27/12/19

Ke-Bhineka-an

Politik ke-Bhinekaan atau Ke-Bhinekaan Politik? Catatan Pinggir seorang Romo.
Bunyi Bhineka yang dimaknai sebagai Ke-aneka ragaman itu, memiliki nalar yang jauh dari sekedar ke-aneka ragaman yang selama ini melulu di beri lebel :
1. Banyak Suku,
2. Banyak bahasa,
3. Banyak Agama,
4. Adat istiadat,
5. Lalu banyak pulau - pulau, dst.
Penerimaan atas pemaknaan hanya seperti saya kutipan diatas, kemudian dijelaskan (atau dibatasi?) melalui produk UU, mulai dari UUD'45, hingga berbagai aturan dari kantor pemerintah, pusat hingga ke daerah.
Dalam berbagai diskusi sesama pemerhati kebudayaan, pertanyaan kerap muncul ialah : apakah sebuah produk budaya butuh perundang-undangan untuk membuatnya jadi value yang mengikat masyarakat? Bukankah aturan (baca UU) selalu bermuara pada pengganjaran atas ketidak-taatan?
Bunyi Bhineka Tunggal Ika, lahir dari hegemoni sikap Mojopahit yang pada jamannya menginvasi dan merebut wilayah kerajaan lainnya secara paksa berdasar atas ambisi dan Sumpah seorang Mahapatih, Ki Gajah Mada. Dalam konteks Majapahit, Maka Ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan bukan penghargaan pada ke-bhinekaan itu sendiri. Di Eropah, dalam sejarah dunia, di kenal istilah Eukumene (Oikumene) dari imperial Romawi (150 tahun seb. M hingga 350 thn. M) untuk menggambarkan ke-aneka-ragaman, wilayah, negara, budaya serta luasnya daerah kekuasaan Romawi. Dalam benak kaisar-kaisar Roma, Ke-bhinekaan tersebut, merupakan symbol luas dan besar kekuasaan.
Baik Majapahit dan Romawi, ke-Bhinekaan adalah Politik kekuasaan dan kekuatan atas wilayah yang di jajah. Karena itu, jangan heran jika ada gejala pengingkaran atas kekuasaan dan kekuatan, maka tindakan represi aktif jadi ujung pendekatan.
Bhineka Tunggal Ika sampai di mana Ke-Bhinekaanmu?
Sebelum NKRI ada, wilayah yang kita sebut sebagai NKRI sekarang ini adalah Hindia Belanda, yaitu sebuah wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Dengan politik ekonomi yang mengangkut sebagian besar kekayaan wilayah ini. Atas nama ekonomi, Belanda memaksakan mono agrikultur pertanian seperti Tebu dan tembakau di Jawa, Rempah-rempah di luar jawa. Tak ada ke-bhinekaan dan kemerdakaan atas pertanian. Di luar itu, Suku-suku berkomunikasi bahasa masing-masing, beragama kepercayaan masing-masing dan hidup dari adat istiadatnya, bahkan kenyang dari tradisi konsumsi masing-masing.
Sumpah Pemuda 1928 dengan Trilogi dasar berbangsa (bukan Bernegara) Lahirlah, satu : Bahasa, Tanah air, Bangsa Indonesia. Cita-cita pada sebuah Bangsa dengan ke-Bhinekaan yang selaras dengan kehadiran berbagai suku dan bahasanya, adat-istiadat, kepercayaan dan hak hidup atas wilayah adat dan nilai tradisi.
Dalam paham kebudayaan, penghormatan atas ke-bhinekaan adalah ujung tombak geliat kehidupan Manusia. Sebab, itu (ke-bhinekaan) menyangkut seluruh hakekat manusia. Baik atas nilai-nilai yang dianutnya, penghidupan yang dijalani, keyakinan atas yang di percaya, pengembangan dan pelestarian sitektur, sistem-sistem pertanian, perkebunan, ladang-sawah dan irigasi, termasuk di dalamnya keaneka hayatan yang tersebar dalam wilayah adat dan tradisi tiap suku di Indonesia.
74 tahun Bangsa Indonesia Merdeka, sampai di mana Kebhineka Tunggal Ika - an itu?
Pertanyaan sederhana saya ajukan seperti ini :
1. Bagaimana penghargaan dan pelestarian atas sistem-sistem
penghidupan dan kehidupan lokal suku-suku bangsa yang
ada?. Misalnya ; Atas pertanian, peladangan, perkebunan,
masyarakat suku?
2. Apakah ada perlindungan pada sistem-sistem penghidupan dan kehidupan masyarakat adat dengan kekayaan Tradisinya? Bukankah Bhineka Tunggal Ika, menempatkan ke-Bhinekaan sebagai tujuan dan ujud berbangsa kita?
Ach.....nanti aja di sambung ya Guys...tulisan ini nggak penting-penting amat kok.
Romo Ro Wi Ma : Pemerhati - pegiat kebudayaan dan Pendamping umat di GPIB 
-------------------------------------------------------- 
Dialegtika Bahagia.
Apa itu?
Banyak orang mengeluh bahwa hidupnya tak bahagia, penuh pergulatan bahkan cenderung menderita batin.
Jadi bagaimana agar terbebas dari semua itu?
Sederhana sobat.
Maksudnya?
Bahagia itu ada dalam dirimu.
Dalam diri?
Yah dalam dirimu.
Maksud Romo bagaimana? Masa bahagia itu ada dalam diri?
Yah.
Cerita dong Mo.
Begini, jika kamu sangka bahwa bahagia itu diluar dirimu, maka kamu akan kecewa.
Bahagia ialah anugerah Tuhan yang paling indah dan besar sepanjang hidupmu.
Bahagia itu hanya butuh kau pelihara dan manfaatkan untuk hidupmu dan juga pada orang lain. Bahagia itu bukan materi, bukan benda. Tapi rasa. Rasa yang membuat seluruh sel-sel tubuhmu bergembira. Membuat desiran darahmu bergejolak. Membuat adrenelin tubuhmu tetap sempurna.
Ach Romo bwrbelit-belit nih. Yang gamblang napaaa.
baiklah jika itu maumu sobat. Begini, bahagia itu pengorbanan.
Pengorbanan mo?
Iyaaa, karena bahagia memberi. Yaitu memberi kebahagian pada diri sendiri.
Bingung Mo.
Sebenarnya ketika kau menolong seseorang kau menolong diri sendiri. Saat kau memberi kegembiraan pada keluargamu, kau membuat dirimu bahagia.
Waktu kau luangkan waktu untuk menemani seseorang yang butuh teman, kau membahagiakan dirimu sendiri.
Bahagia bukan mengambil tapi memberi kebaikan pada orang lain.
Jika engkau berfikir bahwa bahagia itu tergantung pada materi, maka siaplah menerima kecewa darinya. Bila kau anggap bahwa uang sanggup membahagiakan dirimu, siaplah menderita karena uang. Kalau kau anggap jabatan dan kekuasaan mampu memberi bahagia bersiaplah terpuruk.
Bahagia tidak pernah membuatmu menderita, bergulat apalagi terpuruk.
Yang membuat manusia menderita, bergulat dan terpuruk, hanya satang dari luar dirimu. Semua yang kau ambil kelak akan mengecewakan dirimu.
Tapi semua hal baik yang kau berikan pada orang lain, pada keluargamu, termasuk pada alam, selalu membuatmu bahagia.
Sampai disini, kau paham sobat?
Salam dan doa Rahayu.
Foto: Dokpri - RWM'19 - Kuta.

Gambar mungkin berisi: samudera, langit, pantai, air, luar ruangan dan alam
RWM.BOONG BETHONY

Kesedihan dan perih

Perempuan malam.
Di rembang pagi malam tergesa menjauh sambil memoles gincu di bibir pekat
Selusin botol beer telanjang menganga menantu kekasih
Gaun malam tergeletak di tepian ranjang
namun hanya bayangan angin mengibas daun jendela
Kau selalu pergi dan membiarkan pintu menganga seiring ngungun pagi
Engkau bayangan di tepi malam, berseri memeluk kekasih
Menghembus embun jadi butir air sedingin kecupan yang tersisa mengantar kau berlalu
Dan perempuan ayu pemeluk bantal itu selalu bermimpi di ujung pengharapan sia sia.
Citra engkau bayangan begitu para pujangga menyebutmu
Pelukan hanya bayangan
Kecupan yang tersisa pun bayangan
Kecuali bau keringat berbaur parfum
hanya itu.
(Pojok Plaza Semanggi, medio Nov'19)
-----------------------------------------------
Kisah sepatu sandal
Di rumah perawatan itu ia sendiri
Tak yang di tunggu
Tiada yang di harap
Hanya suster, yang tiap kali datang mengajak menelan beberapa pil atau menyuapi makanan sebelum ia pergi meninggalkan kesendirian
Melepas sepi memasuki dunia sunyi.
Terkubur di sana.
(Mayapada Hospital, medio Desember'19)

--------------------------------------------------------------
Pada Lautan
Pada lautan gemuruh aku titip
Pada Lautan riak aku taruh
Pada lautan gelombang aku letakan
semua tentang hidup.
(Jakarta, Medio Desember'19)
-----------------------------------------------------------
Dialog Pagi.
"Mo, kok jarang posting kegiatan ke FB?"
"apa itu berguna" jawabku.
"setidak-tidaknya orang tahu betapa sibuknya Romo, di Gereja, Kampus dan Ranah Seni'
"trus?"
"ya posting foto kek atau pasang status kegiatan, seperti temen-temen itu"
"masing-masing punya pilihan. Romo tidak pilih yang itu, meski ada saja yang posting kalau pas swafoto denganku"
"oh begitu ya mo"
"ho oh"
Selamat pagi selamat hari ke-9 di bulan penutup tahun 2019.
Salam dan doa Rahayu.
-----------------------------------------------
Renungan hari ini.
Doa selalu di jawab TUHAN. Tapi apakah mau menurut kehendakNYA?
Persoalan utama dalam hal pengabulan doa adalah 'Kepribadianmu' di hadapan TUHAN.
Salam dan doa Rahayu.
-----------------------------------------------------------

Gambar mungkin berisi: 1 orang, duduk dan dalam ruangan




RWM.BOONG BETHONY

Renungan Natal dan sajak

Renungan Kebudayaan.
Ketahanan Pangan Mestinya Tidak Keluar Dari Tradisi Pangan Masyarakat Lokal.
Ketahanan Pangan, selalu dilihat dari sudut pandang Pemerintah, bahwa pemerintah sering kali memastikan bahwa Ketahanan pangan 'HANYA DI PAHAMI SEPIHAK OLEH PEMERINTAH HANYA OLEH PENYELENGGARA KEKUASAAN'. Padahal, pandangan demikian menipu dan menyesatkan pemerintah itu sendiri, bukan hanya di masa modern sekarang ini tetapi juga sejak jaman revolusi fisik hingga Orde Baru.
Apa sebenarnya Ketahan Pangan itu? Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahwa Ketahan Pangan itu adalah Kemampuan suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan (Lauk dan Pauk).
Sebagaimana kita tahu bahwa Banagsa dan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia, adalah suatu bangsa yang ber-bhineka dalam segala hal (suku, tradisi, bahasa, agama termasuk aneka jenis panganan lokal yang jadi makanan pokok sehari-hari suatu masyarakat suku/adat).
Program Ketahanan Panganan yang selama ini jadi program primer pemerintah, selalu mengacu pada kebutuhan Beras. Akibat dari itu, seluruh anak bangsa yang ber-bhineka (seperti yang saya jelaskan di atas) hanya di lihat dari konsumsi beras belaka. Dan Kebutuhan pada beras, semua hanya untuk pengadaan beras. JIka di lihat dari ketinggian 60 ribu kaki, maka kita bisa bayangkan bagaimana se-olah2 semua anak bangsa makan nasi. Itulah sebabnya mengapa saya berani menyatakan bahwa Program Ketahanan Pangan, khususnya kebutuhan beras, menipu dan menyesatkan Pemerintah karena hanya dari sudut pandang penguasa saja.
Pertanyaan besar ialah, Apakah seluruh anak bangsa mengkonsumsi nasi? Saya berani jawab, TIDAK!
Saya punya pengalaman hidup setahun dengan Masyarakat Maluku utara, khususnya di Halmahera. Selama setahun itu, saya mengkonsumsi Sagu, Keladi, Pisang rebus dan Kasbi (Singkong). Masyarakat Maluku umumnya, mengkonsumsi apa yang saya sebut barusan. Demikian juga ketika saya tinggal dengan Masyarakat Papua di kota Digoel selama 9 bulan, saya makan sagu dan umbi-umbian.
Ketika saya berkelana dan tinggal dengan masyarakat Kep. Mentawai, sehari-hari saya mengkonsumsi Keladi.
Demikian juga pengalaman saya 'live in' bersama Suku Daya. Bahao di Long Iram, beberapa tahun lalu.
Saya yakin, masyarakat adat lainnya, memiliki Ketahanan Pangan dalam bentuk lain yang sudah men-tradisi dalam kehidupan sejak Nenek Moyang mereka. Seperti Masyarakat pengkonsumsi Jagung (untuk yang terakhir ini, sepertinya tidak ada lagi, khususnya orang Madura yang sudah lupa pada jagung)
Tapi, untuk saat ini, ada kemungkinan beberapa pengalaman saya 'live in' seperti saya sebutkan itu, sudah mengalami perubahan, terutama sejak program Swasembada beras yang dicanangkan Orde Baru yang ternyata juga di ikuti oleh Orde-orde sesudahnya.
Dimana-mana orang mencetak sawah demi Padi (beras). Tapi bersamaan dengan itu, perubahan masyarakat dengan kultur / tradisi menanam keladi, jagung, sagu, singkong, di ubah dengan 'paksa' demi pengadaan beras tanpa disertai pemberdayaan bagaimana bersawah, memelihara padi, menanam padi, dst.
Masih ingat akhir 2009? Bangsa ini geger karena, beberapa daerah di Papua, di sebut sebagai daerah rawan pangan, karena sawah-sawah yang di buat tak berhasil. Padahal, daerah yang disebut sebagai rawan pangan itu, tidak mengkonsumsi beras melainkan umbi-umbian.

--------------------------------------------------------------------
Renungan Budaya.
Kemana Budayawan kita?
Perubahan cepat yang di alami sekarang ini memberi perasaan tak menentu pada siapa saja. Dan perasaan seperti itu akan terus terjadi seiring perubahan itu sendiri. Ironisnya, tidak semua bisa menerima, menguasai bahkan mungkin diluar kemampuan banyak orang untuk mengantisipasi dan melebur pada perubahan itu. Gejala itu di tandai dalam bentuk kooptasi nilai, sikap primordial dan laku marginal di tengah hidup masyarakat. Jadi, jangan heran atas kehadiran kelompok-kelompok eksklusif dengan kepentingannya kemudian bertarung dengan nilai-nilai kelompok sebagai proyeksi diri yang di ikuti konflik kepentingan yang sangat kompleks dan cenderung kasar. Atas situasi seperti itu, pertanyaan besar besama ialah "Apakah sendi-sendi kehidupan budaya kita mampu melakukan kontrol lalu mengelola konflik yang terjadi?"
Jakarta sebagai Pusat Nilai Budaya?
Sebagai Ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta lambat laun jadi model nilai budaya masa kini maupun masa depan masyarakat Indonesia. Tapi pada sisi lain, dalam diri saya, timbul kengerian pada situasi Jakarta sekarang ini. Secara kultural, saya merasa sebagai orang asing dan terjebak meski saya berdomisili di Jakarta. Asing dan terjebak karena atmosfir Jakarta bias otonom atas nilai-nilai kultural bahkan memiliki hukum-hukumnya sendiri pada kompleksitas masyarakatnya. Orang-orang terlindas ringsek oleh gerak dinamik kehidupan metropolis yang tidak perduli pada nasib seseorang bahkan kelompok orang. Persoalan ini dapat dilakukan siapa saja atas nama dinamika kehidupan Jakarta. Dulu, di jaman ORDE BARU, secara struktural dilakukan atas nama Pembangunan.
Sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, Jakarta adalah kantong raksasa, di mana dalam kantong itu sikut menyikut antara kepentingan kelompok politik, kelompok agama, Suku dan kelompok penghoby sampai pada kepentingan pemerintah versus kebutuhan hidup jadi mengemuka. Pemenangnya ada tiga aliansi, yaitu : Pemerintah, Uang dan kelompok beranggota banyak orang, konflik Vertikal dan horisontal adalah Tamsil kekinian Jakarta.
Apakah nilai-nilai kultural dapat mengontrol dan mengelola semua itu? Saya kok pesimis dan ciut hati, meski ini prasangka subjektif. Bagaimanapun, optimisme tentang kemampuan kehidupan kultural masyarakat Jakarta, tetap subur di benak saya.
Kantong Raksasa ini, di penuhi kaum cendikiawan dan budayawan yang dapat memberikan kejernihan bahkan kejelasan atas pilihan-pilihan mengenai kemanusian versus pembangunan versus kepentingan politik, kelompok bahkan kepentingan pemerintah.
Tapi ketika, cendikiawan dan budayawan, terkooptasi pada kelompok tertentu bahkan nyemplung dalam area pemerintah, maka tak ada lagi pengawal Kultur.
(TIM, akhir November 2019)
Romo, pemerhati - pegiat budaya dan pendamping umat di GPIB.

-------------------------------------------------------

Natal.
Dalam tradisi umat Kristen Merayakan Natal adalah Mengenang kembali Kelahiran Kristus dalam sebuah Kandang Domba di Betlehem.
Suatu peristiwa kelahiran yang tidak pernah dibayangkan oleh banyak orang termasuk Maria dan Yusup. Bukankah setiap orang tua dan tiap suami menginginkan agar istri melahirkan di tempat yang layak dan terhormat. Demikian juga Maria, Ia pasti tak ingin bayi yang dikandungnya lahir dalam sebuah kandang. Ia ingin anaknya lahir ditempat layak sebagaimana umumnya perempuan melahirkan.
Tapi malam itu, tak ada tempat, semua penginapan bahkan rumah-rumah kerabatpun penuh sesak oleh kaum perantau yang datang memenuhi panggilan Kaisar Agustus untuk mendaftar kembali sebagai warga Kekaisaran di masing-masing kota asal. Itulah sebabnya, Maria dan Yusup malam itu tak mendapat tempat menginap yang layak.
Untung bahwa ada sebuah kandang domba yang sudah lama tak terpakai bisa dijadikan tempat menginap sekaligus untuk melahirkan anak sulung Mereka.
Aneh bahwa di masa sekarang tak banyak umat Kristen menengok peristiwa itu sebagai cara untuk mengenang kelahiran yang unik dan memprihatinkan itu Tidak heran jika perayaan natal di masa sekarang, jauh dari kisah memprihatinkan itu.
Natal adalah pesta! Demikian benak sebagian besar umat Kristen. Jadi karena Natal adalah Pesta, maka harus meriah, ada makanan dan kue-kue, hadiah dan berbagai hiasan. Jauh dari mengenang dan merenung atas cara kelahiran yang memprihatinkan itu. Atau mungkin banyak orang tak ingin masuk 'areal' itu karena sangat sederhana dan cenderung menyedihkan?
Selamat menyongsong Natal 25 Desember 2019.
Salam dan doa Rahayu.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Sajak sandal tua.
Usang jadi mainan siapapun
Tak berharga terlebih bernilai apa lagi bermutu
Sandal selalu jadi dirinya tak akan jadi sepatu
Ia tergelatak di pojok pintu sesekali dilirik berharga namun siapa akan memandang?
Hanya angin membelai mengusap dingin
Karena merasa bernilai dan bermutu
Padahal angin selalu datang dan pergi, hinggap di mana saja ia mau.
Angin sejuk membelai hanya sesaat.
Angin datang menghembus harapan kemudian membawanya pergi
Sandal tua tak berarti
Selain jadi mainan.
(Ps.Minggu-medio desember'19)

-----------------------------------------------------------------------------------

sajak Angin Desember.
Lembut kau datang menyapa dan berlalu
Sejuk membelai kemudian pergi
Meninggalkan tetes air di pelupuk
Tak ada kisah sedih sepedih angin desember
Saat diam-diam kau datang menaruh pengharapan dan membawanya pergih
(Medio Desember 2019)



RWM.BOONG BETHONY

21/03/19

Sajak - sajak

Sajak - sajak.

Sajak tentang leluhur.

Alkisah, di taman firdaus, Adam dan Hawa, nenek moyang, moyangmu, moyangku, menerobos semak belukar, jadi arang. Jelajahi rimba, jadi debu. Berendam di mata air, sungai dan danau keruh. Nenek moyang, moyangmu, moyangku, mencari abadi dan sejak itu surga hilang.
Turunan nenek moyang, moyangmu, moyangku, ahli waris, warismu, warisku, hiruk pikuk, rame-rame mencuri. Mengambil semak belukar, mengambil pohon-pohon, mengambil hewan-hewan, menyebar asap kemana-mana, jadi debu.
Rumah warisan, rumahmu, rumahku, sumuk, gerah, sesak, nafas terengah-engah.
Padang pasir melebar entah bila kan henti, sungai kering entah kapan berair, danau susut entah sampai kapan, turunan nenek moyang, moyangmu, moyangku, lanjut menerobos, menjelajah, berendam.
Bukan, bukan mencari surga
Bukan, bukan ingat surga
Tapi mencipta neraka
Membuat neraka
Sebab itu surga ialah kisah nenek moyang, moyangmu, moyangku, yang dibakar, dirusak, dibongkar.
Surga adalah cerita nenek moyang, moyangmu, moyangku, yang dicatat dalam buku-buku, yang dituturkan turun temurun.
Generasi penerus nenek moyang, moyangmu, moyangku.
Alkisah di taman firdaus, Adam dan Hawa, leluhur, leluhurmu, leluhurku, mencangkul tanah jadi lubang, menggali bukit jadi cerukan, mengais lembah jadi kerontang, membongkar gunung jadi kering. Leluhur, leluhurmu, leluhurku, mencari kekal, sejak itu surga musnah.
Anak-anak leluhur, leluhurmu, leluhurku, tak kenal surga, tak tahu surga, maka cangkul-cangkul modern, mesin-mesin canggih, pengais ultra tehnologi, pembongkar super sahih, pohon bertumbangan, air beracun, semak belukar merajam, udara kotor membunuh, angin panas bertiup.
Rumah waris leluhur, leluhurmu, leluhurku, panas, membara, pekat, kabur, nafas tersengal sengal
Bukan, bukan cari surga
Bukan, bukan ingat surga
Melainkan menaruh neraka
Meletakkan neraka
Karena surga hanya petuah dari begawan, nasehat para resi, penghiburan empu, dari babad leluhur, leluhurmu, leluhurku.
Alkisah di taman firdaus manusia pertama, Adam dan Hawa, manusiamu, manusiaku, membantah, memberontak, korupsi, mencuri kesucian, mendekap kemuliaan firdaus, mengunyah, memamah, menelan, memakan tanpa sisa keagungan fridaus lalu membunuh tuhan, berharap seperti Tuhan.
Sejak itu, kotoran menumpuk, sampah menggunung, limbah melaut, plastik - plastik mematikan. Implan dan silikon membunuh.
Anak - anak manusia, manusiamu, manusiaku, tak kenal kemuliaan, tak tahu keagungan, tak paham kesucian, maka borok sekujur tubuh, jiwa - jiwa luka, badan bernanah, pikiran nista, nafas - nafas busuk.
Bukan, bukan cari Tuhan
Bukan, bukan ingat Tuhan
Hanya menuhankan
Cuma bertuhan
Tuhan hanya politisasi, menakut takuti, iming - iming berkah, tawaran upah, sebab semua itu telah lama musnah, hilang.
50 tahun mungkin 100 tahun atau 1000 tahun kemudian, kamu dan aku, nenek moyang mereka, moyangnya, moyang dia, leluhur mereka, leluhurnya, leluhur dia, manusia mereka, manusianya, manusia dia, mengumpat, memaki dan mengutuk, sebab kau, aku, menaruh, meletakkan neraka disini, di rumah mereka.
Rumah yang di wariskan ke mereka, bukan surga, tapi neraka.
Ya, neraka.
Salam dan doa rahayu
(Medio Maret' 2019, Ps. Minggu)

sajak tentang kuburan.

Dikuburan kutemukan monumen cinta, tertata rapi dan berwarna warni.
Sungguh beda cinta di kehidupan dan cinta di pekuburan.
Salib dan nisan membujur, berbaris dalam kisah sendiri 
Disanalah aku, kau, menuju pembaringan abadi
Sendirian, dingin dan sunyi
Cinta yang ada seketika buyar, kasih yang menahun seketika hilang.
Cintamu melupakan dan kasihmu hilang dalam timbunan mengering
sesal cinta jadi duka
sesal kasih jelma duka
Semua mengering dan hilang lalu sunyi
Di tanah pekuburan, monumen cinta tak seindah cerita, kaku mematung tak bernyawa
kesana tiap tubuh di bawah
kesitu tujuan akhir
karena yang hidup mesti dengan hidup
yang mati harus dengan mati
mereka berkerumun
kerumunan hidup berdengung dan riuh seperti tawon, liar.
kerumunan mati diam kaku dan sunyi
tapi mati dan hidup sama tanah
hidup memberi cinta dan kenerima cinta
mati tak ada cinta
tapi tanah adalah hidup juga mati selalu menumbuhkan benih, membuahkan benih
benih cinta dan mati.
Di pekuburan ku baca prasasti cinta, terukir manis di nisan dan salib, berjejer rapi.
tentang kelahiran dan kematian, tentang cinta
cinta yang melahirkan pekuburan
di sana prasasti cinta berakhir.
(Medio Maret 2019, Pemakaman Kristi - sudiang Makassar)

Sajak Aku.

Aku?...achh hanya debu tanah.
Lalu apa yang disombongkan?
Hanya ke sia-siaan.
Aku?...oh hanya debu!
Tak ada yang dibanggakan.
Karena fana
Aku?...oh debu belaka!
Tak bernama
Sebab mudah terupakan
Aku?...debu!
Hujan becek dan panas menguap
Tak bernyawa
(makassar, medio maret 2019)

Sajak tentang Air.

Alkisah pada mulanya air memenuhi Alam raya, menguap, menetes, sumber hidup.
Dia tebar sejuk kemana-mana
Dia tumbuhkan semua 
Dia semai keindahan
Bukit, lembah, gunung bahkan ladang, kebun dan sawah, anggun, cantik memesona
Pohon-pohon memuliakannya
Perdu dan semak-semak menghormati
Hewan - hewan mengagungkan
Tapi manusia tak pernah menghormati, mengagungkan apalagi memuliakan
Ia hanya benda konsumsi, tak lebih
Maka air tempat membuang segala hajat, mencuci semua kotoran, membersihkan seluruh jelaga dan merampas kemuliaan, menghempas keagungan lalu menginjak kehormatan air.
Ketika air sembunyi sejuknya
Saat air henti menetes
Waktu air enggan menguap
Dan segan mengembun
Duka dan Kering
Waktu air marah
Ketika air murka
Saat air geram
dan air mencari kehormatan, kemuliaan dan keagungannya
Dia bawa semua lumpur
Diajaknya batu dan kayu gelondongan
Bahkan segala hewan diboyong
Dia masuk kampung - kampung dan desa Ditelusuri jalanan kota
Dia tak perduli siapa
Diterjang semua penghalang
Dia buru siapa pun
Air tak pernah takut
Air pantang surut
Sebab air pemberi hidup
Jangan menyesal jika ia ambil kembali apa yang diberi padamu.
Salam dan doa.
(Medio Maret 2019, Ps. Minggu) 

sajak tentang Kafir.

Bukan untuk ateis sebab mereka memiliki tuhan dalam diri.
Hanya untuk pemilik rumah - rumah ibadah sebab sebab kafir adalah misi
Misi menghilangkan penyembah - penyembah 
Misi untuk kami dan kamu objek
Bukan untuk animisme karena tuhan ada dimana saja, pula tidak pagan sebab tuhan dicipta tiap waktu
Hanya kesetiaan penghias puri - puri sembahyang
Maka kafir jadi nista tak beharga terlebih sepadan dan setara hilang rupa dan lupa wajah
Kesana misi pencerahan kesitu misi pertobatan ini kami mau, berhijrahlah
Maka riuh antara aku dan kamu, tidak ada kita.
Maka ramai sekat dan kisi-kisi di bangun, lorong-lorong di portal, di tembok, berhias beling dan paku, kafir terajam tak perduli sesembilau apa seperih dalam dalam perih, kamu bukan siapa - siapa hanya kaum kafir
Jadilah kafir, agar ada kemuliaan
Jadilah kafir, supaya ada keagungan
Jadilah kafir, agar supaya kehormatan tetap abadi dan jelas antara kemuliaan dan nista supaya kentara keagungan dan dosa agar supaya terlihat kehormatan dan keburukan.
Siapa kafir dan bukan
Siapa bukan kafir dan tidak
Siapa tidak kafir dan beriman
Siapa beriman kafir dan kafir
Siapa tidak kafir dan bukan
Siapa bukan kafir dan tidak
Siapa tidak kafir dan beriman
Siapa beriman kafir dan kafir
Bukan untuk kafir sebab kafir memiliki tuhan yang di sembah, tuhan yang di cinta, tuhan yang cinta semua.
Maka misi saling tuding menuding, saling melontar kata, saling meludahi, teriak meneriaki, hilang menghilangkan, pungkir memungkiri.
Maka sebab itu, Kafir ada dimana - mana, kemana saja, sebab cinta tak pernah mengingkari sesama.
Sebab cinta adalah tuhan dan tuhan ialah cinta.
Banggalah dan mendongaklah wahai kaum kafir.
Bagilah cinta, robohkan tempok - tembok pembatas, hilangkan kisi - kisi dan sekat diantara sesama manusia.
Sebab kesanalah cinta Tuhan diperintahkan.
Salam dan doa rahayu.
(pasarminggu, awal maret 2019)

Sajak tentang Jakarta VI

Tak ada waktu lowong, roda besi menggelinding mengejar penawar dari jendela bertingkat hingga di balik layar. Tak ada suara sayup, ribut antara putaran pembeli dan pedagang. Bahkan secangkir kopi pun tak sempat dingin apalagi sungai yang kehilangan hening, mau cari apa? Tak jelas antara bangkai dan mayat, tak kentara patung dan manusia. Semua bernilai di saat jatuh semurahnya.
Jalan tak pernah sepi, mall dan supermarket punya cerita, bandar tak sunyi, sandal dan sepatu hilir mudik
topeng - topeng datang pergi pergi datang. Kain dan plastik bahkan ransel berlomba pulang dan berangkat, tak ada perhentian selain perjalanan.
Kotak tembok melalar kesamping, kebawah, keatas dan memanjang entah bila kan henti.
Di Jakarta semua kisah ialah cerita dan seluruh cerita adalah kisah, tentang kardus, tentang salon, tentang senayan, tentang istora, tentang istana, tentang sungai jadi selokan dan selokan berubah sungai, tentang kaum puritan melawan demonstran, tentang ketunggalan menantang kebhinekaan, tentang kaum beriman berhadapan mereka yang kafir, tentang kelompok feodal versus pro demokrasi, tentang melawan Tuhan.
Tapi roda besi terus menggelinding, menggilas yang lengah, menggiling yang lalai, persis seperti yang kau katakan beberapa tahun lalu. "kalau nuranimu kuat jangan kejakarta" itu nasehatmu bukan?
Jangan jadi apa-apa jika tak berani seperti si rajatega
Jangan, sebab di sini, di jakarta, semua bisa jadi siapa dan siapa jadi bisa tak perduli nafasmu anyir atau bau bangkai, tak perduli tubuhmu membusuk pelahan
tak perduli otakmu tak waras
tak perduli kau gadai jiwamu
tak perduli kau percaya kuasa Tuhan
tak perduli kau penjaja tubuh
tap persuli kau guy
tak perduli kau waria
tak perduli kau bisek
tak perduli kau siapa
asal pintar bersandiwara
asal cerdik berpura - pura
asal pandai bermain
Dan roda besi akan terus menggelinding, berputar - putar, bermain hidup yang tak bernyali.
(Pasar Minggu, medio Feb'019)

Rob Colection



RWM.BOONG BETHONY