27/12/19

Ke-Bhineka-an

Politik ke-Bhinekaan atau Ke-Bhinekaan Politik? Catatan Pinggir seorang Romo.
Bunyi Bhineka yang dimaknai sebagai Ke-aneka ragaman itu, memiliki nalar yang jauh dari sekedar ke-aneka ragaman yang selama ini melulu di beri lebel :
1. Banyak Suku,
2. Banyak bahasa,
3. Banyak Agama,
4. Adat istiadat,
5. Lalu banyak pulau - pulau, dst.
Penerimaan atas pemaknaan hanya seperti saya kutipan diatas, kemudian dijelaskan (atau dibatasi?) melalui produk UU, mulai dari UUD'45, hingga berbagai aturan dari kantor pemerintah, pusat hingga ke daerah.
Dalam berbagai diskusi sesama pemerhati kebudayaan, pertanyaan kerap muncul ialah : apakah sebuah produk budaya butuh perundang-undangan untuk membuatnya jadi value yang mengikat masyarakat? Bukankah aturan (baca UU) selalu bermuara pada pengganjaran atas ketidak-taatan?
Bunyi Bhineka Tunggal Ika, lahir dari hegemoni sikap Mojopahit yang pada jamannya menginvasi dan merebut wilayah kerajaan lainnya secara paksa berdasar atas ambisi dan Sumpah seorang Mahapatih, Ki Gajah Mada. Dalam konteks Majapahit, Maka Ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan bukan penghargaan pada ke-bhinekaan itu sendiri. Di Eropah, dalam sejarah dunia, di kenal istilah Eukumene (Oikumene) dari imperial Romawi (150 tahun seb. M hingga 350 thn. M) untuk menggambarkan ke-aneka-ragaman, wilayah, negara, budaya serta luasnya daerah kekuasaan Romawi. Dalam benak kaisar-kaisar Roma, Ke-bhinekaan tersebut, merupakan symbol luas dan besar kekuasaan.
Baik Majapahit dan Romawi, ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan kekuatan atas wilayah yang di jajah. Karena itu, jangan heran jika ada gejala pengingkaran atas kekuasaan dan kekuatan, maka tindakan represi aktif jadi ujung pendekatan.
Bhineka Tunggal Ika sampai di mana Ke-Bhinekaanmu?
Sebelum NKRI ada, wilayah yang kita sebut sebagai NKRI sekarang ini adalah Hindia Belanda, yaitu sebuah wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Dengan politik ekonomi yang mengangkut sebagian besar kekayaan wilayah ini. Atas nama ekonomi, Belanda memaksakan mono agrikultur pertanian seperti Tebu dan tembakau di Jawa, Rempah-rempah di luar jawa. Tak ada ke-bhinekaan dan kemerdakaan atas pertanian. Di luar itu, Suku-suku berkomunikasi bahasa masing-masing, beragama kepercayaan masing-masing dan hidup dari adat istiadatnya, bahkan kenyang dari tradisi konsumsi masing-masing.
Sumpah Pemuda 1928 dengan Trilogi dasar berbangsa (bukan Bernegara) Lahirlah, satu : Bahasa, Tanah air, Bangsa Indonesia. Cita-cita pada sebuah Bangsa dengan ke-Bhinekaan yang selaras dengan kehadiran berbagai suku dan bahasanya, adat-istiadat, kepercayaan dan hak hidup atas wilayah adat dan nilai tradisi.
Dalam paham kebudayaan, penghormatan atas ke-bhinekaan adalah ujung tombak geliat kehidupan Manusia. Sebab, itu (ke-bhinekaan) menyangkut seluruh hakekat manusia. Baik atas nilai-nilai yang dianutnya, penghidupan yang dijalani, keyakinan atas yang di percaya, pengembangan dan pelestarian sitektur, sistem-sistem pertanian, perkebunan, ladang-sawah dan irigasi, termasuk di dalamnya keaneka hayatan yang tersebar dalam wilayah adat dan tradisi tiap suku di Indonesia.
74 tahun Bangsa Indonesia Merdeka, sampai di mana Kebhineka Tunggal Ika - an itu?
Pertanyaan sederhana saya ajukan seperti ini :
1. Bagaimana penghargaan dan pelestarian atas sistem-sistem
penghidupan dan kehidupan lokal suku-suku bangsa yang
ada?. Misalnya ; Atas pertanian, peladangan, perkebunan,
masyarakat suku?
2. Apakah ada perlindungan pada sistem-sistem penghidupan dan kehidupan masyarakat adat dengan kekayaan Tradisinya? Bukankah Bhineka Tunggal Ika, menempatkan ke-Bhinekaan sebagai tujuan dan ujud berbangsa kita?
Ach.....nanti aja di sambung ya Guys...tulisan ini nggak penting-penting amat kok.
Romo Ro Wi Ma : Pemerhati - pegiat kebudayaan dan Pendamping umat di GPIB 
-------------------------------------------------------- 
Dialegtika Bahagia.
Apa itu?
Banyak orang mengeluh bahwa hidupnya tak bahagia, penuh pergulatan bahkan cenderung menderita batin.
Jadi bagaimana agar terbebas dari semua itu?
Sederhana sobat.
Maksudnya?
Bahagia itu ada dalam dirimu.
Dalam diri?
Yah dalam dirimu.
Maksud Romo bagaimana? Masa bahagia itu ada dalam diri?
Yah.
Cerita dong Mo.
Begini, jika kamu sangka bahwa bahagia itu diluar dirimu, maka kamu akan kecewa.
Bahagia ialah anugerah Tuhan yang paling indah dan besar sepanjang hidupmu.
Bahagia itu hanya butuh kau pelihara dan manfaatkan untuk hidupmu dan juga pada orang lain. Bahagia itu bukan materi, bukan benda. Tapi rasa. Rasa yang membuat seluruh sel-sel tubuhmu bergembira. Membuat desiran darahmu bergejolak. Membuat adrenelin tubuhmu tetap sempurna.
Ach Romo bwrbelit-belit nih. Yang gamblang napaaa.
baiklah jika itu maumu sobat. Begini, bahagia itu pengorbanan.
Pengorbanan mo?
Iyaaa, karena bahagia memberi. Yaitu memberi kebahagian pada diri sendiri.
Bingung Mo.
Sebenarnya ketika kau menolong seseorang kau menolong diri sendiri. Saat kau memberi kegembiraan pada keluargamu, kau membuat dirimu bahagia.
Waktu kau luangkan waktu untuk menemani seseorang yang butuh teman, kau membahagiakan dirimu sendiri.
Bahagia bukan mengambil tapi memberi kebaikan pada orang lain.
Jika engkau berfikir bahwa bahagia itu tergantung pada materi, maka siaplah menerima kecewa darinya. Bila kau anggap bahwa uang sanggup membahagiakan dirimu, siaplah menderita karena uang. Kalau kau anggap jabatan dan kekuasaan mampu memberi bahagia bersiaplah terpuruk.
Bahagia tidak pernah membuatmu menderita, bergulat apalagi terpuruk.
Yang membuat manusia menderita, bergulat dan terpuruk, hanya satang dari luar dirimu. Semua yang kau ambil kelak akan mengecewakan dirimu.
Tapi semua hal baik yang kau berikan pada orang lain, pada keluargamu, termasuk pada alam, selalu membuatmu bahagia.
Sampai disini, kau paham sobat?
Salam dan doa Rahayu.
Foto: Dokpri - RWM'19 - Kuta.

Gambar mungkin berisi: samudera, langit, pantai, air, luar ruangan dan alam
RWM.BOONG BETHONY

Kesedihan dan perih

Perempuan malam.
Di rembang pagi malam tergesa menjauh sambil memoles gincu di bibir pekat
Selusin botol beer telanjang menganga menantu kekasih
Gaun malam tergeletak di tepian ranjang
namun hanya bayangan angin mengibas daun jendela
Kau selalu pergi dan membiarkan pintu menganga seiring ngungun pagi
Engkau bayangan di tepi malam, berseri memeluk kekasih
Menghembus embun jadi butir air sedingin kecupan yang tersisa mengantar kau berlalu
Dan perempuan ayu pemeluk bantal itu selalu bermimpi di ujung pengharapan sia sia.
Citra engkau bayangan begitu para pujangga menyebutmu
Pelukan hanya bayangan
Kecupan yang tersisa pun bayangan
Kecuali bau keringat berbaur parfum
hanya itu.
(Pojok Plaza Semanggi, medio Nov'19)
-----------------------------------------------
Kisah sepatu sandal
Di rumah perawatan itu ia sendiri
Tak yang di tunggu
Tiada yang di harap
Hanya suster, yang tiap kali datang mengajak menelan beberapa pil atau menyuapi makanan sebelum ia pergi meninggalkan kesendirian
Melepas sepi memasuki dunia sunyi.
Terkubur di sana.
(Mayapada Hospital, medio Desember'19)

--------------------------------------------------------------
Pada Lautan
Pada lautan gemuruh aku titip
Pada Lautan riak aku taruh
Pada lautan gelombang aku letakan
semua tentang hidup.
(Jakarta, Medio Desember'19)
-----------------------------------------------------------
Dialog Pagi.
"Mo, kok jarang posting kegiatan ke FB?"
"apa itu berguna" jawabku.
"setidak-tidaknya orang tahu betapa sibuknya Romo, di Gereja, Kampus dan Ranah Seni'
"trus?"
"ya posting foto kek atau pasang status kegiatan, seperti temen-temen itu"
"masing-masing punya pilihan. Romo tidak pilih yang itu, meski ada saja yang posting kalau pas swafoto denganku"
"oh begitu ya mo"
"ho oh"
Selamat pagi selamat hari ke-9 di bulan penutup tahun 2019.
Salam dan doa Rahayu.
-----------------------------------------------
Renungan hari ini.
Doa selalu di jawab TUHAN. Tapi apakah mau menurut kehendakNYA?
Persoalan utama dalam hal pengabulan doa adalah 'Kepribadianmu' di hadapan TUHAN.
Salam dan doa Rahayu.
-----------------------------------------------------------

Gambar mungkin berisi: 1 orang, duduk dan dalam ruangan




RWM.BOONG BETHONY

Renungan Natal dan sajak

Renungan Kebudayaan.
Ketahanan Pangan Mestinya Tidak Keluar Dari Tradisi Pangan Masyarakat Lokal.
Ketahanan Pangan, selalu dilihat dari sudut pandang Pemerintah, bahwa pemerintah sering kali memastikan bahwa Ketahanan pangan 'HANYA DI PAHAMI SEPIHAK OLEH PEMERINTAH HANYA OLEH PENYELENGGARA KEKUASAAN'. Padahal, pandangan demikian menipu dan menyesatkan pemerintah itu sendiri, bukan hanya di masa modern sekarang ini tetapi juga sejak jaman revolusi fisik hingga Orde Baru.
Apa sebenarnya Ketahan Pangan itu? Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahwa Ketahan Pangan itu adalah Kemampuan suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan (Lauk dan Pauk).
Sebagaimana kita tahu bahwa Banagsa dan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia, adalah suatu bangsa yang ber-bhineka dalam segala hal (suku, tradisi, bahasa, agama termasuk aneka jenis panganan lokal yang jadi makanan pokok sehari-hari suatu masyarakat suku/adat).
Program Ketahanan Panganan yang selama ini jadi program primer pemerintah, selalu mengacu pada kebutuhan Beras. Akibat dari itu, seluruh anak bangsa yang ber-bhineka (seperti yang saya jelaskan di atas) hanya di lihat dari konsumsi beras belaka. Dan Kebutuhan pada beras, semua hanya untuk pengadaan beras. JIka di lihat dari ketinggian 60 ribu kaki, maka kita bisa bayangkan bagaimana se-olah2 semua anak bangsa makan nasi. Itulah sebabnya mengapa saya berani menyatakan bahwa Program Ketahanan Pangan, khususnya kebutuhan beras, menipu dan menyesatkan Pemerintah karena hanya dari sudut pandang penguasa saja.
Pertanyaan besar ialah, Apakah seluruh anak bangsa mengkonsumsi nasi? Saya berani jawab, TIDAK!
Saya punya pengalaman hidup setahun dengan Masyarakat Maluku utara, khususnya di Halmahera. Selama setahun itu, saya mengkonsumsi Sagu, Keladi, Pisang rebus dan Kasbi (Singkong). Masyarakat Maluku umumnya, mengkonsumsi apa yang saya sebut barusan. Demikian juga ketika saya tinggal dengan Masyarakat Papua di kota Digoel selama 9 bulan, saya makan sagu dan umbi-umbian.
Ketika saya berkelana dan tinggal dengan masyarakat Kep. Mentawai, sehari-hari saya mengkonsumsi Keladi.
Demikian juga pengalaman saya 'live in' bersama Suku Daya. Bahao di Long Iram, beberapa tahun lalu.
Saya yakin, masyarakat adat lainnya, memiliki Ketahanan Pangan dalam bentuk lain yang sudah men-tradisi dalam kehidupan sejak Nenek Moyang mereka. Seperti Masyarakat pengkonsumsi Jagung (untuk yang terakhir ini, sepertinya tidak ada lagi, khususnya orang Madura yang sudah lupa pada jagung)
Tapi, untuk saat ini, ada kemungkinan beberapa pengalaman saya 'live in' seperti saya sebutkan itu, sudah mengalami perubahan, terutama sejak program Swasembada beras yang dicanangkan Orde Baru yang ternyata juga di ikuti oleh Orde-orde sesudahnya.
Dimana-mana orang mencetak sawah demi Padi (beras). Tapi bersamaan dengan itu, perubahan masyarakat dengan kultur / tradisi menanam keladi, jagung, sagu, singkong, di ubah dengan 'paksa' demi pengadaan beras tanpa disertai pemberdayaan bagaimana bersawah, memelihara padi, menanam padi, dst.
Masih ingat akhir 2009? Bangsa ini geger karena, beberapa daerah di Papua, di sebut sebagai daerah rawan pangan, karena sawah-sawah yang di buat tak berhasil. Padahal, daerah yang disebut sebagai rawan pangan itu, tidak mengkonsumsi beras melainkan umbi-umbian.

--------------------------------------------------------------------
Renungan Budaya.
Kemana Budayawan kita?
Perubahan cepat yang di alami sekarang ini memberi perasaan tak menentu pada siapa saja. Dan perasaan seperti itu akan terus terjadi seiring perubahan itu sendiri. Ironisnya, tidak semua bisa menerima, menguasai bahkan mungkin diluar kemampuan banyak orang untuk mengantisipasi dan melebur pada perubahan itu. Gejala itu di tandai dalam bentuk kooptasi nilai, sikap primordial dan laku marginal di tengah hidup masyarakat. Jadi, jangan heran atas kehadiran kelompok-kelompok eksklusif dengan kepentingannya kemudian bertarung dengan nilai-nilai kelompok sebagai proyeksi diri yang di ikuti konflik kepentingan yang sangat kompleks dan cenderung kasar. Atas situasi seperti itu, pertanyaan besar besama ialah "Apakah sendi-sendi kehidupan budaya kita mampu melakukan kontrol lalu mengelola konflik yang terjadi?"
Jakarta sebagai Pusat Nilai Budaya?
Sebagai Ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta lambat laun jadi model nilai budaya masa kini maupun masa depan masyarakat Indonesia. Tapi pada sisi lain, dalam diri saya, timbul kengerian pada situasi Jakarta sekarang ini. Secara kultural, saya merasa sebagai orang asing dan terjebak meski saya berdomisili di Jakarta. Asing dan terjebak karena atmosfir Jakarta bias otonom atas nilai-nilai kultural bahkan memiliki hukum-hukumnya sendiri pada kompleksitas masyarakatnya. Orang-orang terlindas ringsek oleh gerak dinamik kehidupan metropolis yang tidak perduli pada nasib seseorang bahkan kelompok orang. Persoalan ini dapat dilakukan siapa saja atas nama dinamika kehidupan Jakarta. Dulu, di jaman ORDE BARU, secara struktural dilakukan atas nama Pembangunan.
Sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta adalah kantong raksasa, di mana dalam kantong itu sikut menyikut antara kepentingan kelompok politik, kelompok agama, Suku dan kelompok penghoby sampai pada kepentingan pemerintah versus kebutuhan hidup jadi mengemuka. Pemenangnya ada tiga aliansi, yaitu : Pemerintah, Uang dan kelompok beranggota banyak orang, konflik Vertikal dan horisontal adalah Tamsil kekinian Jakarta.
Apakah nilai-nilai kultural dapat mengontrol dan mengelola semua itu? Saya kok pesimis dan ciut hati, meski ini prasangka subjektif. Bagaimanapun, optimisme tentang kemampuan kehidupan kultural masyarakat Jakarta, tetap subur di benak saya.
Kantong Raksasa ini, di penuhi kaum cendikiawan dan budayawan yang dapat memberikan kejernihan bahkan kejelasan atas pilihan-pilihan mengenai kemanusian versus pembangunan versus kepentingan politik, kelompok bahkan kepentingan pemerintah.
Tapi ketika, cendikiawan dan budayawan, terkooptasi pada kelompok tertentu bahkan nyemplung dalam area pemerintah, maka tak ada lagi pengawal Kultur.
(TIM, akhir November 2019)
Romo, pemerhati - pegiat budaya dan pendamping umat di GPIB.

-------------------------------------------------------

Natal.
Dalam tradisi umat Kristen Merayakan Natal adalah Mengenang kembali Kelahiran Kristus dalam sebuah Kandang Domba di Betlehem.
Suatu peristiwa kelahiran yang tidak pernah dibayangkan oleh banyak orang termasuk Maria dan Yusup. Bukankah setiap orang tua dan tiap suami menginginkan agar istri melahirkan di tempat yang layak dan terhormat. Demikian juga Maria, Ia pasti tak ingin bayi yang dikandungnya lahir dalam sebuah kandang. Ia ingin anaknya lahir ditempat layak sebagaimana umumnya perempuan melahirkan.
Tapi malam itu, tak ada tempat, semua penginapan bahkan rumah-rumah kerabatpun penuh sesak oleh kaum perantau yang datang memenuhi panggilan Kaisar Agustus untuk mendaftar kembali sebagai warga Kekaisaran di masing-masing kota asal. Itulah sebabnya, Maria dan Yusup malam itu tak mendapat tempat menginap yang layak.
Untung bahwa ada sebuah kandang domba yang sudah lama tak terpakai bisa dijadikan tempat menginap sekaligus untuk melahirkan anak sulung Mereka.
Aneh bahwa di masa sekarang tak banyak umat Kristen menengok peristiwa itu sebagai cara untuk mengenang kelahiran yang unik dan memprihatinkan itu Tidak heran jika perayaan natal di masa sekarang, jauh dari kisah memprihatinkan itu.
Natal adalah pesta! Demikian benak sebagian besar umat Kristen. Jadi karena Natal adalah Pesta, maka harus meriah, ada makanan dan kue-kue, hadiah dan berbagai hiasan. Jauh dari mengenang dan merenung atas cara kelahiran yang memprihatinkan itu. Atau mungkin banyak orang tak ingin masuk 'areal' itu karena sangat sederhana dan cenderung menyedihkan?
Selamat menyongsong Natal 25 Desember 2019.
Salam dan doa Rahayu.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Sajak sandal tua.
Usang jadi mainan siapapun
Tak berharga terlebih bernilai apa lagi bermutu
Sandal selalu jadi dirinya tak akan jadi sepatu
Ia tergelatak di pojok pintu sesekali dilirik berharga namun siapa akan memandang?
Hanya angin membelai mengusap dingin
Karena merasa bernilai dan bermutu
Padahal angin selalu datang dan pergi, hinggap di mana saja ia mau.
Angin sejuk membelai hanya sesaat.
Angin datang menghembus harapan kemudian membawanya pergi
Sandal tua tak berarti
Selain jadi mainan.
(Ps.Minggu-medio desember'19)

-----------------------------------------------------------------------------------

sajak Angin Desember.
Lembut kau datang menyapa dan berlalu
Sejuk membelai kemudian pergi
Meninggalkan tetes air di pelupuk
Tak ada kisah sedih sepedih angin desember
Saat diam-diam kau datang menaruh pengharapan dan membawanya pergih
(Medio Desember 2019)



RWM.BOONG BETHONY