23/01/20

Renungan Kebudayaan

Renungan Kebudayaan : Orang-orang ngawur. 

Nusantara kita, adalah Negara besar dengan setumpuk masaalah yang berlapis - lapis. Mulai dari Demokratisasi, yang hanya menjadikan rakyat sebagai mobilisasi pengumpul suara partai-partai politik dengan berbagai simbol dan jargon-jargon besar sesudah itu rakyat dilupakan hingga pada persoalan pendidikan ilmu pengetahuan (kurikulum dan mahal), pendidikan agama dan keleluasan pada perspektif pendidikan kebudayaan. Beaya perawatan kesehatan yang mahal dan berbelit. Belum lagi persoalan ekonomi yang acap di warnai oleh bertumbuhnya 'kaum' korup di negeri ini (kaum; istilah ini secara sosial merujuk pada fenomena gerakan serentak dalam melakukan sebuah pekerjaan/kegiatan yang sama tanpa ada ikatan kekeluargaan, saya menyebutnya 'kaum korup'). Termasuk di dalamnya, minim perhatian pada pertumbuhan ekonomi kerakyatan, yaitu, sebuah usaha ekonomi yang berbasis pada pemberdayaan kelompok-kelompok tani, nelayan, pertukangan dan koperasi versus meluasnya industrialisasi yang memberangusnya. 


Bagaimana rakyat menjawab persoalan yang berlapis-lapis itu?
Dari tahun 2018 sampai awal tahun 2020 ini, banyak orang jadi bingung sekaligus yang berujung pada keheranan atas kemunculan fenomena unik yaitu ; 'kerajaan - kerajaan' yang terbentang mulai dari Jawa Timur sampai Jawa Barat dan Banten. Di Bandung ada Sunda Empire yang mengklaim mengakhiri pemerintahan dunia, yang akan terjadi pada 15 agustus 2020. Di Tasikmalaya muncul kerajaan Salacau dan menuntut agara wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya segera dikembalikan pada keturunan raja pajajaran yang konon merupakan keturunan ke-9 Raja Surawisesa, raja terakhir pejajaran. Sementara itu di Purworejo, muncul keraton agung sejagat yang mengiming-imingi orang akan di bebaskan dari malapetaka. Dua tahun lalu (2018) di Banten sekelompok orang memproklamirkan kerajaan ubur-ubur yang konon kisahnya mampu membuka kunci kekayaan dunia. Bersamaa dengan fenomena kerajaan itu, dari kurun tahun 2000-an sampai saat ini, kehadiran orang-orang seperti Dimas Kanjeng di Jawa Timur, Sarjimin di Kulon Progo, Rili alias Renal di Gorontalo, menawarkan penggadaan uang atau investasi bodong ala Memiles yang sedang viral atau First travel dan sejenisnya. Demikian juga kehadiran banyak tokoh-tokoh penyembuh alternatif di berbagai tempat adalah cara rakyat mengatasi berbagai kebutuhan ekonomi pada 'kegalaun' persoalan Berbangsa dan Bernegara yang berlapis-lapis itu'. 
Menelisik gejala-gejala ini, maka kita semua, Pemerintah dan Rakyat, sedang sakit, sedang disorientasi. Tak usah heran banyak orang-orang ngawur baik di pihak Pemerintah terlebih dari rakyat.

Jalan rakyat menjawab kebijakan dan Proses pengambilan keputusan yang tidak pernah benar-benar mempedulikan suara mereka (rakyat). Karena itu jangan heran jika rakyat bingung, disorientasi bahkan frustasi.
Dengan kondisi itu ( Pemerintah dan Rakyat sakit), nalar dan nilai-nilai spirtual ditinggalkan/dilupakan, maka :

Banyak orang pengin cepet kaya dan menempuh jalan pintas juga merindukan sebuah keajaiban/mukjizat menghadapi tantangan yang keras ini.
Kasus-kasus korupsi, kehadiran kerajaan-kerajaan, penggandaan uang bahkan investasi bodong ialah iming-iming pengin cepet kaya itu.
Ada ribuan bahkan mungkin jutaan penyembuh-penyembuh alternatif lahir ditengah masyarakat, itulah jawaban rakyat terhadap mahalnya beaya pengobatan disertai kurang seriusnya perhatian pekerja kesehatan pada pasien.

Kombinasi rakyat dan pemerintah yang kerap disorientasi, nalar cupet, para tokoh dan inteletual yang sibuk dengan dunianya sendiri, mentalitas jalan pintas, adalah kondisi yang sangat gampang di manfaatkan oleh para pengail di air keruh.

Kita butuh pemikir-pemikir berorientasi kebudayaan, kita rindukan orang-orang seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Romo Mangun, yang dapat menjelaskan secara jernih dan bijak pada masaalah tanpa memihak.
Salam dan doa Rahayu.
Romo pemerhati kebudayaan.

Puisi itu kehidupan.

Alkisah, hadirlah kitab - kitab Puisi pada hiruk pikuk manusia, kitab-kitab pembangun tembok raksasa, pembuat pagar berduri.
Kitab - kitab pembual para katib dan imam sastra yang kehilangan su
Kitab - kitab pongah datuk - datuk dan datu-datu
Kitab - kitab serapah pengklaem kebenaran
Kitab penghancur di tangan datuk-datuk, datu-datu, katib dan imam
Kitab sastra yang lama ditinggal mati su
Puisi yang rindukan su

Anehnya, selalu meruntuhi, merajam hiruk pikuk.
Maka asmara jadi rindu dendam, rindu dendam mengasmara padahal puisi bukan hanya sebuah kitab.
Lucu, tembok itu runtuh tiap kali dibangun dan pagar duri merajam siapa apa padahal puisi tidak sekedar sebuah kitab
Maka rindu dendam bergulat-gulat, bergumul-gumul, menindih-nindih, membanting-banting, menuding-nuding, tak jelas antara puisi dan makian itu lantaran kitab - kitab bukan sekedar puisi


Konon, risalah puisi ialah kisah tentang batin, kalbu dan rasa. Karena itu susastra mempuisi dan puisi mensusastra.
Karena puisi tidak sekedar buah kitab
Sebab kitab ialah puisi kau dan aku.

Maka bergemurulah pangung-panggung, bergetar seluruh podium, menderak-derak altar-altar, menggoyang kiri, menggoyang kanan, menggoyang kebawah, menggoyang keatas.
Dan
Kitab - kitab itu mencatat, memuat kisah paling suci.
Cerita abadi
Tentang Puisi di Taman Eden.

(Romo Ro Wi Ma'18)



RWM.BOONG BETHONY