21/03/19

Sajak - sajak

Sajak - sajak.

Sajak tentang leluhur.

Alkisah, di taman firdaus, Adam dan Hawa, nenek moyang, moyangmu, moyangku, menerobos semak belukar, jadi arang. Jelajahi rimba, jadi debu. Berendam di mata air, sungai dan danau keruh. Nenek moyang, moyangmu, moyangku, mencari abadi dan sejak itu surga hilang.
Turunan nenek moyang, moyangmu, moyangku, ahli waris, warismu, warisku, hiruk pikuk, rame-rame mencuri. Mengambil semak belukar, mengambil pohon-pohon, mengambil hewan-hewan, menyebar asap kemana-mana, jadi debu.
Rumah warisan, rumahmu, rumahku, sumuk, gerah, sesak, nafas terengah-engah.
Padang pasir melebar entah bila kan henti, sungai kering entah kapan berair, danau susut entah sampai kapan, turunan nenek moyang, moyangmu, moyangku, lanjut menerobos, menjelajah, berendam.
Bukan, bukan mencari surga
Bukan, bukan ingat surga
Tapi mencipta neraka
Membuat neraka
Sebab itu surga ialah kisah nenek moyang, moyangmu, moyangku, yang dibakar, dirusak, dibongkar.
Surga adalah cerita nenek moyang, moyangmu, moyangku, yang dicatat dalam buku-buku, yang dituturkan turun temurun.
Generasi penerus nenek moyang, moyangmu, moyangku.
Alkisah di taman firdaus, Adam dan Hawa, leluhur, leluhurmu, leluhurku, mencangkul tanah jadi lubang, menggali bukit jadi cerukan, mengais lembah jadi kerontang, membongkar gunung jadi kering. Leluhur, leluhurmu, leluhurku, mencari kekal, sejak itu surga musnah.
Anak-anak leluhur, leluhurmu, leluhurku, tak kenal surga, tak tahu surga, maka cangkul-cangkul modern, mesin-mesin canggih, pengais ultra tehnologi, pembongkar super sahih, pohon bertumbangan, air beracun, semak belukar merajam, udara kotor membunuh, angin panas bertiup.
Rumah waris leluhur, leluhurmu, leluhurku, panas, membara, pekat, kabur, nafas tersengal sengal
Bukan, bukan cari surga
Bukan, bukan ingat surga
Melainkan menaruh neraka
Meletakkan neraka
Karena surga hanya petuah dari begawan, nasehat para resi, penghiburan empu, dari babad leluhur, leluhurmu, leluhurku.
Alkisah di taman firdaus manusia pertama, Adam dan Hawa, manusiamu, manusiaku, membantah, memberontak, korupsi, mencuri kesucian, mendekap kemuliaan firdaus, mengunyah, memamah, menelan, memakan tanpa sisa keagungan fridaus lalu membunuh tuhan, berharap seperti Tuhan.
Sejak itu, kotoran menumpuk, sampah menggunung, limbah melaut, plastik - plastik mematikan. Implan dan silikon membunuh.
Anak - anak manusia, manusiamu, manusiaku, tak kenal kemuliaan, tak tahu keagungan, tak paham kesucian, maka borok sekujur tubuh, jiwa - jiwa luka, badan bernanah, pikiran nista, nafas - nafas busuk.
Bukan, bukan cari Tuhan
Bukan, bukan ingat Tuhan
Hanya menuhankan
Cuma bertuhan
Tuhan hanya politisasi, menakut takuti, iming - iming berkah, tawaran upah, sebab semua itu telah lama musnah, hilang.
50 tahun mungkin 100 tahun atau 1000 tahun kemudian, kamu dan aku, nenek moyang mereka, moyangnya, moyang dia, leluhur mereka, leluhurnya, leluhur dia, manusia mereka, manusianya, manusia dia, mengumpat, memaki dan mengutuk, sebab kau, aku, menaruh, meletakkan neraka disini, di rumah mereka.
Rumah yang di wariskan ke mereka, bukan surga, tapi neraka.
Ya, neraka.
Salam dan doa rahayu
(Medio Maret' 2019, Ps. Minggu)

sajak tentang kuburan.

Dikuburan kutemukan monumen cinta, tertata rapi dan berwarna warni.
Sungguh beda cinta di kehidupan dan cinta di pekuburan.
Salib dan nisan membujur, berbaris dalam kisah sendiri 
Disanalah aku, kau, menuju pembaringan abadi
Sendirian, dingin dan sunyi
Cinta yang ada seketika buyar, kasih yang menahun seketika hilang.
Cintamu melupakan dan kasihmu hilang dalam timbunan mengering
sesal cinta jadi duka
sesal kasih jelma duka
Semua mengering dan hilang lalu sunyi
Di tanah pekuburan, monumen cinta tak seindah cerita, kaku mematung tak bernyawa
kesana tiap tubuh di bawah
kesitu tujuan akhir
karena yang hidup mesti dengan hidup
yang mati harus dengan mati
mereka berkerumun
kerumunan hidup berdengung dan riuh seperti tawon, liar.
kerumunan mati diam kaku dan sunyi
tapi mati dan hidup sama tanah
hidup memberi cinta dan kenerima cinta
mati tak ada cinta
tapi tanah adalah hidup juga mati selalu menumbuhkan benih, membuahkan benih
benih cinta dan mati.
Di pekuburan ku baca prasasti cinta, terukir manis di nisan dan salib, berjejer rapi.
tentang kelahiran dan kematian, tentang cinta
cinta yang melahirkan pekuburan
di sana prasasti cinta berakhir.
(Medio Maret 2019, Pemakaman Kristi - sudiang Makassar)

Sajak Aku.

Aku?...achh hanya debu tanah.
Lalu apa yang disombongkan?
Hanya ke sia-siaan.
Aku?...oh hanya debu!
Tak ada yang dibanggakan.
Karena fana
Aku?...oh debu belaka!
Tak bernama
Sebab mudah terupakan
Aku?...debu!
Hujan becek dan panas menguap
Tak bernyawa
(makassar, medio maret 2019)

Sajak tentang Air.

Alkisah pada mulanya air memenuhi Alam raya, menguap, menetes, sumber hidup.
Dia tebar sejuk kemana-mana
Dia tumbuhkan semua 
Dia semai keindahan
Bukit, lembah, gunung bahkan ladang, kebun dan sawah, anggun, cantik memesona
Pohon-pohon memuliakannya
Perdu dan semak-semak menghormati
Hewan - hewan mengagungkan
Tapi manusia tak pernah menghormati, mengagungkan apalagi memuliakan
Ia hanya benda konsumsi, tak lebih
Maka air tempat membuang segala hajat, mencuci semua kotoran, membersihkan seluruh jelaga dan merampas kemuliaan, menghempas keagungan lalu menginjak kehormatan air.
Ketika air sembunyi sejuknya
Saat air henti menetes
Waktu air enggan menguap
Dan segan mengembun
Duka dan Kering
Waktu air marah
Ketika air murka
Saat air geram
dan air mencari kehormatan, kemuliaan dan keagungannya
Dia bawa semua lumpur
Diajaknya batu dan kayu gelondongan
Bahkan segala hewan diboyong
Dia masuk kampung - kampung dan desa Ditelusuri jalanan kota
Dia tak perduli siapa
Diterjang semua penghalang
Dia buru siapa pun
Air tak pernah takut
Air pantang surut
Sebab air pemberi hidup
Jangan menyesal jika ia ambil kembali apa yang diberi padamu.
Salam dan doa.
(Medio Maret 2019, Ps. Minggu) 

sajak tentang Kafir.

Bukan untuk ateis sebab mereka memiliki tuhan dalam diri.
Hanya untuk pemilik rumah - rumah ibadah sebab sebab kafir adalah misi
Misi menghilangkan penyembah - penyembah 
Misi untuk kami dan kamu objek
Bukan untuk animisme karena tuhan ada dimana saja, pula tidak pagan sebab tuhan dicipta tiap waktu
Hanya kesetiaan penghias puri - puri sembahyang
Maka kafir jadi nista tak beharga terlebih sepadan dan setara hilang rupa dan lupa wajah
Kesana misi pencerahan kesitu misi pertobatan ini kami mau, berhijrahlah
Maka riuh antara aku dan kamu, tidak ada kita.
Maka ramai sekat dan kisi-kisi di bangun, lorong-lorong di portal, di tembok, berhias beling dan paku, kafir terajam tak perduli sesembilau apa seperih dalam dalam perih, kamu bukan siapa - siapa hanya kaum kafir
Jadilah kafir, agar ada kemuliaan
Jadilah kafir, supaya ada keagungan
Jadilah kafir, agar supaya kehormatan tetap abadi dan jelas antara kemuliaan dan nista supaya kentara keagungan dan dosa agar supaya terlihat kehormatan dan keburukan.
Siapa kafir dan bukan
Siapa bukan kafir dan tidak
Siapa tidak kafir dan beriman
Siapa beriman kafir dan kafir
Siapa tidak kafir dan bukan
Siapa bukan kafir dan tidak
Siapa tidak kafir dan beriman
Siapa beriman kafir dan kafir
Bukan untuk kafir sebab kafir memiliki tuhan yang di sembah, tuhan yang di cinta, tuhan yang cinta semua.
Maka misi saling tuding menuding, saling melontar kata, saling meludahi, teriak meneriaki, hilang menghilangkan, pungkir memungkiri.
Maka sebab itu, Kafir ada dimana - mana, kemana saja, sebab cinta tak pernah mengingkari sesama.
Sebab cinta adalah tuhan dan tuhan ialah cinta.
Banggalah dan mendongaklah wahai kaum kafir.
Bagilah cinta, robohkan tempok - tembok pembatas, hilangkan kisi - kisi dan sekat diantara sesama manusia.
Sebab kesanalah cinta Tuhan diperintahkan.
Salam dan doa rahayu.
(pasarminggu, awal maret 2019)

Sajak tentang Jakarta VI

Tak ada waktu lowong, roda besi menggelinding mengejar penawar dari jendela bertingkat hingga di balik layar. Tak ada suara sayup, ribut antara putaran pembeli dan pedagang. Bahkan secangkir kopi pun tak sempat dingin apalagi sungai yang kehilangan hening, mau cari apa? Tak jelas antara bangkai dan mayat, tak kentara patung dan manusia. Semua bernilai di saat jatuh semurahnya.
Jalan tak pernah sepi, mall dan supermarket punya cerita, bandar tak sunyi, sandal dan sepatu hilir mudik
topeng - topeng datang pergi pergi datang. Kain dan plastik bahkan ransel berlomba pulang dan berangkat, tak ada perhentian selain perjalanan.
Kotak tembok melalar kesamping, kebawah, keatas dan memanjang entah bila kan henti.
Di Jakarta semua kisah ialah cerita dan seluruh cerita adalah kisah, tentang kardus, tentang salon, tentang senayan, tentang istora, tentang istana, tentang sungai jadi selokan dan selokan berubah sungai, tentang kaum puritan melawan demonstran, tentang ketunggalan menantang kebhinekaan, tentang kaum beriman berhadapan mereka yang kafir, tentang kelompok feodal versus pro demokrasi, tentang melawan Tuhan.
Tapi roda besi terus menggelinding, menggilas yang lengah, menggiling yang lalai, persis seperti yang kau katakan beberapa tahun lalu. "kalau nuranimu kuat jangan kejakarta" itu nasehatmu bukan?
Jangan jadi apa-apa jika tak berani seperti si rajatega
Jangan, sebab di sini, di jakarta, semua bisa jadi siapa dan siapa jadi bisa tak perduli nafasmu anyir atau bau bangkai, tak perduli tubuhmu membusuk pelahan
tak perduli otakmu tak waras
tak perduli kau gadai jiwamu
tak perduli kau percaya kuasa Tuhan
tak perduli kau penjaja tubuh
tap persuli kau guy
tak perduli kau waria
tak perduli kau bisek
tak perduli kau siapa
asal pintar bersandiwara
asal cerdik berpura - pura
asal pandai bermain
Dan roda besi akan terus menggelinding, berputar - putar, bermain hidup yang tak bernyali.
(Pasar Minggu, medio Feb'019)

Rob Colection



RWM.BOONG BETHONY