of likening diversity but the reception and put appreciation (respect) for difference or plurality itself. As globalization is pervasive everywhere, it is the acceptance of pluralism and respect for the reality of pluralism. Similarly, Globalization and Pluralism is a fact of Indonesian society (and the world) in a necessity so-called 'New Era' or new age world community.
I saw Group Haikuku Indonesia, were there. Namely, a global village in which pluralism, knowing it or not, came to light on the diversity of its inhabitants. Either by reason backgrounds: social status, expertise, work, language, ethnic, religious (beliefs), economic, scientific, citizenship, even habitable area distribution Haikuku members. All it showed that the Group Haikuku Indonesia very attractive as 'a study group'. Communities that make 'core business' even 'core values' learning and development into Haiku Haiku Indonesia. With such a concentration that then I would like to invite all present on this occasion to see some basic thoughts on Presence Group Haikuku Indonesia.

1. Education Culture and Contextualization
As a result of foreign culture and are not the cultural heritage of the past Indonesian Man, contextualization Haiku becomes important. Contextualization I mean is make or create the appropriate background Haiku Society Indonesia very Plural. So instead of moving the flower pot and its contents then put the flower pot on the front porch and then adding knickknacks around the flower pot. If this happens, then it will never create a true sense of Haiku Indonesia, Indonesia typical haiku, Haiku tastes Indonesia. Instead what happens is creating Haiku in Indonesia and not create or write Haiku typical Indonesia.
As the world's largest archipelagic country, Indonesia also has a variety of traditions, both in the form of religious ritual with a variety of languages, dance, martial arts, the art of waking up, sounds and drumming; appropriate local knowledge, and so on.
Contextualization often interpreted wrongly by many people, including those who are often referred to as Cultural even though academics. In fact, contextualization, talk about absorption or capture power or finesse power to local people against something that comes from outside and synergize into something that absorbs local wisdom as the peculiarities of a particular community. There is a blending of forms, blending value - the value of either sitektur buildings, agricultural systems, farming system, family system, to the system of collective life. So not adopt or emulate later claimed as property of the tradition believed to be the first in their own culture. One of the failures of teaching culture in the world of national education is as always adopt something that seems to be good, nice, and then implemented in the national education world without any absorption, catches on local knowledge or local charges as a teaching culture of the nation. Do not be surprised, if the Indonesian human measure and the measure of a piece of paper called diploma S1 to S3, which I know the brain learners in the content just mere knowledge without cultural spirit.

How Group Haikuku?
As the new community and learn new things, I have to take my hat off to the courage Group Haikuku Indonesia entered the hallway contextualization Haiku. Particularly noticeable in the efforts to dig Spells - spells Archipelago and turn it into a haiku. By retaining the language of the spell, so it can still be enjoyed as a mantra, do not lose the spirit of trust contained therein. And this step forward and very Indonesian. In this way the group Haikuku indirectly preserve the tradition - the tradition of spells, but also mendokomentasikan various cultural traditions are almost extinct. This is one of contextualisation of Haiku.

2. Events Civilization
Group Haikuku not just expressive culture lovers, practitioners and activists Haiku but a moment of civilizations between the two countries. Civilization that brought lattice and space. Namely, lattice tradition, spans time and space, but also coordinate concept - the concept of spiritual past and present through the Haiku, including our meeting this evening. Therefore, fidelity in Pakem and Patron Haiku makes us civilized people.
Hopefully this short and simple capable of disturbing anyone, as an afterthought.

This is the night
This is the marriage
seekers
--------------------------------------------
Notes:

1). Abstracted and loosely translated from Philip Smith, Culutures Theory: An Indtoduction, Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, Chapter 10-12, "Culture and Text: Narrative and Hermeneutics", 183-201

2). It is characterized by a growing number of built cultural study center or calling themselves the Culture Cultural studies. Study centers that analyze individual thinking in understanding the culture or the culture in the environment of the individual concerned. The characters were popular, a.l: Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Marx Carel, Jalaluddin Rumi, Gibran Kahlil until Pramoedya Ananta Toer. These studies in general, want to understand the dynamics and turbulence Culture or Culture in the environment such figures. Before 1990 - late in polititis studies or studies as it was in forbidden by NEW ORDER.

3). Culture or Culture is an afterthought humanity historically holistic is the expression of thought, expression of taste, expression intention, expression of creativity, which gave birth to many diverse science and technology, art, sports, religious rites accompanied the paradigm even dogmatic to the fatwas of the religious.

4). Globalization, not only globalize a local event but also to globalize solidarity among fellow in the form of concern and support, including in the form of a curse and a reproach.

5). Haiku is a form of short poetry developed in Japan and pioneered Matsuo Basho (1641-1694) followed by Yosa Buson (1716-1784) and Kobayashi Issa (1763-1828) appears Kawahigashi Heigorō lala (1873-1937), which is called -sebut as the pioneer of modern haiku. HAIKU is a short poem with no title belt strict rules "Shichi-Go-Go" 575. That is the literary structure consisting of five syllables initial line, seven syllables in the middle and 5 syllables at the end of the line. Besides rules "Shichi-Go-G0" / 575, HAIKU also contains elements that foreshadow events in the expanse of time or season (Kigo). As a short poem that consists of only three lines and 17 syllables, Haiku has the intelligence to accommodate all the story of what happened in the span of time and season. Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. While KIREJI are cutting sentences or leap meanings of the words are deliberately cut to enter the next line.

6). Group Haikuku Indonesia, the Group Haiku which first appeared in Social Media Facebook and continuously carry out education in the form of online discussion by discussing the works of members in rotation. Group is very RIGID and sustain PATTERN WRITING HAIKU EXTREME CLASSIC, 575, BERKIGO AND and BERKIREJI.

7). In the course of the new Group Haikuku Indonesia two years, have ups and downs, some pioneer members then left and set up a Group Group Haikuku is similar but not fully binding on members follow Pakem and Patron Haiku patterned ber'KIGO 575 'and Ber-KIREJI.

8). Haiku born of simple barracks hermitage of Reverend Zen Buddhist wing in Japan in centuries 16-19 believe that all of nature around man, always had a spiritual message. Therefore, Haiku born in centuries 16-19 always makes Nature as the object and spirit. And when Haiku began to spread throughout the world in the late 18th century until today, the spirit of Zen as spiritual start in left towards contextualization Haiku according to the group - groups / group Haiku with Religion or religious background to researchers and activists Haiku.

9). Pluralism of the root word meaning Plural Plural or manifold. Pluralism is a state of good pluralistic society concerned with the social and political systems, religion, education, social status, including the tradition as the background is different. Another term that is similar to the Unity in Diversity that polities Nation and State became a symbol of the Unitary State of Indonesia which means Repoblik different but still one, Homeland. While Pluralism describes the state and the whole society as it is.

10). Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. As a sign of the season, Kigo be important in writing Haiku. Compare with writing short poems counter which is not bound by the season or time as Kigo. Note the sign of the season, much discussed on Group Haikuku. But as an introduction to this simple article, I include some examples of Kigo as a harbinger of Spring. Eg Winter: Snow, freezing water, cold air, people turned on the heater in the house. Sign Fall: Leaves fall, blunting clay animals food for the winter, the leaves change color, and so on. Summer: hot air, hot, and so on. As for Indonesia, the Rainy Season: flooding everywhere, mildew or fungus growth, leaf green, and so on. To Drought: fallen leaves, small rivers drying, hot air, and so on. Differences season in Japan and Indonesia, was very influential in the writing Haiku.
-------------------------------------------------- ------------------------------------
Share at the book launch event of The Sound Of Silence.
The author is the observer of Culture and The priest Protestant, lived in Samarinda.


KEBUDAYAAN, SEBAGAI RENUNGAN KEMANUSIAN
Oleh : Romo Ro Wl Ma

APA ITU KEBUDAYAAN? MENGAPA MEMBAHASNYA?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Waktu berubah, dan kita berubah juga di dalamnya. Sebuah pepatah Latin yang aktualitasnya hingga sekarang, nanti dan kemudian. Perubahan yang terjadi dalam perjalanan waktu itu, mengekspresikan Manusia menelusuri pencarian makna pada tanya Siapa? Apa dan Bagaimana, Manusia seiring perubahan itu. Demikian pula Budaya atau berkebudayaan (culture) berubah seturut konteks zaman. Budaya atau berkebudayaan kemudian mengikuti perubahan itu dalam pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. 
Karena itu mendalami soal Kebudayaan mengajak kita untuk merenungkan mengenai : perkembangan pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Ia (baca : budaya dan berkebudayaan) tak pernah lepas dari ekspresi Narasi dan Hermeneutik kemanusiaan 1). 
Tulisan sederhana ini, di persiapkan sebagai setengah kertas kerja, dalam arti bukan karya ilmiah murni, melainkan sebuah aksentuasi pada Kebudayaan, Sebagai Renungan Kemanusiaan. Yaitu, aksentuasi pada peristiwa Budaya atau Kebudayaan dan jadi ekspresi komunitas atau individual baik dalam pikiran dan laku pun dalam kajian Kebudayaan yang berkembang disekitar kita dua atau tiga decade terakhir; dalam teks dan konteks Indonesia progress dan intensitas akan itu terjadi setelah tahun 1990-han 2) sampai sekarang. Dalam pokok tulisan sederhana ini saya batasi pada tumbuh kembangnya Peristiwa Kebudayaan di Media Sosial sebagai bagian dari diskursus Budaya Massa dan Media Massa. Yaitu, Komunitas Group HAIKUKU Indonesia.
Mengamati peristiwa – peristiwa Kebudayaan dalam kajian-kajian (studi) mengajarkan pada kita; setidak-tidaknya untuk saya! Bahwa tak satupun konsep (teory atau dalil) mengenai Kebudayaan yang di ‘kultus’ kan atau di ‘sahkan’ sebagai Penggambaran sahih dan dapat diterima secara umum oleh pegiat, pemikir dan budayawan atau berkebudayaan. Dengan demikian pertaanyaan tentang Apa itu Budaya atau Kebudayaan, tidak akan pernah selesai. Justru akan melahirkan teori atau konsep atau dalil baru sebagai cucu atau cicit atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Lalu apa itu Budaya atau Kebudayaan? Jawaban saya akan selalu berbunyi: Ia adalah Renungan Kemanusian sebagai atau ekspresi pikiran, rasa, karsa dan cipta 3).
Kemudian bagaimana mempertontonkan Kebudayaan? Ini pertanyaan Abstraktif yang dalam benak saya selalu ‘liar dan nakal’ namun dapat di pertanggungjawabkan bahwa Budaya atau Kebudayaan merupakan liputan atas Tanda(sign) atau Symbolisasi(symbol) atau Gejala (being) atau Nilai (value) yang selalu berkembang dan berada di seputar atau setidak-tidaknya melingkari sebuah komunitas atau individu dalam aneka (keragaman) aspek (baca Holistik) hidup Manusia. Seperti : relasi kosmis, sastra, hiburan, teater, filem, olah raga, pendidikan, politik, Ilmu pengetahuan – tehnologi dan Filsafat, system pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, ritual perkawinan, Estetika, budi pekerti, kehidupan social, kepercayaan dan agama, dst. Liputan ini pun tergantung pada pengembangan dan perkembangan perspektif Ilmu - ilmu dengan konsentrasi studi masing-masing. 
Yang pasti, bahwa Budaya atau berkebudayaan merupakan tanda atau symbol atau gejala atau nilai kemanusiaan yang secara historis terus berlangsung, entah sampai kapan.

HAIKU SEBAGAI PERISTIWA KEBUDAYAAN.

Globalisasi merupakan ekspresi kemanusian yang lahir dari laju pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di sertai penemuan tehnologi di untuk menjawab segala kegelisahan Manusia, dan yang amat menggemparkan dari semua temuan – temuan itu adalah Tehnologi Media Komunikasi dan Tehnologi Media Massa. Akibat dari perkembangan Tehnologi Komunikasi dan Media Massa itu. Dunia ‘terasa’ sempit, sesak, bahkan seolah – olah tidak ada lagi rentang waktu juga batasan wilayah yang beberapa decade lalu terasa jauh, lapang dan merasa terisolir. Dalam hitungan detik suatu peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun sesegera mungkin tersiar lewat media massa, media komunikasi bahkan denga adanya Smartphone dibarengi kecerdasan menyimpan berbagai data audio dan visual, semua penggunanya setiap saat dapat menjadi ‘jurnalis’ atas peristiwa apapun dan mewartakannya kepada siapa saja lewat jasa internet. Suatu keadaan di mana semua manusia secara serentak merasakan sesuatu secara bersama 4). Suatu keadaan di mana setiap insan terpaksa dan harus menerima kenyataan ini. Sebuah arus perubahan yang tanpa kompromi menggilas, menggulung, merasuk kesegala arah tanpa ada satu kekuatan yang sanggup menghalau. Karena itu jangan heran jika disana atau disini terjadi kegagapan dan kegugupan. 
Gagap karena tak paham yang sedang terjadi, gugup sebab tak mengerti harus bersikap bagaimana. Jadi dari pada gugup dan gagap, mari beramai -  ramai menyongsong, memasuki era itu dengan mendongak, jadi diri sendiri. Bukankah pengembangan dan perkembangan Ilmu dan tehnologi ‘hanyalah’ sarana untuk menjawab kegelisahan – kegelisahan manusia atas berbagai kekurangannya. Jadi tetaplah Gagah Perkasa dalam Budaya atau Kebudayaanmu sendiri. 
Saya meminjam guyonan almarhum Gus Dur yang popular di tirukan oleh masyarakat Indonesia : Gitu aja kok repot! Maka saya memaknai guyonan ini dalam narasi teks dan konteks bahwa Globalisasi adalah ekspresi kemanusian kini, saat ini dan yang terus berlanjut. Bahwa siapapun bahkan Negara manapun di Dunia ini tidak memiliki daya untuk mencegah atau menolak Globalaisasi. Sebab itu tak ada pilihan, selain menerima bersama penghuni dunia lainnya. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

Pada ekspresi yang tak kunjung padam itu saya mendapati Haiku sebagai bagian dari Kebudayaan masa lampau 5), ikut meramaikan perkembangan jagad kesusastraan dunia, termasuk di Indonesia. Menilik sejarah persentuhan sastra Indonesia dengan Haiku, maka beberapa Legenda Sastra Indonesia, Seperti Amir Hamzah, WS Rendra dan Gunawan Muhamad, beberapa kali menulis Haiku dan mencoba mempublis karya – karya mereka. Tetapi Kampanye para pesohor ini belum sanggup membuat jagad sastra Indonesia menoleh kearahnya. 
Karena itu, mari berterima kasih kepada Media Sosial Facebook (tentu tanpa melupakan nama-nama Sastrawan di atas) yang sudah menyediakan berbagai ruang ‘aplikasi’ untuk siapa saja. Dari Media Sosial Facebook ini, di penghujung tahun 2014, Haiku mulai marak di kenal secara luas di Indonesia 6). Oleh kehadiran kelompok pemerhati dan pegiat Haiku, dengan nama Group Haikuku Indonesia. Group ini adalah pelopor Haiku Indonesia di media social sebab sepengetahuan saya, sebelum itu, tidak ada group lain dari Indonesia yang seserius kelompok ini untuk : mendalami, mempelajari sekaligus meneliti serta  menginventarisasi apa yang disebut KIGO INDONESIA 7). Kehadiran Group Haikuku Indonesia berdampak luas pada aksi dan reaksi ke dalam dunia praksis. Group ini digawangi sastrawan Diro Aritonang dan Kawan-kawan 8). Sampai saat tulisan sederhana ini saya ketik, anggota Group Haikuku Indonesia secara statistic berjumlah 11.837 orang. Jumlah yang fantastis mengingat usia baru 2 (dua) tahun jalan. Saya makin kagum saat membandingkan dengan group Haiku di luar negeri. Sebagai contoh, Group Haiku Canada dari tahun 2007. Untuk menembus 10.000 anggota, Group ini harus menunggu 7 tahun.

KONVERGENSI

Baiklah saya menggeser konteks pembicaraan ini dari tren naratif di atas ke konteks ekspresif Group Haikuku Indonesia yang hari ini menjalani historisnya sendiri. Memosisikan Group Haikuku Indonesia kedalam laku Budaya atau berkebudayaan berarti menelisik pikiran, rasa, karsa dan cipta komunitas Haikuku atas seluruh dinamika yang terjadi. Sebagai suatu komunitas Budaya atau Kebudayaan, yang baru terbentuk dan mempelajari puisi pendek Jepang atau HAIKU yang juga baru bahkan asing sama sekali, maka wajar jika dalam rentang 2 (dua) tahun itu, terjadi dinamika yang cukup ‘seru’ yang berakibat PAHA (baca : Pemecatan Anggota Haiku oleh Admin) termasuk kawan – kawan Diro Aritonang sebagai Pendiri Group, dan atau mereka yang secara diam - diam keluar menghindari ‘kerasnya’ dinamika diskusi yang terkadang ‘masif’ dalam bentuk kemapanan meramu kalimat – kalimat menusuk hati yang lain. Tetapi riak ini tidak mengurangi animo keingintahuan banyak orang, itulah sebabnya anggota bukannya makin surut melainkan bertambah secara kwantitas. Apa yang menarik dari Group Haikuku? Dan apa yang membuat diskursus Haikuku? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa Group Haikuku Indonesia, memilih jalan Haiku Klasik atau  KONSERVATIF. Ini yang membedakan dengan group lain yang berdiri karena exodus atau eks Haikuku. 

Mendapati dinamika seperti itu, pikiran saya berkelana menembus waktu memasuki barak-barak sunyi, sederhana para pertapa Budha aliran Zen di pelosok negeri Jepang di masa itu, dimana dari pertapaan sunyi itu lahir puisi puisi pendek bersahaja sebagai hasil perenungan atas segala peristiwa alam, dimana para pertapa itu mengasah batin, menajamkan kepekaan jiwa pada Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dari setiap peristiwa alam 9) yang terjadi di sekitar Manusia. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu tercipta h Haiku - haiku spiritual yang menaruh penghormatan pada Kehadiran Tuhan Yang Mahas Esa. Tuhan yang di pahami oleh pertapa – pertapa itu sebagai, yang lembut, welas asih, penuh damai dan mencintai hidup. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu, saya kemudian lompat menyeberangi rentang waktu berabad-abad dan hinggap di Group Haikuku Indonesia sambil membawa kenangan manis tentang kelemah lembutan, welas asih, damai dan kecintaan pada hidup dari para penemu dan pencipta Haiku. Berdasar kenangan itu kemudian saya berhayal dan menyadari kenyataan, bahwa Group Haikuku Indonesia adalah sebuah Komunitas modern disertai hiruk pikuk modernitas, di mana Pluralisme 10) dan Globalisasi jadi dialeg dan semoga menuju Harmoni kelemah lembutan,  welas asih, damai dan kecintaan pada kehidupan.
Mengapa Pluralisme? Sebab dalam benak saya Pluralisme adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak beberapa abad lalu dan akan terus seperti itu. Pluralisme bukan suatu bentuk mempersamakan keaneka ragaman melainkan penerimaan dan menaruh penghargaan (penghormatan) terhadap perbedaan atau kemajemukan itu sendiri. Seperti Globalisasi yang merasuk kemana saja, maka Pluralisme adalah penerimaan dan penghormatan pada realitas kemajemukan. Demikian Globalisasi dan Pluralisme merupakan kenyataan Masyarakat Indonesia (dan Dunia) dalam sebuah keniscayaan yang disebut sebagai ‘New Era’ atau zaman baru masyarakat dunia. 
Saya melihat Group Haikuku Indonesia, berada di sana. Yaitu, sebuah kampung Global dimana Pluralisme, di sadari atau tidak, mengemuka atas kepelbagaian penghuninya. Baik oleh sebab latar belakang : status social, keahlian, pekerjaan, bahasa, Etnis, Agama (kepercayaan), Ekonomi, keIlmuan, kewarganegaraan, bahkan sebaran wilayah huni anggota Haikuku. Semua itu mempertontonkan bahwa Group Haikuku Indonesia teramat atraktif sebagai ‘sebuah kelompok studi’. Komunitas yang menjadikan ‘core business’ bahkan ‘core values’ pada pembelajaran Haiku dan pengembangannya menjadi Haiku Indonesia. Dengan konsentrasi seperti itu maka saya ingin mengajak semua hadirin pada kesempatan ini untuk melihat beberapa pokok pikiran atas Kehadiran Group Haikuku Indonesia.

1. Edukasi Kebudayaan dan Kontekstualisasi
Sebagai hasil kebudayaan asing dan yang bukan peninggalan kebudayaan Manusia Indonesia dari masa lampau, kontekstualisasi Haiku menjadi penting. Kontekstualisasi yang saya maksudkan adalah membuat atau menciptakan Haiku sesuai latar belakang Masyarakat Indonesia yang amat Plural. Jadi bukan memindahkan Pot bunga dan isinya lalu menaruh pot bunga itu di teras rumah kemudian menambahkan pernak pernik di sekitar Pot bunga itu. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan pernah tercipta sebuah Haiku yang benar rasa Indonesia, haiku khas Indonesia, Haiku selera Indonesia. Sebaliknya yang terjadi adalah mencipta Haiku di Indonesia dan bukan menciptakan atau menulis Haiku khas Indonesia. 
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki ragam tradisi, baik dalam bentuk ritual keagamaan dengan ragam bahasa, seni tari, seni perang, seni bangun, bunyi-bunyian dan tetabuhan; sesuai kearifan local, dst. 
Kontekstualisasi sering kali di artikan keliru oleh banyak orang, termasuk oleh mereka yang sering di sebut sebagai Budayawan bahkan kaum akademisi sekalipun. Padahal, kontekstualisasi, berbicara mengenai daya serap atau daya tangkap atau daya siasat masyarakat local terhadap sesuatu yang datang dari luar lalu mensinergikan menjadi sesuatu yang menyerap kearifan local sebagai kekhasan masyarakat tertentu. Ada pembauran bentuk-bentuk, pembauran nilai – nilai baik berupa sitektur bangunan, sistem pertanian, sistem beternak, sistem kekeluargaan, sampai pada sistem kehidupan bersama. Jadi bukan mengadopsi atau meniru kemudian mengaku sebagai milik tradisi terlebih di yakini sebagai budaya sendiri. Salah satu kegagalan pengajaran kebudayaan dalam dunia pendidikan Nasional adalah karena selalu mengadopsi sesuatu yang tampaknya baik, bagus, lalu di terapkan pada dunia pendidikan Nasional tanpa ada serapan, tangkapan pada kearifan local atau muatan local sebagai sebuah pengajaran kebudayaan bangsa. Jangan heran, bila manusia Indonesia mengukur dan di ukur dari selembar kertas yang di sebut ijasah S1 sampai S3, yang saya tahu otak peserta didik di isi hanya ilmu pengetahuan belaka tanpa roh kebudayaan. 

Bagaimana dengan Group Haikuku? 
Sebagai komunitas yang baru dan mempelajari hal baru, saya harus angkat topi untuk keberanian Group Haikuku Indonesia memasuki lorong kontekstualisasi Haiku. Terutama terlihat pada upaya-upaya untuk menggali Mantra – mantra Nusantara dan mengubahnya menjadi sebuah haiku. Dengan tetap mempertahankan bahasa mantra, sehingga tetap dapat di nikmati sebagai mantra, tidak kehilangan spirit kepercayaan yang terkandung di dalamnya. Dan Ini langkah maju dan sangat Indonesia. Dengan cara demikian group Haikuku secara tidak langsung melestarikan tradisi – tradisi mantra, tetapi juga mendokomentasikan berbagai tradisi budaya yang hampir punah itu. Ini salah satu bentuk Kontekstualisasi Haiku.

2. Peristiwa Peradaban
Group Haikuku bukan sekedar ekspresif kebudayaan para pecinta, praktisi dan pegiat Haiku tetapi sebuah moment Peradaban antar dua Negara. Peradapan yang mempertemukan kisi dan ruang. Yaitu, kisi tradisi, bentang waktu serta ruang, tetapi juga memperjumpakan konsep – konsep spiritual masa lalu dan masa kini melalui Haiku, termasuk pertemuan kita malam ini. Oleh karena itu, kesetian pada Pakem dan Patron Haiku menjadikan kita sebagai orang beradap.
Semoga tulisan pendek dan sederhana ini mampu menggelisahkan siapa saja, sebagai sebuah renungan.

Inilah malam
Inilah perkawinan
Para pencari
--------------------------------------------
Notes : 

1). Disarikan dan diterjemahkan bebas dari Philip Smith, Culutures Theory : An Indtoduction, Oxford & Massachusetts : Blackwell Publishers, Chapter 10 – 12, “Culture and Text : Narative and Hermeneutics”, 183 – 201

2). Hal ini ditandai dengan semakin banyak dibangun pusat kajian Budaya atau Kebudayaan yang menamakan diri Cultural studies. Pusat-pusat kajian itu menganalisis pemikiran individual dalam memahami Budaya atau Kebudayaan di lingkungan individu yang bersangkutan. Tokoh-tokoh popular itu, a.l : Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Carel Marx, Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran sampai pada Pramoedya Ananta Toer. Kajian-kajian itu pada umumnya, ingin memahami dinamika dan gejolak Budaya atau Kebudayaan yang ada di lingkungan tokoh-tokoh tersebut. Sebelum tahun 1990 – an secara polititis kajian-kajian atau studies seperti itu di haramkan oleh ORDE BARU.

3). Budaya atau Kebudayaan adalah renungan kemanusian yang secara historis holistic merupakan ekspresi pikiran, ekspresi rasa, ekspresi karsa, ekspresi cipta, yang banyak melahirkan ragam Ilmu pengetahuan dan tehnologi, Seni, olah raga, ritual keagamaan di sertai paradigma bahkan dogmatis hingga fatwa-fatwa keagamaan.

4). Globalisasi, tidak hanya mengglobalkan sebuah peristiwa local tetapi juga menduniakan solidaritas antar sesame baik dalam bentuk keprihatinan maupun dukungan termasuk dalam bentuk kutuk dan celaan. 

5). Haiku adalah salah satu bentuk Puisi Pendek yang berkembang di Jepang dan di pelopori Matsuo Basho (1641-1694) kemudian diikuti Yosa Buson (1716-1784) dan Kobayashi Issa (1763-1828) lala muncul Kawahigashi Heigorō (1873-1937) yang di sebut-sebut sebagai pelopor Haiku modern. HAIKU adalah Puisi pendek tanpa judul yang di ikat aturan ketat “Go-Shichi-Go” 575. Yaitu struktur penulisan yang terdiri dari 5 suku kata baris awal, 7 suku kata di tengah dan 5 suku kata di baris akhir. Disamping aturan “Go-Shichi-G0”/575, HAIKU juga mengandung unsur-unsur pertanda kejadian dalam bentangan waktu atau Musim (KIGO). Sebagai Puisi pendek yang hanya terdiri dari tigas baris dan 17 suku kata, Haiku memiliki kecerdasan menampung semua kisah yang terjadi dalam bentang waktu dan musim. KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sementara KIREJI adalah Pemotongan Kalimat atau lompatan makna dari kalimat yang dengan sengaja di potong untuk memasuki baris berikutnya.

6). Group Haikuku Indonesia, merupakan Group Haiku yang pertama muncul di Media Sosial Facebook dan secara kontinyu melakukan edukasi dalam bentuk diskusi online dengan membahas karya-karya anggota secara bergilir. Group ini sangat KUKUH dan EKSTRIM mempertahankan POLA PENULISAN HAIKU KLASIK, 575, BERKIGO DAN dan BERKIREJI.

7). Dalam perjalanan Group Haikuku Indonesia yang baru 2 tahun itu, mengalami pasang surut, beberapa anggota pelopor kemudian meninggalkan Group Haikuku dan mendirikan Group serupa namun tidak sepenuh mengikat anggotanya mengikuti Pakem dan Patron Haiku yang berpola 575 ber’KIGO’ dan Ber-KIREJI. 

8). Haiku yang lahir dari barak-barak sederhana pertapaan para Pendeta Budha beraliran Zen di Jepang pada abad 16 – 19 mempercayai bahwa semua kejadian alam di sekitar Manusia, selalu memiliki pesan spiritual. Karena itu, Haiku yang lahir di abad 16 – 19 selalu menjadikan Alam sebagai Objek dan spiritnya. Dan ketika Haiku mulai menyebar keseluruh dunia pada akhir abad 18 sampai sekarang ini, spirit Zen sebagai spiritualitas mulai di tinggalkan menuju kontekstualisasi Haiku menurut kelompok – kelompok/group Haiku dengan latar belakang Religi atau Agama para pemerhati dan pegiat Haiku.

9). Pluralisme dari akar kata Plural yang berarti Jamak atau bermacam-macam. Pluralisme adalah keadaan masyarakat majemuk baik yang bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya, Agama, Pendidikan, status social, termasuk tradisi sebagai latar belakang yang berbeda-beda. Istilah lain yang senada dengan itu adalah Bhineka Tunggal Ika yang secara Polities Kebangsaan dan Kenegaraan menjadi symbol Negara Kesatuan Repoblik Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, NKRI. Sementara Pluralisme menggambarkan keadaan masyarakat seutuhnya dan sebagaimana adanya.

10). KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sebagai pertanda musim, Kigo menjadi penting dalam penulisan Haiku. Bandingkan dengan penulisan puisi pendek bebas yang tidak terikat dengan Musim atau Waktu sebagai KIGO. Catatan mengenai pertanda musim, banyak di bahas di Group Haikuku. Tetapi sebagai pengantar dalam tulisan sederhana ini, saya muat beberapa contoh Kigo sebagai pertanda Musim. Misal Musim Dingin : Salju, air membeku, udara dingin, orang menyalakan pemanas di rumah. Pertanda Musim Gugur : Daun rontok, binatang-binatang liat menumpulkan makanan untuk musim dingin, daun berubah warna, dst. Musim Panas : udara panas, gerah, dst. Sementara untuk Indonesia, Musim Hujan : banjir dimana-mana, jamur atau cendawan tumbuh, daun menghijau, dst. Untuk Musim Kemarau : daun rontok, sungai sungai kecil mongering, udara panas, dst. Perbedaan Musim di Jepang dan Indonesia, sangat berpengaruh pada penulisan Haiku.
--------------------------------------------------------------------------------------
Di sampaikan pada Acara Launching Buku The Sound Of Silence.
Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan, tinggal di Samarinda.




RWM.BOONG BETHONY