03/12/18

Keadilan sosial

Renungan Kebudayaan empat tahun Kepemimpinan Jokowi- Jusup Kalla.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia - Sila Ke 5 PANCASILA.

Kutipan sila ke-5 dari apa yang di sebut "The Way Of Life" Bangsa Indonesia itu, tidak populer dan kalau toh di bicarakan dalam suatu diskusi, baik oleh kalangan LSM, Akademisi, Komunitas Senayan alias Dewan yang terhormat itu, Birokrat/eksekutif, hanya sambil lalu saja. Atau 'sebagai' pelengkap diskusi, sebab merupakan silah terakhir dari Pancasila. Mungkin lhoo! 
Padahal, bunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu, berbicara kesetaraan dan kesamaan dalam memperoleh apa yang di sebut akibat dan progres Pembangunan oleh Negara. 
Ada yang keliru selama ini dalam perhatian Negara terhadap wilayah yang di kuasainya sebagai Negara. Perspektif Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pun, sering kali tidak terakomodir untuk wilayah-wilyah diluar Jawa, sedikit ke Sumatra, sepi ke-Kalimantan, sunyi ke-Sulawesi, senyap ke- Maluku dan Papua lalu lengang ke-Nusatenggara Timur dan Barat. Tapi bersamaan dengan itu , sumber daya Alam Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan daerah kepulauan yang ada, menumpuk, rame tertimbun di Jawa, dalam berbagai bentuk hasil pembangunan. Lihatlah fasilitas kantor Legislatif, kantor eksekutif dan pihak swasta, berjejal mewah dari ujung Timur Pulau jawa hingga ujung barat jawa. Tengok pula, jalan-jalan raya, Toll, fasilitas pelabuhan laut, Lapangan Terbang yang super mewah di Pulau jawa. Padahal, kalau mau jujur? Apa Sumber daya Alam Jawa? 
Memakai kacamata jujur, sangat terlihat ketimpangan alias betapa 'jomblang' pembangunan dalam segala hal di Pulau jawa banding semua hal yang tak didapatkan oleh atau yang mendiami wilayah lain di luar jawa. Ini bukan soal dikotomi, Jawa dan bukan jawa, tapi realitasnya begitu. 
Bukankah, Roh dari Sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara komperehensif mengatakan untuk seluruh Rakyat Indonesia, dimana pun ia berada dalam wilayah NKRI. 
Sungguh, ini tidak adil untuk wilayah lain.

Jokowi - Jusup Kalla, menterjemahkan Sila ke-5.
Pemerintahan Jokowi - JK, mulai beraksi beberapa bulan setelah di lantik sebagai Presiden dan wakil. 
Yang pertama dilakukan adalah : Proyek-proyek mangkrak, berupa jalan-jalan raya dan Toll, jalan layang, waduk-waduk yang terbengkalai, dieksekusi kelanjutan pembangunan secara khusus di Jawa, sementara proyek-proyek 'mangkarak' dikerjakan, Jokowi - JK membangun kilang-kilang minyak baru mulai dari ujung barat sampai ujung timur, di utara dan selatan Indonesia. Tujuang pembangunan kilang-kilang minyak baru itu, untuk menimbun/menyimpan hasil pertambangan minyak dalam negeri yang selama ini dengan licik dipermainkan oleh banyak anak negeri dengan cara membawa hasil tambang itu keluar negeri dengan harga murah, lalu mengembalikan dengan harga yang mahal untuk kebutuhan BBM di Indonesia. Alasan, orang-orang licik itu, karena dalam negeri tidak ada Kilang-kilang Minyak. 
Dalam hiruk pikuk kelanjutan pengerjaan proyek mangkrak itu, Jokowi - JK membangun jalan-jalan raya baru, di Sumatra, Di Papua, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Seiring jalan raya baru, pelabuhan laut dan lapangan udara diperluas, diperpanjang, bahkan membangun banyak pelabuhan baru juga lapangan terbang baru. Tujuannya, ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik dan adil. 
Lautan Indonesia yang amat luas, kaya Mineral dan biota laut pun diamankan demi rakyat Indonesaia. Ribuan kapal asing ditangkap dan ditenggelamkan, negara tetangga yang nelayan-nya selama ini mencuri kekayaan biota lautan Indonesia, meradang dan marah. Tapi Jokowi - JK tak perduli, ini lautan kami bung!

Apakah Jokowi - JK puas dengan pencapaian itu? Tentu tidak, sebab pembangunan tidak boleh terhenti, ia harus terus berlangsung, baik pembangunan sarana infrastruktur, sumber daya manusia dan mental spiritual manusia Indonesia.
Yang paling populer, kontroversial, adalah keberanian Jokowi - JK memutuskan 'satu harga BBM di seluruh wiyah Indonesia'. 
Keputusan itu banyak ditentang berbagai pihak, terutama oleh anak-anak negeri yang berfikir licik, apokrit, Nir keadilan dan asosial. 
Saya membutikan satu harga BBM di seleruh Indonesia. Tahun 2010 saya berkunjung ke Papua. Ke Kab. Merauke dan Kab. Digul Boven. Ketika itu harga Premiun di Pengisian BBM resmi milik Pertamina di Merauke Rp. 12.000/liter, lebih parah lagi di kota Digoel Rp. 15.000/liter. Jangan tanya harga di kios-kios pinggir jalan, perliter paling rendah Rp.20.000.
Sekarang ini, harga BBM di Pom Bensin Pasar Minggu sama harga Pom Bensin di Merauke, Digul, tentu saja di Sentani pun akan begitu, demikian juga di kota Sabbang pulau We Sumut.

Apa dampak dari semua pencapaian JOKOWI - JK selama 4 tahun belakangan ini? 
Roda ekonomi bergerak secara teratur antar masyarakat kepulauan, Kapal-kapal penumpang yang dulu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk berlabuh di suatu pulau atau Pelabuhan laut, relatif pendek waktu penantian para penumpang. Barang antar pulau pun berjalan lancar, baik di darat, laut dan udara. 
Tali rantai ekonomi yang terputus-putus dan jadi mitos selama bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka, mulai terbuka dan menyambung kembali
Kebutuhan pendidikan di pulau-pulau terpencil pun relatif gampang dan mudah di peroleh 
Destinasi wisata lokal, Laut, daratan yang selama ini terbengkalai, menggeliat dinamis.
Seni dan budaya lokal berkembang antar pulau.
Ekonomi menuju arah yang benar untuk Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jika disana-sini masih banyak kekurangan, itu karena pembangunan bukanlah hal yang mudah, gampang dan sederhana. Ia (pembangunan) butuh modal, skill dan manajemen handal, agar tepat sasaran.
Terimakasih untuk Keadilah Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, wahai Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusup Kalla.
Salam dan doa Rahayu. 
Tuhan Memberkati Indonesia.

(Pasar Minggu, Medio November 2018)
Romo Ro Wi Ma.
Pemerhati dan Pegiat Kebudayaan.
Pdt.Pembimbing Umat di GPIB




RWM.BOONG BETHONY

Kegagalan Partai Politik

Renungan Kebudayaan Politik Kebangsaan dan Partai Politik. 
Para pakar katakan bahwa salah satu alat kelengkapan dari apa yang disebut sebagai Demokrasi adalah Partai Politik. Partai Politik merupakan elemen primer untuk membangun Demokrasi di manapun di diseluruh negara dalam kampung besar yang disebut Bumi ini. 
Dalam premis tersebut diatas, maka sesungguhnya Partai Politik memililki tugas mulia demi keberlangsungan Demokrasi sebagai sebuah puncak Kebudayaan bernegara dan terutama berbangsa.

Tugas mulia partai politik?
Tugas mulia? Iya, sebagai elemen primus demokrasi, partai politik bertugas untuk mencari dan menghadirkan 'kader-kader dan orang-orang terbaik untuk disodorkan sebagai calon legislatif, calon walikota, calon bupati, calon gubernur dan calon presiden'. 
'Kader terbaik dan orang-orang terbaik itu bagaimana? Ini yang harus segera kita rumuskan bersama, setidak-tidaknya sebagai Bangsa Indonesia, ingat bukan sebagai Negara!. 
Jika bicara tentang negara, maka objek percakanpan akan selalu berputar-putar pada apa yang disebut sebagai HUKUM. Bukankah ujung tombak dan pedang bernegara ada pada HUKUM? nach..dalam kontek ini, orang-orang baik menurut Negara belum tentu baik menurut nilai kebangsaan. 
Sebagai contoh : Jika seorang caleg menurut Negara, memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan, maka seseorang tersebut 'dilayakkan' sebagai calon dari Partai politik nukan? 
Tak peduli mental spiritualnya seperti apa!
Lihatlah dan hitunglah, berapa ratus bahkan ribuan untuk tidak mengatakan jutaan, mereka yang menduduki jabatan politik harus berhadapan dengan Hukum? 
Mulai dari Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD dan DPR RI, bukan orang-orang ini hasil dari sistem demokratisasi melalui dan oleh Partai-partai politik yang nota bene 'hanya' memenuhi persyaratan-persyaratan menurut ketentuan negara saja? 
Disitulah, kegagalan partai politik di Indonesia, untuk menghadirkan orang-orang baik, kader-kader terbaik yang yang memiliki intergritas kebangsaan dan mental spiritual mumpuni untuk disodor/ditawarkan pada pemilik suara, yaitu rakyat. 
Belum lagi banyak Partai-partai Politik yang mengukur para calon dari sisi material/finasiil, padahal itu bukan segala-galanya.

Mestinya, nilai-nilai kebangsaan juga jadi beberapa sarat penting dalam merekruit, siapapun yang akan disodorkan oleh partai politik kepada rakyat.
Apa kebangsaan? Kebangsaan adalah orang-orang yang dipersatukan oleh nilai-nilai yang berlaku dan diakui bersama dan atau dalam suatu wilayah. 
Sebagai contoh : Orang Sumatra dengan berbagai suku di sana juga agama dan bahasa, dipersatukan dengan orang-orang dari Indonesia Timur (juga dengan berbagai latar belakang suku, agama, dst), dipersatukan dengan orang-orang dari Indonesia bagian tengah dalam sebuah nilai yang kita sebut Indonesia. Nilai persatuan, nilai bahasa, nilai wilayah dan nilai tradisi sebagai kebudayaan orang Indonesia. 
Banyak calon bupati, calon gubernur, calon walikota, bahkan calon presiden yang abai pada nilai kebangsaan, nilai kesatuan, nilai tradisi berbangsa. 
Jadi jangan heran, jika ada anggota legislatif, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan mungkin presiden, yang ngomong seperti bukan Bangsa Indonesia, bicara mengingkari kebangsaan Indonesia, bahkan sering kali memecah belah kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Kalau sudah begitu siapa yang salah? Sudah jelas dan terang, bahwa Partai politik di Indonesia gagal menghadirkan orang-orang terbaik, kader-kader terbaik untuk membangun bangsa dan Negara Indonesia.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bukan? 
Kacau, politik pecah belah, politik hoax dan ketidak nyamanan relasi antar sesama anak bangsa.

Ach..andai saja Partai-partai politik mampu menghadirkan yang terbaik dari sisi intelektual, sisi spiritual, maka pemilihan umum menjadi proses-proses pendidikan kebudayaan demokrasi kebangsaan kita.
Alhualam.

(Akhir November 2018)
Romo Ro Wi Ma
Pemerhati dan penggerak Budaya Kebangsaan.
Tinggal di jakarta.





RWM.BOONG BETHONY