07/02/20

Esok tak ada lagi

Gedung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, esok tak ada lagi. 

Salah satu bangunan di areal Taman Ismail Marzuki yang mendapat tempat secara khusus dalam hati para seniman tanah air adalah Gedung Graha Bakti Budaya yang saat ini sedang di hancurkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan melalui tangan JakPro. Anies Baswedan yang terpilih sebagai Gubernur DKI selama 5 tahun, meluluh lantakan areal Taman Ismail Marzuki yang memasuki usia 50 tahunan, dari sisi waktu, saya berani katakan 5 tahun Anies Baswedan melumatkan 50 tahun keadaban dan peradaban yang di bangun para pelaku kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang datang dari seluruh pelosok tanah air bahkan dari luar negeri.
Revitalisasi Taman Ismail Marzuki, itu mantra sakti Anies Baswedan memasuki dan menghapus sejarah pergerakan berkesenian yang sangat intens, progresif dan modern dari sudut-sudut, pada tembok-tembok, altar dan gedung-gedung pertunjukan seperti Graha Bakti Budaya.
Bukan hanya itu, areal Taman Ismail Marzuki ditumbuhi pohon-pohon besar, hijau dan Asri, tetapi sama seperti nasib Revitalisasi di Monas, pohon-pohonn besar itu pun bertumbangan di tangan Anies Bawedan.
Mendapati rumah mereka di obrak-abrik atas nama mantra revitalisasi itu, para seniman mendongak, meradang, menangis dan meneteskan air mata. Apakah seniman tak berdaya menghadapi mantra revitalisasi ala Anies Baswedan itu?
Tidak, seniman punya cara tersendiri melawan para penghancur kebudayaan dan para Genosida kebudayaan.
Seniman melawan dengan aksi-aksi moral, aksi-aksi seni, kreatifitas perlawanan yang lebih beradat dan sarat keadaban. Karena begitulah seni, selalu mempertontonkan keindahan, keagungan, kemuliaan budaya dalam berbagai bentuk. Seniman adalah pencetus dan pemelihara peradapan, cerdas menyikapi ketimpangan sosial dan tak pernah takut melawan kesewenang-wenangan.
Gedung Graha Bakti Budaya, bukan sekedar gedung biasa-biasa saja, seperti hotel atau ruko atau rumah tempat tinggal yang gampang di robohkan begitu saja. Gedung ini, adalah sejarah pergerakan berkesenian dan gedung itu juga sebuah symbol Kebudayaan, karena Tari Ratoh Jaroe dan Tari Dompeng dari Aceh yang fenomenal itu dipentaskan disana, atau Tari Yospan dan Sajojo dari Papua, Maggeluk, Tor-tor, Tari Piring, Tari Serimpi, Kecak, dll, pernah dipentaskan di sana.
Belum lagi pementasan teater-teater yang selama ini intens memaanfaatkan Gedung Graha Bhakti Budaya. Monolog, Pemeran Lukisan, panggung berbagai festival mewarnai gedung Graha Bhakti Budaya itu.
Dan sekarang, ia (gedung itu) sedang di hancurkan oleh mesin-mesin kapitalis yang tak beradab itu.
Romo Rowima, Praktisi Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan.
Tinggal di jakarta.

RWM.BOONG BETHONY